Senin, 28 Maret 2011

FILSAFAT HIDUP


Hidup sebagai manusia seutuhnya, yang tidak pernah menengadahkan wajah ke langit ketika didera kepahitan, dan tidak lupa menjamah bumi dengan satu kedipan mata ketika bahagia mencandra. Terasa utuh, selalu merasa lebih, lalu puas dengan apa yang dimiliki. Tidakkah ini yang diajarkan oleh setiap agama? Lalu apa yang terlintas dibenak orang-orang tamak itu, ketika mereka bergumul dengan kemunafikan untuk mengejar pemenuhan kepuasan diri yang sudah tidak pada tempatnya?. Beragama bukan berarti pasrah pada kehendak Tuhan, beragama juga bukan berarti harus senantiasa menengadahkan tangan ke langit untuk menjadi peminta-minta dihadapan Tuhan Yang Maha Agung. Memalukan, terlalu memalukan jika kita dengan wajah bebal dan seolah tanpa dosa lalu bersujud sambil menangis tersedu di hadapan Tuhan agar diberi rezeki berlimpah demi kepuasan jasad yang kotor, berdaki, dengan bau keringat serupa aroma Iblis maha durjana.
Ada banyak manusia yang tidak tahu diri, hidup dengan tinggi hati, angkuh, sombong. Orang semacam ini sungguh teramat sangat buta mata hatinya, gelap gulita nuraninya. Jika bertemu si miskin dengan baju rombeng, usang, compang-camping, tidak akan sudi ekor matanya menoleh, terlalu hina jika matanya yang indah dengan retina yang molek lalu melirik dan mendapati sesosok manusia maha gembel berwajah jelek nan buta aksara itu. Pantaskah dia hidup, seseorang yang teramat angkuh semacam ini?, kitapun tidak akan mampu memberi jawaban yang memadai untuk pertanyaan konyol semacam ini. Lagipula, hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada diri setiap orang sejak dilahirkan, hak yang tidak bisa dikurangi ataupun dihilangkan oleh siapapun dan atas alasan apapun.
Pada ruang dan waktu yang berbeda, kita temukan sejumlah manusia yang hidup dalam harmoni, tapi sungguh miskin papa, teramat sangat miskin sehingga pakaian dalam pun tidak kuasa mereka beli. Tapi mereka sungguh sekumpulan manusia yang sadar diri, yang tahu diri bahwa mereka hanyalah sekumpulan manusia inferior, bahkan untuk menjual diri sebagai budak pun tidak akan ada yang sudi membayar mereka dengan duit yang terlampau suci dan istimewa nilainya bagi mereka yang kaya dan “ber-ada”. Mereka benar-benar sadar diri, bahwa harta, kuasa dan jabatan tidak ditakdirkan untuk menjadi milik mereka, karena mereka hanyalah sekumpulan manusia hina yang buta aksara tak berpengetahuan. Mereka hanya bisa terlelap dan bermimpi dari balik bilik bambu rumah tempat mereka melepas lelah dan berbagi bahagia dan derita diantara mereka.
Antara manusia kaya, punya kuasa, dan berpengetahuan, dengan manusia gembel, miskin papa, yang buta aksara. Antara manusia angkuh, sombong, dan tinggi hati, dengan manusia yang tahu diri, yang sadar diri atas makna dan hakikat kemanusiaannya yang hina dina, sungguh sebuah kontradiksi. Inilah paradoks yang nampak nyata dalam sejarah manusia.
Harta, jabatan, kuasa dan pengetahuan, bukan sekedar pemberian Tuhan, ia lahir dari proses tertentu, berangkat dari sebuah niat dan motivasi tertentu yang dibarengi dengan kiat dan kerja keras yang tidak mengenal lelah (entah dengan cara yang lurus dan benar atau dengan cara yang menyimpang dan anti moral), disertai legitimasi Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebaliknya, kemiskinan, buta aksara, tidak berpunya, hadir dari kemalasan dan hidup yang tanpa niat, tanpa motivasi dan kerja keras, juga karena tidak berpihaknya momen dan kesempatan. Wajarkah jika kita harus membagi sejumlah milik kita yang diperoleh dengan kerja keras tak kenal lelah ini kepada mereka yang senantiasa malas, tidak berikhtiar dan tidak berpunya itu? Bukankah ketika kita memulai dari bawah, dengan kerja keras, tak satupun dari manusia-manusia gembel itu yang ikut memberi kontribusi tenaganya untuk membantu? Adilkah jika kita memberi dan adilkah jika kita tidak memberi? Entahlah, karena ini bukan soal Hak dan Kewajiban, ini hanyalah persoalan makna moral dan common sense sebagai manusia.
Tapi siapakah manusia yang begitu berani untuk tidak memberi kepada mereka yang masih kurang, jika ia hidup serba “berlebih”? inilah manusia yang tidak memiliki prasangka kemanusiaan. Hidup bukanlah milik diri sendiri, tapi hidup kita juga berjalin kelindan dengan hidup orang lain, maka hidup kita juga adalah milik orang lain, sebaliknya hidup orang lain juga adalah milik kita.
Jabatan, kuasa, harta, pengetahuan, adalah sumber-sumber status sosial yang hadir, hidup, dan langgeng dalam komunitas manusia. Pengejaran atas atribut-atribut sosial ini merupakan upaya pemenuhan kepuasan diri, karena sebagian orang berpikir bahwa inilah sumber kebahagiaan yang sesungguhnya. Kesimpulannya, pemenuhan kepuasan diri adalah tujuan hidup, tujuan keduniawian yang hakiki. Pemenuhan diri menjadi otoritas tertinggi atas makna kebahagiaan yang sesungguhnya. Sebagian besar manusia mempraktekkan ini. Bahkan seseorang yang “super melarat” sekalipun, acapkali mempraktekkan paradigma ini. Terlebih lagi mereka yang memiliki banyak peluang dan kesempatan yang disertai dengan sarana yang cukup tersedia, pemenuhan kepuasan diri telah menjadi orientasi hidup, cita-cita batin, yang bahkan ketika tidur dan bermimpi pun ruang-ruang kosong di batin mereka justru terisi dengan berbagai cita-cita picik ini.
Terlepas dari itu, sebagian kecil orang berpikir bahwa kebahagiaan sesungguhnya lahir dari keterlepasan jiwa dan raga dari atribut-atribut keduniawian. Mengutip Prof. Wei, inilah yang disebut dengan konsep meng-abnegasi dunia (menolak dunia), melepaskan diri dari keterikatan dengan kehendak nafsu duniawi. Kesimpulannya, kehendak nafsu duniawi (yang mengarah pada kehendak pemenuhan kepuasan diri) justru telah membelenggu manusia, mengikat manusia dalam kemelaratan yang esensi. Karena jiwa tidak lagi bebas dan merdeka untuk berbuat, jiwa menjadi terikat dengan berbagai nafsu dan keserakahan, selanjutnya berbagai nafsu dan keserakahan yang telah menyatu dengan batin dan keseluruhan system hidup seseorang, justru kembali memenjarakan batin manusia, ia lalu seperti memiliki kewajiban untuk menjaga seluruh “miliknya”, agar tidak kehilangan. Maka kebahagiaan tertinggi bisa ditemukan ketika seseorang melepaskan diri dari kepentingan dan nafsu duniawi. Inilah yang dijalani oleh para sufi, inilah yang dijalani oleh para pertapa, para biksu, pendeta, dan lain sebagainya. bagi para sufi, cinta kepada Allah menjadi tujuan hidup. bagi para pertapa, menyatukan jiwa dengan roh alam dapat menjadi kunci untuk mencapai kebahagiaan yang tertinggi. Para biksu beranggapan bahwa samadi dapat membawa manusia pada terang nirvana (nirwana). Bagi para pendeta Hindu, mencapai moksa menjadi kunci kebahagiaan yang hakiki.
Antara mencintai dunia dengan segala dimensinya, dan membenci dunia beserta berbagai atribut kegilaan yang melingkupinya, Inilah persimpangan yang membuat ambigu kesimpulan. Tapi apakah ini merupakan lokus kewajiban yang mengharuskan orang untuk memilih diantara keduanya? Kenapa diri tidak dibiarkan bebas untuk tidak memilih salah satu diantara keduanya!, tidak salah batin ini jika punya kesimpulan sendiri tentang makna hidup, makna kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Batin ini punya kesimpulan sendiri, begitu juga batin kami, batin kita, batin kalian, dan batin mereka.
Filosofi dan makna hidup bukan saja menjadi milik mereka yang beragama, filosofi hidup juga menjadi milik mereka yang tidak beragama, bahkan hewan, tumbuhan, mikroba, dan sebagainya mereka makna hidup mereka sendiri, sebuah makna yang hanya dapat dimengerti dan dimaknai oleh mereka sendiri. Apalah guna beragama jika kita hanya dijerumuskan kejurang kebencian, dan sikap menistakan penganut agama yang lain sambil ber”mulut-besar” bahwa agama kitalah yang paling benar. Apalah makna harta, jabatan dan kuasa jika kita hanya dijerumuskan kejurang kekerdilan nurani dan menganggap manusia yang lain sebagai lebih rendah dan tanpa martabat, tanpa harga diri dan kehormatan. apalah arti kepintaran, kecerdasan, jika memaknai esensi diri dan kehidupan saja nalar kita sudah tak kuasa. Apalah arti kecantikan, wajah sayu, molek nan indah jika hanya menjadikan kita lupa diri bahwa sesungguhnya kita hanyalah makhluk hina dari tanah yang busuk, berlumpur, yang kebetulan masih wangi dan indah ketika roh masih mencintai jasad, dan berubah menjadi bangkai buruk menjijikkan jika roh pergi tanpa permisi.
Hidup adalah harmoni. Kehidupan menuntut harmoni. Tuhan menciptakan manusia, memberi pengetahuan dan agama kepada manusia, kecantikan, kekayaan kepada manusia, bukan untuk saling mencela dan mengumbar ke-aku-an. Keseluruhan nilai itu bersifat universal, juga menjadi hak alam sepenuhnya. Tugas manusia yang kebetulan memilikinya adalah mengelolanya dalam harmoni, memanfaatkannya untuk membangun harmoni, antara sesama manusia, bersama alam, mewujudkannya dalam imajinasi dan kehendak Tuhan yang tersirat. Semua agama sama, semua manusia sama. Tidak ada yang lebih baik dan lebih mulia dibanding yang lain. Jangan egois, jangan memaksakan apa yang berada di otak, nalar, dan hati sendiri, agar berada juga didalam otak, nalar, dan hati orang lain. Setiap agama sudah dibekali dengan beragam prinsip dan ajaran tentang harmoni, demikian pula setiap manusia sudah dibekali dengan akal, nalar dan hati untuk berpikir dan merasa. Tidak saja berpikir dan merasai diri sendiri, tapi juga berpikir dan merasai orang lain sebagai diri yang sama dan satu.
Inilah esensi ber-harmoni, karena inilah tujuan hidup. Bukankah teramat bahagia jika kita berada dalam damai dan harmoni? Apa guna saling mencaci, melukai hati, membenci, dan mengkerdilkan hati yang agung? Tidakkah setiap agama dan setiap hati manusia senantiasa mengajarkan agar kita berharmoni dalam damai? Lalu untuk apa berwajah mesum dan durhaka?

Senin, 14 Maret 2011

MENGINTIP KELAS SOSIAL DARI JENDELA MARXIST



Oleh: Pardin Isa

pemaknaan atas kelas sosial telah memberi pengertian yang terlampau beraneka rupa terhadap penulis. Bagi penulis, kelas sosial (berdasarkan alasan teoritik manapun juga), tetaplah merupakan fakta perjenjangan, yang secara umum membagi masyarakat pada dua struktur kelas. Yang pertama adalah kelas atas yang berada pada posisi yang mendominasi, dan yang kedua adalah kelas bawah yang berada pada posisi yang tersubordinasi. Tak perlu mengikuti Nietzsche yang membagi manusia pada dua kelas sebagai ubermensch dan Untermensch, yang bisa diartikan sebagai manusia-manusia atas dan manusia-manusia bawah (manusia-manusia kawanan). Yang berada pada ubermensch hanya terdiri atas beberapa orang (elit) dan untermensch yang terdiri dari khalayak yang hanya hidup dibawah kendali opini-opini buatan ubermensch.

Juga tak perlu mengacu pada system catur warna dalam hindu (yang kini direduksi maknanya menjadi sistem  kasta), yang membagi masyarakat kedalam empat klasifikasi, yakni; Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Meskipun dalam beberapa penjelasan ke-empat kasta ini memiliki hubungan timbal balik yang saling memenuhi dan saling menguntungkan (hubungan yang bersifat horisontal), akan tetapi, tetaplah ada system norma yang memberi sekat, yang membatasi hubungan diantara mereka. Yang satu sebagai yang inferior, dan yang satu sebagai yang superior (sehingga menjadi hubungan yang bersifat vertikal), dikarenakan hak-hak sosial mereka yang cenderung berbeda karena diatur dan dibatasi oleh norma yang dilegitimasi entah oleh aspek agama (doktrin Hindu), atau entah oleh kebudayaan mereka yang memang cenderung untuk terus dipertahankan.

Pada sisi yang berbeda, marxisme memiliki perspektif yang juga berbeda. Kelas sosial menurut Marx lahir dari hubungan-hubungan produksi. Hubungan-hubungan produksi yang dimaksud tidak hanya terjadi pada dunia modern, dimana makna kata produksi cenderung direduksi sebagai “in-put, prosess, out-put” dalam industri-industri modern. Akan tetapi lebih dari itu, kata “produksi’ juga telah memperoleh maknanya sebelum era industrialisasi, ketika “Petani” menjadi sekawanan manusia penghasil komoditas pertanian bagi kaum borjuis, bahkan ketika perbudakan masih menggejala, ketika para budak di timur tengah membangun Pyramid untuk Pharao, atau ketika rakyat China membangun The Great Wall untuk melindungi kekuasaan Shih Huang Ti. Ini adalah sejarah panjang eksploitasi manusia atas manusia, ini juga merupakan fakta penindasan manusia atas manusia, dan inilah fakta klasifikasi manusia, peng-kelas-an manusia, antara kelas atas (yang memberi perintah) dan kelas bawah (sebagai yang hidup dibawah perintah).

Revolusi industri (utamanya), telah menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma pembangunan ekonomi dan akumulasi kekayaan, dari yang sebelumnya bersifat tradisional (yang pada umumnya masih mengandalkan tanah sebagai modal akumulasi kekayaan) lewat kaum borjuis pemilk tanah, lalu menjadi lebih modern lewat industri-industri (entah industri apapun itu). Dan dari petani sewaan berupah, menjadi buruh pekerja berupah. Perubahan-perubahan ini tetap tidak merubah satu prinsip yang khas, yakni mekanisme penindasan terhadap kelas pekerja (entah buruh tani atau buruh industri).

Marx sungguh tajam dan analitik, Ia menyimpulkan bahwa sesungguhnya kaum kapitalis telah memanggil roh kelas yang akan menghancurkan dirinya sendiri, yakni kelas proletar. Seolah-olah, kaum (kelas) kapitalis sedang menggali lubang untuk kuburannya sendiri. Proses eksploitasi yang berlangsung akan menciptakan kemiskinan bagi banyak orang, dan pada sisi lain akan menghasilkan kekayaan bagi sedikit orang. Sungguh ironis, bahwa kelas tertindas ini suatu saat akan bangkit dengan kekuatan tiada tara, dengan kuantitas yang tidak sebanding dengan jumlah kaum kapitalis yang terlampau sedikit, dan kian sedikit. Karena akumulasi kekayaan, juga melahirkan monopoli dan kompetisi yang timpang. Akan semakin banyak orang yang terseret masuk ke barisan kelas proletar, karena mereka menjadi jatuh miskin diakibatkan oleh ketidak-mampuan mereka untuk bersaing dan berkompetisi dengan para kapitalis yang memiliki kapital (modal) dengan jumlah yang kian hari kian menumpuk. Seolah-olah, akan muncul barisan-barisan sakit hati yang siap bergabung dengan kaum proletar untuk menghancurkan kapitalisme.

Kata Marx “sejarah perjuangan manusia adalah sejarah perjuangan kelas”, yang menandakan bahwa dalam setiap etape sejarah, kelas pekerja adalah mereka yang tereksploitasi dan tersubordinasi, menjadi pejuang yang berjuang untuk bebas dan merdeka. Hanya saja, perjuangan kelas-kelas yang tersubordinasi ini senantiasa lahir tanpa kesadaran kelas yang kokoh serta tanpa landasan teori, tanpa landasan ideologi yang kokoh. Maka analisis Marx menjadi kunci untuk memberi landasan pada kesadaran kelas, membongkar detail mekanisme eksploitasi untuk melahirkan teori yang mumpuni, dan memberi pijakan ideologis yang revolusioner. Buruh pekerja harus memahami dunianya agar mereka bergerak dengan berkelompok, dengan mata terbuka dan kepala berisi.

Apa tujuan perjuangan kelas tertindas ini? Ya, untuk meciptakan masyarakat yang tanpa kelas. Sebuah masyarakat dimana setiap orang diberi sesuai kebutuhannya dan bekerja sesuai kemampuannya. Apakah ini rasional? Entahlah, tapi inilah yang menjadi fokus perdebatan seputar sisi utopisme dalam konsep-konsep Marx, yang tidak perlu kita perdebatkan dalam kesempatan ini, karena bukan hak kita. Karena kita bukan creator, kita hanyalah sekumpulan manusia follower yang tidak tahu diri. Dan entah utopia itu berasal dari Marx, atau berasal dari Thomas Moore (sebagaimana pendapat Franz Magnis-Suseno), tetap tidak akan merubah kenyataan sejarah, bahwa Marx telah ”melemparkan saputangannya ke wajah dunia”, sapu tangan usang berdaki yang telah memberi warna tersendiri (meskipun sedikit berdaki) terhadap sejarah umat manusia.

Penulis tidak ingin berpanjang lebar lagi, terlalu lelah untuk menulis cuplikan-cuplikan yang tidak berguna semacam ini. Penulis tidak memperoleh duit sesenpun dengan menyebarkan tulisan ini ke forum maya, tapi inilah keinginan penulis. Bagaimanapun juga, apa yang penulis sampaikan bukanlah omong kosong belaka, itulah yang penulis tahu dan penulis pahami. Penulis hanya ingin memberi sedikit cuplikan, tanpa keinginan untuk memberi tahu dan memaksakan apa yang diketahui agar dijadikan referensi bagi yang berniat untuk “mencuri” cuplikan ini. sungguh tidak seorangpun manusia berotak waras yang berani berkata bahwa “saya telah mengajari seseorang dengan banyak hal, karena orang itu tidak mengerti apa-apa”. Sungguh picik jika ada yang berani berujar demikian.***.

Jumat, 11 Maret 2011

ANTARA SOSIALISME DAN KAPITALISME


-          Sosialisme

Sosialisme mengajari kita untuk bertenggang rasa, mengajari kita untuk merasa dalam diri orang lain, memaknai hidup kita dalam hidup orang lain. Berbuat demi komunitas, mengabdi demi komunitas, berkarya demi komunitas. Sosialisme (pada sisi tertentu) menganggap bahwa “kita semestinya hidup demi orang lain, dan sebaliknya orang lain harus hidup untuk kita”. Sosialisme begitu sangat mencintai solidaritas dan kekompakan komunitas. Kata Marx, “setiap orang bekerja sesuai kemampuannya, dan setiap orang diberi sesuai kebutuhannya”. Sebuah konsep hidup yang mengindikasi makna keluhuran yang sesungguhnya, sebuah konsep hidup yang mengisyaratkan bahwa sesungguhnya semua manusia harus berbuat adil dan setimpal kepada sesama, sebuah konsep hidup yang menghendaki adanya kesejahteraan kepada semua, jangan ada manusia yang mengeksploitasi manusia yang lain. 

Semua manusia harus berada pada strata kelas yang sama, tidak ada yang berada pada kelas atas, dan tidak ada yang berada pada kelas bawah. Semuanya terspesialisasi pada beragam kelompok profesi, tapi tetap menjaga keutuhan komunitas dengan mengarahkan tujuan pada kepentingan bersama. Mungkin inilah yang dimaksud dalam istilah sosiologi sebagai diferensiasi sosial, individu-individu terfragmentasi dalam beberapa kelompok sosial yang didasarkan atas profesi masing-masing (tertentu), tapi pengelompokan ini sungguh nyata, ada tanpa aroma kelas. Artinya, tidak ada ciri hierarki atau perjenjangan, bahwa individu atau kelompok yang satu berada pada posisi yang lebih tinggi dan mendominasi kenyataan hidup individu atau kelompok masyarakat yang lain. 

Saya ingin sedikit “bermulut besar” untuk menjelaskan ini, bahwa apa yang di impikan Marx, sesungguhnya telah terimplementasi dalam kultur Hindu dengan Catur Warna-nya. Antara Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra, yang terfragmentasi karena faktor profesi. Yakni; Brahmana (Pendeta, Pemuka Agama) sebagai kelompok manusia yang bertanggung jawab atas kehidupan spiritual komunitas, Ksatria (Raja, Bangsawan, Prajurit) yang bertanggung jawab atas kepemimpinan dan sebagai pemberi rasa aman kepada komunitas, Waisya sebagai kelompok para pedagang, petani, tukang ahli, dll, yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan pada komunitas, serta Sudra yang bertanggungjawab untuk membantu pekerjaan rumah-an ketiga kasta (maaf, penulis tetap tidak bisa menghindari istilah yang umum digunakan) yang disebutkan lebih dahulu sehingga ketiga kasta tersebut dapat melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya tanpa terganggu dengan pekerjaan rumah-an masing-masing. Sesungguhnya dari beberapa literatur yang penulis peroleh, “kasta” berbeda dari “catur warna”. Tapi penulis tidak ingin terganggu dengan penjelasan ini. Yang substansi adalah bahwa penulis juga setuju kalau sesungguhnya catur warna (atau mungkin kasta) tidak menganjurkan hierarki. Yang pasti, catur warna tidak berbeda jauh dari utopia Marx, bahwa masing-masing orang harus bekerja sesuai kemampuan dan profesinya demi kepentingan komunitas, serta memperoleh segalanya sesuai dengan kebutuhannya.

Lebih jauh, sosialisme mengamanahkan pengelolaan dan kontrol produksi kepada negara. Negara menjadi salah satu instrument yang bersifat memaksa untuk mengendalikan seluruh proses produksi sampai pada distribusi ekonomi. Konsep ini pernah digunakan oleh Lenin pasca kemenangan kaum Bolshevyk di Russia tahun 1917 yang berimplikasi pada perlawanan para petani dan peternak yang tetap mengehendaki agar hasil pertanian dan peternakan mereka tetap dikelola oleh masing-masing individu pemilik (meskipun tanah pada saat itu telah di rampas oleh negara dari kaum borjuis bangsawan dan dibagi-bagikan kepada petani), perlawanan ini lalu dijawab dengan lantang oleh Lenin dengan kebijakan “tangan besi”nya. Sosialisme lalu mencita-citakan terhapusnya negara, dan menghendaki kembalinya masyarakat pada pengelompokan yang lebih tepat kita sebut sebagai masyarakat “komunisme primitif”. Tapi perlu di catat bahwa, meskipun revolusi bolshevyk berhasil, akan tetapi menurut Lenin, negara (untuk sementara waktu) masih diperlukan karena beberapa alasan (yang tidak perlu penulis sebutkan, karena jika disebutkan, akan kembali membutuhkan penjelasan tambahan yang lebih panjang lebar lagi).

Akan tetapi, sungguh miris dan pilu. Ternyata sosialisme tidak memberi implikasi yang positif terhadap perkembangan dan kemajuan masyarakat. Sosialisme justru berisi “statisme” bahkan degradasi dan keterbelakangan yang teramat parah. Karena sosialisme tidak suka dengan persaingan, sosialisme hanya mencintai watak Kooperatif dan membenci kompetisi. Ini menafikkan watak alamiah manusia yang sesungguhnya suka perang, persaingan, dan kompetisi. Kehidupan adalah konflik, dan dalam tiap detailnya, manusia mengaktualisasikan dirinya.

-          Kapitalisme

Sebaliknya, kapitalisme memiskinkan banyak orang dan memperkaya sedikit orang, para kapitalis adalah makhluk paling durjana yang pernah dilahirkan dimuka Bumi. Tidak ada yang patut kita benci selain sekumpulan orang-orang yang hanya duduk manis di atas kursi sambil melipat kakinya dalam posisi santai, dan dalam tiap harinya mereka menikmati uang dan kekayaan dari hasil keringat orang lain. 

Sejak Smith dan Ricardo, mekanisme pasar bebas dan pembagian kerja dimulai. Adam Smith yang memulai dengan “Laissez Nous Faire” (Prancis; “biarkan kami sendiri”) dan “Invisible Hand”-nya (“tangan-tangan tidak kelihatan”), telah menjadi pemantik lahirnya konsep pasar bebas. Negara tidak harus mengintervensi pasar, negara harus membiarkan pasar bergerak dan tumbuh dengan sendirinya, karena pasar bebas membuka ruang kompetisi, persaingan diantara pelaku pasar, maka tidak lain, hukum survival of the fittest-pun menemukan tempatnya yang hakiki. Siapa yang kuat, maka dia akan survive. Sehingga, para pelaku pasar cenderung untuk terus berkreasi dan berinovasi, karena inilah alasan agar tetap survive. maka tidak bisa dinafikkan, kreasi dan inovasi ini pulalah yang telah ikut memberi kontribusi tersendiri pada percepatan laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang telah dimulai sejak meletusnya revolusi indutri, yang lebih pada kepentingan pasar.

Dan invisible hand-nya Smith, merupakan sebuah utopia, bahwa ketika pasar dibiarkan bebas, maka akan terjadi pendistribusian kesejahteraan kepada semua (karena Smith adalah seorang Professor Filsafat Moral yang juga Humanis). Tangan-tangan tidak kelihatan inilah yang akan mengendalikan pasar, agar tidak terjadi monopoli, agar tidak terjadi ketimpangan kesejahteraan. Akan tetapi, Smith terlampau keliru, Ia tidak mempertimbangkan watak eksploitatif manusia, Ia juga lupa bahwa manusia adalah makhluk pencinta diri yang akan cenderung mengupayakan pemenuhan kebutuhan dan kepuasan diri meskipun dngan mengorbankan orang lain. Mengutip Hobbes “homo homini lupus” dan  “bellum omnes contra omnia”, bahwa manusia adalah pemangsa bagi manusia yang lain” dan akan senantiasa terjadi “perang antara semua melawan semua”, karena faktor ketamakan dan orientasi pemenuhan diri yang tanpa nurani. 

Sementara analisis Ricardo bertumpu pada perdagangan bebas dan pembagian kerja serta keuntungan komparatif. Kebijakan proteksionisme (lebih khusus pada pembatasan ekspor dan impor) harus dihindari, karena perdagangan (terutama perdagangan antar negara) justru dapat meningkatkan surplus pada masing-masing negara. Satu negara tentu tidak akan mampu memproduksi keseluruhan barang (komoditas) dengan kualitas yang sama bagusnya dan dengan biaya yang sama murahnya. Maka perdagangan bebas dapat mendorong terpenuhinya kebutuhan masing-masing negara secara memadai, juga, sekali lagi, bahwa perdagangan bebas dapat meningkatkan surplus masing-masing negara. Ini merupakan bantahan terhadap konsep merkantilisme yang cenderung melihat kekayaan sebuah negara dari jumlah simpanan yang dimiliki oleh negara tersebut (semisal logam mulia/emas, dll), karena tanah yang subur, gedung-gedung, perusahaan-perusahaan, perut bumi yang kaya tambang, serta SDM yang handal, juga merupakan kekayaan negara, yang pada saat yang sama akan ikut memberi sumbangan berharga bagi kemakmuran sebuah negara.

Selanjutnya, spesialisasi dan pembagian kerja akan melahirkan keuntungan bersama. Setiap orang harus dispesialisasi pada objek-objek pekerjaan tertentu, sehingga masing-masing individu (sebagaimana konsep perdagangan bebas yang memberi penekanan pada spesialisasi produk masing-masing negara) dapat fokus pada profesinya dan menjadi profesional, mumpuni pada bidangnya. Seorang dokter bedah tidak perlu membuang-buang waktunya untuk duduk dibelakang meja sambil menyodorkan buku tamu untuk diisi para pasiennya, sang dokter hanya perlu menyewa seorang perawat pemula untuk membantunya, sehingga keseluruhan waktunya bisa dipakai untuk mengoperasi para pasiennya secara bergantian (jika seorang dokter bedah dapat mengoperasi seorang pasien hanya dalam waktu 3 jam, maka dalam satu hari ia dapat mengoperasi 3 orang pasien. Bayangkan jika ia bekerja sendiri, dan 3 tiga jam dari waktunya harus dipergunakan untuk melayani pengisian buku tamu calon pasiennya. Katakanlah ketika ia mengoperasi 1 pasien, ia di bayar Rp 4 juta, maka jika ia harus menghasbiskan waktunya 3 jam untuk mengisi buku tamu calon pasien, maka ia telah kehilangan 4 juta dalam 1 hari tersebut. Jika ia menyewa seorang perawat Rp 2 juta/hari untuk membantu melayani pengisian buku tamu pasiennya, maka pendapatan sang dokter bedah dalam 1 hari akan bertambah 2 juta, sebaliknya sang suster menerima upah untuk kebutuhan hidupnya Rp 2 juta setiap harinya. Bukankah dari contoh ini Nampak nyata bahwa spesialisasi benar-benar memberi keuntungan bagi setiap orang?). Dari beberapa contoh yang dikemukakan sang Ricardo kaya nan jenius, maka nampak nyata, bahwa pembagian kerja dan spesialisasi, benar-benar memberi nilai manfaat yang besar kepada setiap orang.

Sayangnya, Ricardo lupa dalam satu hal, bahwa perdagangan bebas, justru mengakibatkan dominasi dan hubungan interdependency yang timpang. Karena, negara-negara tidak berada pada posisi kekuatan ekonomi yang berimbang. Sehingga daya tawar negara dengan kemampuan ekonomi yang masih lemah, menjadi tidak berharga jika berhadapan dengan negara yang memiliki kemampuan ekonomi di atas rata-rata. Dan perdagangan bebas, telah berimplikasi pada penguasaan pasar global ditangan negara-negara dengan kekuatan ekonomi yang lebih.

-          Kesimpulan

Baik itu sosialisme, maupun kapitalisme, sama-sama memiliki plus dan minus. Menjadi sangat mungkin untuk mendamaikan atau bahkan mengkomparasi keduanya. Merubah wajah ekonomi sosialis ke pola yang lebih kompetitif tanpa merubah prinsip dasarnya yang menghendaki distribusi kue yang sama rata dan sama rasa. Atau merubah wajah kapitalis agar lebih humanis. China, negara komunis yang kini telah memulainya. Deng Xiao Ping telah memulainya sejak separuh abad yang lalu. Tanpa ragu, perkembangan ekonomi China sungguh membuat ngeri negara-negara yang sejak beberapa dekade lalu telah menjadi kekuatan utama ekonomi dunia. Nampaknya, satu dekade kedepan, China akan mengambil alih kepemimpinan dunia, tidak hanya kepemimpinan ekonomi, tapi juga kepemimpinan teknologi, politik, dan militer. Demikian halnya dengan India, nampaknya Negeri Mahatma Gandhi ini tidak ingin membiarkan China menjadi single fighter di Asia, produk industry dan manufaktur India pun sudah mulai merambah ke pasar-pasar di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Seolah alam hendak mengembalikan kepemimpinan Peradaban ke tanah asalnya, yakni Asia. 

Bagi penulis, Sosialisme maupun Kapitalisme, telah ikut memberi warna yang sungguh berbeda atas jalannya sejarah. Kita tidak punya pilihan, tapi harus memilih. Alangkah baiknya jika kita bisa melebur keduanya agar saling ada upaya koreksi dalam rangka untuk menemukan konsep yang ideal diantara keduanya. Konsep baru yang lahir dari komparasi diantara keduanya.

***wassalam***



Pustaka
Marx, Karl. 2004. “Manuskrip-manuskrip Tentang Ekonomi dan Filsafat“, hal. 113-288 Dalam Konsep Manusia Menurut Marx, oleh Erich Fromm. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Adhe (Ed.). 2005. Belok Kiri Jalan Terus, Yogyakarta. Alinea.
Agger, Ben. 2009. Teori Sosial Kritis, Diterjemahkan oleh Nurhadi. Yogyakarta. Kreasi Wacana.
Gandhi, Mahatma. 2009. Semua Manusia Bersaudara, Diterjemahkan oleh Kustiniyati Mochtar. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Giddens, Anthony. 2009. Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan: Masa Depan Politik Radikal, Diterjemahkan oleh Dariyatno. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Ritzer,George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern, Diterjemahkan oleh Alimandan. Jakarta. Kencana.
Skousen, Mark. 2009. Sang Maestro “Teori-teori Ekonomi Modern”: Sejarah Pemikiran Ekonomi, Diterjemahkan oleh tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta. Prenada Media Group.
Suseno, Franz Magnis. Dalam Bayang-bayang Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama
Trotsky, Leon. 2009. Revolusi Permanen, Diterjemahkan oleh Ted Sprague. Yogyakarta. Resist Book.
Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Diterjemahkan oleh TW Utomo dan Yusup Priya Sudiarja. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Yap, Leman. 2009. The Best Of Chinese Heroic Leaders, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Kamis, 03 Maret 2011

FILSAFAT WAKTU

Oleh: Pardin Isa

Detik, menit, jam, merangkak ke hari, ke minggu, dan seterusnya. Detak jantung belum terhenti, masih terasa, pertanda bahwa waktu masih terselami, meski dangkal. Waktu adalah sebuah misteri, tak terjamah, tapi terselami. Waktu bukan sebuah abstraksi yang hanya bersemayam dalam rasio, waktu juga bukan sebuah materi yang menempati ruang tertentu. Yakin dan percaya, tidak akan pernah ada satu manusiapun yang mumpuni dalam mendefinisikan waktu. Setiap orang hanya mampu memaknai waktu lewat persepsi dirinya, lewat kesadaran diri, ketika diri menyatu dalam substansi, ketika jiwa dan raga tak terpisah oleh tirai keseharian yang banal, yang terkadang memisahkan esensi jiwa dan raga.

Waktu tak berusia, karena waktu adalah detail usia itu sendiri. Waktu adalah sebuah keabadian, tak terbatas pada ruang, tak terbatas hanya pada persepsi, baik persepsi rasio ataupun persepsi pengalaman. Waktu menjamah setiap zat, masing-masing zat memiliki waktunya sendiri, Tanpa kecuali manusiapun memiliki waktunya sendiri. Waktu juga adalah media, sebuah media tempat bergerak dan berubahnya sejarah. Waktu telah memberi banyak peluang atas berbagai peristiwa.

Lalu, apa sesungguhnya waktu?

kekita kita hidup, kita memiliki satu kehendak, yakni kehendak yang bebas dari intervensi keinginan dan kepentingan diri, kehendak itu adalah keharusan normatif, yakni “untuk menjalani waktu”. Tidak bisa dihindari, setiap substansi, setiap benda, setiap makhluk, tumbuhan, hewan dan manusia, tidak bisa mengelak dari sentuhan waktu. Ia akan senantiasa bersama dengan waktu.

Sekali lagi, apa sesungguhnya waktu?

Kita adalah makhluk manusia yang diberi kelebihan untuk berpersepsi dan berpikir, serta memberi interpretasi dan makna atas segala sesuatu. Kelebihan inilah yang akan coba kita gunakan untuk meng-interpretative understanding esensi waktu.

Kita tidak mungkin berbeda pendapat untuk hal yang satu ini, bahwa waktu merupakan fakta yang terpisah dari kepentingan diri. Waktu memiliki “roh”nya sendiri, yang bebas intervensi, bahkan sebaliknya, segenap tindakan kita terkadang bahkan berada dibawah penguasaan waktu. Termasuk usia kita juga adalah bagian dari “bagaimana waktu berhenti melayani kehendak animalik kita”.

Tapi kita akan berbeda dalam beberapa hal, termasuk tentang bagaimana setiap dari kita memaknai “waktu” kita sendiri. Bagi penulis, waktu adalah takdir, juga waktu adalah lokus kebebasan sekaligus sebagai lokus yang memenjarakan kehendak diri. Waktu tidak hanya sekedar hitungan dari detik ke menit, ke jam, dan seterusnya. Tapi lebih dari itu, waktu adalah sebuah totalitas jagad raya. Waktu tidak mungkin dibatasi oleh ruang, oleh jarak, oleh lokus demografi. Waktu juga tidak bisa dipecah dalam piranti-piranti hitungan berbentuk apapun. Bagi penulis, waktu adalah “pemaknaan”. Yakni, sejauh mana diri memberi makna yang sesungguhnya atas esensi waktu. Antara melakukan pekerjaan yang merupakan hobby (main catur, menyanyi), dan berdiri disuatu tempat sambil menunggu teman kencan yang tidak menetapi janji, adalah dua kegiatan yang dapat memberi kesan yang cukup kontras, terkait bagaimana waktu mengaktualisasikan diri. Meskipun piranti penghitung waktu (semisal jam tangan) menunjukan hitungan yang sama selama dua kegiatan itu dilakukan, akan tetapi, ada perbedaan yang cukup kontras, bahwa waktu yang dilewati dengan bermain catur terasa lebih singkat jika dibandingkan dengan waktu yang dilewati untuk menunggu seseorang yang diharapkan datang tepat sesuai janji.

ketika seseorang melewati malam dengan tidur pulas sambil bermimpi indah, lalu seseorang yang lain harus melewati malam untuk menunaikan kewajibannya sebagai Hansip yang mesti ronda malam, tetap terasa berbeda.

Kenapa bisa?

Karena waktu adalah kesadaran diri. Esensi Waktu dapat dipahami ketika seseorang terjun kedalam diri untuk kembali memaknai dirinya sebagai makhluk yang dikekang dan dipenjarakan oleh waktu, juga sebagai makhluk yang memiliki kesadaran untuk menjalani waktu. Sehingga sekali lagi, waktu hanya dapat dipahami ketika seseorang sedang sadar diri. Keseharian yang banal dapat mengantarkan manusia menjadi makhluk yang hanya hidup tanpa kesadaran diri, karena “waktu” tersubordinasi dibawah kepentingan, “waktu” tersubordinasi dibawah pengejaran atas kebutuhan diri, dengan kata lain, waktu hanya merupakan moment untuk pemenuhan kebutuhan diri.

Di zaman ini, tak ada lagi tempat untuk berkontemplasi, bahkan setiap orang sungguh sangat tidak lagi memahami makna kontemplasi. Sesungguhnya kontemplasi adalah kegiatan untuk kembali mencerna makna diri, kegiatan untuk kembali mencerna “waktu” sambil melekatkan hati kedinding “waktu” yang esensi.

Waktu adalah persepsi jiwa,
Waktu adalah kesadaran, dan
Waktu adalah keabadian.

Selasa, 01 Maret 2011

PANDUAN AGITASI UNTUK REVOLUSI

Dari Saya: Pardin Isa

Kepada para pemantik, kepada bara revolusi yang mengendap.
Ia tak pernah pergi,
dia ada, mengendap di dada ku, di dada mu, di dada mereka, di dada kalian.

temukan mereka satu persatu, bincangkan kehendak massa rakyat, jangan ada bias, jangan ada kelalaian analisa, sinambungkan teori dalam kerangka strategi revolusi.
lalu, bergegaslah, segera konsentrasikan energi untuk memulainya, dan jika pada waktunya,

beragitasilah...!


di sudut-sudut jalan, di emper-emper toko, di barisan-barisan massa si tertindas, terhisap,
buat mereka sadar, buat seluruh api yang mengendap di palung jiwa mereka menjadi terbakar...!
gambarkan kenyataan dunia kepada mereka, hadirkan kesadaran di akal dan pikiran mereka, lalu konstruksi mimpi mereka dalam suatu muara yang sama, buat roh mereka menyatu...!
dan setelah itu,


sematkanlah gelar kepada mereka, bahwa mereka adalah Sang Agung, bahwa mereka adalah Sang Terpilih, bahwa mereka adalah Martir, bahwa mereka adalah Para Syuhada, bahwa mereka adalah Sang Penyelamat...!
lalu ajak mereka berjalan dalam satu barisan, menyeruak di jalanan, di antara hiruk-pikuk sang jelata yang belum tersadar, buatlah seluruh massa pinggiran yang terkejut itu menjadi berani untuk brkumpul dan menyatu kedalam barisan massa yang sama,
dan setelah seluruh barisan massa ini menyatu, maka bulatkan tekad mereka, satukan mereka dalam suatu tujuan yang sama, bahwa kita akan brgerak kedinding benteng musuh untuk menjemput mati, atau untuk mrenggut nyawa mereka yang ditakdirkan untuk binasa.


maka lautan massa ini akan menjadi sepasukan makhluk tak kenal mati yg siap mengganyang, membinasakan. mereka akan mengerang, terus mengerang hingga taringnya menjulur pertanda buas.
sekali lagi...


kepemimpinan massa harus disematkan pada satu tokoh bersuara lantang membahana, yang senantiasa menginspirasi massa dengan teriakan-teriakan agitasinya, dia akan menempatkan komando kepemimpinan massa di telunjuk dan dilidahnya,
dan engkau sang agitator,
ajak seluruh massa itu terus maju, terus bergerak melintasi jalanan, ciptakan ketakutan tiada tara di benak musuh abadimu yang hanya mengintip dari balik jendelanya yang terbuat dari besi baja, ciptakan ketakutan hingga rapuh jiwa manusianya,

teruslah bergerak,

boikot seluruh aktifitas-aktifitas massa rakyat yang lain, terus dan terus ajak mereka untuk memilih hanya pada satu pilihan, yaitu bergabung dan menjadi kuantitas-kuantitas massa yang heroik,
pimpinlah mereka dengan satu tujuan, pimpinlah mereka untuk menuju kebahagiaan atau kematian, tiada yang mulia selain hidup bebas tak tertindas atau mati...!
lalu...


ambil alih seluruh fasilitas-fasilitas penting, gedung-gedung akbar, pusat-pusat komando negara, pusat-pusat informasi dan telekomunikasi, 
kelumpuhan total pada mesin birokrasi negara, kelumpuhan total pada mesin-mesin ekonomi swasta, dibarengi dengan optimalisasi penggalangan dukungan dari dalam dan luar negeri demi kepentingan revolusi, demi simpati dan apresiasi atas revolusi,
kejadian ini akan berlangsung berhari-hari, kejadian ini akan terus menciptakan gelora dan gairah revolusi di darah dan sum-sum massa yang terpimpin, di darah dan sum-sum massa rakyat yang berharap, kejadian ini akan membuka mata dunia, kejadian ini akan semakin meyakinkan massa, bahwa titik noktah revolusi segera tiba,
kejadian ini akan terus menggejala keseluruh penjuru negeri...
dan jika tiba saatnya, dan jika seluruh penguasaan kondisi telah terpusat dalam massa, telah terpusat dalam satu komando, maka manifestokan kepada dunia,
bahwa revolusi telah hadir di tempat ini.
bahwa revolusi telah menjadi maklumat seluruh rakyat negeri.
bahwa kepemimpinan revolusioner telah sah, menjadi penguasa sementara, yang memiliki legitimasi untuk mmbinasakan kelompok-kelompok pro status quo yang masih tersisa. kebijakan tangan besi diundangkan, seluruh aktifitas swasta, seluruh aktifitas makhluk yang mendiami negara berada dibawah kontrol yang ketat, pers dan mesin-mesin penopang opini diberdayakan demi revolusi.

hingga penguasaan kondisi terpenuhi, hingga ada stabilitasi ekonomi dan politik.
jangan ada campur tangan asing, revolusi harus tanpa intervensi asing. karena kita tidak menghendaki bargaining, ataupun hegemoni kepentingan asing pasca revolusi terhadap sumber-sumber kekayaan negara, 
jangan ada bangsa yang menolak revolusi, jika tidak, maklumatkan perang kepada bangsa manapun yang menolak revolusi, yang menolak kepemimpinan revolusioner.

next…



 

Rabu, 16 Februari 2011

MARXISME; RELASI PRODUKSI SEBAGAI DASAR KELAS SOSIAL

 Oleh: Pardin Isa
           
1. Konsep Marxisme
Sejarah marxisme adalah sejarah panjang atas sebuah kerangka pemikiran, doktrin, ideologi yang kontradiktif. Di puja oleh sebagian orang sebagai doktrin pembebasan kaum tertindas, dan pada saat yang sama, di benci oleh sebagian orang sebagai doktrin, sebagai ideologi penebar paham kediktatoran negara atas rakyat yang memiskinkan aspek kebebasan individual, paham penebar semangat komunisme yang anti agama, paham yang menentang kemapanan ekonomi individual. Marxisme adalah sebuah kontradiksi yang tidak hanya melahirkan beragam interpretasi dari yang membencinya, tapi juga melahirkan beragam interpretasi dari yang memuja, meyakini, dan melaksanakannya. Tidak hanya itu, kondisi yang sama juga menimpa penciptanya, Karl Marx.s “Sejak dari buaian sampai liang lahat, hidup marx sendiri penuh kontradiksi” (Skousen, 2009: 167).
Sungguh tidak tepat jika harus menjelaskan autobiografi Marx dalam kesempatan ini, tidak tersedia cukup ruang untuk memberi penjelasan secara panjang lebar, karena fokus kita bukanlah untuk menjelaskan latar belakang Marx dengan segala dimensi petualangan yang di laluinya. Fokus kita hanya cukup pada mengenal siapa Marx, dan apa pengertian Marxisme, sebagai eksponen teoritik, juga sebagai seperangkat ajaran yang berlatar belakang pada nama penciptanya.
Karl Heinrich Marx, dedengkot komunisme, sang nabi komunisme, lahir pada 5 Mei 1818 di Kota Trier (Jerman) yang pada ketika itu masih menjadi bagian dari kekaisaran Prusia. Lahir dari keturunan yahudi, yang berpindah menjadi penganut Protestan, sebagai agama yang umum di anut oleh masyarakat Jerman pada ketika itu. Beristrikan Jenny Von Westphalen dan di karuniai beberapa anak pada perkawinannya. Bersahabatkan seorang anak saudagar Inggris yang kaya raya, Friedrich Engels, kawan sekaligus partner teoritisnya, yang juga banyak memberi kontribusi material pada kehidupan marx yang penuh gejolak dan hampir miskin papa, (sebuah keanehan bagi seorang pengkritik dahsyat kapitalisme, justru hidup dari biaya akumulasi keuntungan kapitalisme).
“Istilah marxisme terkadang cenderung direduksi pemaknaannya kedalam Marxisme-Leninisme, sebagai himpunan pemikiran Marx yang lebih memberi penekanan pada aspek teoritis revolusi proletariat, dan pemikiran Lenin yang lebih memberi penekanan pada aspek praxis dari upaya revolusioner tersebut” (Haramain, dkk, 2003: 23) Akan tetapi tentunya, marxisme tidaklah sesederhana itu, marxisme adalah kumpulan doktrin, marxisme adalah sekumpulan kitab-kitab agitatif, marxisme adalah sekumpulan telaah dan analisis dari seorang manusia genius yang banyak menghabiskan usianya di dalam kamar pribadi sambil menikmati beberapa potong cerutu, dalam ketenangan, dan ketajaman berpikir. “Marxisme adalah ilmu pengetahuan yang padu -dialektis dan historis-, tentang evolusi masyarakat sebagai sebuah totalitas” (Lukacs, 2010: 67). “Marxisme adalah sebuah doktrin revolusi persis karena ia memahami esensi proses… dan karena ia dapat memahami garis perkembangan masa depan. Dan pada saat yang sama, hal ini membuat marxisme menjadi ekspresi ideologis kelas proletariat dalam upayanya membebaskan diri” (Lukacs, 2010: 332). menurut Gramschi (dalam Magnis Suseno, 2005: 178), “Marxisme bukanlah sebuah deskripsi ilmiah realitas masyarakat yang darinya lalu dapat disimpulkan aturan-aturan praktis untuk tindakan politik nyata, melainkan ungkapan kesadaran kelas proletariat…sebuah unsur atau sudut dalam perjuangan praktis proletariat itu. Sedangkan menurut Korsch” (dalam, Magnis Suseno, 2005: 151) “marxisme merupakan teori revolusioner bukan dalam arti bahwa ia mengajarkan sesuatu tentang revolusi, melainkan bahwa teori itu merupakan bagian hakiki dalam pelaksanaan praktis revolusi. Dan Trotsky menyimpulkan marxisme sebagai sebuah metode analisa, bukan analisa atas teks-teks, tapi sebuah analisa atas relasi-relasi sosial” (Trotsky, 2009: 51).
Maka dari sekian banyak penjelasan (yang sesungguhnya sudah terlampau panjang lebar) di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa, “Istilah Marxisme pada prinsipnya mengacu pada himpunan, pembakuan paham Karl Marx dan Friedrich Engels” (Magnis Suseno, 2000: 5), yang mencakup semua segi karya Marx, termasuk karya kolaborasi Marx dan Engels, juga tanpa menafikan kontribusi para pemikir besar pasca Marx yang telah berkontribusi dalam memberi kritik atau bahkan penafsiran baru atas pandangan-pandangan Marx, untuk melengkapi, atau mungkin memberi warna baru pada khazanah pemikiran Marxisme secara lebih umum (teori hegemoni Gramschi, konsep Revolusi permanen Trotsky, adalah dua contoh perspektif teoritik yang tidak pernah dipikirkan oleh Marx, tapi justru menjadi bagian dari Marxisme).

2. Relasi Produksi
Relasi produksi, atau sebagai hubungan-hubungan produksi, yang merupakan akumulasi dari proses atas keberadaan pemilik modal, bahan baku, alat-alat produksi, buruh dan komoditas hasil produksi, merupakan mekanisme dasar terciptanya struktur kelas sosial melalui proses kerja. Mekanisme relasi produksi, tanpa ragu juga akan melahirkan alienasi, nilai lebih, eksploitasi dan penindasan. Jadi keseluruhan prinsip-prinsip dasar penciptaan kelas sosial terakumulasi dalam relasi produksi atau hubungan-hubungan produksi.
“Relasi produksi mempunyai dua kekhususan, pertama, buruh bekerja dibawah pengawasan kapitalis yang menjaga ketat bahwa tidak terjadi sedikitpun pemborosan dan bahwa tidak dipakai lebih daripada jumlah kerja yang secara sosial diharuskan untuk setiap potong kerja individual. kedua, produk itu adalah milik kapitalis” (Engels, 2002: 33).
Marx menjelaskan, “pekerja terbenam sampai menjadi komoditas, bahkan menjadi komoditas yang paling sengsara, Relasi produksi dapat di gambarkan sebagai proses yang berlangsung selama buruh bekerja guna menghasilkan sebuah barang atau komoditas baru” (Marx, dalam Fromm, 2004: 126). Pada sisi lain, relasi produksi sesungguhnya merupakan media tempat berubah fungsinya tenaga kerja buruh menjadi sebuah komoditas baru. “buruh tidak hanya menciptakan barang, tetapi juga sungguh dengan takaran yang sama menciptakan dirinya sendiri sebagai komoditas” (Marx, dalam Fromm, 2004: 126). Dengan kata lain, seorang buruh yang tidak memiliki apa-apa selain tenaganya, lalu menjualnya kepada pemilik modal agar dapat dieksploitasi sesuai fungsi dan tujuannya, agar si buruh dapat bertahan hidup dengan bayaran yang dijanjikan dalam kontrak jual-beli antara diri (tenaga kerja) dengan sejumlah bayaran atas kesepakatan bersama. Seperti juga di jelaskan Lukacs, “pekerja bebas yang secara bebas dapat membawa tenaga-kerjanya ke pasar dan menawarkannya untuk dijual sebagai komoditas yang ia miliki, sebagai sesuatu yang ia punyai dan kuasai” (Lukacs, 2010: 171).
Hubungan-hubungan dalam produksi juga mencerminkan terlaksananya proses akumulasi modal. Karena hubungan-hubungan produksi tidak bisa dilepas-pisahkan diantara bahan baku, alat-alat produksi, buruh, dan hasil produksi, maka hubungan-hubungan produksi menjadi mekanisme dalam mengakumulasi keuntungan menjadi modal-modal baru. “Tujuan akhir produksi yang sebenarnya bukanlah jumlah pekerja yang bisa dipelihara oleh modal awal, tetapi jumlah tabungan yang dihasilkannya, seluruh tabungan setiap tahunnya” (Marx, dalam Fromm, 2004: 147). Karena Hubungan-hubungan produksi, atau proses produksi tidak hanya berorientasi guna memproduk barang ber-“nilai pakai’, tapi sesungguhnya bertujuan untuk memproduksi barang yang dapat berfungsi sebagai barang ber-”nilai tukar” untuk tujuan akumulasi keuntungan atau sebagai upaya akumulasi modal yang diperoleh dari “nilai lebih” barang hasil produksi. Engels menjelaskan “kapitalis tidak menghendaki nilai pakai diproduksi demi untuk nilai pakai itu sendiri, tetapi hanya sebagai tempat penyimpanan nilai tukar dan teristimewa nilai lebih” (Engels, 2002: 78).
Maka secara umum pula, relasi produksi tidak lain merupakan keseluruhan yang tercakup dalam proses produksi untuk menciptakan atau memproduk komoditas. tak peduli, bagaimana proses produksi tersebut dijalankan, dan tak peduli pula, apa yang terjadi pada setiap elemen yang terlibat dalam proses produksi. Yang terpenting, proses tersebut bisa menghasilkan produk atau komoditas baru untuk dipertukarkan dalam rangka untuk mengakumulasi modal. Marcuse menjelaskan, “Setiap produk kerja, sebagai komoditas, bisa dipertukarkan dengan produk kerja lainnya. Ia mempunyai nilai tukar (exchange value) yang sama dengan semua komoditas lainnya” (Marcuse, 2004: 245). Inilah yang menjadi tujuan akhir dari proses produksi.
Jadi relasi produksi dapat dibatasi pada kesimpulan, sebagai proses produksi yang melibatkan bahan baku, alat-alat produksi, buruh (tenaga kerja), untuk menghasilkan komoditas baru yang tidak sekedar diorientasikan sebagai komoditas atau barang ber-nilai pakai, tapi lebih sebagai komoditas atau barang ber-nilai tukar agar bisa dipertukarkan untuk kepentingan akumulasi modal yang cenderung di peroleh pada nilai lebih yang dimiliki oleh setiap komoditas atau barang yang dihasilkan dari kerja buruh.

3.    Pemilik Modal
Pemilik modal (dalam makna industrialisasi modern, dimana marxisme mendasarkan analisisnya), tidak terlahir secara spontan dalam proses yang terjadi dengan sendirinya (secara alamiah). Kepemilikan atas modal dalam industrialisasi (sebagaimana fokus kita) dimulai dari kepemilikan atas tanah. dengan adanya perubahan hubungan perbudakaan menjadi orang-orang pekerja sewaan, dan dibarengi dengan berhembusnya badai revolusi industri, perubahan ini semakin menampakkan cirinya yang hampir sempurna. “pemilik tanah itu sendiri di ubah menjadi majikan industri, yaitu pemilik modal” (Marx, dalam fromm, 2004: 150).
Marx menyatakan, “Pemilik tanah mengenal pemilik modal sebagai budaknya kemarin yang tidak lagi tersubordinasi, bebas dan kaya, dan menganggap dirinya sebagai pemilik modal yang mendapat ancaman dari pemilik modal tersebut. Pemilik modal melihat pemilik tanah sebagai majikannya kemarin yang malas, kejam, dan angkuh; dia mengetahui bahwa dia menyakitinya karena kini menjadi seorang pemilik modal, dan bahwa industri merupakan penyebab atas kedudukan sosialnya sekarang ini yang signifikan, atas kekayaan dan kesenangannya” (Marx, dalam Fromm, 2004: 151).
Kepemilikan tanah sebagai dasarnya, yang lalu berkembang dan berubah lewat perkembangan dan perubahan-perubahan konstruksi zaman, maka modalpun dikonversi menjadi uang, yang merupakan alat pertukaran. Tapi dalam penjelasan Marxisme, uang bukan saja sebagai alat pertukaran, tapi lebih khusus uang merupakan “modal” yang akan terus diakumulasi menjadi modal-modal baru yang terus beranak-pinak. Engels menjelaskan, “Secara historikal, modal senantiasa menghadapi pemilikan tanah pada awalnya sebagai kekayaan, modal dari sang saudagar atau lintah darat dan bahkan pada dewasa ini semua modal baru mula-mula muncul di atas panggung dalam bentuk uang yang dalam proses-proses tertentu mesti ditransformasi menjadi modal (kembali)” (Engels, 2002: 68).
“Pemilik modal dan pemilik tanah adalah pihak yang mengeksploitasi pekerja. Jika semua nilai adalah produk dari tenaga kerja, maka semua profit (laba) yang diterima oleh pemilik modal dan pemilik tanah pastilah merupakan “nilai lebih” yang diambil secara tidak adil dari kelas pekerja” (Skousen, 2009: 185). “marxis kelak mencirikan kapitalisme dan bisnis besar sebagai imperialistik, mengeksploitasi buruh asing dan sumber daya asing” (skousen, 2009: 187).
Perkembangannyapun mengglobal, bukan lagi hanya berlangsung pada konteks-konteks kewilayahan tertentu, tetapi mulai bergerak menerobos batas-batas antar negara bangsa. Juga tidak hanya berlangsung pada satu sektor industri, tapi mulai merambah keberbagai sektor. ‘Kapitalis disibukkan oleh upaya menaklukkan pasar baru dan oleh upaya eksploitasi lebih menyeluruh terhadap pasar lama” (Marx, dalam Skousen, 2009: 187)
“Sang kapitalis adalah pejuang demi labanya” (Engels, 2002: 9), “sang kapitalis membeli tenaga kerja di pasar dan membuatnya bekerja untuk dirinya agar pada gilirannya menjual produknya” (Engels, 2002: 15). “Produksi barang dagangan, sirkulasi barang dagangan dan bentuk perkembangan yang disebut terakhir, perdagangan, selalu merupakan karya dasar darimana modal itu timbul” (Engels, 2002: 68).
Maka dapat disimpulkan bahwa, Pemilik modal dalam penjelasan marxisme lebih sebagai aktor yang memiliki peran sebagai agen penindas. Pemilik modal atau Kapitalis mengacu pada orang atau sekumpulan orang yang memiliki hak dan kewenangan dalam mengendalikan relasi-relasi atau proses produksi. Sekaligus sebagai pemilik yang sesungguhnya atas seluruh aspek dalam relasi-relasi produksi (modal, bahan baku, alat-alat, pekerja/buruh, hasil produksi, profit) yang dikendalikannya.

4.    Konsep Buruh
Tak banyak berbeda dari beberapa konsep yang telah dikemukakan diatas, tidak ditemukan sebuah definisi yang bersifat runtut untuk menjelaskan tentang apa pengertian buruh dalam term marxisme. penjelasan-penjelasan tentang buruh acapkali berkutat pada makna buruh atas lingkungan sosialnya, atau dengan kata lain, buruh tidak didefinisikan pada satu pemaknaan yang khusus tapi cenderung didefinisikan dalam benturannya dengan realitas sosialnya. tapi beberapa penjelasan Marx maupun para pemikir besar Marxisme pasca Marx, dapat sedikit memberi keterangan yang dirasa cukup untuk memberi pengertian tentang apa itu “buruh”.
Marx menyatakan “Buruh pasti menghasilkan intan permata bagi orang-orang kaya, tetapi hanya menciptakan kemelaratan bagi dirinya. Buruh membangunkan istana, tetapi gubuk bagi dirinya. Buruh menghasilkan kecantikan, tetapi cacat yang diterimanya. Orang-orang kaya menggantikan buruh dengan mesin, tetapi melemparkan sebagian pekerjanya kembali ke pekerjaan barbarian dan menganggap sebagian lainnya seperti mesin. Buruh menghasilkan kecerdasan, namun kebodohan dan hambatan pertumbuhan yang diperolehnya” (Marx, dalam Fromm, 2004: 129).
“Dibandingkan dengan berkembangnya borjuasi, artinya, kapital, maka dalam derajat yang itu juga proletariat, kelas buruh modern, telah berkembang. Suatu kelas kaum pekerja yang hanya hidup selama mereka mendapat pekerjaan, dan hanya mendapat pekerjaan selama kerja mereka (dapat) memperbesar kapital. Kaum pekerja ini yang hanya menjual dirinya sepotong-sepotong adalah suatu barang dagangan seperti semua barang dagangan lainnya, dan karenanya diserahkan mentah-mentah kepada segala perubahan dalam persaingan, kepada segala perguncangan pasar…, massa kaum buruh yang dikumpulkan dalam pabrik diorganisasi seperti serdadu…, mereka tidak hanya menjadi budak borjuis dan budak negara borjuis saja; mereka itu setiap hari dan setiap jam diperbudak oleh mesin-mesin, oleh mandor-mandor, dan terutama sekali oleh tuan pabrik borjuis orang-orang itu sendiri…” (Karl Marx, manifesto of the communist party, rumah kiri).
Herbert Marcuse memberi penjelasan, “Pekerja bekerja untuk kapitalis, yang kepadanya ia tunduk, melalui kontrak upah, hasil dari kerjanya. Semakin banyak pekerja itu memproduksi, semakin besar kekuatan modal, dan semakin kecil kesempatan pekerja itu sendiri untuk menikmati hasil kerjanya. Pekerja dengan demikian menjadi korban kekuatan yang ia ciptakan sendiri” (Marcuse, 2004: 230).
“Dalam “kerja upahan”, pekerja menjual tenaganya. Hasil kerjanya lalu menjadi milik perusahaan sehingga dia teralienasi dari produknya sendiri” (F. Budi Hardiman, 2004: 238). 
Secara ringkas, Haramain. dkk, menjelaskan “Buruh adalah objek bagi industri’ (Haramain, dkk, 2003: 13)
bebrapa pernyataan ini memberi kesimpulan bahwa buruh adalah makhluk manusia yang menjual diri (tenaga kerjanya) kepada pembeli (pemilik modal) lewat sebuah transaksi bebas (sebagaimana layaknya pertukaran yang umum berlangsung di pasar-pasar), untuk bekerja dan mengabdikan tenaga serta kemampuannya demi kepentingan kapitalis (pemilik modal), untuk memproduksi komoditas tertentu. Tanpa peduli sejauh mana implikasi kontrak kerja dan pengabdiannya tersebut bagi dirinya sendiri.  

5. Alienasi
dalam term marxisme memiliki dua penjabaran makna, yakni; alienasi yang lahir dari penghayatan dalam esensi keber-agama-an, serta alienasi yang disebabkan oleh hubungan-hubungan produksi. Guna mencegah pembiasan makna, maka alienasi dalam konteks ini cenderung mengartikan makna alienasi dalam pengertian yang kedua. Konsep alienasi menduduki peran yang cukup sentral dalam mengungkap makna yang paling esensi dari hubungan-hubungan produksi. Alienasi dalam konteks ini merupakan bagian dari makna atas eksistensi buruh, sebagai diri yang tercerabut dari akar hakikatnya, kenyataan ini tidak bisa dilepas-pisahkan dari problematika dalam hubungan-hubungan produksi.
beberapa pernyataan selanjutnya, adalah merupakan bagian dari kepentingan untuk mengungkap pengertian alienasi sesuai dengan konteks dan batasan penulis.
Marx menyimpulkan bahwa alienasi aktifitas praktis, kerja, berasal dari 2 (dua) aspek: (1). hubungan pekerja dengan produknya sebagai objek asing yang menguasainya, (2). hubungan kerja dengan tindakan produksi dalam kerja (Marx, dalam Fromm, 2004: 132).
“Objek yang dihasilkan oleh kerja, yaitu produknya, Nampak sebagai entitas asing, suatu kekuatan yang menjadi terlepas dari pembuatnya…, Pekerja yang terasingkan dari produknya ini, pada saat yang sama, juga terasingkan dari dirinya sendiri. Kerjanya sendiri tidak lagi menjadi miliknya, dan kenyataan bahwa hasil kerjanya menjadi milik orang lain menunjukkan bahwa keadaan ini meruntuhkan esensi manusia. Kerja dalam bentuk yang sebenarnya adalah medium bagi pemenuhan diri manusia, bagi perkembangan penuh potensinya; pemanfaatan secara sadar terhadap berbagai kekuatan alam seharusnya dilakukan untuk kepuasan dan kesenangan manusia…, bukannya mengembangkan energy fisik dan mentalnya yang bebas, pekerja (justru) memperbudak tubuhnya dan menghancurkan pikirannya” (Marcuse, 2004: 231-233).
“Pekerjaannya dengan demikian tidak dilakukan dengan kemauannya sendiri, tapi dibawah paksaan. Ini adalah kerja yang dipaksakan. Oleh karena itu, kerjanya ini bukanlah pemenuhan dari kebutuhan tapi hanya (sebagai) alat-alat bagi pemuasan keinginan” (Marcuse, 2004: 233)
Keterasingan pada substansinya tidak akan terjadi jika pekerja/ buruh, bekerja dibawah kehendaknya yang bebas dan atas tujuan pemenuhan kepentingan dirinya, bekerja dengan mengandalkan waktu dan kesempatan sesukanya tanpa ada tekanan yang berasal dari luar dirinya yang bersifat mengikat dan memaksa. Dan nilai kerja menjadi sesuatu yang dipaksakan dari luar dirinya oleh sesuatu yang mampu memaksakan kuasa dan kehendak atas pekerja, maka dengan sendirinya, pekerja menjadi terlempar dari hakikat dirinya sebagai manusia yang bebas dan merdeka, ia lalu menjadi manusia yang dibelenggu dan kehilangan kebebasan kemanusiaannya. “sebagai akibatnya, manusia pekerja merasakan dirinya bertindak bebas hanya dalam menjalankan fungsi kebinatangannya (animaliknya) seperti makan, minum, dan melahirkan…, binatang yang menjadi manusia dan manusia yang menjadi binatang” (Marcuse, 2004: 232).
“apa yang dihasilkan buruh adalah dirinya sendiri yang telah diwujudkan dalam bentuk objek yang kemudian berubah menjadi benda fisik; produk ini merupakan objektifikasi buruh. Tindakan kerja, pada saat yang bersamaan, merupakan objektifikasinya” (Marx, dalam Fromm, 2004; 126). Penjelasan ini mengisyaratkan bahwa, benda, produk atau dengan kata lain “hasil produksi’, yang pada satu sisi merupakan hasil kerja buruh, pada substansinya juga merupakan bagian dari realisasi diri pembuatnya sendiri. Karena sekali lagi perlu ditekankan bahwa buruh adalah penjual tenaganya sendiri, sehingga ia tidak lagi memiliki dirinya yang bebas, karena kebebasannya telah direnggut lewat sebuah kontrak kerja, yang pada akhirnya menghilangkan esensi dirinya yang hakiki sebagai manusia. Ia tidak lagi menjadi manusia, tapi berubah menjadi komoditas yang berbentuk tenaga untuk bekerja, Nampak sebagai manusia hanya dari ciri fisik dan bentuknya yang masih wajar serta masih sukanya ia terhadap aroma ayam panggang, tapi diri dan esensi kemanusiaannya, telah menjelma menjadi komoditas dagangan.
objek yang diciptakan tersebut juga bersifat memaksa, bersifat menguasai seluruh mekanisme tindakan buruh. Marx menambahkan, “Alienasi yang dialami pekerja dari kerjanya bukan hanya bahwa kerjanya menjadi objek, yang mengasumsikan sebuah eksistensi eksternal, tetapi juga bahwa objek itu berdiri sendiri, diluar dirinya, dan asing baginya, dan bahwa objek ini berseberangan dengannya sebagai sebuah kekuasaan yang otonom” (Marx dalam Fromm, 2004: 127).
Penjelasan ini sangatlah filosofis, maka perlu disederhanakan sehingga tidaklah mesti menimbulkan kerancuan atau kepincangan akal untuk memahaminya. Yang terpenting, esensinya dapat ditangkap meskipun dalam pemahaman yang hampir samar, karena tumpulnya akal yang berpikir. Sekiranya apa yang dijelaskan Denby, dapat memberi sedikit penyederhanaan makna tanpa menghilangkan esensi makna sebagaimana yang dimaksudkan oleh Marx sendiri. Bahwa “alienasi adalah hilangnya diri: kita bekerja untuk orang lain, dan seringkali kita menghadapi apa-apa yang kita produksi dengan ketidakpedulian dan bahkan muak” (Denby, dalam Skousen, 2009: 199).

6.    Konsep Penindasan 
Beberapa konsep dalam kajian pustaka ini, tidak bisa dinafikan, merupakan bagian yang tidak bisa dilepas-pisahkan.
Penindasan, eksploitasi, bahkan penghisapan, dalam term marxisme merupakan tiga kata yang cenderung digunakan secara bergantian untuk mendeskripsikan makna dari kesewenang-wenangan pemilik modal terhadap pekerja/ buruh. Sehingga, menjadi mungkin jika penulis juga memberikan pemaknaan yang sama atas ketiga kata di atas.
Konsep penindasan, eksploitasi, penghisapan, dalam term marxisme menempatkan kapitalis atau pemilik modal pada satu kutub sebagai penindas, dan buruh atau pekerja pada kutub yang berbeda sebagai yang ditindas. Kondisi ini memiliki relevansi yang cukup kental dengan konsep alienasi yang telah disebutkan diatas, pekerja yang mesti bekerja dibawah kontrol kapitalis, dengan nilai upah yang ditetapkan dalam kontrak, dengan nilai kerja yang melebihi batas upah, sehingga menciptakan nilai lebih bagi pemilik modal, tentunya nilai lebih yang diperoleh dari nilai kerja yang tidak terbayar, menjadi dasar asumsi atas tertindasnya buruh, tereksploitasinya buruh, terhisapnya buruh. “selama seluruh periode yang panjang ketika perbudakan menjadi bentuk pengorganisasian kerja yang berlaku, kaum budak terpaksa melakukan lebih banyak kerja daripada yang dikembalikan pada mereka dalam bentuk kebutuhan-kebutuhan hidup” (Engels, 2002: 7).
Penindasan (sebagaimana yang dijelaskan diatas) cenderung berlangsung dalam proses selama buruh bekerja guna memproduksi komoditas bagi kapitalis. Ter-subordinasi-nya buruh pada satu sisi dan status kapitalis yang men-dominasi pada sisi yang lain, melahirkan kecenderungan penguasaan atas aktifitas buruh oleh kapitalis selama bekerja dalam memproduksi komoditas, ada nilai kewajiban yang bersifat mengikat dari kontrak kerja buruh-pemilik modal, sebuah nilai yang menjadikan buruh menyerahkan kebebasannya untuk dikuasai, dikendalikan oleh kontrol-kontrol kewajiban untuk bekerja sambil menghamba kepada pemilik modal. “Peran dari tenaga kerja dalam menghasilkan nilai lebih, serta-merta juga mengeksploitasi tenaga kerja itu sendiri” (Haramain, dkk. 2003: 45).
“…Marx begitu gamblang dan ilmiah dalam menggambarkan proses eksploitasi terhadap tenaga kerja (buruh) itu terjadi. Dimana ia melihat bagaimana nilai lebih yang didapat oleh para kapitalis itu didapatkan dari peran tenaga kerja yang begitu besar…, sementara selisih antara nilai lebih yang diterima oleh para kapitalis itu dengan upah yang diterima buruh selama ini menunjukan kesenjangan yang tajam. Namun atas posisinya dalam proses produksi, buruh seringkali tidak mempunyai kewenangan apa-apa untuk mengambil keputusan, pemilik kapitallah yang memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan” (Haramain, dkk. 2003: 46).  
Sekali lagi, penindasan ini merupakan bagian dari alienasi, dan penindasan ini juga berakibat pada pemiskinan. Sebagaimana dijelaskan Marcuse, “Ketika berubah menjadi produksi komoditas kapitalis, kerja bersifat memiskinkan. Karena semakin besar beban pekerja, semakin kuat dunia obyek yang asing yang ia ciptakan untuk melawannya, dan ia sendiri menjadi semakin miskin… mekanisme ini terjadi dalam upah. Hukum produksi komoditas, tanpa adanya bantuan luar, mempertahankan upah pada tingkat yang memiskinkan (Marcuse, 2004: 231). Artinya, peningkatan akumulasi profit yang juga berimplikasi pada peningkatan akumulasi modal, dapat terjadi ketika beban kerja buruh bertambah (penambahan waktu kerja, atau intensitas pemanfaatan waktu dalam proses kerja), sedangkan pada sisi yang lain, upah tetap berada pada posisi yang stagnan sesuai kontrak, sehingga nilai kerja maksimal tetap tidak berimplikasi pada peningkatan pendapatan pekerja dan hanya berimplikasi secara pincang, yakni menguntungkan pemilik modal, bukankah ini nyata bermuara pada pemiskinan?.
Maka penindasan ini juga merupakan bagian yang tidak bisa dilepas-pisahkan dari ter-subordinasi-nya buruh pada kelas yang didominasi oleh kekuatan-kekuatan kelas yang men-dominasi, yakni kelas kapitalisme. Sebagaimana dijelaskan Marx, ‘Masyarakat-masyarakat modern yang timbul dari runtuhan masyarakat feodal tidak menghilangkan pertentangan-pertentangan kelas. Ia hanya menciptakan kelas-kelas baru syarat-syarat penindasan baru, bentuk-bentuk perjuangan baru sebagai ganti yang lampau” (Marx, Manifesto Communist, rumah kiri)

7. Nilai Lebih 
“Marx berawal dari kenyataan sederhana yang teramat jelas bahwa kaum kapitalis mengubah modal mereka menjadi dana melalui pertukaran; mereka membeli barang-barang dagangan dengan uang mereka dan kemudian menjualnya untuk lebih banyak uang daripada harga pembeliannya. misalnya seorang kapitalis membeli kapas seharga 1000 taler, dan kemudian menjualnya untuk 1.100 taler, dengan demikian memperoleh 100 taler. Kelebihan 100 taler di atas modal asli itu disebut Marx sebagai nilai lebih” (Engels, 2002: 5).
“Menurut asumsi para ahli ekonomi, hanya nilai-nilai setara yang dipertukarkan, dan dibidang teori abstrak, ini benar adanya…, dalam kondisi-kondisi masyarakat sekarang sang kapitalis menemukan di pasar barang-dagangan suatu barang-dagangan yang memiliki suatu sifat khusus, yaitu penggunaannya merupakan suatu sumber nilai baru, merupakan suatu penciptaan nilai baru, barang dagangan ini adalah tenaga kerja…, nilai setiap barang-dagangan di ukur dengan kerja yang diperlukan bagi produksinya” (Engels, 2002: 5-6).
“andaikan bahwa upah mingguan seorang pekerja mewakili tiga hari kerja, maka, apabila sang pekerja bekerja mulai pada hari senin, pada rabu petang ia telah menggantikan bagi sang kapitalis nilai penuh dari upah yang dibayar itu…, sang kapitalis telah membeli kerjanya selama seminggu dan sang pekerja mesti terus bekerja selama tiga hari terakhir dari minggu itu juga. Kerja-lebih pekerja itu, disamping waktu yang diperlukan untuk menggantikan upahnya, adalah sumber nilai-lebih, sumber laba, sumber akumulasi modal yang terus bertumbuh…, kalau sang kapitalis (hanya) menarik (laba) dari sang pekerja itu selama suatu jangka waktu lama hanya sebanyak kerja yang dibayarnya dalam upah (kepada pekerja), maka ia akan menutup pabriknya, karena seluruh labanya adalah sebuah nol besar” (Engels, 2002: 6-7).
“..bahkan laba yang diperoleh pedagang katun dari katunnya didalam contoh diatas, mesti terdiri atas kerja yang tidak terbayar…”, (Engels, 2002: 7).
Jad     nilai lebih, lahir dari proses kerja, keuntungan (profit) dari perdagangan barang hasil-hasil produksi diperoleh dari nilai kerja buruh yang tidak terbayar. Substansinya, saudagar kaya dapat menjual barang hasil produksi, bertransaksi dengan pembeli, dan ia memperoleh keuntungan dari transaksi tersebut, ia memperoleh keuntungan dari barang-barang hasil produksi, maka ia ikut menikmati nilai lebih, nilai kerja buruh yang tidak terbayar. Tapi, mestikah ada royalty yang harus dibayarkan oleh saudagar kepada buruh pekerja atas jasanya dalam memproduksi barang-barang tersebut? Karena saudagar ikut menikmati profit dari barang-barang hasil kerja buruh, tanpa lupa bagaimana cara menghargai jasa buruh pekerja.

8. Kelas Sosial
Dari literatur yang penulis miliki, tidak ada satu tempatpun dalam tulisan-tulisan Marx dimana kita dapatkan definisi tentang kelas. Dia melukiskan dalam istilah-istilah yang konkret tentang perjuangan kelas, penindasan oleh kaum borjuis, konfliknya dengan kaum proletar, dan seterusnya, akan tetapi dia tidak memberikan definisi abstrak tentang kelas-kelas sosial. Tapi beberapa penjelasan dibawah ini tentunya dirasa cukup untuk menemukan substansi kelas sosial sebagaimana pemaknaan kelas sosial seperti makna yang dimaksudkan oleh Marx.
“Pengertian kelas adalah paralel dengan pengertian lapisan tanpa membedakan apakah dasar lapisan itu uang, tanah, kekuasaan, atau dasar lainnya (Soemardjan dan Soemardi, dalam Wulansari”, 2009: 119).
Sebelum Marx, paham tentang kelas didasarkan kurang lebih pada kontras antara yang kaya dan yang miskin, “yang berpunya” dan “yang tidak berpunya”, kelompok-kelompok yang berprivilese dan yang dihisap. Para ahli sosiologi Amerika masa sekarang menganut kembali konsep ini didalam teori-teorinya tentang “strata” sosial yang ditentukan oleh perbedaan-perbedaa didalam standar hidup.
 “Konsep marxis tentang kelas, dan konsep-konsep lain tentang kelas tidaklah kontradiktif, dalam hal-hal tertentu mereka saling melengkapi” (Duverger, 2005: 198).
“Apa yang kita sebut sebagai kelas adalah sekelompok besar orang-orang yang dipertandai oleh posisi yang dipegangnya didalam suatu system yang dibatasi secara historis oleh produksi sosial oleh hubungannya dengan alat-alat produksi, oleh peranannya didalam organisasi sosial, dan dari sini alat-alat pengaturan dan porsi kekayaan sosial yang dipunyainya. Kelas adalah sekelompok orang yang bisa mengambil menjadi miliknya kerja yang dilakukan oleh orang lain, sebagai akibat dari perbedaan didalam posisi yang dipunyainya didalam rezim yang ditentukan oleh ekonomi sosial” (Lenin dalam Duverger, 2005: 190).
“Kelas-kelas sosial didefinisikan oleh hubungan dengan jenis hubungan-hubungan sosial yang tertentu, yang itu sendiri dihasilkan oleh suatu keadaan tertentu dari kekuatan-kekuatan produktif” (Marx dalam Duverger, 2005: 190).
“Lahirnya kelas-kelas sosial adalah karena munculnya dan berkembangnya pembagian kerja secara sosial, munculnya milik-milik pribadi atas alat-alat produksi” (Petit Dictionnaire Philosophique Sovietique, dalam Duverger, 2005: 190).
“Dalam Marxisme, pembagian masyarakat dalam kelas-kelas ditentukan oleh posisi dalam proses produksi” (Lukacs, 2010: 95).
“Seseorang atau suatu kelompok termasuk dalam kelas atas atau kelas bawah sangat ditentukan oleh relasi mereka terhadap alat-alat produksi” (Marx, dalam Wulansari, 2009: 103)
Marx menjelaskan, “…perbedaan antara pemilik modal dan tuan tanah, dan antara buruh pertanian dan pekerja industry, pasti akan terlihat dan keseluruhan masyarakat terbagi menjadi dua kelas, yakni pemilik yang kaya dan pekerja yang miskin” (Marx dalam Fromm, 2004: 124).
“Kelas adalah unit sosial dan ekonomi yang nyata bukan unit individu. Ia mendapatkan eksistensinya yang independen dihadapan individu, sehingga individu medapati eksistensinya sudah ditentukan sebelumnya, dan karenanya kehidupannya dalam kehidupan serta perkembangan pribadinya ditentukan oleh kelasnya dan menjadi tunduk dibawahnya” (Marcuse, 2004: 240).



Daftar Pustaka


Engels, Friedrich. 2002. Friedrich Engels tentang Das Kapital Karl Marx. Diterjemahkan oleh Ira Iramanto. Jakarta: Hasta Mitra.

Marx, Karl. 2004. “Manuskrip-manuskrip Tentang Ekonomi dan Filsafat“, hal. 113-288 Dalam Konsep Manusia Menurut Marx, oleh Erich Fromm. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Lukacs, Georg. 2010. Dialektika Marxis: Sejarah dan Kesadaran Kelas, Diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta. Ar-Ruzz Media.

Trotsky, Leon. 2009. Revolusi Permanen, Diterjemahkan oleh Ted Sprague. Yogyakarta. Resist Book.

Hill, Christopher. 2009. Lenin: teori dan Praktek Revolusioner, Yogyakarta. Resist Book.

Marcuse, Herbert. 2004. Rasio dan Revolusi, Diterjemahkan oleh Imam Baehaqie, Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Diterjemahkan oleh TW Utomo dan Yusup Priya Sudiarja. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Suseno, Franz Magnis. 2005. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Suseno, Franz Magnis. Dalam Bayang-bayang Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Budi Hardiman, Fransisco. 2004. Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Haramain, Abd. Malik. dkk. 2003. Pemikiran-pemikiran Revolusioner, Malang. Averroes Press.

Malaka, Tan. 2000. Dari Penjara Ke Penjara, Jilid I - III, Jakarta. Teplok Press.

Malaka, Tan. 2000. Madilog, Jakarta. Teplok Press.



Jangan sekali-kali menjadi penjiplak karya orang lain…
Harus malu pada Tuhan, mesti malu pada diri sendiri,
Menjadi penjiplak, menandakan dangkalnya pikiran…!!!,
dan kalau tetap ingin menjiplak, mohon tinggalkan komentar...,
semoga postingan ini memberi manfaat...,
oh iya, jika butuh pustaka yang lebih lengkap terkait postingan ini, silahkan ke Facebook saya...