- Sosialisme
Sosialisme mengajari kita untuk bertenggang rasa, mengajari kita untuk merasa dalam diri orang lain, memaknai hidup kita dalam hidup orang lain. Berbuat demi komunitas, mengabdi demi komunitas, berkarya demi komunitas. Sosialisme (pada sisi tertentu) menganggap bahwa “kita semestinya hidup demi orang lain, dan sebaliknya orang lain harus hidup untuk kita”. Sosialisme begitu sangat mencintai solidaritas dan kekompakan komunitas. Kata Marx, “setiap orang bekerja sesuai kemampuannya, dan setiap orang diberi sesuai kebutuhannya”. Sebuah konsep hidup yang mengindikasi makna keluhuran yang sesungguhnya, sebuah konsep hidup yang mengisyaratkan bahwa sesungguhnya semua manusia harus berbuat adil dan setimpal kepada sesama, sebuah konsep hidup yang menghendaki adanya kesejahteraan kepada semua, jangan ada manusia yang mengeksploitasi manusia yang lain.
Semua manusia harus berada pada strata kelas yang sama, tidak ada yang berada pada kelas atas, dan tidak ada yang berada pada kelas bawah. Semuanya terspesialisasi pada beragam kelompok profesi, tapi tetap menjaga keutuhan komunitas dengan mengarahkan tujuan pada kepentingan bersama. Mungkin inilah yang dimaksud dalam istilah sosiologi sebagai diferensiasi sosial, individu-individu terfragmentasi dalam beberapa kelompok sosial yang didasarkan atas profesi masing-masing (tertentu), tapi pengelompokan ini sungguh nyata, ada tanpa aroma kelas. Artinya, tidak ada ciri hierarki atau perjenjangan, bahwa individu atau kelompok yang satu berada pada posisi yang lebih tinggi dan mendominasi kenyataan hidup individu atau kelompok masyarakat yang lain.
Saya ingin sedikit “bermulut besar” untuk menjelaskan ini, bahwa apa yang di impikan Marx, sesungguhnya telah terimplementasi dalam kultur Hindu dengan Catur Warna-nya. Antara Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra, yang terfragmentasi karena faktor profesi. Yakni; Brahmana (Pendeta, Pemuka Agama) sebagai kelompok manusia yang bertanggung jawab atas kehidupan spiritual komunitas, Ksatria (Raja, Bangsawan, Prajurit) yang bertanggung jawab atas kepemimpinan dan sebagai pemberi rasa aman kepada komunitas, Waisya sebagai kelompok para pedagang, petani, tukang ahli, dll, yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan pada komunitas, serta Sudra yang bertanggungjawab untuk membantu pekerjaan rumah-an ketiga kasta (maaf, penulis tetap tidak bisa menghindari istilah yang umum digunakan) yang disebutkan lebih dahulu sehingga ketiga kasta tersebut dapat melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya tanpa terganggu dengan pekerjaan rumah-an masing-masing. Sesungguhnya dari beberapa literatur yang penulis peroleh, “kasta” berbeda dari “catur warna”. Tapi penulis tidak ingin terganggu dengan penjelasan ini. Yang substansi adalah bahwa penulis juga setuju kalau sesungguhnya catur warna (atau mungkin kasta) tidak menganjurkan hierarki. Yang pasti, catur warna tidak berbeda jauh dari utopia Marx, bahwa masing-masing orang harus bekerja sesuai kemampuan dan profesinya demi kepentingan komunitas, serta memperoleh segalanya sesuai dengan kebutuhannya.
Lebih jauh, sosialisme mengamanahkan pengelolaan dan kontrol produksi kepada negara. Negara menjadi salah satu instrument yang bersifat memaksa untuk mengendalikan seluruh proses produksi sampai pada distribusi ekonomi. Konsep ini pernah digunakan oleh Lenin pasca kemenangan kaum Bolshevyk di Russia tahun 1917 yang berimplikasi pada perlawanan para petani dan peternak yang tetap mengehendaki agar hasil pertanian dan peternakan mereka tetap dikelola oleh masing-masing individu pemilik (meskipun tanah pada saat itu telah di rampas oleh negara dari kaum borjuis bangsawan dan dibagi-bagikan kepada petani), perlawanan ini lalu dijawab dengan lantang oleh Lenin dengan kebijakan “tangan besi”nya. Sosialisme lalu mencita-citakan terhapusnya negara, dan menghendaki kembalinya masyarakat pada pengelompokan yang lebih tepat kita sebut sebagai masyarakat “komunisme primitif”. Tapi perlu di catat bahwa, meskipun revolusi bolshevyk berhasil, akan tetapi menurut Lenin, negara (untuk sementara waktu) masih diperlukan karena beberapa alasan (yang tidak perlu penulis sebutkan, karena jika disebutkan, akan kembali membutuhkan penjelasan tambahan yang lebih panjang lebar lagi).
Akan tetapi, sungguh miris dan pilu. Ternyata sosialisme tidak memberi implikasi yang positif terhadap perkembangan dan kemajuan masyarakat. Sosialisme justru berisi “statisme” bahkan degradasi dan keterbelakangan yang teramat parah. Karena sosialisme tidak suka dengan persaingan, sosialisme hanya mencintai watak Kooperatif dan membenci kompetisi. Ini menafikkan watak alamiah manusia yang sesungguhnya suka perang, persaingan, dan kompetisi. Kehidupan adalah konflik, dan dalam tiap detailnya, manusia mengaktualisasikan dirinya.
- Kapitalisme
Sebaliknya, kapitalisme memiskinkan banyak orang dan memperkaya sedikit orang, para kapitalis adalah makhluk paling durjana yang pernah dilahirkan dimuka Bumi. Tidak ada yang patut kita benci selain sekumpulan orang-orang yang hanya duduk manis di atas kursi sambil melipat kakinya dalam posisi santai, dan dalam tiap harinya mereka menikmati uang dan kekayaan dari hasil keringat orang lain.
Sejak Smith dan Ricardo, mekanisme pasar bebas dan pembagian kerja dimulai. Adam Smith yang memulai dengan “Laissez Nous Faire” (Prancis; “biarkan kami sendiri”) dan “Invisible Hand”-nya (“tangan-tangan tidak kelihatan”), telah menjadi pemantik lahirnya konsep pasar bebas. Negara tidak harus mengintervensi pasar, negara harus membiarkan pasar bergerak dan tumbuh dengan sendirinya, karena pasar bebas membuka ruang kompetisi, persaingan diantara pelaku pasar, maka tidak lain, hukum survival of the fittest-pun menemukan tempatnya yang hakiki. Siapa yang kuat, maka dia akan survive. Sehingga, para pelaku pasar cenderung untuk terus berkreasi dan berinovasi, karena inilah alasan agar tetap survive. maka tidak bisa dinafikkan, kreasi dan inovasi ini pulalah yang telah ikut memberi kontribusi tersendiri pada percepatan laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang telah dimulai sejak meletusnya revolusi indutri, yang lebih pada kepentingan pasar.
Dan invisible hand-nya Smith, merupakan sebuah utopia, bahwa ketika pasar dibiarkan bebas, maka akan terjadi pendistribusian kesejahteraan kepada semua (karena Smith adalah seorang Professor Filsafat Moral yang juga Humanis). Tangan-tangan tidak kelihatan inilah yang akan mengendalikan pasar, agar tidak terjadi monopoli, agar tidak terjadi ketimpangan kesejahteraan. Akan tetapi, Smith terlampau keliru, Ia tidak mempertimbangkan watak eksploitatif manusia, Ia juga lupa bahwa manusia adalah makhluk pencinta diri yang akan cenderung mengupayakan pemenuhan kebutuhan dan kepuasan diri meskipun dngan mengorbankan orang lain. Mengutip Hobbes “homo homini lupus” dan “bellum omnes contra omnia”, bahwa “manusia adalah pemangsa bagi manusia yang lain” dan akan senantiasa terjadi “perang antara semua melawan semua”, karena faktor ketamakan dan orientasi pemenuhan diri yang tanpa nurani.
Sementara analisis Ricardo bertumpu pada perdagangan bebas dan pembagian kerja serta keuntungan komparatif. Kebijakan proteksionisme (lebih khusus pada pembatasan ekspor dan impor) harus dihindari, karena perdagangan (terutama perdagangan antar negara) justru dapat meningkatkan surplus pada masing-masing negara. Satu negara tentu tidak akan mampu memproduksi keseluruhan barang (komoditas) dengan kualitas yang sama bagusnya dan dengan biaya yang sama murahnya. Maka perdagangan bebas dapat mendorong terpenuhinya kebutuhan masing-masing negara secara memadai, juga, sekali lagi, bahwa perdagangan bebas dapat meningkatkan surplus masing-masing negara. Ini merupakan bantahan terhadap konsep merkantilisme yang cenderung melihat kekayaan sebuah negara dari jumlah simpanan yang dimiliki oleh negara tersebut (semisal logam mulia/emas, dll), karena tanah yang subur, gedung-gedung, perusahaan-perusahaan, perut bumi yang kaya tambang, serta SDM yang handal, juga merupakan kekayaan negara, yang pada saat yang sama akan ikut memberi sumbangan berharga bagi kemakmuran sebuah negara.
Selanjutnya, spesialisasi dan pembagian kerja akan melahirkan keuntungan bersama. Setiap orang harus dispesialisasi pada objek-objek pekerjaan tertentu, sehingga masing-masing individu (sebagaimana konsep perdagangan bebas yang memberi penekanan pada spesialisasi produk masing-masing negara) dapat fokus pada profesinya dan menjadi profesional, mumpuni pada bidangnya. Seorang dokter bedah tidak perlu membuang-buang waktunya untuk duduk dibelakang meja sambil menyodorkan buku tamu untuk diisi para pasiennya, sang dokter hanya perlu menyewa seorang perawat pemula untuk membantunya, sehingga keseluruhan waktunya bisa dipakai untuk mengoperasi para pasiennya secara bergantian (jika seorang dokter bedah dapat mengoperasi seorang pasien hanya dalam waktu 3 jam, maka dalam satu hari ia dapat mengoperasi 3 orang pasien. Bayangkan jika ia bekerja sendiri, dan 3 tiga jam dari waktunya harus dipergunakan untuk melayani pengisian buku tamu calon pasiennya. Katakanlah ketika ia mengoperasi 1 pasien, ia di bayar Rp 4 juta, maka jika ia harus menghasbiskan waktunya 3 jam untuk mengisi buku tamu calon pasien, maka ia telah kehilangan 4 juta dalam 1 hari tersebut. Jika ia menyewa seorang perawat Rp 2 juta/hari untuk membantu melayani pengisian buku tamu pasiennya, maka pendapatan sang dokter bedah dalam 1 hari akan bertambah 2 juta, sebaliknya sang suster menerima upah untuk kebutuhan hidupnya Rp 2 juta setiap harinya. Bukankah dari contoh ini Nampak nyata bahwa spesialisasi benar-benar memberi keuntungan bagi setiap orang?). Dari beberapa contoh yang dikemukakan sang Ricardo kaya nan jenius, maka nampak nyata, bahwa pembagian kerja dan spesialisasi, benar-benar memberi nilai manfaat yang besar kepada setiap orang.
Sayangnya, Ricardo lupa dalam satu hal, bahwa perdagangan bebas, justru mengakibatkan dominasi dan hubungan interdependency yang timpang. Karena, negara-negara tidak berada pada posisi kekuatan ekonomi yang berimbang. Sehingga daya tawar negara dengan kemampuan ekonomi yang masih lemah, menjadi tidak berharga jika berhadapan dengan negara yang memiliki kemampuan ekonomi di atas rata-rata. Dan perdagangan bebas, telah berimplikasi pada penguasaan pasar global ditangan negara-negara dengan kekuatan ekonomi yang lebih.
- Kesimpulan
Baik itu sosialisme, maupun kapitalisme, sama-sama memiliki plus dan minus. Menjadi sangat mungkin untuk mendamaikan atau bahkan mengkomparasi keduanya. Merubah wajah ekonomi sosialis ke pola yang lebih kompetitif tanpa merubah prinsip dasarnya yang menghendaki distribusi kue yang sama rata dan sama rasa. Atau merubah wajah kapitalis agar lebih humanis. China, negara komunis yang kini telah memulainya. Deng Xiao Ping telah memulainya sejak separuh abad yang lalu. Tanpa ragu, perkembangan ekonomi China sungguh membuat ngeri negara-negara yang sejak beberapa dekade lalu telah menjadi kekuatan utama ekonomi dunia. Nampaknya, satu dekade kedepan, China akan mengambil alih kepemimpinan dunia, tidak hanya kepemimpinan ekonomi, tapi juga kepemimpinan teknologi, politik, dan militer. Demikian halnya dengan India, nampaknya Negeri Mahatma Gandhi ini tidak ingin membiarkan China menjadi single fighter di Asia, produk industry dan manufaktur India pun sudah mulai merambah ke pasar-pasar di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Seolah alam hendak mengembalikan kepemimpinan Peradaban ke tanah asalnya, yakni Asia.
Bagi penulis, Sosialisme maupun Kapitalisme, telah ikut memberi warna yang sungguh berbeda atas jalannya sejarah. Kita tidak punya pilihan, tapi harus memilih. Alangkah baiknya jika kita bisa melebur keduanya agar saling ada upaya koreksi dalam rangka untuk menemukan konsep yang ideal diantara keduanya. Konsep baru yang lahir dari komparasi diantara keduanya.
***wassalam***
Pustaka
Marx, Karl. 2004. “Manuskrip-manuskrip Tentang Ekonomi dan Filsafat“, hal. 113-288 Dalam Konsep Manusia Menurut Marx, oleh Erich Fromm. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Adhe (Ed.). 2005. Belok Kiri Jalan Terus, Yogyakarta. Alinea.
Agger, Ben. 2009. Teori Sosial Kritis, Diterjemahkan oleh Nurhadi. Yogyakarta. Kreasi Wacana.
Gandhi, Mahatma. 2009. Semua Manusia Bersaudara, Diterjemahkan oleh Kustiniyati Mochtar. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Giddens, Anthony. 2009. Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan: Masa Depan Politik Radikal, Diterjemahkan oleh Dariyatno. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Ritzer,George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern, Diterjemahkan oleh Alimandan. Jakarta. Kencana.
Skousen, Mark. 2009. Sang Maestro “Teori-teori Ekonomi Modern”: Sejarah Pemikiran Ekonomi, Diterjemahkan oleh tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta. Prenada Media Group.
Suseno, Franz Magnis. Dalam Bayang-bayang Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama
Trotsky, Leon. 2009. Revolusi Permanen, Diterjemahkan oleh Ted Sprague. Yogyakarta. Resist Book.
Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Diterjemahkan oleh TW Utomo dan Yusup Priya Sudiarja. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Yap, Leman. 2009. The Best Of Chinese Heroic Leaders, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar