Rabu, 16 Februari 2011

MARXISME; RELASI PRODUKSI SEBAGAI DASAR KELAS SOSIAL

 Oleh: Pardin Isa
           
1. Konsep Marxisme
Sejarah marxisme adalah sejarah panjang atas sebuah kerangka pemikiran, doktrin, ideologi yang kontradiktif. Di puja oleh sebagian orang sebagai doktrin pembebasan kaum tertindas, dan pada saat yang sama, di benci oleh sebagian orang sebagai doktrin, sebagai ideologi penebar paham kediktatoran negara atas rakyat yang memiskinkan aspek kebebasan individual, paham penebar semangat komunisme yang anti agama, paham yang menentang kemapanan ekonomi individual. Marxisme adalah sebuah kontradiksi yang tidak hanya melahirkan beragam interpretasi dari yang membencinya, tapi juga melahirkan beragam interpretasi dari yang memuja, meyakini, dan melaksanakannya. Tidak hanya itu, kondisi yang sama juga menimpa penciptanya, Karl Marx.s “Sejak dari buaian sampai liang lahat, hidup marx sendiri penuh kontradiksi” (Skousen, 2009: 167).
Sungguh tidak tepat jika harus menjelaskan autobiografi Marx dalam kesempatan ini, tidak tersedia cukup ruang untuk memberi penjelasan secara panjang lebar, karena fokus kita bukanlah untuk menjelaskan latar belakang Marx dengan segala dimensi petualangan yang di laluinya. Fokus kita hanya cukup pada mengenal siapa Marx, dan apa pengertian Marxisme, sebagai eksponen teoritik, juga sebagai seperangkat ajaran yang berlatar belakang pada nama penciptanya.
Karl Heinrich Marx, dedengkot komunisme, sang nabi komunisme, lahir pada 5 Mei 1818 di Kota Trier (Jerman) yang pada ketika itu masih menjadi bagian dari kekaisaran Prusia. Lahir dari keturunan yahudi, yang berpindah menjadi penganut Protestan, sebagai agama yang umum di anut oleh masyarakat Jerman pada ketika itu. Beristrikan Jenny Von Westphalen dan di karuniai beberapa anak pada perkawinannya. Bersahabatkan seorang anak saudagar Inggris yang kaya raya, Friedrich Engels, kawan sekaligus partner teoritisnya, yang juga banyak memberi kontribusi material pada kehidupan marx yang penuh gejolak dan hampir miskin papa, (sebuah keanehan bagi seorang pengkritik dahsyat kapitalisme, justru hidup dari biaya akumulasi keuntungan kapitalisme).
“Istilah marxisme terkadang cenderung direduksi pemaknaannya kedalam Marxisme-Leninisme, sebagai himpunan pemikiran Marx yang lebih memberi penekanan pada aspek teoritis revolusi proletariat, dan pemikiran Lenin yang lebih memberi penekanan pada aspek praxis dari upaya revolusioner tersebut” (Haramain, dkk, 2003: 23) Akan tetapi tentunya, marxisme tidaklah sesederhana itu, marxisme adalah kumpulan doktrin, marxisme adalah sekumpulan kitab-kitab agitatif, marxisme adalah sekumpulan telaah dan analisis dari seorang manusia genius yang banyak menghabiskan usianya di dalam kamar pribadi sambil menikmati beberapa potong cerutu, dalam ketenangan, dan ketajaman berpikir. “Marxisme adalah ilmu pengetahuan yang padu -dialektis dan historis-, tentang evolusi masyarakat sebagai sebuah totalitas” (Lukacs, 2010: 67). “Marxisme adalah sebuah doktrin revolusi persis karena ia memahami esensi proses… dan karena ia dapat memahami garis perkembangan masa depan. Dan pada saat yang sama, hal ini membuat marxisme menjadi ekspresi ideologis kelas proletariat dalam upayanya membebaskan diri” (Lukacs, 2010: 332). menurut Gramschi (dalam Magnis Suseno, 2005: 178), “Marxisme bukanlah sebuah deskripsi ilmiah realitas masyarakat yang darinya lalu dapat disimpulkan aturan-aturan praktis untuk tindakan politik nyata, melainkan ungkapan kesadaran kelas proletariat…sebuah unsur atau sudut dalam perjuangan praktis proletariat itu. Sedangkan menurut Korsch” (dalam, Magnis Suseno, 2005: 151) “marxisme merupakan teori revolusioner bukan dalam arti bahwa ia mengajarkan sesuatu tentang revolusi, melainkan bahwa teori itu merupakan bagian hakiki dalam pelaksanaan praktis revolusi. Dan Trotsky menyimpulkan marxisme sebagai sebuah metode analisa, bukan analisa atas teks-teks, tapi sebuah analisa atas relasi-relasi sosial” (Trotsky, 2009: 51).
Maka dari sekian banyak penjelasan (yang sesungguhnya sudah terlampau panjang lebar) di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa, “Istilah Marxisme pada prinsipnya mengacu pada himpunan, pembakuan paham Karl Marx dan Friedrich Engels” (Magnis Suseno, 2000: 5), yang mencakup semua segi karya Marx, termasuk karya kolaborasi Marx dan Engels, juga tanpa menafikan kontribusi para pemikir besar pasca Marx yang telah berkontribusi dalam memberi kritik atau bahkan penafsiran baru atas pandangan-pandangan Marx, untuk melengkapi, atau mungkin memberi warna baru pada khazanah pemikiran Marxisme secara lebih umum (teori hegemoni Gramschi, konsep Revolusi permanen Trotsky, adalah dua contoh perspektif teoritik yang tidak pernah dipikirkan oleh Marx, tapi justru menjadi bagian dari Marxisme).

2. Relasi Produksi
Relasi produksi, atau sebagai hubungan-hubungan produksi, yang merupakan akumulasi dari proses atas keberadaan pemilik modal, bahan baku, alat-alat produksi, buruh dan komoditas hasil produksi, merupakan mekanisme dasar terciptanya struktur kelas sosial melalui proses kerja. Mekanisme relasi produksi, tanpa ragu juga akan melahirkan alienasi, nilai lebih, eksploitasi dan penindasan. Jadi keseluruhan prinsip-prinsip dasar penciptaan kelas sosial terakumulasi dalam relasi produksi atau hubungan-hubungan produksi.
“Relasi produksi mempunyai dua kekhususan, pertama, buruh bekerja dibawah pengawasan kapitalis yang menjaga ketat bahwa tidak terjadi sedikitpun pemborosan dan bahwa tidak dipakai lebih daripada jumlah kerja yang secara sosial diharuskan untuk setiap potong kerja individual. kedua, produk itu adalah milik kapitalis” (Engels, 2002: 33).
Marx menjelaskan, “pekerja terbenam sampai menjadi komoditas, bahkan menjadi komoditas yang paling sengsara, Relasi produksi dapat di gambarkan sebagai proses yang berlangsung selama buruh bekerja guna menghasilkan sebuah barang atau komoditas baru” (Marx, dalam Fromm, 2004: 126). Pada sisi lain, relasi produksi sesungguhnya merupakan media tempat berubah fungsinya tenaga kerja buruh menjadi sebuah komoditas baru. “buruh tidak hanya menciptakan barang, tetapi juga sungguh dengan takaran yang sama menciptakan dirinya sendiri sebagai komoditas” (Marx, dalam Fromm, 2004: 126). Dengan kata lain, seorang buruh yang tidak memiliki apa-apa selain tenaganya, lalu menjualnya kepada pemilik modal agar dapat dieksploitasi sesuai fungsi dan tujuannya, agar si buruh dapat bertahan hidup dengan bayaran yang dijanjikan dalam kontrak jual-beli antara diri (tenaga kerja) dengan sejumlah bayaran atas kesepakatan bersama. Seperti juga di jelaskan Lukacs, “pekerja bebas yang secara bebas dapat membawa tenaga-kerjanya ke pasar dan menawarkannya untuk dijual sebagai komoditas yang ia miliki, sebagai sesuatu yang ia punyai dan kuasai” (Lukacs, 2010: 171).
Hubungan-hubungan dalam produksi juga mencerminkan terlaksananya proses akumulasi modal. Karena hubungan-hubungan produksi tidak bisa dilepas-pisahkan diantara bahan baku, alat-alat produksi, buruh, dan hasil produksi, maka hubungan-hubungan produksi menjadi mekanisme dalam mengakumulasi keuntungan menjadi modal-modal baru. “Tujuan akhir produksi yang sebenarnya bukanlah jumlah pekerja yang bisa dipelihara oleh modal awal, tetapi jumlah tabungan yang dihasilkannya, seluruh tabungan setiap tahunnya” (Marx, dalam Fromm, 2004: 147). Karena Hubungan-hubungan produksi, atau proses produksi tidak hanya berorientasi guna memproduk barang ber-“nilai pakai’, tapi sesungguhnya bertujuan untuk memproduksi barang yang dapat berfungsi sebagai barang ber-”nilai tukar” untuk tujuan akumulasi keuntungan atau sebagai upaya akumulasi modal yang diperoleh dari “nilai lebih” barang hasil produksi. Engels menjelaskan “kapitalis tidak menghendaki nilai pakai diproduksi demi untuk nilai pakai itu sendiri, tetapi hanya sebagai tempat penyimpanan nilai tukar dan teristimewa nilai lebih” (Engels, 2002: 78).
Maka secara umum pula, relasi produksi tidak lain merupakan keseluruhan yang tercakup dalam proses produksi untuk menciptakan atau memproduk komoditas. tak peduli, bagaimana proses produksi tersebut dijalankan, dan tak peduli pula, apa yang terjadi pada setiap elemen yang terlibat dalam proses produksi. Yang terpenting, proses tersebut bisa menghasilkan produk atau komoditas baru untuk dipertukarkan dalam rangka untuk mengakumulasi modal. Marcuse menjelaskan, “Setiap produk kerja, sebagai komoditas, bisa dipertukarkan dengan produk kerja lainnya. Ia mempunyai nilai tukar (exchange value) yang sama dengan semua komoditas lainnya” (Marcuse, 2004: 245). Inilah yang menjadi tujuan akhir dari proses produksi.
Jadi relasi produksi dapat dibatasi pada kesimpulan, sebagai proses produksi yang melibatkan bahan baku, alat-alat produksi, buruh (tenaga kerja), untuk menghasilkan komoditas baru yang tidak sekedar diorientasikan sebagai komoditas atau barang ber-nilai pakai, tapi lebih sebagai komoditas atau barang ber-nilai tukar agar bisa dipertukarkan untuk kepentingan akumulasi modal yang cenderung di peroleh pada nilai lebih yang dimiliki oleh setiap komoditas atau barang yang dihasilkan dari kerja buruh.

3.    Pemilik Modal
Pemilik modal (dalam makna industrialisasi modern, dimana marxisme mendasarkan analisisnya), tidak terlahir secara spontan dalam proses yang terjadi dengan sendirinya (secara alamiah). Kepemilikan atas modal dalam industrialisasi (sebagaimana fokus kita) dimulai dari kepemilikan atas tanah. dengan adanya perubahan hubungan perbudakaan menjadi orang-orang pekerja sewaan, dan dibarengi dengan berhembusnya badai revolusi industri, perubahan ini semakin menampakkan cirinya yang hampir sempurna. “pemilik tanah itu sendiri di ubah menjadi majikan industri, yaitu pemilik modal” (Marx, dalam fromm, 2004: 150).
Marx menyatakan, “Pemilik tanah mengenal pemilik modal sebagai budaknya kemarin yang tidak lagi tersubordinasi, bebas dan kaya, dan menganggap dirinya sebagai pemilik modal yang mendapat ancaman dari pemilik modal tersebut. Pemilik modal melihat pemilik tanah sebagai majikannya kemarin yang malas, kejam, dan angkuh; dia mengetahui bahwa dia menyakitinya karena kini menjadi seorang pemilik modal, dan bahwa industri merupakan penyebab atas kedudukan sosialnya sekarang ini yang signifikan, atas kekayaan dan kesenangannya” (Marx, dalam Fromm, 2004: 151).
Kepemilikan tanah sebagai dasarnya, yang lalu berkembang dan berubah lewat perkembangan dan perubahan-perubahan konstruksi zaman, maka modalpun dikonversi menjadi uang, yang merupakan alat pertukaran. Tapi dalam penjelasan Marxisme, uang bukan saja sebagai alat pertukaran, tapi lebih khusus uang merupakan “modal” yang akan terus diakumulasi menjadi modal-modal baru yang terus beranak-pinak. Engels menjelaskan, “Secara historikal, modal senantiasa menghadapi pemilikan tanah pada awalnya sebagai kekayaan, modal dari sang saudagar atau lintah darat dan bahkan pada dewasa ini semua modal baru mula-mula muncul di atas panggung dalam bentuk uang yang dalam proses-proses tertentu mesti ditransformasi menjadi modal (kembali)” (Engels, 2002: 68).
“Pemilik modal dan pemilik tanah adalah pihak yang mengeksploitasi pekerja. Jika semua nilai adalah produk dari tenaga kerja, maka semua profit (laba) yang diterima oleh pemilik modal dan pemilik tanah pastilah merupakan “nilai lebih” yang diambil secara tidak adil dari kelas pekerja” (Skousen, 2009: 185). “marxis kelak mencirikan kapitalisme dan bisnis besar sebagai imperialistik, mengeksploitasi buruh asing dan sumber daya asing” (skousen, 2009: 187).
Perkembangannyapun mengglobal, bukan lagi hanya berlangsung pada konteks-konteks kewilayahan tertentu, tetapi mulai bergerak menerobos batas-batas antar negara bangsa. Juga tidak hanya berlangsung pada satu sektor industri, tapi mulai merambah keberbagai sektor. ‘Kapitalis disibukkan oleh upaya menaklukkan pasar baru dan oleh upaya eksploitasi lebih menyeluruh terhadap pasar lama” (Marx, dalam Skousen, 2009: 187)
“Sang kapitalis adalah pejuang demi labanya” (Engels, 2002: 9), “sang kapitalis membeli tenaga kerja di pasar dan membuatnya bekerja untuk dirinya agar pada gilirannya menjual produknya” (Engels, 2002: 15). “Produksi barang dagangan, sirkulasi barang dagangan dan bentuk perkembangan yang disebut terakhir, perdagangan, selalu merupakan karya dasar darimana modal itu timbul” (Engels, 2002: 68).
Maka dapat disimpulkan bahwa, Pemilik modal dalam penjelasan marxisme lebih sebagai aktor yang memiliki peran sebagai agen penindas. Pemilik modal atau Kapitalis mengacu pada orang atau sekumpulan orang yang memiliki hak dan kewenangan dalam mengendalikan relasi-relasi atau proses produksi. Sekaligus sebagai pemilik yang sesungguhnya atas seluruh aspek dalam relasi-relasi produksi (modal, bahan baku, alat-alat, pekerja/buruh, hasil produksi, profit) yang dikendalikannya.

4.    Konsep Buruh
Tak banyak berbeda dari beberapa konsep yang telah dikemukakan diatas, tidak ditemukan sebuah definisi yang bersifat runtut untuk menjelaskan tentang apa pengertian buruh dalam term marxisme. penjelasan-penjelasan tentang buruh acapkali berkutat pada makna buruh atas lingkungan sosialnya, atau dengan kata lain, buruh tidak didefinisikan pada satu pemaknaan yang khusus tapi cenderung didefinisikan dalam benturannya dengan realitas sosialnya. tapi beberapa penjelasan Marx maupun para pemikir besar Marxisme pasca Marx, dapat sedikit memberi keterangan yang dirasa cukup untuk memberi pengertian tentang apa itu “buruh”.
Marx menyatakan “Buruh pasti menghasilkan intan permata bagi orang-orang kaya, tetapi hanya menciptakan kemelaratan bagi dirinya. Buruh membangunkan istana, tetapi gubuk bagi dirinya. Buruh menghasilkan kecantikan, tetapi cacat yang diterimanya. Orang-orang kaya menggantikan buruh dengan mesin, tetapi melemparkan sebagian pekerjanya kembali ke pekerjaan barbarian dan menganggap sebagian lainnya seperti mesin. Buruh menghasilkan kecerdasan, namun kebodohan dan hambatan pertumbuhan yang diperolehnya” (Marx, dalam Fromm, 2004: 129).
“Dibandingkan dengan berkembangnya borjuasi, artinya, kapital, maka dalam derajat yang itu juga proletariat, kelas buruh modern, telah berkembang. Suatu kelas kaum pekerja yang hanya hidup selama mereka mendapat pekerjaan, dan hanya mendapat pekerjaan selama kerja mereka (dapat) memperbesar kapital. Kaum pekerja ini yang hanya menjual dirinya sepotong-sepotong adalah suatu barang dagangan seperti semua barang dagangan lainnya, dan karenanya diserahkan mentah-mentah kepada segala perubahan dalam persaingan, kepada segala perguncangan pasar…, massa kaum buruh yang dikumpulkan dalam pabrik diorganisasi seperti serdadu…, mereka tidak hanya menjadi budak borjuis dan budak negara borjuis saja; mereka itu setiap hari dan setiap jam diperbudak oleh mesin-mesin, oleh mandor-mandor, dan terutama sekali oleh tuan pabrik borjuis orang-orang itu sendiri…” (Karl Marx, manifesto of the communist party, rumah kiri).
Herbert Marcuse memberi penjelasan, “Pekerja bekerja untuk kapitalis, yang kepadanya ia tunduk, melalui kontrak upah, hasil dari kerjanya. Semakin banyak pekerja itu memproduksi, semakin besar kekuatan modal, dan semakin kecil kesempatan pekerja itu sendiri untuk menikmati hasil kerjanya. Pekerja dengan demikian menjadi korban kekuatan yang ia ciptakan sendiri” (Marcuse, 2004: 230).
“Dalam “kerja upahan”, pekerja menjual tenaganya. Hasil kerjanya lalu menjadi milik perusahaan sehingga dia teralienasi dari produknya sendiri” (F. Budi Hardiman, 2004: 238). 
Secara ringkas, Haramain. dkk, menjelaskan “Buruh adalah objek bagi industri’ (Haramain, dkk, 2003: 13)
bebrapa pernyataan ini memberi kesimpulan bahwa buruh adalah makhluk manusia yang menjual diri (tenaga kerjanya) kepada pembeli (pemilik modal) lewat sebuah transaksi bebas (sebagaimana layaknya pertukaran yang umum berlangsung di pasar-pasar), untuk bekerja dan mengabdikan tenaga serta kemampuannya demi kepentingan kapitalis (pemilik modal), untuk memproduksi komoditas tertentu. Tanpa peduli sejauh mana implikasi kontrak kerja dan pengabdiannya tersebut bagi dirinya sendiri.  

5. Alienasi
dalam term marxisme memiliki dua penjabaran makna, yakni; alienasi yang lahir dari penghayatan dalam esensi keber-agama-an, serta alienasi yang disebabkan oleh hubungan-hubungan produksi. Guna mencegah pembiasan makna, maka alienasi dalam konteks ini cenderung mengartikan makna alienasi dalam pengertian yang kedua. Konsep alienasi menduduki peran yang cukup sentral dalam mengungkap makna yang paling esensi dari hubungan-hubungan produksi. Alienasi dalam konteks ini merupakan bagian dari makna atas eksistensi buruh, sebagai diri yang tercerabut dari akar hakikatnya, kenyataan ini tidak bisa dilepas-pisahkan dari problematika dalam hubungan-hubungan produksi.
beberapa pernyataan selanjutnya, adalah merupakan bagian dari kepentingan untuk mengungkap pengertian alienasi sesuai dengan konteks dan batasan penulis.
Marx menyimpulkan bahwa alienasi aktifitas praktis, kerja, berasal dari 2 (dua) aspek: (1). hubungan pekerja dengan produknya sebagai objek asing yang menguasainya, (2). hubungan kerja dengan tindakan produksi dalam kerja (Marx, dalam Fromm, 2004: 132).
“Objek yang dihasilkan oleh kerja, yaitu produknya, Nampak sebagai entitas asing, suatu kekuatan yang menjadi terlepas dari pembuatnya…, Pekerja yang terasingkan dari produknya ini, pada saat yang sama, juga terasingkan dari dirinya sendiri. Kerjanya sendiri tidak lagi menjadi miliknya, dan kenyataan bahwa hasil kerjanya menjadi milik orang lain menunjukkan bahwa keadaan ini meruntuhkan esensi manusia. Kerja dalam bentuk yang sebenarnya adalah medium bagi pemenuhan diri manusia, bagi perkembangan penuh potensinya; pemanfaatan secara sadar terhadap berbagai kekuatan alam seharusnya dilakukan untuk kepuasan dan kesenangan manusia…, bukannya mengembangkan energy fisik dan mentalnya yang bebas, pekerja (justru) memperbudak tubuhnya dan menghancurkan pikirannya” (Marcuse, 2004: 231-233).
“Pekerjaannya dengan demikian tidak dilakukan dengan kemauannya sendiri, tapi dibawah paksaan. Ini adalah kerja yang dipaksakan. Oleh karena itu, kerjanya ini bukanlah pemenuhan dari kebutuhan tapi hanya (sebagai) alat-alat bagi pemuasan keinginan” (Marcuse, 2004: 233)
Keterasingan pada substansinya tidak akan terjadi jika pekerja/ buruh, bekerja dibawah kehendaknya yang bebas dan atas tujuan pemenuhan kepentingan dirinya, bekerja dengan mengandalkan waktu dan kesempatan sesukanya tanpa ada tekanan yang berasal dari luar dirinya yang bersifat mengikat dan memaksa. Dan nilai kerja menjadi sesuatu yang dipaksakan dari luar dirinya oleh sesuatu yang mampu memaksakan kuasa dan kehendak atas pekerja, maka dengan sendirinya, pekerja menjadi terlempar dari hakikat dirinya sebagai manusia yang bebas dan merdeka, ia lalu menjadi manusia yang dibelenggu dan kehilangan kebebasan kemanusiaannya. “sebagai akibatnya, manusia pekerja merasakan dirinya bertindak bebas hanya dalam menjalankan fungsi kebinatangannya (animaliknya) seperti makan, minum, dan melahirkan…, binatang yang menjadi manusia dan manusia yang menjadi binatang” (Marcuse, 2004: 232).
“apa yang dihasilkan buruh adalah dirinya sendiri yang telah diwujudkan dalam bentuk objek yang kemudian berubah menjadi benda fisik; produk ini merupakan objektifikasi buruh. Tindakan kerja, pada saat yang bersamaan, merupakan objektifikasinya” (Marx, dalam Fromm, 2004; 126). Penjelasan ini mengisyaratkan bahwa, benda, produk atau dengan kata lain “hasil produksi’, yang pada satu sisi merupakan hasil kerja buruh, pada substansinya juga merupakan bagian dari realisasi diri pembuatnya sendiri. Karena sekali lagi perlu ditekankan bahwa buruh adalah penjual tenaganya sendiri, sehingga ia tidak lagi memiliki dirinya yang bebas, karena kebebasannya telah direnggut lewat sebuah kontrak kerja, yang pada akhirnya menghilangkan esensi dirinya yang hakiki sebagai manusia. Ia tidak lagi menjadi manusia, tapi berubah menjadi komoditas yang berbentuk tenaga untuk bekerja, Nampak sebagai manusia hanya dari ciri fisik dan bentuknya yang masih wajar serta masih sukanya ia terhadap aroma ayam panggang, tapi diri dan esensi kemanusiaannya, telah menjelma menjadi komoditas dagangan.
objek yang diciptakan tersebut juga bersifat memaksa, bersifat menguasai seluruh mekanisme tindakan buruh. Marx menambahkan, “Alienasi yang dialami pekerja dari kerjanya bukan hanya bahwa kerjanya menjadi objek, yang mengasumsikan sebuah eksistensi eksternal, tetapi juga bahwa objek itu berdiri sendiri, diluar dirinya, dan asing baginya, dan bahwa objek ini berseberangan dengannya sebagai sebuah kekuasaan yang otonom” (Marx dalam Fromm, 2004: 127).
Penjelasan ini sangatlah filosofis, maka perlu disederhanakan sehingga tidaklah mesti menimbulkan kerancuan atau kepincangan akal untuk memahaminya. Yang terpenting, esensinya dapat ditangkap meskipun dalam pemahaman yang hampir samar, karena tumpulnya akal yang berpikir. Sekiranya apa yang dijelaskan Denby, dapat memberi sedikit penyederhanaan makna tanpa menghilangkan esensi makna sebagaimana yang dimaksudkan oleh Marx sendiri. Bahwa “alienasi adalah hilangnya diri: kita bekerja untuk orang lain, dan seringkali kita menghadapi apa-apa yang kita produksi dengan ketidakpedulian dan bahkan muak” (Denby, dalam Skousen, 2009: 199).

6.    Konsep Penindasan 
Beberapa konsep dalam kajian pustaka ini, tidak bisa dinafikan, merupakan bagian yang tidak bisa dilepas-pisahkan.
Penindasan, eksploitasi, bahkan penghisapan, dalam term marxisme merupakan tiga kata yang cenderung digunakan secara bergantian untuk mendeskripsikan makna dari kesewenang-wenangan pemilik modal terhadap pekerja/ buruh. Sehingga, menjadi mungkin jika penulis juga memberikan pemaknaan yang sama atas ketiga kata di atas.
Konsep penindasan, eksploitasi, penghisapan, dalam term marxisme menempatkan kapitalis atau pemilik modal pada satu kutub sebagai penindas, dan buruh atau pekerja pada kutub yang berbeda sebagai yang ditindas. Kondisi ini memiliki relevansi yang cukup kental dengan konsep alienasi yang telah disebutkan diatas, pekerja yang mesti bekerja dibawah kontrol kapitalis, dengan nilai upah yang ditetapkan dalam kontrak, dengan nilai kerja yang melebihi batas upah, sehingga menciptakan nilai lebih bagi pemilik modal, tentunya nilai lebih yang diperoleh dari nilai kerja yang tidak terbayar, menjadi dasar asumsi atas tertindasnya buruh, tereksploitasinya buruh, terhisapnya buruh. “selama seluruh periode yang panjang ketika perbudakan menjadi bentuk pengorganisasian kerja yang berlaku, kaum budak terpaksa melakukan lebih banyak kerja daripada yang dikembalikan pada mereka dalam bentuk kebutuhan-kebutuhan hidup” (Engels, 2002: 7).
Penindasan (sebagaimana yang dijelaskan diatas) cenderung berlangsung dalam proses selama buruh bekerja guna memproduksi komoditas bagi kapitalis. Ter-subordinasi-nya buruh pada satu sisi dan status kapitalis yang men-dominasi pada sisi yang lain, melahirkan kecenderungan penguasaan atas aktifitas buruh oleh kapitalis selama bekerja dalam memproduksi komoditas, ada nilai kewajiban yang bersifat mengikat dari kontrak kerja buruh-pemilik modal, sebuah nilai yang menjadikan buruh menyerahkan kebebasannya untuk dikuasai, dikendalikan oleh kontrol-kontrol kewajiban untuk bekerja sambil menghamba kepada pemilik modal. “Peran dari tenaga kerja dalam menghasilkan nilai lebih, serta-merta juga mengeksploitasi tenaga kerja itu sendiri” (Haramain, dkk. 2003: 45).
“…Marx begitu gamblang dan ilmiah dalam menggambarkan proses eksploitasi terhadap tenaga kerja (buruh) itu terjadi. Dimana ia melihat bagaimana nilai lebih yang didapat oleh para kapitalis itu didapatkan dari peran tenaga kerja yang begitu besar…, sementara selisih antara nilai lebih yang diterima oleh para kapitalis itu dengan upah yang diterima buruh selama ini menunjukan kesenjangan yang tajam. Namun atas posisinya dalam proses produksi, buruh seringkali tidak mempunyai kewenangan apa-apa untuk mengambil keputusan, pemilik kapitallah yang memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan” (Haramain, dkk. 2003: 46).  
Sekali lagi, penindasan ini merupakan bagian dari alienasi, dan penindasan ini juga berakibat pada pemiskinan. Sebagaimana dijelaskan Marcuse, “Ketika berubah menjadi produksi komoditas kapitalis, kerja bersifat memiskinkan. Karena semakin besar beban pekerja, semakin kuat dunia obyek yang asing yang ia ciptakan untuk melawannya, dan ia sendiri menjadi semakin miskin… mekanisme ini terjadi dalam upah. Hukum produksi komoditas, tanpa adanya bantuan luar, mempertahankan upah pada tingkat yang memiskinkan (Marcuse, 2004: 231). Artinya, peningkatan akumulasi profit yang juga berimplikasi pada peningkatan akumulasi modal, dapat terjadi ketika beban kerja buruh bertambah (penambahan waktu kerja, atau intensitas pemanfaatan waktu dalam proses kerja), sedangkan pada sisi yang lain, upah tetap berada pada posisi yang stagnan sesuai kontrak, sehingga nilai kerja maksimal tetap tidak berimplikasi pada peningkatan pendapatan pekerja dan hanya berimplikasi secara pincang, yakni menguntungkan pemilik modal, bukankah ini nyata bermuara pada pemiskinan?.
Maka penindasan ini juga merupakan bagian yang tidak bisa dilepas-pisahkan dari ter-subordinasi-nya buruh pada kelas yang didominasi oleh kekuatan-kekuatan kelas yang men-dominasi, yakni kelas kapitalisme. Sebagaimana dijelaskan Marx, ‘Masyarakat-masyarakat modern yang timbul dari runtuhan masyarakat feodal tidak menghilangkan pertentangan-pertentangan kelas. Ia hanya menciptakan kelas-kelas baru syarat-syarat penindasan baru, bentuk-bentuk perjuangan baru sebagai ganti yang lampau” (Marx, Manifesto Communist, rumah kiri)

7. Nilai Lebih 
“Marx berawal dari kenyataan sederhana yang teramat jelas bahwa kaum kapitalis mengubah modal mereka menjadi dana melalui pertukaran; mereka membeli barang-barang dagangan dengan uang mereka dan kemudian menjualnya untuk lebih banyak uang daripada harga pembeliannya. misalnya seorang kapitalis membeli kapas seharga 1000 taler, dan kemudian menjualnya untuk 1.100 taler, dengan demikian memperoleh 100 taler. Kelebihan 100 taler di atas modal asli itu disebut Marx sebagai nilai lebih” (Engels, 2002: 5).
“Menurut asumsi para ahli ekonomi, hanya nilai-nilai setara yang dipertukarkan, dan dibidang teori abstrak, ini benar adanya…, dalam kondisi-kondisi masyarakat sekarang sang kapitalis menemukan di pasar barang-dagangan suatu barang-dagangan yang memiliki suatu sifat khusus, yaitu penggunaannya merupakan suatu sumber nilai baru, merupakan suatu penciptaan nilai baru, barang dagangan ini adalah tenaga kerja…, nilai setiap barang-dagangan di ukur dengan kerja yang diperlukan bagi produksinya” (Engels, 2002: 5-6).
“andaikan bahwa upah mingguan seorang pekerja mewakili tiga hari kerja, maka, apabila sang pekerja bekerja mulai pada hari senin, pada rabu petang ia telah menggantikan bagi sang kapitalis nilai penuh dari upah yang dibayar itu…, sang kapitalis telah membeli kerjanya selama seminggu dan sang pekerja mesti terus bekerja selama tiga hari terakhir dari minggu itu juga. Kerja-lebih pekerja itu, disamping waktu yang diperlukan untuk menggantikan upahnya, adalah sumber nilai-lebih, sumber laba, sumber akumulasi modal yang terus bertumbuh…, kalau sang kapitalis (hanya) menarik (laba) dari sang pekerja itu selama suatu jangka waktu lama hanya sebanyak kerja yang dibayarnya dalam upah (kepada pekerja), maka ia akan menutup pabriknya, karena seluruh labanya adalah sebuah nol besar” (Engels, 2002: 6-7).
“..bahkan laba yang diperoleh pedagang katun dari katunnya didalam contoh diatas, mesti terdiri atas kerja yang tidak terbayar…”, (Engels, 2002: 7).
Jad     nilai lebih, lahir dari proses kerja, keuntungan (profit) dari perdagangan barang hasil-hasil produksi diperoleh dari nilai kerja buruh yang tidak terbayar. Substansinya, saudagar kaya dapat menjual barang hasil produksi, bertransaksi dengan pembeli, dan ia memperoleh keuntungan dari transaksi tersebut, ia memperoleh keuntungan dari barang-barang hasil produksi, maka ia ikut menikmati nilai lebih, nilai kerja buruh yang tidak terbayar. Tapi, mestikah ada royalty yang harus dibayarkan oleh saudagar kepada buruh pekerja atas jasanya dalam memproduksi barang-barang tersebut? Karena saudagar ikut menikmati profit dari barang-barang hasil kerja buruh, tanpa lupa bagaimana cara menghargai jasa buruh pekerja.

8. Kelas Sosial
Dari literatur yang penulis miliki, tidak ada satu tempatpun dalam tulisan-tulisan Marx dimana kita dapatkan definisi tentang kelas. Dia melukiskan dalam istilah-istilah yang konkret tentang perjuangan kelas, penindasan oleh kaum borjuis, konfliknya dengan kaum proletar, dan seterusnya, akan tetapi dia tidak memberikan definisi abstrak tentang kelas-kelas sosial. Tapi beberapa penjelasan dibawah ini tentunya dirasa cukup untuk menemukan substansi kelas sosial sebagaimana pemaknaan kelas sosial seperti makna yang dimaksudkan oleh Marx.
“Pengertian kelas adalah paralel dengan pengertian lapisan tanpa membedakan apakah dasar lapisan itu uang, tanah, kekuasaan, atau dasar lainnya (Soemardjan dan Soemardi, dalam Wulansari”, 2009: 119).
Sebelum Marx, paham tentang kelas didasarkan kurang lebih pada kontras antara yang kaya dan yang miskin, “yang berpunya” dan “yang tidak berpunya”, kelompok-kelompok yang berprivilese dan yang dihisap. Para ahli sosiologi Amerika masa sekarang menganut kembali konsep ini didalam teori-teorinya tentang “strata” sosial yang ditentukan oleh perbedaan-perbedaa didalam standar hidup.
 “Konsep marxis tentang kelas, dan konsep-konsep lain tentang kelas tidaklah kontradiktif, dalam hal-hal tertentu mereka saling melengkapi” (Duverger, 2005: 198).
“Apa yang kita sebut sebagai kelas adalah sekelompok besar orang-orang yang dipertandai oleh posisi yang dipegangnya didalam suatu system yang dibatasi secara historis oleh produksi sosial oleh hubungannya dengan alat-alat produksi, oleh peranannya didalam organisasi sosial, dan dari sini alat-alat pengaturan dan porsi kekayaan sosial yang dipunyainya. Kelas adalah sekelompok orang yang bisa mengambil menjadi miliknya kerja yang dilakukan oleh orang lain, sebagai akibat dari perbedaan didalam posisi yang dipunyainya didalam rezim yang ditentukan oleh ekonomi sosial” (Lenin dalam Duverger, 2005: 190).
“Kelas-kelas sosial didefinisikan oleh hubungan dengan jenis hubungan-hubungan sosial yang tertentu, yang itu sendiri dihasilkan oleh suatu keadaan tertentu dari kekuatan-kekuatan produktif” (Marx dalam Duverger, 2005: 190).
“Lahirnya kelas-kelas sosial adalah karena munculnya dan berkembangnya pembagian kerja secara sosial, munculnya milik-milik pribadi atas alat-alat produksi” (Petit Dictionnaire Philosophique Sovietique, dalam Duverger, 2005: 190).
“Dalam Marxisme, pembagian masyarakat dalam kelas-kelas ditentukan oleh posisi dalam proses produksi” (Lukacs, 2010: 95).
“Seseorang atau suatu kelompok termasuk dalam kelas atas atau kelas bawah sangat ditentukan oleh relasi mereka terhadap alat-alat produksi” (Marx, dalam Wulansari, 2009: 103)
Marx menjelaskan, “…perbedaan antara pemilik modal dan tuan tanah, dan antara buruh pertanian dan pekerja industry, pasti akan terlihat dan keseluruhan masyarakat terbagi menjadi dua kelas, yakni pemilik yang kaya dan pekerja yang miskin” (Marx dalam Fromm, 2004: 124).
“Kelas adalah unit sosial dan ekonomi yang nyata bukan unit individu. Ia mendapatkan eksistensinya yang independen dihadapan individu, sehingga individu medapati eksistensinya sudah ditentukan sebelumnya, dan karenanya kehidupannya dalam kehidupan serta perkembangan pribadinya ditentukan oleh kelasnya dan menjadi tunduk dibawahnya” (Marcuse, 2004: 240).



Daftar Pustaka


Engels, Friedrich. 2002. Friedrich Engels tentang Das Kapital Karl Marx. Diterjemahkan oleh Ira Iramanto. Jakarta: Hasta Mitra.

Marx, Karl. 2004. “Manuskrip-manuskrip Tentang Ekonomi dan Filsafat“, hal. 113-288 Dalam Konsep Manusia Menurut Marx, oleh Erich Fromm. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Lukacs, Georg. 2010. Dialektika Marxis: Sejarah dan Kesadaran Kelas, Diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta. Ar-Ruzz Media.

Trotsky, Leon. 2009. Revolusi Permanen, Diterjemahkan oleh Ted Sprague. Yogyakarta. Resist Book.

Hill, Christopher. 2009. Lenin: teori dan Praktek Revolusioner, Yogyakarta. Resist Book.

Marcuse, Herbert. 2004. Rasio dan Revolusi, Diterjemahkan oleh Imam Baehaqie, Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Diterjemahkan oleh TW Utomo dan Yusup Priya Sudiarja. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Suseno, Franz Magnis. 2005. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Suseno, Franz Magnis. Dalam Bayang-bayang Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Budi Hardiman, Fransisco. 2004. Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Haramain, Abd. Malik. dkk. 2003. Pemikiran-pemikiran Revolusioner, Malang. Averroes Press.

Malaka, Tan. 2000. Dari Penjara Ke Penjara, Jilid I - III, Jakarta. Teplok Press.

Malaka, Tan. 2000. Madilog, Jakarta. Teplok Press.



Jangan sekali-kali menjadi penjiplak karya orang lain…
Harus malu pada Tuhan, mesti malu pada diri sendiri,
Menjadi penjiplak, menandakan dangkalnya pikiran…!!!,
dan kalau tetap ingin menjiplak, mohon tinggalkan komentar...,
semoga postingan ini memberi manfaat...,
oh iya, jika butuh pustaka yang lebih lengkap terkait postingan ini, silahkan ke Facebook saya...