MARXISME

MARX & ENGELS
Tentang Kesadaran, Ideologi, dan Agama

Oleh; Dede Mulyanto
“... bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tapi keberadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka” (Karl Marx. Preface to The Critique of Political Economy, MESW vol.1 h. 363)
Secara umum dapat dikatakan bahwa salah satu sumber pengetahuan manusia terpenting adalah pengalaman, entah pengalaman lahir maupun pengalaman batin. Pengetahuan juga bisa berasal dari pengalaman langsung dengan lingkungan sekitar ataupun dari pengalaman tidak langsung melalui sebuah proses perantaraan. Pengetahuan saya tentang ‘api itu panas’ bisa diperoleh dari dua sumber, yaitu pengalaman langsung dengan menyentuh sendiri api sehingga kesan yang masuk ke dalam kesadaran kemudian menerakan ‘panas’ sebagai predikat ‘api’; atau melalui pengalaman tidak langsung dengan mendengar cerita dari orang, membaca penjelasan dari buku, dan sebagainya. Semua pengetahuan hasil pengalaman itu tidak sama sifatnya. Pengalaman langsung bersifat lebih kuat, lebih hidup, dan lebih nyata karena dialami langsung. Sedangkan pengalaman tidak langsung kurang kuat, kurang hidup, dan seringkali samar-samar. Bagi saya yang belum pernah ke daerah bersalju tentu hanya akan memperoleh pengetahuan tentang salju dari pengalaman tidak langsung, entah itu dari cerita orang yang pernah pergi ke daerah bersalju, dari menonton televisi, atau membaca buku. Pengetahuan saya tentang salju yang dingin, lembut, dan ringan itu kurang meyakinkan karena bukan indra saya sendiri yang mengalami dingin, lembut, dan ringan. Jadi, sumber pengetahuan utama adalah pengalaman langsung bergumul dengan lingkungan hidup.

Kesadaran kolektif yang nyata hanyalah kesadaran yang terbentuk dari pengalaman langsung orang-orang dalam ‘kolektif’ tersebut dengan lingkungan hidupnya. Pengetahuan memang bisa dimasukkan oleh orang lain ke dalam kesadaran kita, tapi ketegasannya tidak akan sama dengan kesadaran yang diperoleh sendiri lewat pengalaman langsung kita.

Kesan adalah sebentuk kesadaran yang diperoleh dari pengalaman langsung. Di samping kesan-kesan yang beraneka, ada pula gagasan (idea) yang adalah seperangkat konsepsi abstrak atas sesuatu. Dalam filosofi Marx, sumber pemahaman manusia terhadap diri dan lingkungannya berasal dari dua sumber, yaitu dari pengalaman langsung pelaku-pelaku kehidupan dan dari pengetahuan-terkumpul yang dialihkan atau diturunkan oleh masyarakat kepada warganya melalui berbagai lembaga sosialisasi seperti keluarga, sekolah, atau media massa. Pengetahuan-terkumpul ini umumnya berbentuk konsepsi atau hasil abstraksi atas kejadian, tindakan, atau sesuatu. Misalnya di abad feodal masyarakat mengenali konsep upeti. Upeti dipahami sebagai kewajiban hamba terhadap tuannya melalui penyampaian hasil kerja hamba di atas tanah yang diberikan oleh tuannya. Upeti adalah sebentuk hubungan antarorang dengan derajat kekuasaan yang timpang dengan perantara berupa barang atau jasa. Konsep upeti ini tidak dengan begitu saja dibentuk dan disebarkan. Konsep ini merupakan hasil proses panjang pergumulan dialektis antara kesadaran pelaku-pelaku kehidupan dengan kondisi material mereka yang juga terus berubah. Konsepsi-konsepsi abstrak sejenis ini (seperti kewajiban, pengabdian, kerja, dll.) berfungsi sebagai penuntun arah bagi semua warga masyarakat, entah yang menindas maupun yang tertindas.

Manusia individual, untuk hidup dalam suatu masyarakat tertentu harus sadar akan norma-norma dan lembaga-lembaga sosial yang berlaku karena mereka harus mematuhinya. Untuk menjadi anggota suatu ‘sosial’, individu harus disosialisasikan atau mempelajari dan menjadi terbiasa dengan segala hal yang menjadikannya ‘biasa’ dalam kelompoknya. Dalam konsepsi Marx, selain manusia tidak bisa memahami diri sebagaimana adanya selain melalui sekumpulan gagasan yang kompleks, juga sekumpulan gagasan ini bisa saja tidak didasarkan pada kenyataan empiris dan berujung pada kesadaran palsu atas diri dan lingkungannya.

Dalam banyak kasus, sistem sosial berlandaskan pada penindasan dan eksploitasi. Orang dibuat sadar untuk tidak menyadari landasan masyarakat tersebut ketika masyarakat hendak melanggengkannya. Oleh karena itu, perhatian Marx dan Engels terhadap sistem sosial pertama-tama bukan pada kepercayaan atau gagasan orang per orang, tetapi lebih pada keadaan yang menjadi tempat siapa yang menciptakan dan siapa yang menerima kepercayaan dan gagasan ciptaan tersebut karena produksi gagasan, konsepsi, dan kesadaran jalin-menjalin dengan kegiatan-kegiatan material dan hubungan material manusia yang disebut Marx sebagai ‘bahasa dari kehidupan nyata’, yaitu kerja (Marx & Engels, The German Ideology, MSW, h. 164). Gagasan dan cita-cita manusia berasal dari pola-pola sosial yang dicipta sebelumnya. Konsepsi materialis atas sejarah tidak menampik kemampuan kreatif pikiran manusia, tetapi gagasan dan cita-cita bukanlah sesuatu yang lahir dengan sendirinya dari ruang kosong. “Bagaimanapun juga, manusia tidaklah mulai dengan ‘menemukan dirinya dalam sebuah hubungan teoritis terhadap sesuatu dari dunia luar’. Seperti setiap binatang, mereka mulai dengan makan, minum, dll., yakni, tidak dengan ‘menemukan diri mereka sendiri’ dalam sebuah hubungan, tetapi dengan berperilaku secara aktif meraih sesuatu dalam dunia luar lewat tindakan mereka, lalu memuaskan kebutuhan mereka. Jadi, mereka memulainya dengan produksi”. Lebih lanjut, Marx menyatakan: “dengan pengulangan proses ini kepemilikan atas barang-barang yang telah ‘memuaskan kebutuhan mereka’ hadir sebagai kesan dalam otak mereka...” (Marx, Comment on Adolph Wagner, MSW, h. 581). Dari sinilah gagasan atas segala sesuatu bisa dipahami.

Konsepsi materialis atas sejarah adalah upaya kritik atas pemikiran filosofis Hegel dan Hegelian Muda yang menempatkan gagasan sebagai kekuatan utama dalam sejarah. Mereka memandang kekuatan gagasan ini sama sekali terpisah dari proses-proses alamiah dari produksi dan reproduksi masyarakat. Menurut Marx dan Engels, gagasan harus dipahami sebagai hasil dari aktivitas orang-orang yang berkutat dengan proses kehidupan material dan menempatkan produksi gagasan sebagai sebuah aspek dari upaya pada umumnya dalam menciptakan kehidupan dalam alam. Meski demikian, harus ditekankan bahwa penolakan Marx dan Engels terhadap idealisme setara dengan penolakan mereka terhadap materialisme mekanistik seperti yang dianut kaum materialis Perancis dan Ludwig Feuerbach. Menurut Marx memang kondisi material kehidupan yang menjadi landasan gerak sejarah, tetapi itu bukan berarti bahwa manusia dan konsep-konsep yang mereka ciptakan untuk bergulat dengan dunia sekadar sebuah hasil otomatis atau hanya pantulan utuh dari kehidupan fisik. Kedudukan Marx dan Engels boleh dikatakan berada di antara idealisme dan materialisme makanistik.

Sekali lagi, kehidupan manusia hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan konsepsi-konsepsi yang mewujud dalam cara hidup dan pengalaman subjektif manusia. Kemunculan konsepsi ini tidak dengan begitu saja dari ketiadaan. Gagasan, kepercayaan, dan nilai-nilai muncul dari interaksi dialektis antara manusia dengan alam dan timbul dari sejarah interaksi tersebut. Sebagai misal konsepsi tentang kerja. Dalam masyarakat modern, konsepsi tentang kerja atau gagasan bahwa kerja adalah ‘sesuatu’ yang bisa dijual-beli muncul sebagai hasil dari perkembangan ekonomi dan kemajuan teknis di kota-kota abad pertengahan Eropa. Kemudian konsepsi ini diambil sebagai gagasan dominan dalam masyarakat borjuis tentang ‘hakikat’ kerja karena konsepsi tersebut membuat eksploitasi atas orang dalam kapitalisme menjadi mungkin. Meskipun pada intinya gagasan ini disebabkan oleh perkembangan ekonomi dan teknis dan kenyataannya adalah sebuah pantulan keliru atas hubungan sosial, si gagasan itu sendiri cukup ‘nyata’ untuk bisa diyakini oleh orang-orang yang hidup dalam tatanan kapitalis, entah mereka yang berkedudukan sebagai penindas ataupun yang tertindas. Kedua pihak memandang kerja sebagai sesuatu yang ‘wajar’ dijual-belikan. Kewajaran ini dibutuhkan untuk kegiatan-kegiatan praktis mereka menjalani kehidupan. Oleh karena itu ketika mengoperasikan gagasan ini, orang tidak sadar akan sebab-awal dominasi gagasan ini.

Marx dan Engels sama sekali tidak antipati terhadap pentingnya gagasan, konsep, dan nilai-nilai dalam kehidupan manusia, tapi mereka menambahkan bahwa semua ini tidak muncul dari ruang kosong, dan ruang pertama yang harus dihadapi manusia adalah kehidupan materialnya yaitu produksi dan reproduksi kebutuhan materialnya. Kehidupan manusia adalah sejarah yang mengandung saling pengaruh yang kompleks antara berbagai faktor yang sebagian material dan sebagian lainnya mental (meski bermula dari material). Saling jumpa dan ketegangan antarkekuatan penggerak dalam sejarah ini oleh Marx biasa disebut dengan proses dialektika.

Istilah dialektika dipinjam dari kosa kata filsafat Hegel meski digunakan dengan nuansa berbeda. Dialektika artinya bahwa proses gerak yang mencirikan sejarah manusia bukanlah perjalanan yang lancar-lancar saja, tapi sebuah perkembangan yang diramaikan oleh konflik dan kontradiksi yang menghantar pada penyelesaian sementara secara terus-menerus. Tidak ada yang tetap dalam dunia ini. Menurut Marx, dalam proses dialektika ini kesadaran juga mengambil peran yang penting tidak seperti yang selalu difitnahkan kepada Marx dan Engels sebagai seorang materialis kasar yang anti arti penting kesadaran. Kesadaran, atau sistem makna yang dengannya manusia memahami dunianya dan mewujud dalam gagasan, opini, atau keyakinan yang kita pegang, merupakan produk sosial. Kesadaran ini terwujud dari interaksi yang kompleks antarmanusia dalam sejarah dan dari hubungan antara manusia dengan alam seperti tanah, tumbuhan, binatang, atau tubuh fisik mereka sendiri. Hubungan-hubungan tempat terwujudnya gagasan ini tidaklah tetap, tapi berubah-ubah. Oleh karena itu, gagasan juga berubah-ubah sejalan dengan perkembangan teknologi, ragam produksi, dan lembaga-lembaga sosial yang merupakan sarana dalam kehidupan sosial. Tetapi perubahan ini tidaklah serta-merta. Ada berbagai proses yang rumit yang menghantar pada perubahan gagasan ketika kondisi materialnya sendiri sudah berubah.

Karena perkembangan kekuatan-kekuatan produktif berujung pada bertambah kompleksnya pembagian kerja dalam masyarakat dan pembagian kerja ini memungkinkan melebarkan derajat ketidaksetaraan serta memunculkan kepemilikan pribadi, maka kesadaran pun menyesuaikan diri dengan kebutuhan praktis masyarakat yang terpilah-pilah ke dalam golongan-golongan yang bertingkat-tingkat ini. Dalam masyarakat akan ada banyak sistem gagasan sebanyak golongan yang ada. Karena lingkungan hidup anggota-anggota suatu golongan atau kelas biasanya tidak jauh berbeda, maka dialektika kesadaran dengan kondisi material suatu kelas memungkinkan terbentuknya kesadaran kolektif yang relatif sama. Kesadaran kolektif inilah yang dalam kehidupan sehari-hari menjadi panduan orang-orang bertindak terhadap lingkungan sosial dan materialnya. Di kalangan pemulung, sampah dipandang sebagai sumber uang. Dari pengalaman keseharian mereka menghadapi sampah-sampah dan berbagai hubungan sosial yang terkait dengan pemulungan sampah, para pemulung mempunyai kesadaran yang relatif sama tentang sampah dan berbagai hubungan sosial di sekitarnya. Kesadaran kolektif ini perlu untuk memahami dunianya. Jadi, kesadaran orang atas diri dan dunianya merupakan hasil proses dialektis antara kesadarannya semula dengan pengalaman langsung dan tidak langsung dengan lingkungan sosial dan material. Tetapi, sekali lagi, harus diinsafi bahwa pengalaman ini bukanlah pengalaman pribadi, tetapi kolektif karena manusia tidak hidup di ruang kosong tanpa pemikiran, keyakinan, pola hubungan, dan orang lain yang sudah ‘ada’ sebelum seseorang itu sendiri sadar.
***
Meski istilah ideologi pertama kali digunakan setengah abad sebelum Marx menggagasnya secara berbeda, namun anggapan umum hampir selalu mengaitkan istilah ini dengan Marxisme. Destutt de Tracy memperkenalkan istilah ideologiste untuk mencirikan filsuf yang, seperti dirinya, mengembalikan ide-ide kepada kesan-kesan tempat ide berasal. Napoleon yang menganggap de Tracy beserta kelompoknya sebagai bahaya atau ancaman bagi kekaisarannya, memakai istilah ideologue dalam arti negatif untuk menyifatkan filsuf siapa saja bersama dengan simpatisan republik, dan lebih-lebih kelompok de Tracy yang berpandangan seperti kaum ideologiste tersebut (L. Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia h. 306).

Dalam bukunya Les éléments de l’ideologie (1801), Destutt de Tracy mendefinisikan ‘ilmu gagasan-gagasan’ sebagai berikut: “Ilmu itu bisa disebut ideologi, jika orang hanya mengamati pokok masalahnya; tata bahasa umum, jika orang hanya mengamati metode-metodenya; dan logika, jika orang hanya engamati tujuannya. Apapun namanya, ilmu itu pasti memuat tiga bagian ini, karena yang satu tak bisa dijalankan secara memadai tanpa menjalankan juga dua yang lainnya. Ideologi tampak bagi saya sebagai istilah generis karena ilmu ide-ide mencakup baik ungkapan maupun turunannya” (K. Mannheim, Ideologi dan Utopia, Kanisius h. 112, fn.11). Jadi, boleh dibilang bahwa asal-usul istilah ideologi hanya berarti ‘ilmu tentang gagasan-gagasan’. Tujuan utama dari ilmu tentang gagasan ini adalah penolakan terhadap metafisika dan mencari dasar dari ilmu budaya pada dasar-dasar antropologis dan psikologis atau menfokuskan kajian tentang gagasan dengan menelisik sumber psikologisnya yang merupakan hasil cerapan atas lingkungan kehidupan manusia (ibid, h. 74).

Jauh di kemudian hari, Marx dan Engels menggunakan istilah ideologi dengan arti yang jauh berbeda dari istilah aslinya. Ideologi berarti ganda dalam pemikiran Marx. Pertama, ideologi sebagai kesadaran palsu atau bayangan realitas yang terbalik; dan kedua, ideologi sebagai seperangkat sistem gagasan. Dalam arti pertama, ideologi dikaitkan dengan gagasan-gagasan kelas dan upaya penyebarannya dalam kaitan dengan perjuangan kelas atau pelanggengan kekuasaan kelas tertentu. Karena ideologi dominan selalu adalah ideologi kelas berkuasa, maka titik perhatian Marx dan Engels adalah batasan ideologi sebagai jaringan konsep, perspesi, dan gagasan kelas berkuasa yang ditebarkan pada masyarakat awam yang dikuasai sebagai penyamar landasan nyata dari tatanan yang menindas. Ideologi dalam arti ini bersifat khusus.

Dalam perumpamaan bangunannya tentang masyarakat, Marx dan Engels menempatkan seperangkat gagasan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dengan gagasan-gagasan tersebut individu-individu memahami dunia tempat mereka berinteraksi dengan alam dan individu lainnya di dalam suatu kehidupan kolektif, sebagai suprastruktur ideologi. Wujud-wujud suprastruktur ideologis dalam kehidupan sosial adalah kepercayaan, norma, moralitas, gagasan politik, dan nilai-nilai ideal. Ideologi dalam konteks ini lebih diartikan dalam konteks yang lebih luas: ideologi adalah seperangkat sistem gagasan. Itu saja. Tetapi, seperangkat sistem gagasan ini tidak muncul begitu saja dari ketiadaan. Gagasan-gagasan yang berlaku dalam suatu masyarakat merupakan hasil interaksi kompleks antara lingkungan dengan kesadaran. Dialektika antara kondisi material kehidupan manusia dengan kesadaran yang membentuk ideologi tidaklah sesederhana hubungan sebab akibat langsung seperti yang sering dituduhkan bahwa Marx adalah sesosok determinis ekonomi. Menurut Marx, ideologi tidak serta-merta mewujud secara langsung dari kondisi material. Jalan yang dilalui kesan-kesan hasil cerapan atas dunia material melalui alat indra hingga menjadi seperangkat gagasan kolektif begitu panjang dan berliku-liku. Perjalanan ini tidak lurus, tapi melalui gang-gang sempit dialektis antara dunia material yang menampakkan diri ke kesadaran manusia dengan kesadaran manusia itu sendiri yang sejak kehadirannya dalam dunia material dijejali berbagai konsep dan gagasan yang sudah terlebih dahulu ada. Dalam Tesis-tesis tentang Feuerbach yang ketiga, dengan indah Marx menulis: “Ajaran materialis bahwa manusia adalah hasil dari lingkungan dan asuhannya, dan oleh karenanya manusia yang berubah adalah hasil keadaan-keadaan dan pendidikan yang berubah, lupa bahwa lingkungan diubah oleh manusia dan bahwa pendidik itu sendiri perlu dididik.” (Marx, Theses on Feuerbach, MSW, h. 156) Kesadaran tentang sesuatu tidaklah muncul begitu saja ke dalam pikiran manusia. Pikiran manusia juga tidaklah kosong melompong karena manusia menjadi manusia karena hidup dalam kolektif; dalam masyarakat yang mengolah lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialnya. Ketika seseorang lahir, masyarakat tempatnya berada sudah lebih dulu mempunyai gagasan kolektif tentang sesuatu yang ada di sekitar mereka. Kondisi material tempat masyarakat tersebut hidup juga bukanlah kondisi yang sejak asali seperti itu, tapi merupakan hasil bentukan manusia juga dari generasi ke generasi. Seperti dalam mitos raja Midas, semua yang disentuh manusia akan bersifat manusia. Tak ada lingkungan atau kondisi yang alami selama ada manusia di situ. Semuanya adalah kondisi dan lingkungan manusia. Begitu pula kondisi material. Jadi, ideologi, sekali lagi, tidaklah muncul begitu saja dari kondisi material atau diciptakan secara sadar dari kekosongan oleh orang-orang tertentu yang memanfaatkannya demi keuntungan diri mereka. Pemikiran Marx tidak senaif itu. Marx tidak pernah bicara tentang manusia yang abstrak, tapi manusia menyejarah yang menjadi manusia karena hubungan dialektisnya dengan lingkungan dan dirinya dalam konteks tertentu. Jadi, mustahil Marx mengkonsepkan ideologi sebagai turunan langsung kondisi material begitu saja. Tepat kiranya perkataan Antonio Labriola, sesepuh Marxis Italia, yang menulis bahwa “hanya orang idiot yang bisa percaya bahwa moralitas setiap orang berhubungan langsung dengan situasi ekonominya. Kaitan antara keduanya sangat kompleks, kadang-kadang halus, seringkali sulit, dan tak selalu tampak” (dikutip R. Bellamy, Teori Sosial Modern perspektif Itali, LP3ES h.88).

Memang ada kecenderungan untuk menempatkan suprastruktur-ideologi subordinat terhadap aspek infrastruktur. Yang pertama merupakan pantulan utuh dari yang kedua. Kecenderungan ini terutama tampak dalam pemikiran ‘murid-murid’ pertama seperti Gregorii Plekhanov atau Karl Kautsky yang dalam kepustakaan Marxisme digolongkan ke dalam Marxisme Ortodoks. Kecenderungan mekanistis ‘murid-murid pertama’ dan para pengikut mereka ini begitu masyur dan dianggap oleh musuh-musuh Marx sebagai ajaran Marx itu sendiri hingga Antonio Gramsci dengan kesal menamakan ajaran mereka sebagai “fatalisme positivis” atau “marxisme vulgar” yang mengabaikan penekanan Marx pada dialektika dan pentingnya kedudukan kesadaran manusia yang bersifat intensional. Pemikiran Marx yang menekankan kesatuan dialektis antara kesadaran dan kondisi material ini harus dicamkan terlebih dahulu sebelum berangkat ke konsepsi Marx tentang ideologi yang bersifat khusus atau gagasan dominan kelas tertentu yang menyamarkan kenyataan.

Dalam bukunya Kemiskinan Filsafat, Marx menulis bahwa: “Kategori-kategori ekonomi hanyalah ungkapan-ungkapan teoritis, abstraksi-abstraksi dari hubungan-hubungan produksi sosial... Orang yang sama yang menetapkan hubungan-hubungan sosial sesuai dengan produktivitas material mereka juga menghasilkan prinsip-prinsip, gagasan-gagasan, kategori-kategori yang bersesuaian dengan hubungan-hubungan sosial mereka”. Seperti sudah dibahas sebelumnya, bagi Marx, kondisi material paling mendasar dalam kehidupan manusia adalah produksi kebutuhan materialnya. Dalam masyarakat dengan pembagian kerja yang sudah berkembang, hubungan-hubungan produksi ditata sedemikian rupa dalam rangka produksi kebutuhan material masyarakat ini. Dari hubungan produksi ini kelas-kelas terbentuk. Hubungan terpenting manusia dengan alamnya adalah melalui kegiatan produksi. Ketika dalam hubungan produksi ini individu-individu terpilah ke dalam beragam kedudukan dan kesadaran dipengaruhi kedudukan dalam produksi ini, maka gagasan-gagasan orang-orang dalam suatu kelas tidak akan sama dengan gagasan-gagasan orang dari kelas lainnya.

Dalam Ideologi Jerman Marx dan Engels menyatakan bahwa: “Gagasan-gagasan kelas penguasa di sepanjang kisah sejarah manusia merupakan gagasan penguasaan, yaitu: kelas yang menguasai kekuatan material dalam masyarakat, pada saat yang sama menguasai kekuatan intelektualnya juga. Kelas yang menguasai alat-alat produksi material pada akhirnya juga mengendalikan alat produksi mental, sehingga gagasan dari mereka yang tidak menguasai alat produksi mental tunduk padanya. Gagasan-gagasan yang berkuasa tiada lain adalah ekspresi ideal dari hubungan material yang dominan; hubungan material dominan yang dipahami sebagai gagasan; ketika hubungan yang membuat suatu kelas menjadi kelas penguasa atas yang lain, maka gagasannya merupakan gagasan dominansi....” (Marx & Engels, The German Ideology, MS h.101). Kesadaran kelas tertentu yang berkuasa tidak hanya hidup dalam lingkup kelas tersebut. Perembesan kesadaran oleh kelas berkuasa mengembangbiakkan kesadaran palsu tidak hanya dalam kelas yang ditindas tetapi juga dalam kesadaran kelas yang menindas. Ideologi ini menyembunyikan sumber asali dominasi dan proses-prosesnya dari kesadaran kaum tertindas dan membuat segala sesuatu tanpak wajar-wajar saja seperti tidak terjadi apa-apa. Mengapa mayarakat memerlukan semua ini? Seperti yang dibahas oleh Marx dengan cukup rumit dalam Kapital Jilid II, berlangsungnya segala sesuatu dalam suatu ragam produksi mensyaratkan adanya reproduksi kondisi yang memungkinkan produksi dalam ragam produksi tersebut. Reproduksi kondisi produksi merupakan kewajiban utama agar produksi seperti yang sedang berlangsung tetap berjalan. Karena manusia memahami segala hal di sekitarnya, termasuk berbagai hubungan-hubungan produksi melalui kesadarannya, maka perlu ada pelanggengan kesadaran kolektif yang menuntun tindakan-tindakan. Lalu, karena kelas yang menguasai berada dalam kedudukan yang memungkinkan mereka memperoleh keuntungan dari hubungan-hubungan sosial yang ada, maka sudah sewajarnya kesadaran kelas tersebutlah yang tersebarluaskan ke dalam kesadaran kolektif masyarakat.

Kelas-kelas dan hubungan di antaranya tidak pernah dibiarkan telanjang seperti apa adanya. Dominasi kelas tertentu terhadap kelas-kelas lainnya bisa dikaburkan di belakang kabut mistifikasi oleh ideologi yang mewajarkan atau bahkan, dalam masyarakat pra-kapitalis, mengeramatkan hubungan subordinasi dan penghisapan tenaga kerja di dalamnya. Dalam masyarakat feodal Eropa, misalnya, seluruh tatanan terlingkup oleh suatu pandangan dunia universal yang didasarkan pada agama Kristen. Dunia dipandang sebagai sesuatu yang diatur oleh Tuhan demi kebahagiaan manusia. Semesta alam ditata secara hirarkis. Di atas alam ada supra-alam atau alam yang lebih tinggi tempat Tuhan dan mahluk-mahluk supra-manusia tinggal. Tuhan menduduki kursi utama dan di bawah-Nya ada malaikat yang juga mengenal jenjang hirarki. Dunia merupakan pantulan dunia supra ini. Di dunia juga ada hirarki. Setiap orang mempunyai tempat sendiri-sendiri yang disediakan baginya. Paling atas adalah rohaniwan yang karena bersifat keagamaan selalu dipandang lebih tinggi daripada golongan lain yang bersifat duniawi. Kemudian ada penguasa duniawi, yaitu para raja, bangsawan, dan prajurit. Di luar dua golongan tersebut Tuhan telah membuat pemilahan-pemilhan berdasarkan kewajiban-kewajibannya di dunia. Ada petani yang mengolah lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan dirinya dan kelas-kelas lainnya. Ada juga pengrajin yang membuat perkakas, senjata, dan barang-barang kebutuhan sekuder. Juga ada pedagang. Kesadaran bahwa seseorang merupakan bagian dari suatu tata kosmis yang diciptakan dan dipelihara Tuhan, maka kolektivitas dipandang lebih penting daripada individu. Seseorang memperoleh kedudukannya berkat hubungan sosial tempat ia merupakan bagiannya: keluarganya, kotanya, bangsanya, negerinya, dan seterusnya. Oleh karena itu tidak heran bahwa individu-individu memanggul beban ‘nama baik keluarga’, ‘nama baik kota’ dan seterusnya dalam setiap tindakannya. Selain itu, karena tatanan ini bersifat religius, maka tatanan ini disifati abadi. Tuhan telah menghendakinya demikian, maka seterusnya harus pula tetap demikian adanya. Moralitas yang berkenaan dengan hubungan antarorang dan berkembang pada masa feodal selalu merujuk pada pandangan dunia ini. Konsep pengabdian, takdir ilahi, kesalehan, dan kewajiban yang dilembagakan dalam hubungan-hubungan sosial membuat penghisapan kelas berkuasa terhadap kelas tertindas menjadi samar atau bahkan tak tampak. Semua tampak wajar-wajar saja, tidak hanya di mata kaum tertindas tapi juga bagi kelas penindas.

Dalam kesadaran yang dilandasi pandangan dunia seperti ini, golongan-golongan yang menghendaki perubahan dan yang mempertahankannya melakukannya dalam nama Tuhan dan tidak jarang diiringi dengan kekerasan. Gerakan perlawanan oleh kelas-kelas yang mempunyai kepentingan atas perubahan ini mau-tidak-mau harus diselubungi oleh gagasan-gagasan keagamaan. Seperti sudah dibahas dalam bagian terdahulu, analisis Engels terhadap gerakan-gerakan protes dan pemberontakan dalam abad pertengahan menemukan bahwa semua gerakan-gerakan tersebut membawa kritik-kritik keagamaan. Misalnya dalam penentangan penghisapan kaum petani dan pedagang oleh golongan rohaniwan, gagasan seperti ‘penyimpangan dari jalan sejati Tuhan’, ‘kembali ke masa Yesus’, sering menjadi seruan perlawanan (lih. F. Engels, The Peasant War in Germany, FLPH-Moscow).

Marx memahami ideologi sebagai bagian dari suprastruktur. Ideologi tidak sama dengan kesadaran. Juga, ideologi tidak diartikan semata-mata sebagai praktek-praktek simbolik atau gagasan-gagasan yang bersifat kultural seperti tersirat dalam konsep ‘sistem budaya’ dalam kepustakaan antropologi atau dalam konsep ‘representasi kolektif’ seperti dalam kosa-kata sosiologi Durkheim. Konsep ideologi yang digunakan Marx bersifat kritis dalam arti ada aspek kritik di dalamnya. Marx melihatnya dari sudut pandang ilusi dan mistifikasi. Tetapi bukan berarti bahwa konsep ‘tuhan’ atau ‘kerja’ bukan merupakan kenyataan sosial yang mempengaruhi perilaku manusia. Konsep ‘kerja-sebagai-komoditi’ merupakan abstraksi atau hasil rekayasa kapitalisme modern, tetapi meskipun memiliki objektivitas tertentu, konsep ini adalah ilusi dalam arti merupakan reifikasi (pembendaan) hubungan-hubungan sosial yang pada dasarnya menyembunyikan gambaran sesungguhnya dari hubungan produksi kapitalis, yaitu eksploitasi dan pencurian nilai lebih.

Satu alasan mengapa sulit melihat hubungan erat antara kondisi-kondisi kehidupan material dan suprastruktur ideologi adalah bahwa ideologi-ideologi itu memberikan ilusi untuk mengimbangi ketimpangan dan kekurangan dalam kehidupan material. Akibatnya, meskipun ideologi itu mencerminkan kondisi material dan hubungan-hubungan produksi dalam masyarakat, cerminan itu seringkali sangat menyimpang atau dalam istilah Marx sebagai “suatu kesadaran-dunia yang terbalilk” (Marx, Sumbangan pada Kritik atas Filsafat Hegel tentang Hukum, MEA h.48). Ketika ideologi-ideologi dirasukkan ke dalam kesadaran subjektif melalui berbagai saluran sosialisasi, individu-individu menemukan dirinya tidak mampu menyadari kepentingan mereka sesungguhnya. Artinya, mereka gagal melihat hubungan yang begitu dekat antara kurangnya pemenuhan kebutuhan manusiawi mereka, ketidakpuasan, dan penderitaan di satu pihak dan tatanan sosial-ekonomi serta kondisi-kondisi material tempat mereka terlibat di dalam dinamikanya di pihak lain. Hasilnya adalah kesadaran palsu.

Sebenarnya, istilah kesadaran palsu bukanlah buatan Marx tapi Engels. Dalam suratnya kepada F. Mehring tertanggal 14 Juli 1893, Engels menjelaskan kaitan erat antara ‘fakta-fakta ekonomi’ dengan konsep-konsep politik, hukum, dan konsep-konsep ideologis pada umumnya yang merupakan turunan dari yang pertama. Engels menulis: “Ideologi adalah sebuah proses yang terjadi oleh pemikir secara sadar; memang benar, tetapi dengan sebuah kesadaran palsu.” (Engels to Mehring, MESW vol2 h. 497) Maksudnya, dorongan yang membuatnya menghasilkan pemikiran, konsep, dan segala macam gagasan, tidak dipahami dan tidak diupayakan untuk dipahami si penggagas. Dalam kesadaran si penggagas, kekuatan pendorong yang dibayangkannya keliru atau palsu. Misalnya seorang nabi yang menganggap gagasan perlunya perubahan sosial dengan membangkitkan perlawanan terhadap golongan yang menindas golongan lain berasal dari wahyu atau perintah ilahiah. Padahal, senyatanya adalah bahwa gagasan tersebut muncul dari interaksi nyata mereka dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakatnya. Atau misal lain adalah konsep-konsep normatif jaman feodal seperti pengabdian, harga diri, kepatuhan pada orang yang berkedudukan tinggi, dibayangkan para ideolog masa itu sebagai perintah tuhan. Karena gambaran tentang dunia ilahi juga hirarkis dengan tuhan berada di tingkatan teratasnya, maka dunia manusia yang mengenal hirarki adalah cerminan dunia ilahi sehingga perubahannya akan mendatangkan murka ilahi.

Di dalam perumpamaan bangunannya, Marx menempatkan suprastruktur ideologis satu kamar dengan suprastruktur politis. Peran negara dengan segala perangkatnya adalah mewakili kepentingan kelas yang berkuasa atau golongan yang dominan. Perangkat negara mencakup organisasi pemerintahan, tentara, polisi, pengadilan, penjara, peraturan perundang-undangan, dan sebagainya. Semua perangkatus ini ada sebagai pendukung berlanjutnya penegakan kepentingan kelas dominan dengan segala gagasannya. Misalnya, dalam suatu formasi sosial-ekonomi yang memerlukan berlanjutnya tatanan melalui tegaknya lembaga kepemilikan pribadi, negara akan mengesahkan peraturan yang keras terhadap setiap pencuri. Seorang ibu yang karena anaknya hampir mati kelaparan bisa dipenjara karena mencuri sepotong roti meskipun ia mencurinya dari seorang kapitalis kaya yang uangnya berlebih sehingga bisa memberi makan orang sekampung. Negara menyelenggarakan lembaga seperti polisi, pengadilan, dan penjara untuk memastikan hukum ini dijalankan. Pelanggaran hukum merupakan ancaman abadi di dalam masyarakat yang terpilah antara segelintir penghisap dan begitu luar-biasa banyaknya golongan terhisap. Oleh karena itu, keberadaan lembaga negara dengan perangkatnya yang kuat sehingga mampu memaksakan peraturan dan menghancurkan setiap penyimpangan terhadapnya.

Di samping negara yang menggunakan perangkat kekerasan untuk memaksakan kepatuhan, ada perangkat pengendalian sosial lain yang lebih ‘halus’, yaitu perangkat ideologis. Golongan yang berkuasa juga menguasai suprastruktur ideologis masyarakat dengan tujuan yang sama dengan negara meski dengan cara berbeda, yaitu pembujukan. Di setiap jaman sejak manusia mengembangkan lembaga negara, selalu ada penguasa-penguasa ideologis di samping penguasa-penguasa politis. Rohaniwan, filsuf, penyair, dan guru-guru membantu mengendalikan golongan tertindas dengan mengembangkan gagasan-gagasan mengenai yang benar dan yang salah. Gagasan-gagasan ideal yang disebarluaskan bergantung pada ragam produksi dan kepentingan kelas dominan di dalamnya. Pada masa feodal, pertanian manorial merupakan kekuatan produktif utama dan semua tanah dikuasai bangsawan atau gereja. Hampir semua hubungan sosial ditata dalam kaitannya dengan pertanian feodal ini. Kelas-kelas penguasa mempertahankan milik dan kekuasaannya dengan tentara sekaligus moralitas. Oleh karena itu, tidak mengejutkan bila pegangan moral pada masa itu menekankan ketaatan pada gereja, kesetiaan dan kepatuhan prajurit pada bangsawannya, serta kehormatan berdasarkan golongan.

Dalam kapitalisme industri modern, kapitalis membutuhkan sejumlah besar pasokan pekerja yang mudah berpindah-pindah dan diganti-ganti. Pekerja jenis ini adalah orang-orang yang hanya mempunyai sedikit sekali ikatan di luar keluarga batihnya dan orang yang mau-tidak-mau harus menjual tenaga kerjanya sendiri kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kapitalisme membutuhkan orang-orang yang bebas menjual tenaga kerjanya dan orang-orang yang bebas membelinya. Oleh karena itu, tidak mengagetkan bila semboyan moral modern adalah kebebasan individual. Para filsuf, agamawan, penyair, atau ilmuwan menawarkan nilai moral ideal ini karena nilai ini mengabdi pada perekonomian industri modern. Seperti rekan-rekan mereka di jaman feodal, mereka meyakinkan diri mereka dan khalayak ramai bahwa nilai-nilai moral ini adalah kebenaran abadi dan merupakan sifat dasar kehidupan manusia sejak asali hingga akhir masa. Semua yang berseberangan dengan tatanan nilai ini dianggap sebagai penyimpangan dan tidak wajar. Penyebarluasan, perembesan, dan pelanggengan nilai-nilai ideal ini belum tentu dilakukan secara sadar untuk mendukung tatanan ekonomi. Dalam istilah kontemporer, proses ideologis yang menghasilkan kacamata khusus sehingga semua orang melihat segalanya sebagai sesuatu yang wajar disebut pewacanaan. Wacana yang ‘mendisiplinkan’ individu-individu sehingga menjadi ‘masyarakat’ tiada lain adalah suprastruktur ideologis yang kemunculannya tidak bisa lepas dari kondisi material masyarakat, meski harus ditekankan bahwa hubungan keduanya begitu rumit dan berbelit-belit.

Ideologi atau pandangan-pandangan mendalam dan tidak disadari dari kelas dominan dalam masyarakat harus dibedakan dari keyakinan-keyakinan lain yang dianut dalam cara yang khusus guna memanipulasi atau membentuk opini-opini mereka yang bukan anggota kelompok kelas penguasa. Berbeda dengan propanganda, ideologi adalah sistem pemikiran dan keyakinan yang digunakan oleh kelas berkuasa untuk menjelaskan pada diri mereka sendiri bagaimana sistem sosial mereka berjalan dan apa prinsip-prinsip yang diajukannya. Ideologi ada bukan sebagai fiksi tetapi sebagai ‘kebenaran’ dan bukan hanya kebenaran pembuktian tetapi kebenaran moral. Memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari pengeluaran sekecil-kecilnya bukan fiksi, tapi kebenaran moral dalam masyarakat kapitalis. Penyimpangan dari prinsip ini berarti ketidakwajaran.

Ideologi mempunyai fungsi penjelasan yang tepat sama dalam semua formasi sosial. Samir Amin telah menunjukkan bahwa ideologi-ideologi dari formasi-formasi sosial perupetian secara khas adalah agama-agama. Wewenang penuh lembaga kependetaan membenarkan adanya kekuasaan duniawi termasuk wewenang bagi akumulasi surplus dan surplus ini pada gilirannya digunakan untuk mendukung lembaga-lembaga keagamaan. Pandangan-pandangan ini mengesahkan rezim yang ada (S. Amin, Class and Nation, Monthly Review h. 52).
***
Gagasan Marx dan Engels tentang fungsi ideologi yang mengganti dan menyesatkan pandangan orang atas kehidupan ini sangat jelas dalam analisis Marx tentang agama. Menurut Marx, tekanan agama tradisional pada dunia transenden, non-material, dan harapan pada kehidupan setelah kematian membantu mengalihkan perhatian orang dari penderitaan nyata dan kesulitan dalam kehidupan mereka. Sudah masyur kiranya pandangan Marx bahwa agama adalah sekumpulan khayal; atau lebih tepatnya khayalan-khayalan yang berdampak sangat jahat. Agama adalah contoh ideologi yang paling ekstrim. Agama adalah suatu sistem kepercayaan yang bertujuan sekadar memberi alasan (atau ijin) untuk mempertahankan hal-hal yang ada di dalam masyarakat berjalan sesuai dengan kepentingan para penindas. Seperti dengan lugas dinyatakan Marx bahwa “Agama adalah teori umum dunia ini... logikanya dalam bentuk yang populer... sanksi moralnya, penggenapannya yang sangat penting, landasan penghiburan dan pembenaran yang umum. Agama adalah perwujudan khayal manusia karena manusia tidak memiliki kenyataan. Karena itu, perjuangan melawan agama secara tidak langsung adalah perjuangan melawan dunia yang aroma spiritualnya adalah agama.” (K. Marx, Towards a critique of Hegel’s Philosophy of Right: introduction, MSW h.63-4)

Di tempat yang sama juga Marx menulis bahwa “Penderitaan keagamaan sekaligus merupakan suatu pernyatan mengenai penderitaan yang sesungguhnya dan suatu protes menentang penderitaan yang sesungguhnya. Agama adalah keluh-kesah mahluk tertindas, sentimen suatu dunia yang tak berperasaan, dan jiwa dari keadaan-keadaan tak berjiwa. Agama adalah candu rakyat” (ibid h.64). Marx jelas menganggap agama sebagai perwujudan dari ketertindasan, penderitaan, dan pembenaran atas tatanan sosial yang ada. Kesimpulan Marx bahwa agama adalah candu rakyat tidak boleh disamakan dengan anggapan umum kaum radikal lain bahwa agama adalah candu bagi rakyat. Perbedaan konsepsi Marx ‘agama adalah candu rakyat’ dengan gagasan ‘agama adalah candu bagi rakyat’ terletak pada asal-muasal. Bila yang terakhir menekankan bahwa agama merupakan buatan sengaja kelas tertentu untuk menipu rakyat tertindas, maka pandangan Marx menekankan bahwa agama muncul dari suatu kondisi material tertentu. Agama berlaku atas masyarakat bagaikan candu yang meringankan penderitaan tapi tidak menghilangkan keadaan-keadaan yang memunculkan penderitaan tersebut. Karena itu agama semata-mata menenangkan orang dan memungkinkan mereka menerima keadaan sosial tempat mereka hidup dengan harapan akan adanya suatu kehidupan di kemudian hari ketika semua penderitaan dan kesengsaraan akan lenyap untuk selama-lamanya. Bila kemudian agama dimanfaatkan oleh kelas penindas untuk melanggengkan tatanan sosial yang menguntungkan mereka, itu lain soal. Yang ditekankan Marx dalam teks di atas adalah bahwa gagasan keagamaan berakar dalam keadaan material masyarakat bukan dari wahyu atau gagasan kreatif yang muncul begitu saja karena ilham ilahiah tanpa adanya dialektika antara kesadaran dengan lingkungan.

Agama adalah fenomena universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola bertindak yang memenuhi syarat untuk disebut agama. Ketika membincangkan agama, maka akan tampak bahwa sebagian unsurnya berada dalam suprastruktur ideologis dan sebagian lagi berada dalam tataran struktur sosial. Yang termasuk ke dalam unsur-unsur ideologis antara lain lambang-lambang, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai tertentu yang dengan semua ini manusia memahami dan menafsirkan keberadaan mereka di dunia. Yang termasuk ke dalam unsur-unsur struktur sosial antara lain peribadatan, pemilahan orang-orang ke dalam kedudukan-kedudukan tertentu yang terkait dengan gagasan keagamaan, dan ritual-ritual. Pembahasan Marx dan Engels atas agama juga terpilah ke dalam dua aspek agama; agama sebagai sistem ideologi dan agama sebagai lembaga sosial. Sebagai ideologi, agama berfungsi sebagai seperangkat sanksi moral, khayal, penghibur atas kondisi ketidakadilan, penyelubung kenyataan, dan pembenar ketidaksetaraan. Dengan pandangan seperti ini jelas Marx menempatkan agama dalam konteks sosial-historis. Oleh karena itu, Marx menjelaskan gejala-gejala keagamaan dengan mempertimbangkan kondisi material tempat gejala tersebut muncul. Artinya, agama harus dipahami hanya dengan mengkaji hubungan antara agama sebagai wujud ideologi dengan kehidupan sosial-ekonomi dalam suatu babak sejarah tertentu. Hubungan ini tentu saja tidak sederhana. Marx sama sekali menghindari penjelasan mekanis dalam menggambarkan hubungannya.

Selain menempatkan agama sebagai sebentuk ideologi yang digunakan oleh kelas dominan untuk menyamarkan kenyataan dan mengendalikan kelas-kelas terhisap, Marx dan Engels juga menjelaskan agama secara empiris dalam wujud analisis pertarungan kelas dalam suatu kurun waktu tertentu. Penekanannya bukan pada ideologi kelas dominan atau pandangan dunia pada suatu babak sejarah tertentu, tapi lebih pada pemilahan masyarakat ke dalam kelas-kelas dan pertarungan di antara kelas-kelas tersebut. Perlakuan terhadap gejala keagamaan ini mengungkapkan bahwa setiap kelas sosial mengusung ideologi tersendiri yang menampilkan kepentingan kelasnya masing-masing. Pendekatan kedua ini muncul misalnya dalam karya Engels Mengenai Sejarah Kekristianian Awal (1894-6, MEA h.335-366) tentang asal-muasal agama Kristiani dan The Peasant War In Germany (1871) tentang pemberontakan-pemberontakan petani di jaman feodal.

Secara tidak langsung Engels menyatakan bahwa bentuk agama awal umat manusia bersifat alamiah dan spontan. Kemunculan negara dan pendetalah yang memunculkan agama sebagai lembaga penipuan dan pengeliruan. Dalam masyarakat kesukuan agama tidak terpisah dari kekerabatan dan ekonomi. Penaklukan Roma terhadap masyarakat kesukuan, menghancurkan kebebasan komuniti sekaligus sistem keagamaannya. Pada masa kekaisaran Roma muncul kelas-kelas. Komuniti yang ditaklukkan harus membayar upeti atau menjadi budak. Para pendeta merupakan bagian dari kelas penghisap yang mengebawahi orang-orang taklukan. Dalam masyarakat berlapis seperti inilah agama Kristiani muncul. Menurut Engels agama Kristiani “asal-muasalnya sebuah gerakan rakyat tertindas: ia mula-mula muncul sebagai agama kaum budak dan para budak yang telah beremansipasi, dari rakyat miskin yang terampas dari semua hak, dari rakyat-rakyat yang ditaklukkan atau dibubarkan oleh Roma” (Engels, Ibid h. 335).

Kaum tertindas Roma ini mencari keselamatan dan jalan keluar dari kemiskinan dan penghisapan. Menurut Engels, jalan penyelamatan itu tidak ada di dunia ini. Agama Kristiani menaruh keselamatan dari perbudakan dan kemiskinan di luar kehidupan dunia, yaitu keselamatan ruhaniah yang berfungsi sebagai penghibur kesadaran orang tertindas dan menjaga mereka dari keputusasaan. Menurut Engels, di antara ratusan nabi pada kurun waktu itu hanya pendiri Kristiani yang mencapai sukses. Perlu ditekankan bahwa ada perbedaan besar antara Kristiani awal yang menekankan kembalinya Yesus Kristus untuk kedua kalinya dalam waktu dekat dengan keyakinan gereja Kristen mapan setelah Konsili Nicea 325 M menjadikan agama Kristiani sebagai agama negara yang diakui Kekaisaran Romawi.

Dalam kepustakaan antropologi satu kajian sejarah tentang asal-muasal agama Kristiani diberikan oleh Marvin Harris dalam bukunya Cows, Pigs, Wars, and Witches (1974). Menurutnya Kekristenan dilahirkan oleh suatu kurun revolusioner saat munculnya gerakan-gerakan mesianisme militer Yahudi menentang pendudukan Romawi atas Palestina.

Bangsa Palestina kuno sudah sejak lama berada di bawah penguasa luar, yaitu sejumlah kekaisaran asing dari Babilonia, Persia, hingga Romawi. Di bawah kekuasaan Romawi yang sudah ada di Palestina bertahun-tahun sebelum maupun sesudah masa hidup Yesus Kristus, kebanyakan orang Yahudi berada dalam ketertindasan dan eksploitasi. Palestina adalah korban kelaliman penjajahan yang brutal. Sebagian besar penduduk adalah petani tanpa lahan, tukang-tukang upahan, pelayan, dan budak. Di luar kelas-kelas terhisap ini terdapat sejumlah kecil elit pemuka agama, tuan tanah, dan pedagang yang hidup berlimpah kemewahan. Para petani dibebani pajak-pajak berat dan berbagai kerja paksa pada tuan-tuan tanahh. Korupsi administrasi dan inflasi meraja-lela. Akibatnya, timbul kebencian sangat dalam dari para petani Galilea terhadap aristokrat Yerusalem. Dalam kondisi inilah, mesianisme militer Yahudi berkembang. Banyak orang mengaku sebagai mesias yang akan membebaskan Palestina dari ketertindasan rakyat dan membangun Kerajaan Tuhan di bumi. Menurut Harris, sebagai tambahan pada pewartaan religius tentang Kerajaan Tuhan, para mesias ini terlibat dalam kegiatan-kegiatan militer yang dirancang mewujudkannya. Tidak sedikit mesias mengorganisasi tentara dan memerangi pasukan Romawi. Catatan sejarah Yahudi mengisahkan dua peperangan besar melawan pasukan Romawi. Pertama terjadi pada 68-73 M, dan yang kedua terjadi pada tahun 132-136 M (prks. E.J Dumont, Kisah Hidup Bangsa Yahudi, Masaseni).

Yesus adalah satu dari sekian banyak mesia Yahudi yang muncul di Palestina untuk membebaskan rakyat tertindas dari penghisapan dan eksploitasi Romawi. Berseberangan dengan bayangan awam tentang Yesus Sang Raja Damai, Harris menjelaskan bahwa Yesus sesungguhnya berkegiatan selaras dengan tradisi semua mesianisme militer Yahudi. Menurut Harris “Yesus dan para pengikutnya tidak melalukan apa pun yang membedakan mereka dari anggota-anggota gerakan mesianik-militer yang baru muncul. Mereka malah merangsang sekurang-kurangnya satu konfrontasi kekerasan. Mereka menyerbu ke pekarangan kuil besar dan menyerang secara fisik para pedagang yang mempunyai izin melakukan tukar-menukar mata uang sehingga para peziarah asing dapat membeli hewan kurban. Yesus sendiri menggunakan cambuk selama peristiwa ini.” (S.K Sanderson, Makrososiologi, Rajawali h. 534).

Pertanyaannya, bila Yesus adalah seorang mesias militer Yahudi, mengapa dalam perkembangan berikutnya ajaran dan tindakannya dipandang bersifat damai? Harris menandaskan bahwa hal ini terjadi karena adanya penafsiran ulang yang sangat pilih-pilih mengenai pikiran dan perbuatan Yesus sesungguhnya. Menurut Harris, setelah kekuatan Yahudi terkalahkan dalam perang mesias tahun 68-73 M, maka orang-orang Kristen Yahudi mulai menafsir ulang kemesiasan Yesus. Tafsir ulang ini merupakan keharusan bila berkaca pada kegagalan perang mesianis mereka melawan Romawi. Menurut Harris: “Akibat dari perang mesianik yang tidak berhasil itu, maka segera menjadi suatu keharusan praktis bagi orang-orang Kristen untuk menolak bahwa kepercayaan mereka telah muncul dari kepercayaan Yahudi terhadap seorang mesias yang akan meruntuhkan Kekaisaran Romawi. Orang-orang Kristen Yahudi siap bergabung dengan orang-orang bukan Yahudi yang telah memeluk agama untuk meyakinkan orang-orang Romawi bahwa mesias mereka berbeda dari mesias-mesias bandit-fanatik yang telah menimbulkan perang dan yang terus akan menimbulkan keonaran. Orang-orang Kristen, tidak seperti orang-orang Yahudi, adalah orang-orang yang cinta damai, tak bersalah, dan tidak mempunyai ambisi sekuler” (ibid h. 535).

Dari ulasan di atas dapat dikatan bahwa di satu sisi, penafsiran ulang ajaran dan tindakan Yesus yang memunculkan kesan damai memungkinkan berkurangnya tekanan-tekanan terhadap kelompok Kristiani oleh penguasa. Di sisi lain, penekanan aspek ruhaniah dan tafsir pewartaan Kerajaan Tuhan di bumi sebagai bersifat spiritual memberi penenang yang menguatkan kaum tertindas dari penderitaan yang mereka alami. Kedua sisi Kristiani yang damai ini mewujud dalam bentuk keyakinan akan turunnya Yesus untuk kedua kalinya ke bumi membawa damai.

Dalam Mengenai Sejarah Kekristianian Awal, Engels membandingkan kemunculan gerakan keagamaan Kristiani awal dengan kemunculan gerakan-gerakan perlawanan kaum tertindas dalam tradisi Islam di Afrika Utara. Engels mencatat kesamaan antara kemunculan agama Kristiani dengan pemberontakan Mahdi di Sudan yang berlatar ketegangan antarlapisan sosial yang senjang (Engels, op.cit h.336-7).

Analisis kelas Engels atas agama juga dibahas dalam Perang Petani di Jerman (1871). Karya ini boleh dikatakan sebagai karya sejarah klasik yang menyuruk ke dalam abad ke-16 dan ke-17. Dalam karya ini Engels berupaya menjelaskan asal-muasal pemberontakan petani dan kaum pedagang di Jerman awal abad ke-16. Engels menunjukkan bahwa pemberontakan yang berlatar gerakan keagamaan masa itu sungguh-sungguh melibatkan kepentingan kelas ekonomi.

Pada masa itu, menurut Engels, Agama Katolik merupakan ideologi dominan yang menyajikan perpaduan segala hal dan dukungan utama terhadap dominasi tuan tanah feodal. Oleh karena itu, perlawanan terhadap feodalisme dan tatanan sosial-politik secara terus-menerus ditafsirkan sebagai bidah keagamaan. Meskipun pelapisan kelas pada kurun waktu itu sangat kompleks dan masing-masing memiliki kepentingan masing-masing yang tak jarang saling bertentangan, tapi Engels menyatakan bahwa dalam perjuangan pada waktu itu terbentuk tiga kelompok kepentingan. Pertama, unsur Katolik konservatif yang berusaha mempertahankan tatanan feodal. Kelompok ini mencakup penguasa gereja yang tiada lain tuan-tuan tanah dan kaum bangsawan feodal kota yang kaya. Kedua, ada unsur reformis yang mencakup kelas borjuis yang sedang tumbuh pesat di kota-kota Jerman selatan serta segelintir bangsawan dan raja yang berkepentingan atas tanah-tanah gereja. Martin Luther merupakan tokoh panutan kelompok ini. Lewat kritik tajamnya terhadap berbagai praktek feodal dalam Gereja Katolik, Luther menyuarakan kepentingan kelas-kelas yang tertindas dalam tatanan feodal, terutama borjuis kota dan petani. Mulanya Luther mendukung pemberontakan petani, tapi kemudian setelah memperoleh kemenangan melawan gereja, kelompoknya malah menindas petani. Ketiga, ada kelompok revolusioner yang didukung petani dan penduduk miskin kota yang yang menyuarakan kesetaraan semua orang seperti masa awal Kristiani. Tokoh kelompok ketiga ini adalah Thomas Munzer (Engels, The Peasant War, h. 53-78).

Engels mencatat Munzer sebagai penyebar Injil yang berdakwah di daerah pedalaman. Pekerjaannya sukses. Dia meramalkan dekatnya kedatangan masa seribu tahun kedamaian bagi kaum miskin dan Hari Pengadilan bagi golongan masyarakat yang bobrok, terutama kalangan gereja dan tuan tanah yang korup. Sebagaimana gerakan-gerakan pembebasan mileniar seperti Waldensis dan Albigensis di abad ke-12 dan ke-13, Munzer menyuarakan tuntutan pembebasan ketertindasan kaum tani. Munzer menyebarkan sebentuk komunisme. Di antara tuntutan gerakan keagamaan pimpinan Thomas Munzer itu adalah hak memilih pendeta, penghapusan pajak dan perbudakan, pemulihan hak-hak tanah komunal, dan dilenyapkannya pengadilan yang sewenang-wenang. Gerakan Munzer ini sempat mengenyam keberhasilan namun kemudian runtuh. Kesimpulan Engels, Munzer adalah perwujudan kelas proletar yang belum berkembang sepenuhnya dan pada kurun tersebut revolusi belum siap dengan gagasan-gagasan yang benar.

Engels jelas melihat agama berfungsi sebagai ideologi kelas. Agama adalah patokan kebenaran moral atas kepentingan kelas. Kelas tuan tanah, penguasa gereja dan bangsawan feodal, mewujudkan kepentingan kelas melalui agama Katolik yang memelihara hirarki dalam masyarakat yang dipandang sebagai ketentuan Tuhan di bumi. Tindakan-tindakan mereka untuk melenyapkan semua gerakan yang menghendaki terhapusnya hirarki dan terwujudnya kehidupan sama rata sama rasa dibenarkan oleh gagasan keagamaan yang mereka anut. Kelas borjuis kota dan bangsawan yang berkepentingan mengambil tanah-tanah gereja menyerang berbagai praktek keagamaan Katolik sebagai berlawanan dengan semangat kesetaraan manusia dalam Kristen. Gagasan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan harus melalui perantara, yaitu para pastur yang mewakili Bunda Gereja, dicampakkan sebagai penyelewengan. Manusia harus berhubungan langsung dengan Tuhan. Itulah janji keselamatan Kristiani. Individualisme sebagai nilai borjuis diangkat ke tingkat keagamaan. Kepentingan kelas menjadi agama; Protestanisme. Di samping agama-agama kelas dominan tersebut, petani dan kaum miskin kota mewujudkan kesadaran kelasnya melalui gerakan ratu adil Kristiani yang hendak mewujudkan masyarakat Kristiani sejati seperti dalam masa Yesus ketika semua orang hidup dalam kesetaraan dan persaudaraan. Tidak ada hirarki dan penghisapan. Tujuan ini dibenarkan oleh keyakinan bahwa Yesus mengajarkan kesetaraan semua manusia dihadapan-Nya. Atau kepercayaan bahwa Yesus datang ke dunia untuk membebaskan kaum tertindas dan menyingkirkan kaum lalim.

Teori agama Marx dan Engels menunjukkan bahwa agama bukan gejala sosial yang tunggal. Sisi-sisinya beragam. Sebagai lembaga yang khas manusia, memahami agama tidak mungkin terlaksana dengan abai terhadap konteks sejarahnya. Bagi Marx, melepaskan kiritk agama dari kritik konteks materialnya, hampir serupa dengan omong kosong. Kritik terhadap agama tanpa kritik terhadap tatanan sosial tempat agama tersebut tumbuh hanya menceburkan diri ke dalam pertarungan melawan bayangan. Kritik Marx ini ditujukan kepada filsuf-filsuf Jerman seperti Ludwig Feuerbach dan Max Stirner yang puas dengan revolusi pemikiran saja.

Bila Marx dan Engels muda menjelaskan gejala keagamaan dengan melihat konteks sosial-historisnya, tidak demikian halnya dengan Engels di masa tua dan para Marxis ortodoks seperti Karl Kautsky atau Paul Lafargue. Alih-alih menerapkan ‘konsepsi materialis atas sejarah’ terhadap agama, kaum Marxis ortodoks menjiplak antropolog evolusionis klasik yang menjelaskan asal-mula agama dan moralitas sebagai gejala alamiah-psikologis. Dalam tulisannya Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman (1886), Engels menyatakan bahwa gagasan tentang roh dan keabadian muncul dari upaya intelektual untuk memahami hantu-hantu mimpi dan kematian. Tuhan, menurut Engels, pertama muncul dari pempribadian kekuatan-kekuatan alam (MESW vol.2). Dalam karyanya Anti-Dühring (1878), dengan nada sama Engels mendasarkan diri pada gagasan Muller, Tylor, dan Feuerbach bahwa seluruh agama: “tiada lain adalah pantulan khayal dalam pikiran manusia terhadap kekuatan-kekuatan di luar dirinya yang mengendalikan kehidupan sehari-hari mereka, suatu pantulan pikiran tempat kekuatan-kekuatan bumi mengambil bentuk kekuatan-kekuatan adikodrati.” (Engels, Anti-Duhring, Hastamitra h. 420). Lebih lanjut, persis seperti teori agama E.B. Tylor, Engels menyatakan bahwa “Pada permulaan sejarah, agama adalah kekuatan alam yang mula-mula dipantulkan pikiran, dan melalui evolusi selanjutnya mengalami pempribadian yang beragam dalam masyarakat yang berbeda-beda... tetapi tidak lama sebelumnya, berdampingan dengan kekuatan alam, kekuatan sosial mulai aktif—kekuatan yang membenturkan manusia yang sama asingnya dengan yang pertama kali tidak dapat dijelaskan... masih dalam tahap selanjutnya, seluruh sifat kealaman dan sosial dari berbagai Tuhan diubah ke dalam Tuhan yang Mahakuasa, yang tidak lain adalah abstraksi dari manusia abstrak. Itulah asa-usul monoteisme” (ibid, h. 421).

Penjelasan gejala ketuhanan seperti ini jelas terpengaruh berbagai teori antropologi klasik tentang evolusi gagasan ketuhanan, terutama dari E.B. Tylor. Menurut Bloch, kecenderungan di kalangan Marxis setelah kematian Marx (1883) hingga 1917 memang menunjukkan kuatnya pengaruh perkembangan ilmu-ilmu evolusionistik. Tokoh-tokoh evolusionis seperti Herbert Spencer, Charles Darwin, atau E.B. Tylor tampak begitu merasuk ke dalam pemikiran ‘Engels tua’ dan para Marxis awal (M. Bloch, Marxism and Anthropology, Oxford h. 99).







KATA PENGANTAR
Menurut rencana semula penulis, brosur ini semestinya dimaksudkan untuk mengembangkan secara terperinci ide-ide yang dinyatakan dalm artikel “Dari Mana Mulai ?” (Iskra2 No. 4, Mei 1901)3. dan kami pertama-tama harus minta maaf kepada pembaca karena kelambatan dalam memenuhi janji yang diberikan dalam artikel tersebut (dan yang diulangi dalam jawaban kepada banyak pertanyaan dan surat perseorangan). Salah satu sebab dari kelambatan ini ialah usaha yang dilakukan dalam bulan Juni yang lalu (1901) untuk mempersatukan semua organisasi sosial-demokrat di luar negeri. Sudah sewajarnyalah menantikan hasil-hasil dari usaha ini dulu, karena jika seandainya ia berhasil barangkali perlu memaparkan pandangan-pandangan Iskra mengenai organisasi dari sudut yang agak berlainan; dan bagaimanapun juga, hasil yang demikian itu menjanjikan pengakhiran yang cepat sekali adanya dua aliran dalam sosial-demokrasi Rusia. Seperti pembacaketahui, usaha itu gagal dan, sebagaimana akan kami coba buktikan di bawah ini, tidak dapat tidak berakhir demikian sesudah pembelokan baru Raboceye Dyelo4, dalam No. 10, ke ekonomisme. Ternyata mutlak perlu memulai perjuangan yang gigih menentang aliran yang tidak tegas gan tidak menentu, tetapi sangat ulet ini, aliran yang bisa muncul lagi dalam bermacam-macam bentuk. Karena itu, rencana semula brosur ini diubah dan sangat diperluas.
Temanya yang pokok semestinya tiga soal yang diajukan dalam artikel “Dari Mana Mulai?”—yaitu soal-soal tentang watak dan isi pokok agitasi politik kita, tugas-tugas organisasi kita dan rencana untuk membangun, serempak dan dari berbagai pihak, organisasi se-Rusia yang militan. Soal-soal ini sudah lama menarik perhatian penulis yang sudah mencoba mengetengahkannya dalam Rabocaya Gazeta5 dalam salah satu usaha yang tidakberhasil menghidupkan kembali surat kabar itu (lihat Bab V). tetapi rencana semula untuk membatasi brosur ini pada analisa mengenai ketiga soal ini saja san untuk menyatakan pandangan-pandangan kita dalam bentuk yang sepositif mungkin, tanpa memasuki atau hampir tanpa memasuki polemik, ternyata tak dapat dilakukan sama sekali karena dua sebab. Di satu pihak, ekonomisme ternyata jauh lebih ulet daripada dugaan kita (kita gunakan kata ekonomisme dalam arti yang luas, seperti yang diterangkan dalam Iskra No. 12 (Desember 1901), dalam artikel “Percakapan Dengan Pembela-Pembela Ekonomisme”, yang boleh dikatakan merupakan ringkasan brosur ini6. menjadi pastilah bahwa pandangan-pandangan yang berbeda-beda mengenai pemecahan ketiga soal ini jauh lebih banyak disebabkan oleh pertentangan fundamental di antara kedua aliran dalam sosial-demokrasi Rusia daripada oleh perbedaan pendapat mengenai soal-soal detail. Di pihak lain, kebingungan kaum ekonomis mengenai penerapan praktis pandangan-pandangan kita dalam Iskra menyingkapkan dengan jelas bahwa kita sering berbicara benar-benar dalam bahasa yang berlainan, bahwa karena itu kita tidak dapat mencapai pengertian apapun tanpa mulai ab ovo*, dan bahwa perlulah diusahakan, dengan cara sepopuler mungkin dan dilukiskan dengan banyak sekali contoh yang konkrit, secara sistematis “menjelaskan” semua pokok fundamental perbedaan-perbedaan pendapat kita dengan semua ekonomis. Dan saya mengambil keputusan untuk berusaha “menjelaskan” perbedaan-perbedaan pendapat itu, dengan menyadari sepenuhnya bahwa hal ini akan sangat menambah tebalnya brosur dan memperlambat penerbitannya, tetapi bersamaan itu saya tidak melihat jalan lain untuk memenuhi janji yang telah saya berikan dalam artikel “Dari Mana Mulai ?”.  Jadi, selain minta maaf karena kelambatannya, saya harus pula minta maaf karena banyaknya kekurangan yang bersifat sastra dari brosur ini. Saya harus bekerja sesegera mungkin, dan tambahan pula sering kali disela pekerjaan lain.
Analisa mengenai ketiga soal tersebut di atas tetap merupakan tema pokok brosur ini, tetapi saya harus mulai dengn dua soal yang lebih bersifat umum: mengapa semboyan yang “tak berdosa” dan “wajar” seperti “kebebasan mengkritik” merupakan isyarat tempur yang sesungguhnya bagi kita ? Mengapa kita tak dapat mencapai kata sepakat bahkan mengenai soal pokok peranan kaum sosial-demokrat dalam hubungan dengan gerakan massa yang spontan. Selanjutnya, penguraian tentang pandangan-pandangan mengenai watak dan isi pokok agitasi politik menjadi penjelasan tentang perbedaan antara politik trade-unionis dengan politik sosial-demokrat, sedang penguraian tentang pandangan-pandangan mengenai tugas-tugas organisasi menjadi penjelasan tentang perbedaan antara kerajinan tanganisme yang memuaskan kaum ekonomis dengan organisasi kaum revolusioner yang menurut pendapat kita perlu. Kemudian saya lebih-lebih lagi mempertahankan “rencana” untuk surat-kabar politik se-Rusia karena semakin tidak beralasannya keberatan-keberatan yang diajukan terhadapnya, dan karena semakin kurang mengenai pokoknya jawaban atas pertanyaan yang saya ajukan dalam artikel “Dari Mana Mulai ?” mengenai bagaimana kita dapat mulai serempak dari segala segi mendirikan organisasi yang kita butuhkan. Akhirnya, dalam bagian penutup brosur ini, saya berharap dapat menunjukkan bahwa kita telah melakukan apa saja yang dapat kita lakukan untuk mencegah perpecahan yang menentukan dengan kaum ekonomis, yang wlaupun demikian ternyata tak dapat dielakkan; bahwa Raboceye Dyelo telah memperoleh arti khusus, arti “bersejarah”, kalau kalian menghendaki, karena ia dengan sangat sepenuhnya dan sangat gamblang mengungkapkan bukan ekonomisme yang konsekwen melainkan kekalutan dan kebimbangan yang merupakan ciri khas satu periode penuh dalam sejarah sosial-demokrasi Rusia; dan bahwa karena itu polemik dengan Raboceye Dyelo, yang sepintas kilas mungkin tampaknya dilakukan secara terlalu detail, juga memperoleh arti penting, karena kita tak dapat melangkah maju jika kita tidak melikwidasi periode ini secara definif.
N. Lenin
Februari 1902

DOGMATISME DAN “KEBEBASAN MENGKRITIK”

A.     APAKAH “KEBEBASAN MENGKRITIK “ ITU ?
“Kebebasan mengkritik” memang pada waktu sekarang merupakan semboyan yang paling menjadi mode dan semboyan, yang paling sering digunakan dalam perdebatan-perdebatan antara kaum sosialis dengan kaum demokrat semua negeri. Sepintas kilas, sukar dibayangkan adanya sesuatu yang lebih aneh daripada penunjukan-penunjukan khidmat dari salah satu pihak yang berdebat mengenai kebebasan mengkritik. Apakah dalam partai-partai yang maju ada terdengar suara-suara menentang hukum konstitusional kebanyakan negeri Eropa yang menjamin kebebasan ilmu dan penelitian ilmiah ? “Nampaknya ada sesuatu yang tidak beres di sini!”—demikianlah akan komentar orang luaran yang belum menangkap sepenuhnya hakekat perbedaan-perbedaan pendapat di antara orang-orang yang berdebat itu, tetapi telah berulang-kali mendengar semboyan yang menjadimode ini di setiap persimpangan jalan. “Semboyan  ini, rupanya, salah satu semboyan dari kata-kata yang sudah lazim yang, seperti nama julukan, menjadi sah karena kebiasaan dan hampir menjadi nama”.
Sebenarnya, bukanlah rahasia bahwa dalam sosial-demokrasi internasional* dewasa ini terbentuk dua aliran. Perjuangan di antara kedua aliran ini kadang-kadang menyala berkobar-kobar, dan kadang-kadang mereda dan membara di bawah abu “resolusi-resolusi gencatan senjata” yang mengesankan. Berupa apa aliran ‘baru” ini, yang mengambil sikap “kritis” terhadap Marxisme “usang yang dogmatis”, dengan cukup tepat telah dinyatakan oleh Bernstein dan ditunjukkan oleh Millerand.
Sosial-demokrasi haruslah berubah dari partai revolusi sosial menjadi partai demokratis dari reform-reform sosial. Bernstein telah mengelilingi tuntutan-tuntutan politik ini dengan sederetan argumen dan pertimbangan “baru” yang disusun dengan cukup terkoordinasi. Kemungkinan meletakkan sosialisme pada dasar ilmiah dan kemungkinan membuktikan dari sudut konsepsi materialis tentang sejarah bahwa sosialisme adalah perlu dan tak terelakkan diingkari; fakta meningkatnya kemiskinan, proletarisasi dan menajamnya kontradiksi-kontradiksi kapitalis juga diingkari. Konsepsi “tujuan terakhir” itu sendiri dinyatakan sebagai tidak beralasan, dan ide tentang diktatur proletariat ditolak dengan mutlak; pertentangan secara prinsip antara liberalisme dengan sosialisme diingkari; teori perjuangan klas ditolak dengan dalih bahwa ia seakan-akan tak dapat diterapkan pada masyarakat yang betul-betul demokratis, yang diatur menurut kehendak mayoritas, dsb.
Dengan demikian, tuntutan untuk pembelokan yang tegas dari sosial-demokrasi revolusioner ke sosial-reformisme borjuis itu dibarengi dengan pembelokan yang tidak kurng tegasnya ke arah kritik borjuis terhadap semua ide fundamental Marxisme. Dan, karena kritik terhadap Marxisme dilancarkan sudah sejk lama, baik dari mimbar politik maupun dari mimbar universitas, baik dalam banyak brosur maupun dalam sejumlah karya ilmiah; karena seluruh angkatan muda dari klas-klas terpelajar secara sistematis telah dididik selama puluhan tahun dalam kritik ini, maka tidaklah mengherankan kalau aliran “kritis baru” dalm sosial-demokrasi akan timbul, serba lengkap, seperti Minerva dari kepala Yupiter12. Menurut isinya, aliran ini tidak perlu berkembang dan mengambil bentuk; ia dipindahkan langsung dari literatur borjuis ke literatur sosialis.
Seterusnya. Jika kritik teori dan perdambaan politik Bernstein masih belum jelas bagi seseorang, orang Prancis telah berusaha mendemonstrasikan ‘metode baru” itu dengan gamblang. Kali ini juga Perancis telah membenarkan reputasi lamanya sebagai ‘negeri yang dalam sejarahnya perjaugnan klas, lebih daripada yang di tempat lain manapun juga, dilakukan sampai akhir yang menentukan” (Engels, dalam kata pengantarnyapada karya Marx 18 Brumaire13). Kaum sosialis Perancis mulai bukan dengan berteori melainkan langsung bertindak. Syarat-syarat politik yang secara demokratis lebih maju di Perancis telah mengizinkan mereka untuk segera beralih ke “Bernsteinisme dalam praktek”, dengan segala akibatnya. Millerand telah memberikan contoh yang bagus sekali mengenai Bersteinisme dalam praktek ini; bukan tanpa alasan baik Bernstein maupun Vollmar dengan begitu bersemangat buru-buru membela dan memuji-muji Millerand! Memang, jika sosial-demokrasi pada hakekatnya hanya merupakn partai reform saja, dan harus memiliki keberanian mengakui ini dengan terang-terangan, maka seorang sosialis tidak hanya berhak turut serta dalam kabinet borjuis, tetapi bahkan harus selalu berusaha keras untuk itu. Jika demokrasi pada hakekatnya berarti penghancuran kekuasaan klas, maka mengapa pula seorang menteri sosialis tidak boleh memikat hati seluruh dunia borjuis dengan pidato-pidato tentang kolaborasi klas? Mengapa pula dia tidak boleh tetap duduk dlam kabinet bahkan sesudah pembunuhan atas diri kaum buruh oleh gendarme-gendarme14 menelanjangi, untuk keseratus dan keseribu kalinya, watak sesungguhnya kolaborasi demokratis klas-klas itu ? Mengapa pula dia tidak boleh mengambil bagian sendiri dalam memberi salam kepada tsar, yang bagi kaum sosialis Perancis sekarang tidak punya mempunyai nama lain daripada pahlawan tiang gantungan, cambuk dan pembuangan (knoteur, pendeur et deportateur) ? Dan ganjaran bagi penghinaan yang tak terhingga serta peludahan diri sosialisme di hadapan seluruh dunia. Ganjaran untuk pembejatan kesedaran sosialis massa buruh—satu-satunya dasar yang dapat menjamin kemenangan kita—ganjaran untuk ini ialah rencana-rencana yang muluk-muluk untuk perbaikan-perbaikan kecil-kecilan, begitu kecil sebetulnya, sehingga lebih jauh banyak yang telah diperoleh dari pemerintahan-pemerintah borjuis!
Barang siapa tidak dengan sengaja menutup mata tidak boleh tidak pasti melihat bahwa aliran “kritis” baru dalam sosialisme tidak bisa lain daripada oportunisme variasi baru. Dan jika kita menilai orang tidak menurut pakaian seragam yang berkilauan yang mereka pakai, tidak menurut nama julukan mentereng yang mereka berikan pada dirinya sendiri, tetapi menurut perbuatan mereka dan menurut apa yang benar-benar mereka propagandakan, maka akan jelaslah bahwa “kebebasan mengkritik” itu berarti kebebasan bagi aliran oportunis dalam sosial-demokrasi, kebebasan untuk mengubah sosial-demokrasi menjadi partai reform demokrat, kebebasan untuk memasukkan ide-ide dan elemen-elemen borjuis ke dalam sosialisme.
“Kebebasan” adalah suatu perkataan agung, tetapi di bawah panji kebebasan perdagangan orang melakukan perang yang paling bersifat perampokan; di bawah panji kebebasan kerja, kaum pekerjapekerja dirampok. Pemakaian istilah “kebebasan mengkritik” masa kini mengandung kepalsuan yang inheren itu juga. Orang-orang yang benar-benar yakin bahwa mereka telah memajukan ilmu tidak akan menuntut kebebasan bagi pandangan-pandangan baru untuk terus berdampingan dengan yang lama, tetapi menuntut penggantian pandangan-pandangan yang lama oleh yang baru. Teriakan “Hidup kebebasan mengkritik!”, yang terdengar dewasa ini, terlalu mengingatkan pada dongengan tentang tong kosong15.
Kita sedang berjalan dalam rombongan yang kompak di atas jalan yang curam dan sukar, dengan kuat-kuat berpegangan satu sama lain. Kita terkepung oleh musuh dari segenap penjuru dan kita harus maju di bawah tembakan mereka yang hampir terus-menerus. Kita telah menggabungkan diri dengan sukarela, justu untuk berjuang  melawan musuh dan bukan untuk mundur ke rawayang terletak di sebelah, yang penghuninya dari sejak semul telah mencerca kita karena telah memisahkan diri dan membentuk grup tersendiri dan telah memilih jalan berjuang, dan bukan jalan perdamaian. Dan sekarang sementara orang di antara kita mulai berteriak: mari kita masuk ke rawa ini! Dan ketika kita mulai memberi malu mereka, mereka menjawab: alangkah terbelakangnya kalian ini! Tidakkah kalin malu tidak memberikan kebeasanbagi kami mengajak kalian untuk menempuh jlan yang lebih baik! Oh, ya, Tuan-Tuan! Tuan-Tuan tidak hanya bebas untuk pergi kemana saja tuan-tuan kehendaki, ke rawa sekalipun; kami bahkan berpendapat bahwa rawa itulah tempat kalian yang sebenarnya, dan kami bersedia memberikan segala bantuan untuk kepindahan kalian ke situ. Hanya saja lepaskan tangan kami, jangan berpegang kuat-kuat pada kami, jangan mengotori perkataan kebebasan yang agung itu, karena kamipun ‘bebas” untuk pergi kemana saja sesuka hati kami, bebas untuk berjuang tidak hanya melawan rawa itu, tapi juga melawan mereka yang membelok ke rawa itu!
*  *  *

B. PEMBELA-PEMBELA BARU “KEBEBASAN MENGKRITIK”
Nah, semboyan ini (“kebebasan mengkritik”) akhir-akhir ini saja telah diajukan dengan khidmat dalam Raboceye Dyelo (No.10), organ Perserikatan Kaum Sosial Demokrat Rusia Di Luar Negeri16, bukan sebagai dalil teori melainkan sebagai tuntutan politik, sebagai jawaban atas pertanyaan: “mungkinkah mempersatukan organisasi-organisasi sosial-demokrat yang melakukan aktivitas di luar negeri?”—“supaya persatuan itu bisa kokoh, harus ada kebebasan mengkritik” (hlm.36).
Dari pernyataan ini timbul dua kesimpulan yang tegas sekali; 1) bahw Raboceye Dyelo telah melindungi aliran oportunis dalam sosial-demokrasi internasional umumnya; dan 2) bahwa Raboceye Dyelo menuntut kebebasan bagi oportunisme dalam sosial-demokrasi Rusia. Marilh kita tinjau kesimpulan-kesimpulan ini.
Raboceye Dyelo “terutama” tidak senang dengan “kecenderungan” Iskra dan Zarya17 “meramalkan perpecahan antara Gunung dan Gironde dalam sosial-demokrasi internasional”*.
“Bagi kita pada umumnya”, tulis B. Kricevski, redaktur Raboceye Dyelo, “omongan tentang Gunung dan Gironde ini dalam barisan sosial-demokrasi merupakan analogi sejarah yang dangkal, suatu hal yang ganjil berasal dari pena seorang Marxis. Gunung dan Gironde tidaklah merupakan temperamen atau aliran intelektual yang berlainan, sebgaimana mungkin pendapat para ahli sejarah-ideologis, melainkan klas-klas atau lapisan-lapisan yang berbeda—borjuasi sedang, di satu pihak, dan borjuasi kecil serta proletariat di pihak lain. Akan tetapi dalam gerakan sosialis modern tidak ada konflik kepentingan-kepentingan klas; gerakan sosialis dalam keseluruhannya, segala bentuknya yang bermacam-macam itu” (kursif dari B. Kr.), “termasuk kaum Bernsteinis yang paling karatan, berdiri di atas dasar kepentingan-kepentingan klas proletariat dan perjuangan klasnya untuk pembebasan politik dan ekonomi” (hlm. 32-33).
Suatu pernyataan yang berani! Apakah B. Kricevski belum mendengar kenyataan, yang sudah lama terkenal, bahwa justru turut sertanya secara luas lapisan “akademikus” dalam gerakan sosialis dalam tahun-tahun belakangan ini yang telah menjamin tersebarnya Bernsteinisme dengan begitu cepat? Dan yang paling penting—berdasarkan apa pendapat penulis kita itu bahwa “kaum Bernsteinis yang paling karatan” pun berdiri atas dasar perjuangan klas untuk pembebasan politik dan ekonomi kaum proletariat? Tak seorangpun tahu. Pembelaaan yang gigih atas kaum Bernstein yang paling karatanini tidaklah didukung oleh argumen atau pertimbangan apapun juga. Rupanya, penulis mengira bahwa jika dia mengulangi apa yang dibicarakan oleh kaum Bernstein yang paling karatan tentang diri mereka sendiri, maka pernyataannya itu tidak memerlukan lagi bukti lagi. Tetapi dapatkah orang membayangkan sesuatu yang lebih “dangkal” daripada pendapat seluruh aliran ini yang berdasarkan tidak lain hanya apa yang dibicarakan oleh wakil-wakil aliran itu tentang diri mereka sendiri? Dapatkah orang membayangkan sesuatu yang lebih dangkal daripada “khotbah” selanjutnya tentang kedua tipe atau jalan yang berlainan dan bahkan sama sekali bertentangan dari perkembangan partai ? (Raboceye Dyelo, hlm. 34-35). Kaum sosial-demokrat Jerman, tuan tahu, mengakui kebebasan penuh mengkritik, tetapi orang Perancis tidak, dan justru contoh merekalah yang memperlihatkan segala “kejahatan ketidaktoleranan”.
Terhadap itu kita jawab justru contoh B. Kricevski itulah yang menunjukkan bahwa nama kaum Marxis kadang-kadang dipakai oleh orang-orang yang memandang sejarah benar-benar “menurut Ilowaiski20). Untuk menerangkan persatuan Partai Sosialis Jerman dan berkeping-kepingnya Partai Sosialis Perancis sama sekali tidak perlu mencari-cari ciri-ciri khas sejarah kedua negeri ini, membandingkan keadaan-keadaan setengah absolutisme militer di satu negeri dengan parlementerisme republiken di negeri lainnya, atau menganalisa akibat-akibat Komune Paris dan akibat Undang-undang Anti-Sosialis21; membandingkan kehidupan ekonomi itu, atau mengingat bahwa “pertumbuhan yang tiada bertolak dalam sejarah sosialisme, tidak hanya menentang teori-teori yang keliru (Muhlberger, Duhring*, kaum Katheder Sosialis23, tetapi juga menentang taktik-taktik yang keliru (Lassalle), dsb, dsb. Kesemuanya ini tak berguna ! Orang-orang Prancis bertengkar di antara mereka sendii karena tidak toleran; orang-orang Jerman bersatu karena mereka anak-anak baik.

Dan perhatikan, melalui wawasan mendalam yang tiada bandingannya ini ‘disangkal” fakta yang sepenuhnya membantah pembelaan terhadap kaum Bernsteinis. Apakah kaum Bernsteinis itu betul berdiri di atas dasar perjuangan klas proletariat, soal ini dapat dijawab secara definitif dan pasti hanyalah oleh pengalaman sejarah. Karena itu, dalam hal ini contoh Perancis mempunyai arti yang paling penting, karena Perancis merupakan satu-satunya negeri dimana kaum Bersnsteinis mencoba berdiri bebas, berdiri di atas kaki mereka sendiri, dengan mendapat persetujuan yang hangat dari rekan-rekan mereka bangsa Jerman (dan sebagian juga dari kaum kaum oportunis Rusia; bandingkan Raboceye Dyelo No. 2-3, hlm. 83-84). Menyebut “ketidaktoleranan” orang-orang Perancis, terlepas dari arti “sejarahnya” (dalam arti Nozdryov24), ternyata hanyalah usaha untuk menyembunyikan fakta-fakta yang sangat tidak menyenangkan dengan kata-kata galak.
Kita sekali-kali belum bersedia pula menghadiahkan orang-orang Jerman kepada B. Kricevski dan kepada banyak pembela ‘kebebasan mengkritik” lainnya. Jika “kaum Bernsteinis yang paling karatan” masih dibiarkan  berada dalam barisan-barisan Partai Jerman, ini hanyalah karena mereka tunduk baik kepada resolusi Hanover25, yang dengan tegas menolak ‘amandemen-amandemen” Bernstein, maupun kepada resolusi Lubeck26, yang (kendatipun segala kediplomatisan) mengandung peringatan langsung kepada Bernstein. Bisa diperdebatkan, dari sudut kepentingan-kepentingan Partai Jerman, tepat tidaknya diplomasi itu dan apakah dalam hal ini perdamaian yang jelek lebih baik daripada pertengkaran yang baik; pendeknya, penilaian bisa berbeda mengenai tepat tidaknya satu atau lain cara menolak Bernsteinisme, tetapi tidak dapat tidak orang melihat fakta bahwa Partai Jerman telah dua kali menolak Bernsteinisme. Karena itu, mengira bahwa contoh orang Jerman membenarkan tesis: “kaum Bernsteinis yang paling karatan berdiri di atas dasar perjuangan klas proletariat untuk pembebasan politik dan ekonominya”, berarti sama sekali tidak mengerti apa yang sedang berlangsung di hadapan mata semua orang*.
Tambahan pula, seperti apa yang sudah kita nyatakan Raboceye Dyelo menuntut “kebebasan mengkritik” kepada sosial-demokrasi Rusia dan membela Bernsteinisme. Rupanya ia sampai pada kesimpulan bahwa kita berlaku tidak adil terhadap “kritikus-kritikus” kita dan kaum Bernsteinis. Kritikus-kritikus dan kaum Bernsteinis yang mana ? Siapa yang tidak adil ? Di mana dan kapan? Bagaimana ketidakadilan itu ? Mengenai ini Raboceye Dyelo bungkam, tidak menyebut satu kali pun seorang kritikus atau seorang Bernsteinis Rusia ! Bagi kita hanya tinggal satu dari dua dugaan yang mungkin: Atau, bahwa pihak yang diperlakukan tidak adil itu tidak lain dan tidak bukan Raboceye Dyelo itu sendiri (dan ini dibenarkan oleh kenyataan bahwa dalam kedua artikel dalam No. 10 hanya disebutkan ketidakadilan-ketidakadilan yang dialami Raboceye Dyelo dari Zarya dan Iskra). Jika demikian halnya, bagaimana orang menerangkan keanehan ini yaitu bahwa Raboceye Dyelo, yang selalu gigih memisahkan diri dari segala solidaritas dengan Bernsteinisme, tidak dapat membela diri, tanpa mengucapkan kata-kata baik demi “kaum Bernsteinis yang paling karatan” dan kebebasan mengkritik ? Atau ada orang-orang ketiga yang telah diperlakukan tidak adil. Jika begini halnya, apa sebabnya gerangan maka tidak menyebut mereka itu ?
Karena itu kita lihat bahwa Raboceye Dyelo terus main umpet-umpetan yang sudah ia mainkan (sebagaimana akan kita tunujukkan berikut ini) sejak mulai penerbitannya. Dan kemudian perhatikanlah penerapan sungguh-sungguh yang pertama kali ini dari “kebebasan mengkritik” yang dipuji-puji itu. Sebetulnya pentrapan itu segera menjadi bukan hanya ketiadaan segala kritik, melainkan juga ketiadaan pendapat sendiri pada umumnya. Justru Raboceye Dyelo sendiri yang bungkam mengenai Bernsteinisme Rusia seolah-olah ia itu penyakit rahasia (menggunakan ungkapan Starower28 yang kena) mengusulkan, guna pengobatan penyakit ini, supaya menjiplak kata demi kata resep Jerman yang terakhir untuk pengobatan penyakit itu dalam variasi Jerman. Bukannya kebebasan mengkritik—peniruan yang membudak (lebih buruk lagi: peniruan seperti monyet !). Isi  sosial dan politik yang sama dari oportunisme internasional modern menampakkan diri dalam satu atau lain variasi menurut kekhususan-kekhususan nasionalnya. Di satu negeri grup oportunis sudah sejak lama tampil di bawah panji tersendiri, di negeri lain kaum oportunis tidak mau tahu akan teori dan dalam praktek menjalankan politik kaum radikal-sosialis; di negeri yang ketiga, beberapa anggota partai revolusioner telah lari ke kubu oportunisme dan berusaha keras mencapai tujuan-tujuan mereka tidak dengan perjuangan terbuka untuk prinsip-prinsip dan taktik-taktik baru, ttetapi dengan membejatkan partai mereka secara berangsur-angsur, tidak kentara dan, jika orang boleh mengatakannya, tidak dapat dihukum. Di negeri yang keempat, desertir-desertir yang demikian itu menggunakan cara-cara yang sama dalam kegelapan perbudakan politik dan dalam saling hubungan yang sungguh-sungguh orisinal antara kegiatan “legal” dengan kegiatan “ilegal” dsb, dsb. Berbicara tentang kebebasan mengkritik dan kebebasan Bernsteinisme sebagai syarat untuk mempersatukan kaum sosial-demokrat Rusia, tetapi tidak memberikan analisa bagaimana Bernsteinisme Rusia menyatakan diri dan hasil-hasil khas apa yang telah dibawanya, ini berarti berbicara dengan maksud tidak berbicara apa-apa.
Marilah kita sendiri mencoba, sekalipun dengan beberapa patah kata, mengatakan apa yang tidak hendak dikatakan (atau barangkali bahkan tidak dimengerti) oleh Raboceye Dyelo.
C. KRITIK DI RUSIA
Kekhususan utama Rusia dalam hubungan dengan hal yang sedang kita tinjau ialah bahwa awal mula gerakan buruh yang spontan, di satu pihak, dan pembelokan pendapat umum progressif ke arah Marxisme di pihak lain, ditandai dengan kombinasi elemen-elemen yang jelas beraneka-ragam di bawah panji bersama untuk perjuangan melawan musuh bersama juga (pandangan dunia sosial politik yang sudah usang29). Kita berbicara tentang bulan madu “Marxisme legal”. Umumnya, ini adalah gejala yang luar biasa ganjilnya yang dalam tahun-tahun 80-an atau awal tahun-tahun 90-an tak seorangpun akan percaya pada kemungkinannya. Di sebuah negeri otokrasi, dimana pers dikungkung sepenuhnya, dan dalam zaman reaksi politik yang hebat dimana tunas ketidakpuasan dan protes politik yang sekecil-kecilnya pun diuber-uber, teori Marxisme revolusioner tiba-tiba menerobos masuk ke dalam literatur yang tersensor, dan meskipun dibentangkan dalam bahasa Esopus (penyair dongeng Yunani pada abad ke-6 sebelum masehi—Red. IP) tetapi dimengerti oleh yang ‘berkepentingan”. Pemerintah telah membiasakan diri memandang hanya teori Narodnaya Wolya-isme (revolusioner) saja yang berbahaya, dengan tidak, sebagaimana biasanya, memperhatikan evolusi internnya dan menyambut gembira setiap kritik yang dilontarkan terhadap teori itu. Tidak sedikit waktu berlalu (menurut perhitungan Rusia kita) sebelum pemerintah menyadari apa yang telah terjadi dan tentara sensor serta gendarme yang canggung itu memergoki musuh baru dan menyergapnya. Sementara itu buku-buku Marxis diterbitkan satu demi satu, majalah-majalah dan surat-surat  kabar  Marxis dikeluarkan hampir semua orang menjadi Marxis, kaum Marxis disanjung-sanjung, orang bermanis-manis dengan kaum Marxis dan penerbit-penerbit buku sangat gembira dengan penjualan buku-buku Marxis yang luar biasa larisnya. Sepenuhnya bisa dimengerti bahwa di antara orang-orang Marxis baru yang tersekap dalam suasana ini akan terdapat lebih dari seorang “pengarang yang menjadi besar kepala……”30
Kita sekarang dapat dengan tenang membicarakan periode ini sebagai peristiwa masa silam. Bukanlah rahasia bahwa periode singkat dimana Marxisme bersemarak pada permukaan literatur kita ditimbulkan oleh persekutuan antara orang-orang berpandangan ekstrim dengan orang-orang yang berpandangan sangat moderat. Pada hakekatnya yang tersebut belakangan adalah kaum demokrat borjuis; dan kesimpulan ini (yang begitu menyolok dibenarkan oleh perkembangan “kritis” mereka selanjutnya) muncul pada sementara orang bahkan pada waktu ‘persekutuan” itu masih utuh*.
Kalau demikian halnya, tidaklah tanggung jawab yang paling besar atas “kekalutan” kemudian terletak justru pada kaum sosial-demokrat revolusioner yang masuk persekutuan dengan bakal “kritikus-kritikus” itu ? Pertanyaan ini, bersama-sama dengan jawaban yang mengiyakan, kadang-kadang terdengar dari orang-orang yang berpandangan terlampau kaku. Tetapi orang-orang ini salah sama sekali. Hanyalah mereka yang tidak yakin akan diri sendiri bisa takut mengadakan persekutuan-persekutuan sementara, sekalipun dengan orang-orang yang tidak dapat dipercaya; tak ada satu partai politik pun yang dapat bereksistensi tanpa persekutuan-persekutuan demikian. Dan penggabungan dengan kaum Marxis legal menurut macamnya adalah persekutuan politik pertama yang sungguh-sungguh dari kaum sosial-demokrat Rusia. Berkat persekutuan ini kemenangan yang mengagumkan cepatnya atas Narodisme dapat dicapai, dan ide-ide Marxisme (sekalipun dalam bentuk yang divulgerkan) menjadi sangt tersebar luas. Lagipula persekutuan itu diadakan bukan tanpa “syarat-syarat” sama-sekali. Buktinya: pembakaran kumpulan tulisan Marxis Bahan-Bahan Tentang Masalah Perkembangan Ekonomi Rusia31 oleh sensor dalam tahun 1895. jika sekiranya persetujuan di bidang literatur dengan kaum Marxis legal dapat diibaratkan persekutuan politik, maka buku itu dapat diibaratkan perjanjian politik.
Perpecahan sudah barang tentu tidaklah timbul karena “sekutu-sekutu” itu ternyata kaum sosial-demokrat borjuis. Sebaliknya, wakil-wakil dari aliran yang tersebut belakangan adalah sekutu-sekutu sosial-demokrasi yang sewajarnya dan diinginkan karena hal ini menyangkut tugas-tugas demokratisnya, yang dikedepankan oleh situasi dewasa ini di Rusia. Tetapi syarat yang diperlukan untuk persekutuan demikian itu ialah kesempatan penuh bagi kaum sosialis untuk mengungkapkan kepada klas buruh bahwa kepentingan-kepentingannya bertentangan secara bermusuhan dengan kepentingan-kepentingan borjuasi. Akan tetapi Bernsteinisme dan aliran ‘kritis”, kepada siapa mayoritas kaum Marxis legal berpaling, merampas kesempatan ini dan membejatkan kesedaran sosialis dengan memvulgarkan Marxisme, dengan mengkhotbahkan teori peredaan kontradiksi-kontradiksi sosial, dengan menyatakan ide revolusi sosial dan diktatur proletariat sebagai nonsen, dengan mengubah gerakan buruh dan perjuangan klas menjadi trade-unionisme yang sempit dan perjuangan “realistis” untuk reform kecil-kecilan dan berangsur-angsur. Ini sama sepenuhnya dengan semokrasi borjuis yang mengingkari hak sosialisme atas kebebasan dan oleh karenanya juga mengingkari haknya untuk bereksistensi; dalam praktek ini berarti usaha untuk mengubah gerakan buruh yan baru mulai itu menjadi embel-embel kaum liberal.
Sewajarnyalah, di bawah keadaan-keadaan demikian itu perpecahan adalah perlu. Tetapi ciri “khas” Rusia menyatakan diri dalam hal bahwa perpecahan ini berarti betul-betul penyingkiran kaum sosial-demokrat dari literatur “legal” yang paling mudah dimengerti dan luas tersebar. Kaum “bekas Marxis” yang mengibarkan panji “kritik” dan yang hampir memegang monopoli untuk “menghancurkan” Marxisme, mengkonsolidasikan diri dalam literatur ini. Teriakan-teriakan: “Lawan keortodoksan” dan “Hidup kebebasan mengkritik” (sekarang diulang-ulang Raboceye Dyelo), segera menjadi mode, dan sensor bersama gendarme pun tak dapat membendung mode ini, ini tampak dari kenyataan diterbitkannya buku Bernstein yang termasyur (termasyur dalam arti Herostratus32) dalam tiga edisi Rusia dan dari kenyataan bahwa buku-buku Bernstein, Tuan Prokopowic dan lain-lainnya dianjurkan oleh Zubatov33 (Iskra No. 10). Di atas pundak kaum sosial-demokratlah sekarang terletak tugas yang memang sudah sulit dan dan yang dibikin menjadi tak terbayangkan lebih sulitnya oleh rintangan-rintangan yang semata-mata dari luar, yaitu tugas berjuang menentang aliran baru itu. Dan aliran ini tidak membatasi diri pada bidang literatur. Pembelokan ke arah “kritik” dibarengi kecenderungan ke arah “ekonomisme” di kalangan pekerja-pekerja praktis sosial-demokrat.
Bagaimana timbul dan tumbuhnya hubungan dan saling ketergantungan secara kritik legal dengan ekonomisme ilegal, soal yang menarik ini dapat menjadi pokok  sebuah artikel sendiri. Di sini kita cukup mencatat adanya secara pasti hubungan ini. Kemasyuran yang sudah selayaknya diperoleh Credo* itu justru karena keterusterangannya dalam merumuskan hubungan ini dan membocorkan kecenderungan politik fundamental “ekonomisme”: biarkan kaum buruh melakukan perjuangan ekonomi (akan lebih tepat lagi mengatakan:perjuangan trade-unionis, karena yang tersebut belakangan ini juga mencakup politik buruh yang spesifik), dan biarkan kaum cendekiawan Marxis bersatu padu dengan kaum liberal untuk “perjuangan” politik. Jadi, pekerja trade-unionis “di kalangan rakyat” berarti memenuhi paro pertama tugas ini, dan kritik legal berarti memenuhi paro kedua. Pernyataan ini merupakan senjata yang begitu cemerlang untuk melawan ekonomisme sehingga, seandainya tidak ada Credo itu, ia patut diciptakan.
Credo itu tidak dikarang-karang tetapi disiarkan tanpa persetujuan dan barangkali bahkan bertententangan dengan kehenda penulis-penulisnya. Bagaimanapun juga penulis buku ini, yang ambil bagian dalam menyeret “program” baru ini ke bawah sinar matahari*, telah mendengar keluhan dan umpatan bahwa salinan dari ikhtisar pandangan-pandangan pembicara disebarluaskan, diberi nama Credo, dan bahkan disiarkan dalam pers bersama-sama dengan protesnya ! Kita singgung episode ini karena episode ini menyingkapkan ciri yang interesan dari ekonomisme kita: ketakutan pada publisitas. Ini justru ciri ekonomisme pada umumnya dan bukan ciri para penulis Credo itu saja. Ia diperlihatkan oleh pendukung ekonomisme yang paling terus-terang dan jujur, Rabocaya Misl36, dan oleh Raboceye Dyelo (yang marah-marah karena dimuatnya dokumen-dokumen “ekonomis” dalam Vademecum37) dan juga oleh Komite Kiev, yang dua tahun lalu tidak mau memberi izin dimuatnya profession de foi-nya38 bersama-sama dengan bantahan* tertulis terhadapnya, dan oleh banyak dan banyak lagi wakil perorangan ekonomisme.

Rasa takut pada kritik yang diperlihatkan oleh pendukung-pendukung kebebasan mengkritik tak dapat dikatakan semata-mata karena kelicikan (meskipun kadang kala, sudah pasti, kelicikan itu ada sangkut paut dengannya: akan tidak bijaksana membiarkan tunas-tunas yang masih lemah dari aliran baru mendapt serangan-serangan dari lawan!). tidak, mayoritas kaum ekonomis sungguh-sungguh tidak menyetujui (dan menurut hakekat ekonomisme itu sendiri mereka pasti tidak menyetujui) segala perdebatan teori, perbedaan pendapat faksi, soal-soal politik yang luas, rencana-rencana untuk mengorganisasi kaum revolusioner, dsb. “Serahkan itu semuanya kepada orang-orang di luar negeri!” kata salah seorang ekonomis yang agak konsekwen kepada saya suatu hari dan dengan itu dia menyatakan pendapat yang sangat tersebar luas (dan tambahan pula pendapat yang trade-unionis tulen): urusan kita ialah gerakan buruh, organisasi-organisasi kaum buruh di sini, di daerah kita, sedang lain-lainnya adalah isapan jempol kaum doktriner, “penilaian terlalu tinggi arti penting ideologi”, sebagaimana dinyatakan oleh para penulis surat yang dimuat dalam Iskra No. 12, senada dengan Raboceye Dyelo No.  10.
Sekarang timbul pertanyaan: karena demikian ciri-ciri khas “kritik” Rusia dan Bernsteinisme Rusia, maka apa seharusnya tugas orang-orang yang ingin menjadi penentang oportunisme dalam perbuatan dan bukan dalam kata-kata belaka ? Pertama-tama, mereka seharusnya melakukan usaha untuk memulai lagi pekerjaan teori yang baru saja dimulai pada masa Marxisme legal dan yang sekarang telah jatuh lagi pada pundak aktivis ilegal. Tanpa pekerjaaan demikian itu tidak mungkin ada perkembangan gerakan yang berhasil baik. Kedua, seharusnya dengan aktif tampil berjuang melawan “kritik” legal yang sangat merusak pikiran orang. Ketiga, seharusnya dengan aktif melawan kekalutan dan keragu-raguan dalam gerakan praktis, menelanjangi dan menolak segala percobaan yang secara sedar atau tidak sedar memerosotkan program dan taktik kita.
Bahwasanya Raboceye Dyelo tidak melakukan satu pun dari ketiga hal ini sudah umum diketahui dan selanjutnya kita akan membicarakan secar terperinci kenyataan yang sudah terkenal ini dari berbagai segi. Akan tetapi pada saat ini kita hanya ingin menunjukkan betapa menyoloknya kontradiksi antara tuntutan akan “kebebasan mengkritik” dengan ciri khas kritik dalam negeri kita dan ekonomisme Rusia. Memang, lihatlah naskah resolusi dimana Perserikatan Sosial-Demokrat Rusia Di Luar Negeri menyetujui pandangan Raboceye Dyelo.
“Untuk kepentingan perkembangan ideologi sosial-demokrasi selanjutnya, kita mengakui kebebasan mengkritik teori sosial-demokratis dalam literatur Partai sebagai mutlak perlu selama kritik ini tidak bertentangan dengan watak klas dan watak revolusioner teori ini” (Dua Kongres, hlm. 10)
Dan argumentasinya: resolusi itu “dalam bagian  pertamanya bersesuaian dengan resolusi Kongres Partai di Lubeck tentang Bernstein…..” Karena kesederhanaan jiwanya kaum “Perserikatan” itu tidak melihat testimonium paupertatis (surat keterangan tentang kemiskinan) apa yang mereka berikan kepada diri mereka sendiri dengan kesukaan meniru-niru ini !……” Tetapi….. dalam bagiannya yang kedua, resolusi itu membatasi kebebasan mengkritik jauh lebih banyak daripada yang dilakukan Kongres Partai di Lubeck”.
Jadi, resolusi Perserikatan itu ditujukan terhadap kaum Bersnteinis Rusia ? Jika tidak, menunjuk kepada Lubeck adalah sepenuhnya nonsen ! Tetapi tidaklah tepat mengnatakan bahwa resolusi itu “membatasi kebebasan mengkritik”. Dalam menerima resolusi Hanover mereka, orang-orang Jerman, pasal demi pasal, menolak justru amandemen-amandemen yang diajukan oleh Bernstein, sedang dalam resolusi Lubeck mereka, mereka memperingatkan Bernstein sendiri, dengan menyebutkan dia dalam resolusi itu. Tetapi penjiplak-penjiplak kita yang “bebas” itu sepatah kata pun tidak menyebutkan secara khusus satu manifestasi pun dari “kritik” Rusia dan ekonomisme Rusia; dengan tidak menyebutkannya, maka penyebutan saja tentang watak klas dan watak revolusioner teori memberikan kelonggaran yang jauh lebih luas bagi salah tafsir, terutama apabila Perserikatan itu tidak mau menyamakan “apa yang dinamakan ekonomisme itu” dengan oportunisme (Dua Kongres, hlm. 8, Pasal I). Tetapi semua ini sambil lalu. Yang pokok ialah bahwa sikap kaum oportunis terhadap kaum sosial-demokrat revolusioner di Jerman dan di Rusia bertentangan sama sekali. Di Jerman, seperti kita ketahui, kaum sosial-semokrat revolusioner setuju mempertahankan apa yang ada: program dan taktik lama yang sudah diketahui secara umum dan telah dijelaskan dalam segala detailnya oleh pengalaman berpuluh-puluh tahun. “Para kritikus” ingin mengadakan perubahan-perubahan dan karena para kritikus ini merupakan minoritas kecil, dan karena mereka sangat takut-takut dalam usaha-usaha revisionisnya, maka orang dapat mengerti alasan-alasan mayoritas dalam membatasi diri pada penolakan mentah-mentah terhadap “pembaharuan-pembaharuan”. Tetapi di negeri kita di Rusia para kritikus dan kaum ekonomis setuju mempertahankan apa yang ada: “para kritikus” menghendaki supaya kita terus menganggap mereka sebagai kaum Marxis dan menjamin bagi mereka “kebebasan mengkritik” yang mereka nikmati sepenuhnya (karena, sebetulnya, mereka tidak pernah mengakui hubungan kepartaian* apapun juga, dan lagi pula kita tidak pernah mempunyai badan Partai yang diakui umum yang dapat “membatasi” kebebasan mengkritik, sekalipun dengan nasehat); kaum ekonomis menginginkan supaya kaum revolusioner mengakui “hak penuh gerakan masa kini” (Raboceye Dyelo No. 10, hlm. 25), yaitu mengakui “keesahan” eksistensi apa yang ada; mereka menginginkan supaya para “ideologis” tidak berusah “membelokkan” gerakan dari jalan yang “ditentukan oleh saling pengaruh unsur-unsur materiil dengan lingkungan materiil” (“Surat” yang dimuat dalam Iskra No. 12); menginginkan supaya orang mengakui sebagai hal yagn dikehendaki melakukan perjuangan “yang hanya mungkin dilakukan oleh kaum buruh di bawah keadaan sekarang”, dan sebagai satu-satunya perjuangan yang mungkin adalah perjuangan yang “sesungguhnya mereka lakukan saat pada saat sekarang” (Lampiran Khusus Rabocaya Misl39, hlm. 14). Sebaliknya, kita kaum sosial-demokrat revolusioner tidak puas dengan pemujaan kepada spontanitas ini, yaitu kepada pemujaan kepada apa yang ada “pada saat sekarang”; kita menuntut pengubahan taktik yang berlaku dalam tahun-tahun belakangan ini; kita menyatakan bahwa “sebelum kita dapat bersatu, dan supaya kita bisa bersatu, terlebih dahulu perlu menarik garis pemisah yang tegas dan pasti” (dari pengumuman tentang penerbitan Iskra40). Pendek kata orang-orang Jerman mempertahankan apa yang ada dan menolak perubahan; kita menuntut perubahan dan menolak pemujaan kepada dan pendamaian dengan apa yang ada.
Perbedaan-perbedaan “kecil” ini tidak terlihat oleh penjiplak-penjiplak “bebas” resolusi Jerman.
D.ENGELS TENTANG ARTI PENTING PERJUANGAN TEORI
“Dogmatisme, doktrinisme”, “pembatuan Partai—hukuman yang tak terelakkan atas pencupetan pikiran secara kekerasan”—inilah musuh-musuh yang terhadapnya pembela-pembela “kebebasan mengkritik” dalam Raboceye Dyelo secara ksatria mengangkat senjata. Kita gembira sekali bahwa soal ini telah masuk acara dan kita hanya akan mengusulkan untuk menambahnya satu pertanyaan lagi:
Siapakah yang menjadi hakim ?
Di hadapan kita terletak dua pengumuman penerbit. Yang satu, Program Organ Berkala Perserikatan Sosial-Demokrat Rusia—“Raboceye Dyelo” (cetakan ulang dari Raboceye Dyelo No. 1). Lainnya pengumuman tentang dimulainya lagi penerbitan-penerbitan  grup Pembebasan Kerja.41 Kedua-duanya bertanggal 1899, ketika “krisis Marxisme” sudah lama jadi pembicaraan. Dan apa yang kita jumpai ? Dalam pengumuman yang pertama akan sia-sia saja orang mencari sesuatu petunjuk mengenai gejala ini, atau suatu pernyataan yagn tegas tentang pendirian yang hendak diambil oleh organ baru tersebut mengenai soal ini. Mengenai pekerjaan teori dan tugas-tugas mendesak sekarang sepatah kata pun tidak disebut-sebut, baik dalam program ini maupun dalam lampiran-lampirannya yang diterima oleh Kongres ke-III Perserikatan tersebut dalam tahun 1901 (Dua Kongres, hlm. 15-18). Selama seluruh masa ini dewan redaksi Raboceye Dyelo tidak mau tahu tentang soal-soal teori, meskipun kenyataannya soal-soal ini merisaukan semua orang  sosial-demokrat di seluruh dunia.
Sebaliknya, pengumuman lainnya pertama-tama menunjukkan berkurangnya minat pada teori dalam tahun-tahun belakangan ini, dengan mendesak menuntut “perhatian yang waspada terhadap segi teori dari gerakan revolusioner proletariat” dan menyerukan “kritik yang tak kenal ampun terhadap kecenderungan-kecenderungan Bernsteinis dan kecenderungan-kecenderungan anti-revolusioner lainnya” dalam gerakan kita. Nomor-nomor Zarya yang telah terbit menunjukkan bagaimana program ini telah dilaksanakan.
Jadi, kita lihat bahwa kata-kata muluk yang menentang pembatuan pikiran, dsb, itu menyembunyikan sikap acuh tak acuh terhadap dan ketidakberdayaan dalam pengembangan pikiran teori. Kasus kaum sosial-demokrat Rusia dengan menyolok sekali menggambarkan gejala umum di seluruh Eropa (yang sudah lama dicatat juga oleh kaum Marxis Jerman) bahwa kebebasan mengkritik yang termasyur itu bukanlah berarti penggantian satu teori dengan teori lainnya, melainkan bebas dari segala teori yang integral dan dipikirkan baik-baik; ia berarti eklektisisme dan ketiadaan prinsip. Mereka yang sedikit saja mengenal keadaan sebenarnya gerakan kita, tidk bisa melihat bahwa tersebarnya secara luas Marxisme dibarengi dengan penurunan tertentu taraf teori. Tidak sedikit orang dengan pendidikan teori yang sangat sedikit dan bahkan sama sekali tidak mempunyai pendidikan teori masuk gerakan karena arti praktisnya dan sukses-sukses praktisnya. Kita dapt menilai dari sini betapa tidak bijaksananya Raboceye Dyelo ketika, dengan lagak seperti pemenang, mengutip kata-kata Marx: “Setiap langkah gerakan yang nyata lebih penting daripada selusin program”42. Mengulangi kata-kata ini dalam masa kekacauan teori adalah sama dengan meneriakkan “Selamat hari lahir !” kepada iring-iringan pemakaman. Dan lagi kata-kata Marx ini diambil dari suratnya tentang Program Gotha, dimana Marx dengan tajam mencela eklektisisme dalam perumusan prinsip-prinsip: jika harus bersatu, tulis Marx kepada pemimpin-pemimpin partai, maka adakanlah persetujuan-persetujuan guna memenuhi tujuan-tujuan praktis gerakan, tetapi jangan memperkenankan adanya tawar-menawar mengenai prinsip, jangan memberikan “konsesi” dalam soal-soal teori. Inilah pikiran Marx, tetapi di kalangan kita terdapat orang-orang yang berusah keras—atas nama Marx—meremahkan arti penting teori !
Tanpa teori revolusioner tak mungkin ada gerakan revolusioner. Tidak cukup hanya bertahan pada pikiran ini pada waktu pengkotbahan oportunisme yang sedang menjadi mode itu berpadu dengan kegila-gilaan pada bentuk-bentuk aktivitas praktis yang sesempit-sempitnya. Tetapi bagi kaum sosial-demokrat Rusia arti penting teori itu bertambah besar karena tiga keadaan lagi yang sering dilupakan, yaitu: pertama, karena kenyataan bahwa Partai kita baru saja berdiri, wajahnya baru saja terbentuk dan ia masih jauh daripada meyelesaikan perhitungan dengan aliran-aliran pikiran revolusioner lain yang mengancam akan membelokkan gerakan dari jalan yang benar. Sebaliknya, justru masa belakangan ini saja ditandai dengan kehidupan kembali aliran-aliran revolusioner non sosial-demokratis (sebagaimana sudah lama Akselrod memperingatkan memperingatkan kaum ekonomis). Di bawah syarat-syarat demikian ini, apa yang sepintas kilas tampaknya suatu kesalahan yang “tak penting” bisa membawa akibat yang sangat menyedihkan, dan hanya orang-orang yang cupet bisa memandang perdebatan-perdebatan faksi dan pembedaan secara keras di antara berbagai corak warna sebagai tidak pada waktunya atau berlebih-lebihan. Hari depan sosial-demokrasi Rusia untuk masa bertahun-tahunyang akan datang mungkin bergantung pada pengokohan satu atau lain “corak warna” itu.
Kedua, gerakan sosial-demokratis menurut intisarinya adalah gerakan internasional. Ini berarti bukan hanya bahwa kita harus memberantas chauvinisme nasional. Ini berarti juga bahwa gerakan yang sedang mulai di sebuah negeri yang masih muda dapat berhasil baik hanya jika ia menerapkan pengalaman negeri-negeri lain. Tetapi untuk menerapkan pengalaman ini tidaklah cukup hanya mengetahuinya atau semata-mata menyalin resolusi-resolusi yang terakhir. Untuk ini dibutuhkan kecakapan memperlakukan pengalaman ini secara kritis dan mengujinya secara bebas. Setiap orang yang menyadari betapa besar pertumbuhan dan bercabang-cabangnya gerakan buruh modern akan mengerti betapa banyak dibutuhkan cadangan kekuatan teori dan pengalaman politik (dan juga pengalaman revolusioner) untuk melaksanakan tugas ini.
Ketiga, tugas-tugas nasional sosial-demokrasi Rusia adalah sedemikian rupa, yang belum pernah dihadapi oleh partai sosialis lain mana pun juga di dunia ini. Nanti kami akan membicarakan kewajiban-kewajiban politik dan organisasi yang dipikulkan pada kita oleh tugas membebaskan seluruh rakyat dari penindasan otokrasi. Sekarang ini kami hanya ingin menunjukkan bahwa peranan pejuang pelopor dapat dilakukan hanya oleh partai yang dibimbing oleh teori yang paling maju. Sedang guna memperoleh sedikit pengertian yang konkrit tentang  apa arti kalimat ini, hendaklah pembaca mengingat pendahulu-pendahulu sosial-demokrasi Rusia seperti Herzen, Belinski, Cernisyevski dan kelompok orang-orang revolusioner cemerlang pada tahun 70-an; hendaklah pembaca renungkan arti internasional yang diperoleh literatur Rusia sekarang, hendaklah pembaca…..tetapi cukuplah sekian !
Baiklah kita kutip apa kata Engels dalam tahun 1874 mengenai arti penting teori dalam gerakan sosial-demokratis. Engels mengakui bukan dua bentuk perjuangan besar sosial-demokrasi (politik dan ekonomi), sebagaimana lazim di kalangan kita, melainkan tiga, dengan menempatkan perjuangan teori setaraf dengan dua perjuangan yang pertama itu. Anjuran-anjurannya kepada gerakan buruh Jerman yang telah menjadi kuat dalam praktek dan politik, begitu mengandung pelajaran dilihat dari sudut masalah-masalah dan perdebatan-perdebatan dewasa ini, sehingga kami berharap pembaca tak akan menyesali kami karena panjangnya bagian yang kami kutip dari kata pendahuluannya pada brosur Der deutsche Bauernkrieg*, yang sudah lama menjadi barang unik besar bibliografi.
“Kaum buruh Jerman mempunyai dua keunggulan penting dibanding kaum buruh Eropa lainnya. Pertama, mereka termasuk rakyat Eropa yang paling teoritis dan mereka masih mempunyai rasa teori yang sudah hampir lenyap sama sekali pada apa yang dinamakan klas-klas “terpelajar” di Jerman. Tanpa filsafat Jerman yang mendahuluinya, terutama filsafat Hegel, maka sosialisme ilmiah Jerman—satu-satunya sosialisme ilmiah yang pernah ada—tak akan lahir. Tanpa rasa teori ini di kalangan kaum buruh, sosialisme ilmiah ini tak akan merasuk ke dalam darah daging mereka sebagaimana halnya kita lihat sekarang. Betapa tak berhingganya keunggulan ini dapat dilihat, di satu pihak, dari sikap acuh tak acuh terhadap segala teori, yang menjadi salah satu sebab pokok mengapa gerakan buruh Inggris maju begitu perlahan-lahan meskipun bagus sekali organisasi dari satu-satu serikat buruh; dan di pihak lain, dari kekalutan dan kegoyangan yangtelah ditimbulkan oleh Proudhonisme, dalam bentuk aslinya, di kalangan orang-orang Perancis dan Belgia dan, dalam bentuk yang dikarikaturkan lebih jauh oleh Bakunin, di kalangan orang-orang Spanyol dan Italia.
Keunggulan kedua ialah bahwa orang-orang Jerman hampir yang paling belakangan ikut serta dalam gerakan buruh. Sebagaimana sosialisme teori Jerman tak akan melupakan bahwa ia bersandar pada Saint-Simon, Fourier dan Owen—tiga ahli pikir yang, kendatipun segala kefantastisan dan segala utopisme ajaran-ajaran mereka, termasuk ahli pikir terbesar dari segala zaman dan yang secara zenial meramalkan kebenaran-kebenaran yang tak terhitung banyaknya, yang ketepatannya sekarang sedang kita buktikan secara ilmiah—maka demikian juga gerakan praktis kaum buruh Jerman sekali-kali jangan  melupakan bahwa ia telah berkembang di atas dasar gerakan Inggris dan Perancis, bahwa ia dapat begitu saja menggunakan pengalaman mereka yang dibeli dengan mahal dan sekarang dapat menghindari kesalahan-kesalahan mereka yang pada masa itu dalam banyak hal tak dapat dihindari. Tanpa teladan serikat-serikat buruh Inggris dan perjuangan-perjuangan politik kaum buruh Perancis, tanpa dorongan maha besar yang terutama diberikan oleh Komune Paris, dimana kiranya kita berada sekarang ?
Perlu diberikan pengakuan kepada kaum buruh Jerman bahwa mereka telah menggunakan keuntungan-keuntungan dari posisi mereka dengan kecakapan yang jarang terdapt. Untuk pertama kalinya sejak adanya gerakan buruh, perjuangan dilakukan secara berencana dari ketiga seginya yang dikoordinasi dan dihubungkan satu sama lain: dari segi teori, politik dan ekonomi-praktis (perlawanan terhadap kaum kapitalis). Justru dalam serangan yang, boleh dikatakan, dipusatkan ini terletak kekuatan dan tak terkalahkannya gerakan Jerman.
Karena posisi yang menguntungkan ini, di satu pihak, dan karena kekhususan-kehususan kepulauan dari gerakan Inggris dan penindasan gerakan Perancis dengan kekerasan, di pihak lain, maka kaum buruh Jerman pada saat ini telah ditempatkan di barisan depan perjuangan proletar. Berapa lama peristiwa-peristiwa akan mengizinkan mereka menempati kedudukan terhormat ini tidak dapat diramalkan. Tapi baiklah kita berharap bahwa selama menempati kedudukan tersebut mereka akan memenuhi kewajiban-kewajiban yang dipikulan kepada mereka oleh kedudukan itu dengan sepatutnya. Untuk itu dituntut usahayang dilipatduakan dalam segala bidang perjuangan dan agitasi. Terutama adalah kewajiban para pemimpin untuk memperoleh pengertian yang senantiasa semkin jelas tentang semua soal teori, untuk kian lama kian membebaskan diri dari pengaruh kata-kata tradisional warisan pandangan dunia lama, dan selalu mengingat bahwa sosialisme, sejak ia menjadi ilmu, menuntut supaya ia diperlakukan sebagai ilmu, yaitu supaya ia dipelajari. Perlu menyebarluaskan dengan ketekunan yang terus meningkat di kalangan massa buruh pengertian yang jernih yang diperoleh demikain itu dan memadukan dengan semakinkokoh organisasi partai maupun organisasi serikat buruh…..
…Jika kaum buruh Jerman maju secara demikian, mereka justru tidak berjalan berbaris di depan gerakan—sama sekali bukan untuk kepentingan gerakan ini bahwa kaum buruh sesuatu negeri berbaris maju di depannya—namun demikian akan menduduki tempat terhormat dalam deretan pejuang; dan mereka alkan siap dengan bersenjata lengkap apabila ujian-ujian berat yang tak diduga-duga ataupun peristiwa-peristiwa besar menuntut dari mereka keberanian yang lebih besar, tekad dan enerji yang lebih besar”43.
Kata-kata Engels itu ternyata bersifat ramalan. Beberapa tahun kemudian buruh Jerman mengalami percobaan-percobaan berat yang tak diduga-duga dalam bentuk Undang-Undang Anti Sosialis. Dan kaum buruh Jerman benar-benar menghadapinya dengan bersenjata lengkap dan berhasil keluar dari ujian-ujian ini dengan kemenangan.
Proletariat Rusia pasti akan menghadapi ujian-ujian yang tak terhingga lebih beratnya, ia pasti akan berjuang melawan raksasa, dan dibandingkan raksasa ini Undang-Undang Anti Sosialis di negeri konstitusional itu nampak sebagai orang kate saja. Sekarang sejarah menghadapkan kita pada tugas terdekat yang merupakan tugas yang paling revolusioner dari semua tugas terdekat yang dihadapi proletariat negeri manapun juga. Pelaksanaan tugas ini, yaitu menghancurkan benteng yang terkuat bukan hanya dari rekasi Eropa melainkan juga (sekarang boleh dikatakan) dari reaksi Asia, akan menjadikan proletariat Rusia pelopor proletariat revolusioner internasioanl. Dan kita berhak untuk mengharapkan memperoleh gelar terhormat ini yagn telah didapat oleh pendahulu-pendahulu kita, kaum revolusioner tahun-tahun 70-an, jika kita berhasil menjiwai gerakan kita yang seribu kali lebih luas dan lebih mendalam dengan tekad tulus ikhlas dan enerji yang sama.



SPONTANITAS MASSA DAN KESADARAN KAUM SOSIAL DEMOKRAT
Sudah kita katakan bahwa gerakan kita, yang jauh lebih luas dan mendalam daripada gerakan pada tahun-tahun 70-an, harus dijiwai oleh tekad tulus ikhlas dan energi yang sama seperti yang menjiwai gerakan pada waktu itu. Memang, sampai kini kiranya tak seorang pun meragukan bahwa kekuatan gerakan dewasa ini terletak pada kebangkitan massa (terutama proletariat industri) dan bahwa kelemahannya terletak pada ketidak cukupan kesadaran dan inisiatif di kalangan para pemimpin revolusioner.
Akan tetapi di waktu akhir-akhir ini telah didapat suatu penemuan yang sangat mengagumkan, yang mengancam akan meruntuhkan semua pandangan yang berlaku selama ini mengenai soal tersebut. Penemuan ini didapat oleh Raboceye Dyelo, yang dalam berpolemik dengan Iskra dan Zarya tidak membatasan diri pada keberatan-keberatan mengenai bagian-bagian tersendiri-sendiri, tetapi mencoba membawa “perbedaan-perbedaan pendapat umum” ke akar yang lebih mendalam –ke ”penilaian yang berbeda mengenai arti relatif unsur spontan dan unsur ‘berencana’ secara sadar”. Tesis tuduhan Raboceye Dyelo berbunyi : “peremehan arti penting unsur obyektif atau unsur spontan perkembangan”*. Mengenai ini kami mengatakan : jika polemik dengan Iskra dan Zarya tidak membawa hasil lain apapun kecuali mendorong Raboceye Dyelo sampai pada ide tentang “perbedaan-perbedaan pendapat umum”, maka hasil ini saja akan memberikan banyak kepuasan kepada kita, begitu penting tesis ini dan begitu terang ia menyoroti seluruh inti sari perbedaan-perbedaan pendapat di bidang teori dan politik dewasa ini yang ada di kalangan kaum sosial-demokrat Rusia.
Itulah sebabnya masalah hubungan antara kesadaran dengan spontanitas mempunyai arti penting umum yang maha besar, dan itulah sebabnya masalah ini harus dibicarakan secara panjang lebar.
----

A. PERMULAAN KEBANGKITAN YANG SPONTAN

Dalam bab di muka sudah kita tunjukkan betapa umumnya kegairahan pemuda terpelajar Rusia pada teori Marxisme dalam pertengahan tahun-tahun 90-an. Sekitar waktu itu juga pemogokan-pemogokan buruh yang terjadi sesudah perang industri yang terkenal di Petersburg pada tahun 1896 bersifat merata juga. Menjalarnya pemogokan-pemogokan buruh ini ke seluruh Rusia menunjukan dengan jelasnya betapa dalam kebangkitan kembali gerakan rakyat, dan jika kita hendak berbicara tentang “unsur spontan” itu maka, sudah barang tentu, gerakan inilah yang pertama-tama harus dianggap sebagai spontan. Tetapi kan spontanitas yang satu berbeda dengan yang lain. Pemogokan-pemogokan terjadi di Rusia baik dalam tahun-tahun 70-an maupun 60-an (dan bahkan dalam paro pertama abad ke 19) yang dibarengi dengan penghancuran mesin-mesin “secara spontan”, dan sebagainya.  Dibandingkan dengan “kerusuhan-kerusuhan” ini maka pemogokan-pemogokan pada tahun-tahun 90-an bahkan boleh disebut “sadar’, sedemikian besar langkah maju yang telah dibuat oleh gerakan buruh pada waktu itu. Ini menunjukan kepada kita bahwa “unsur spontan” pada hakekatnya tidak kurang dan tidak lebih merupakan kesadaran dam bentuk embrio. Kerusuhan-kerusuhan yang primitifpun sudah mngungkapkan kebangkitan kesadaran sampai batas tertentu: kaum buruh kehilangan kepercayaan mereka yang sudah lama sekali pada kelanggengan sistem yang menindas mereka, mereka mulai….saya tak akan mengatakan mengerti, tetapi mulai merasakan perlunya perlawanan kolektif dan tegasnya mencampakkan kepatuhan budak kepada sep-sep mereka. Tetapi ini bagaimanapun juga lebih banyak merupakan manifestasi rasa putus asa dan balas dendam daripada perjuangan.  Pemogokan-pemogokan pada tahun-tahun 90-an itu memperlihatkan kepada kita kilasan-kilasan kesadaran yang jauh lebih besar; tuntutan-tuntutan tertentu diajukan, diperhitungkan sebelumnya saat yang menguntungkan; kejadian-kejadian dan contoh-contoh yang terkenal ditempat-tempat lain didiskusikan, dan sebagainya. Kalau kerusuhan-kerusuhan semata-mata pemberontakan kaum tertindas, maka pemogokan-pemogokan yang sistematis sudah merupakan sudah merupakan merupakan embrio perjuangan klas, tetapi hanya embrio saja. Dilihat dari pemogokan-pemogokan ini hanyalah perjuangan trade-unionis, tetapi belum merupakan perjuangan sosial-demokratis. Pemogokan-pemogokan ini menandakan bangkitnya anatagonisme antara kaum buruh dengan kaum majikan, tetapi pada kaum buruh tidak ada dan tidak mungkin ada kesadaran mengenai pertentangan-pertentangan kepentingan yang tak terdamaikan dengan seluruh sistem politik dan sosial modern, yaitu kesadaran mereka belum merupakan kesadaran sosial-demokratis. Dalam arti ini, pemogokan-pemogokan pada tahun-tahun 90-an, kendatipun kemajuannya yang besar jika dibandingkan dengan “kerusuhan-kerusuhan” itu, tetap merupakan gerakan spontan belaka.
Sudah kita katakan bahwa pada kaum buruh tidak mungkin ada kesadaran sosial demokratis.  Kesadaran sosial-demokratis itu hanya dapat dimasukkan dari luar. Sejarah semua negeri menunjukkan bahwa klas buruh, dengan usahanya sendiri semata-mata, hanya dapat mengembangkan kesadaran trade-unionis saja, yaitu keyakinan akan perlunya menggabungkan diri dalam perserikatan-perserikatan, melancarkan perjuangan melawan kaum majikan, dan berusaha keras memaksa pemerintah mengeluarkan undang-undang yang diperlukan kaum buruh, dan sebagainya.* Tetapi ajaran sosialisme lahir dari teori-teori filsafat, sejarah dan ekonomi yang diciptakan oleh wakil-wakil terpelajar klas-klas bermilik, kaum intelektual. Menurut kedudukan sosial mereka, pendiri-pendiri sosialisme ilmiah modern, Marx dan Engels sendiri termasuk intelejensia borjuis. Persis begitu pula di Rusia ajaran-ajaran teori sosial-demokrasi timbul terlepas sama sekali dari pertumbuhan spontan gerakan buruh, ia timbul sebagai hasil yang wajar dan tak terelakan dari perkembangan pikiran dikalangan intelejensia sosialis revolusioner. Pada waktu yang sedang kita bicarakan ini, yaitu pada pertengahan tahun-tahun 90-an, ajaran ini tidak hanya merupakan program yang dirumuskan secara sempurna dari grup Pembebasan Kerja, tetapi juga telah menarik ke pihaknya matoritas pemuda revolusioner di Rusia.
Dengan demikian terdapat baik kebangkitan spontan massa buruh, keinsafan untuk hidup secara sadar dan berjuangan secara sadar, maupun pemuda revolusioner yang bersenjatakan teori sosial-demokratis, yang berusaha keras untuk berhubungan dengan kaum buruh. Dalam hubungan ini teristimewa penting menyebut kenyataan yang sering dilupakan (dan relatif sedikit diketahui) bahwa kaum sosial-demokrat yang pertama pada periode itu dengan bersemangat melakukan agitasi ekonomi (dan dengan sepenuhnya memperhatikan dalam hal ini petunjuk-petunjuk yang betul-betul berguna yang termuat dalam brosur Tentang Agitasi yang ketika itu masih berupa naskah), mereka bukan hanya tidak memandang agitasi ekonomi sebagai satu-satunya tugas mereka, tetapi sebaliknya, sejak dari awal mula mereka juga mengajukan tugas-tugas sejarah yang paling luas  dari sosial-demokrasi Rusia pada umumnya, dan tugas dan menggulingkan otokrasi pada khususnya. Misalnya, sudah pada akhir tahun 1895 grup sosial-demokrat Petersburg, yang mendirikan Liga Perjuangan Untuk Pembebasan Klas Buruh44, mempersiapkan nomor pertama surat kabar yang dinamakan Raboceye Dyelo . Nomor yang sudah siap sepenuhnya untuk cetak ini disita oleh gendarme yang pada tanggal 8 malam menjelang tanggal 9 Desember 1895 mengerebek rumah salah seorang anggota grup tersebut, yaitu Anatoli Alekseyewic*, maka itu Raboceye Dyelo yang orisinil itu ditakdirkan tidak melihat dunia. Tajuk rencana surat kabar ini (yang barang kali kira-kira tigapuluh tahun kemudian salah satu Ruskaya Starina45 akan membongkarnya dari arsip Jawatan Kepolisian) melukiskan tugas-tugas sejarah klas buruh Rusia dan menempatkan pencapaian kemerdekaan politik dideretan paling depan tugas-tugas ini. Selanjutnya terdapat artikel”apakah yang Dipikirkan Oleh Menteri-menteri Kita?”**yang membahas pembubaran komite-komite PBH oleh kepolisian, dan beberapa surat tidak hanya dari Petersburg tetapi juga dari tempat-tempat lain di Rusia (misalnya, sepucuk surat tentang serangan berdarah terhadap kaum buruh di Provinsi Yaroslav). Dengan demikian, jika kami tidak salah, “usaha pertama”,  kaum sosial demokrat Rusia pada tahun-tahun 90-an ini, bukanlah surat kabar yang bersifat lokal yang sempit, lebih-lebih bukan surat kabar yang bersifat “ekonomi”, melainkan surat kabar yang bertujuan menyatukan perjuangan pemogokan dengan gerakan revolusioner melawan otoktrasi, dan menarik semua orang yang ditindas oleh obskurantisme46 reaksioner supaya mendukung soaial-demokrasi. Tak seorangpun yang sedikit saja mengenal keadaan gerakan pada waktu itu bisa menyangsikan bahwa surat kabar yang demikian itu pasti akan mendapat simpati penuh dikalangan kaum buruh di ibukota dan intelegensia revolusioner dan oplahnya pasti akan besar sekali. Kegagalan usaha itu hanyalah menunjukkan bahwa kaum sosial-demokrat pada masa itu tidak sanggup memenuhi tuntutan-tuntutan mendesak pada saat itu karena mereka kurang pengalaman revolusioner dan latihan praktis. Demikian juga harus dikatakan mengenai S. Petersburgski Raboci Listok47 dan terutama mengenai Rabocaya Gazeta dan mengenai Manifesto Partai Buruh Sosial-Demokrat Rusia yang didirikan dalam musim semi tahun 1898. Sudah barang tentu tidak terlintas dalam kepala kami untuk menyalahkan para aktivis pada kala itu karena ketidaksiapan ini. Tetapi untuk menggunakan pengalaman gerakan itu dan untuk menarik pelajaran praktis dari pengalaman itu, kita harus memahami sedalam-dalamnya sebab-sebab dan arti penting kekurangan ini atau kekurangan itu. Karena itu sangatlah penting menunjukkan bahwa sebagian (mungkin bahkan mayoritas) dari kamu sosial-demokrat, yang melakukan kegiatan pada tahun-tahun 1895-1898, sepenuhnya tepat menganggap mungkin bahkan pada waktu itu, pada awal mula gerakan "spontan" itu, untuk tampil dengan program yang sangat luas dan taktik militan*.
Ketidaksiapan pada mayoritas kaum revolusioner, yang merupakan gejala yang sepenuhnya wajar, tak dapat menimbulkan kekuatiran-kekuatiran khusus apapun. Karena tugas-tugas sudah ditetapkan dengan tepat, karena ada enerzi untuk usaha-usaha yang berulangulang guna melaksanakan tugas-tugas ini, maka kegagalan-kegagalan sementara bukan bencana yang begitu besar. Pengalaman revolusioner dan kecakapan berorganisasi adalah hal-hal yang dapat diperoleh asalkan ada hasrat untuk memperolehnya, asalkan kekurangan-kekurangan itu disadari --yang dalam usaha revolusioner merupakan lebih dari separo pengkoreksian kekurangan-kekurangan itu!
Tetapi bencana yang tidak begitu besar itu menjadi bencana yang nyata ketika kesadaran ini mulai menjadi kabur (dan kesadaran ini sangat hidup di kalangan aktivis-aktivis dari grup tersebut diatas), ketika muncul orang-orang -- dan bahkan organ-organ sosial-demokrat -- yang bersedia memandang kekurangan-kekurangan ini sebagai kebajikan, yang bahkan mencoba memberi dasar teori bagi pembungkukkan dan pemujaan kepada spontanitas. Sudahlah tiba waktunya untuk menyimpulkan aliran ini, yang inti sarinya secara sangat tidak tepat dan terlalu sempit melukiskan sebagi konsepsi "ekonomisme".
------
B. PEMUJAAN KEPADA SPONTANITAS.  RABOCAYA MISL
Sebelum membicarakan manifestasi pemujaan ini dalam literatur, kami ingin menyebutkan kenyataan khas yang berikut (yang sampai kepada kita sumber tersebut diatas), yang sedikit menyoroti bagaimana dua aliran yang bakal bentrokan dalam sosial demokrat Rusia timbul dan tumbuh di kalangan kawan-kawan yang bekerja di Peterburg.  Pada awal tahun 1897, sebelum pembuangan mereka, A.A Waneyev dan beberapa orang kawannya mengunjungi sutu rapat khusus48, dimana berkumpul anggota-anggota "tua" dan "muda" Liga Perjuangan Untuk Pembebasan Klas Buruh. Pembicaraan berpusat terutama disekitar organisasi dan khususnya sekitar "anggaran dasar untuk dana buruh", yang dalam bentuknya yang difinitif dimuat dalam Listok Rabotnika49 No.9-10, hal 46. Perbedaan pendapat yang tajam segera tersingkap antara anggota-anggota tua (kaum "Desembris", sebagaimana kaum sosial-demokrat Petersburg secara bergurau menamakan mereka) dengan beberapa anggota "muda" (yang kemudian dengan aktif ambil bagian dalam Rabocaya Mils), dan segera berkobarlah diskusi yang hangat. Anggota-anggota "muda"  mempertahankan prinsip-prinsip pokok anggaran dasar dalam bentuk sebagaimana telah disiarkan. Anggota-anggota "tua" mengatakan bahwa yang dibutuhkan pertama-tama sama sekali bukanlah ini, melainkan pengkonsolidasian Liga Perjuangan menjadi sebuah organisasi kaum revolusioner, dan berbagai dana buruh, lingkaran propaganda pemuda pelajar dan lain-lain, harus tunduk kepada organisasi itu. Tak usah dikatakan lagi kiranya bahwa orang-orang yang berdebat itu jauh darai membayangkan bahwa perbedaan pendapat ini adalah permulaan dari perpisahan; sebaliknya mereka menganggapnya sebagai bersifat berdiri sendiri dan kebetulan. Tetapi kenyataan ini menunjukan bahwa di Rusia "ekonomisme" juga timbul dan meluas bukan sama sekali tanpa perjuangan menentang kaum sosial-demokrat "tua" (ini sering dilupakan oleh kaum ekonomis yang sekarang). Dan jika, pada pokoknya, perjuangan ini tidak meninggalkan bekas-bekas "dokumenter", ini semata-mata karena susunan keanggotaan lingkaran-lingkaran yang bekerja waktu itu mengalami perubahan yang begitu sering sehingga tak ada kontinuitas dan karena itu perbedaan-perbedaan pendapat itu tidak tercatat dalam dokumen apapun.  
Terbitnya Rabocaya Misl menyingkap ekonomisme, tetapi juga tidak sekaligus. Kita harus membayangkan sendiri secara konkrit syarat-syarat bekerja dan sifat pendek umur mayoritas lingkaran-lingkaran Rusia (dan hanya mereka yang telah mengalaminya dapat membayangkan secara konkrit), agar dapat mengerti betapa banyak hal yang bersifat kebetulan terdapat dalam sukses-sukses dan kegagalan-kegagalan aliran baru itu di berbagai kota, dan betapa lama baik pendukung-pendukung maupun lawan-lawan aliran "baru" ini tidak dapat mengambil keputusan --memang mereka tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk memutuskan-- mengenai apakah ini benar-benar suatu aliran yang khas atau hanya suatu pengungkapan ketidaksiapan perorangan-perorangan tertentu. Misalnya, nomor-nomor pertama stensilan dari Rabocaya Misl bahkan sama sekali tidak diketahui mayoritas besar kaum sosial-demokrat, dan jika sekarang kita dapat mengutuf tajuk rencana nomor pertamanya, ini hanyalah karena tajuk rencana itu dimuat kembali dalam artikel W.I.50 (Listok Rabotnika No. 9-10, hlm.47 dan berikutnya) yang sudah tentu tidak lupa menyanjung-nyanjung dengan  bersemangat --bersemangat tanpa akal-- surat kabar baru itu yang begitu berbeda dari surat-surat kabar dan rencana surat-surat kabar yang kami sebutkan diatas*. Dan tajuk rencana ini patut dibicarakan karena ia begitu menonjol mengungkapkan seluruh jiwa Rabocaya Misl dan ekonomisme pada umumnya. 
Sesudah menyatakan bahwa tangan "simanset biru"51 tak akan dapat menahan perkembangan gerakan buruh, tajuk rencana itu seterusnya mengatakan: "……. Daya hidup gerakan buruh sedemikian karena kaum buruh itu sendiri akhirnya memegang nasib mereka dalam tangan mereka sendiri dengan merebutnya dari tangan para pemimpin", dan tesis dasar ini dikembangkan lebih lanjut secara terperinci. Sebetulnya pemimpin-pemimpin (yaitu sosial demokrat, organisator-organisator Liga Perjuangan) itu, boleh dikatakan direnggut oleh polisi dari tangan kaum buruh**; tetapi digambarkan seolah-seolah kaum buruh melakukan perjuangan melawan para pemimpin dan membebaskan diri dari penindasan mereka. Bukannya menyerukan maju ke arah konsolidasi organisasi revolusioner dan kearah perluasan aktivitas politik, malah mengeluarkan seruan mundur ke perjuangan trade-unionis semata-mata. Dinyatakan bahwa "dasar ekonomi dari gerakan dibarengkan oleh usaha untuk selama-lamanya tidak melupakan cita-cita politik", dan bahwa semboyan gerakan buruh ialah "berjuang untuk perbaikan keadaan ekonomi" (!) atau lebih baik lagi, "Buruh untuk Buruh". Dinyatakan bahwa dana pemogokan "lebih berharga bagi gerakan daripada seratus organisasi lain" (bandingkan pernyataan ini yang dikeluarkan dalam bulan Oktober 1897 dengan perdebatan anatar kaum "Desembris" dengan anggota-anggota muda pada awal tahun 1897), dan sebagainya. Semboyan-semboyan seperti: kita harus memusatkan perhatian bukan pada "sari" kaum buruh melainkan pada buruh "rata-rata", pada massa buruh; "politik selalu mengikuti ekonomi dengan patuh"*dan sebagainya dan sebagainya menjadi mode dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat atas massa pemuda yang tertarik pada gerakan tetapi yang dalam kebanyakan hal hanya tahu Marxisme sepotong-sepotong, Marxisme yang diuraikan secara legal.
Ini merupakan penindihan sepenuhnya kesadaran oleh spontanitas --spontanitas kaum "sosial-demokrat" yang mengulang-ulangi "ide-ide" Tuan W.W, spontanitas buruh-buruh yang terpesona oleh argumen-argumen bahwa tambahan satu kopek untuk setiap rubel lebih berharga daripada segala sosialisme dan segala politik dan bahwa mereka harus melancarkan "perjuangan dengan mengetahui bahwa mereka berjuang bukan untuk sesuatu generasi yang akan datang melainkan untuk diri mereka sendiri dan anak-anak mereka" (tajuk rencana Rabocaya Misl No.1).  Kata-kata seperti itu selalu menjadi senjata yang paling disukai kaum borjuis Eropa Barat yang karena membenci sosialisme berusaha keras (seperti "Sosial-Politiker" Jerman Hirsch) untuk memindahkan trade-unionis Inggris ke tanah air mereka dan mengkhotbahkan kepada kaum buruh bahwa perjuangan serikat buruh semata-mata** adalah justru perjuangan untuk diri mereka sendiri dan anak-anak mereka, dan bukan untuk sesuatu generasi yang akan datang dan sesuatu sosialisme yang akan datang. Dan sekarang "W.W. dari sosial-demokrasi Rusia" telah mulai mengulang-ulangi kata-kata burjuis. Disini penting menyebutkan tiga keadaan yang akan berguna bagi kita dalam menganalisa lebih lanjut perbedaan-perbedaan pendapat dewasa ini***.
Pertama-tama, penindihan kesadaran oleh spontanitas, yang telah kita sebutkan diatas , juga terjadi secara spontan. Ini tampaknya seperti persilatan lidah tetapi, sayang ini adalah kebenaran yang pahit. Ia terjadi bukan sebagai perjuangan secara terbuka antara dua pendirian yang sama sekali berlawanan, dimana yang satu menang atas yang lain, tetapi ia terjadi karena semakin banyak jumlah "orang tua"  -orang revolusioner yang "direnggut" oleh gendarme dan karena semakin banyak jumlah orang "muda"  "W.W. dari sosial-demokrasi Rusia" muncul diatas panggung. Setiap orang yang --tak akan saya katakan telah mengambil bagian dalam gerakan Rusia dewasa ini,tetapi sekurang-kurangnya  telah menghirup udaranya --tahu betul bahwa memang demikianlah halnya. Dan jika kami sekalipun demikian teristimewa mendesak supaya pembaca menjadi jelas sepenuhnya mengenai kenyataanyang sudah umum diketahui ini, dan jika kami demi kejelasan, begitulah, mengutip bahan-bahan mengenai Raboceye Dyelo terbitan pertama dan mengenai perdebatan antara kaum "tua" dengan kaum "muda" pada awal tahun 1897-- ini adalah karena orang-orang berspekulasi dengan ketidaktahuan rakyat umum (atau para pemuda yang masih remaja sekali) mengenai kenyataan ini dan membangga-banggakan "demokratisme" mereka. Kami akan kembali lagi kepada hal ini nanti.
Kedua, dalam manifestasi yang pertama di bidang sastra dari ekonomisme, kita sudah dapat melihat gejala yang sangat istimewa dan yang sangat khas untuk memahami semua perbedaan pendapat dikalangan kaum sosial-demokrat dewasa ini, bahwa pengikut-pengikut "gerakan buruh semata-mata", para pemuja hubungan yang paling erat dan paling "organik" ( istilah yang dipakai Raboceye Dyelo) dengan perjuangan proletar, lawan-lawan dari segala intelegensia non buruh (walaupun itu intelegensia sosialis) terpaksa, guna mempertahankan pendirian mereka, menggunakan argumen-argumen "kaum trade-unionis semata-mata" yang borjuis.  Ini menunjukkan bahwa sejak awal mula Rabocaya Misl mulai --secara sadar-- melaksanakan program Credo. Ini menunjukkan (sesuatu yang sama sekali tak dapat dimengerti oleh Raboceye Dyelo) bahwa segala pemujaan kepada spontanitas gerakan buruh, segala peremehan peranan "unsur sadar", peranan sosial-demokrasi, terlepas sama sekali apakah orang-orang yang meremehkan itu suka atau tidak, berarti memperkuat pengaruh ideologi burjuis di kalangan kaum buruh. Semua yang berbicara tentang "penilaian terlalu tinggi arti penting ideologi"*, tentang membesar-besarkan peranan unsur sadar**, dan sebagainya membayangkan bahwa gerakan buruh murni dengan sendirinya dapat dan akan menghasilkan ideologi yang bebas bagi dirinya sendiri, asal saja kaum buruh "merebut nasib mereka dari tangan para pemimpin". Tetapi ini adalah kesalahan besar. Untuk melengkapi apa yang telah disebutkan diatas, kita akan mengutip lagi kata-kata yang tepat dan penting sekali yang diucapkan K. Kautsky tentang rancangan program baru Partai Sosial-Demokrat Austria***:
"banyak kritikus revisionis kita berpendapat bahwa Marx menyatakan bahwa perkembangan ekonomi dan perjuangan klas tidak hanya menciptakan syarat-syarat untuk produksi sosialis, tetapi juga, dan secara langsung, melahirkan kesadaran (kursif dari K.K) tentang keharusan produksi sosialis. Dan para kritikus ini menegaskan bahwa Inggris , negeri yang paling berkembang secara kapitalis, lebih jauh daripada negeri lain manapun dari kesadaran ini. Berdasarkan rancangan itu, orang bisa mengira bahwa pandangan yang katanya Marxisme-ortodoks ini, yang dengan cara yang ditunjukkan diatas sudah terbantah , disetujui juga oleh komisi yang menyusun program Austria itu. Dalam rancangan program itu tercantum: 'semakin berkembang kapitalisme semakin bertambah besar jumlah proletariat, proletariat akan semakin dipaksa dan memperoleh kemampuan untuk melancarkan perjuangan melawan kapitalisme, Proletariat menjadi sadar akan kemungkinan dan keharusan sosialisme. Dalam hubungan ini kesadaran sosialis tampak sebagai hasil yang semestinya dan langsung dari perjuangan klas proletariat. Tetapi sama sekali tidak benar. Tentu saja sosialisme, sebagai ajaran, bersumber pada hubungan-hubungan ekonomi modern sebagaimana  perjuangan klas proletariat dan sebagaimana yang tersebut belakangan, timbul dari perjuangan menentang kemiskinan dan kesengsaraan massa yang diciptakan oleh kapitalisme, tetapi sosialisme dan perjuangan kelas timbul berdampingan satu dengan yang lainnya dan bukannya yang satu timbul dari yang lain: masing-masing dibawah syarat-syarat yang berbeda. Kesadaran sosialis modern dapat timbul hanya atas dasar pengetahuan ilmiah yang mendalam. Memang, ilmu ekonomi modern merupakan suatu syarat bagi produksi sosialis sama halnya seperti, misalnya, teknologi modern, dan proletarian tak dapat menciptakan yang satu atau yang lainnya, bagaimanapun juga ia menginginkannya: kedua-duanya timbul dari proses sosial modern. Pembawa ilmu bukanlah proletariat, melainkan intelegensia borjuis (kursif dari K.K): dalam otak anggota-anggota perorangan dari lapisan inilah lahir sosialisme modern, dan merekalah yang menyampaikannya kepada orang-orang proletas yang menonjol perkembangan inteleknya, yang selanjutnya memasukkannnya kedalam perjuangan klas proletariat dimana syarat-syarat mengijinkannya. Jadi, kesadaran sosialis adalah sesuatu yang dimasukkan ke dalam perjuangan klas proletariat dari luar (von Aussen Hineingentragenes) dan bukan sesuatu yang timbul dari dalamnya secara spontan (Urwuchsig). Karena itu program Hainfeld yang lama tepat sepenuhnya menyatakan bahwa tugas sosial-demokrasi ialah meresapkan proletariat (secara hurufiah: menjenuhkan proletariat)  dengan kesadaran akan kedudukannya dan kesadaran akan tugasnya. Ini tak akan perlu jika kesadaran itu timbul dengan sendirinya dari perjuangan klas. Rancangan yang baru itu menjiplak dalil dalil ini dari propram yang lama, dan membubuhkannya pada dalil tersebut diatas. Tetapi ini sama sekali memutuskan jalannya pikiran…."
Karena tak mungkin ada ideologi bebas yang dikembangkan oleh massa buruh sendiri dalam proses gerakan mereka*, maka persoalannya hanyalah demikian : ideologi borjuis atau sosialis. Disini tak ada jalan tengah (karena umat manusia belum menciptakan ideologi "ketiga" manapun, dan lagi pada umumnya dalam masyarakat yang dikoyak-koyak oleh kontradiksi-kontradiksi klas sekali-kali tak akan ada ideologi non-klas atau diatas klas). Karena itu, setiap peremehan ideologi sosialis dan setiap penjauhan diri dari padanya berarti memperkuat ideologi borjuis.Orang berbicara tentang spontanitas, tetapi perkembangan spontan gerakan buruh menuju justru ke arah ketundukannya kepada ideologi borjuis, berjalan justru menurut program Credo, karena gerakan buruh yang spontan adalah trade-unionis, adalah Nur-Gewerkschaftlerei, sedang trade-uninis berarti pembudakan kaum buruh secara ideologi oleh borjuis. Karena itu tugas kita, tugas sosial-demokrasi, ialah memerangi spontanitas, membelokkan gerakan buruh dari aspirasi trade-unionisme yang spontan untuk berlindung dibawah sayap borjuis ini, dan menariknya ke bawah sayap sosial-demokrasi revolusioner. Karena itu kata-kata para penulis surat "ekonomi" dalam Iskra No. 12, yang menyatakan bahwa usaha-usaha yang bagaimanapun dari ideologis yang paling bersemangat tidak akan bisa membelokkan gerakan buruh dari jalan yang ditentukkan oleh saling pengaruh antara unsur-unsur materiil dengan lingkungan materiil, sepenuhnya sama dengan meninggakan sosialisme, dan sekiranya penulis-penulis surat ini sanggup mempertimbangkan apa yang mereka katakan itu dengan tiada takut, dengan konsekwen sepenuhnya, seperti yang mestinya dilakukan oleh setiap orang yang memasuki arena aktivitas kesusasteraan dan aktivitas sosial, maka bagi mereka tidak lain tinggal "mendekapkan tangan yang menganggur di dada yang kosong " dan…. Dan menyerahkan medan aktivitas kepada tuan-tuan sebangsa Tuan Struwe dan Tuan Prokopowic yang menyeret gerakan buruh "menurut garis perlawanan sekecil-kecilnya", yaitu menurut garis trade-unionisme borjuis, atau kepada tuan-tuan sebangsa Tuan Zubatov yang menyeretnya menurut garis "ideologi" kepadrian dan gendarme.
Iangatlah contoh Jerman. Apa jasa bersejarah Lassalle kepada gerakan buruh Jerman? Jasanya ialah bahwa dia membelokkan gerakan itu dari jalan trade-unionisme dan koperasi yang dikhotbahkan orang-orang progresis, jalan yang telah ditempuhnya secara spontan (dengan bantuan yang bersimpati dari Schulze-Delitzsch dan orang-orang sebangsa dia). Untuk memenuhi tugas ini diperlukan sesuatu yang sama sekali berlainan dengan omongan tentang peremehan unsur spontan, tentang taktik-sebagai proses, tentang saling pengaruh  antara unsur-unsur dengan lingkungan dan sebagainya. Untuk itu diperlukan perjuangan mati-matian melawan spontanitas, dan hanya sesudah perjuangan demikian itu, yang dilancarkan selama bertahun-tahun, barulah dapat, misalnya, mengubah penduduk buruh Berlin dari sebagi sandaran partai progresis menjadi satu benteng terbaik sosial-demokrasi. Dan perjuangan ini sekarangpun sekali-kali belum selesai (sebagimana mungkin nampak bagi mereka yang mempelajari sejarah gerakan Jerman menurut Prokopowic, dan mempelajari filsafat gerakan Jerman menurut Struwe). Sekarangpun klas buruh Jerman, boleh dikatakan, terpecah-belah dalam beberapa ideologi: sebagian kaum buruh terorganisasi dalam serikat-serikat buruh Katolik dan monarkis, sebagian lagi terorganisasi dalam serikat-serikat Buruh Hirsch-Duncker53, yang didirikan oleh pemuja-pemuja borjuis dari trade-unionisme Inggris, sedang sebagian lagi terorganisasi dalam serikat-serikat buruh sosial-demokratis. Bagian yang terakhir ini tak berhingga lebih banyak daripada  semua lainnya, tetapi ideologi sosial-demokratis dapat mencapai keunggulan ini, dan akan dapat mempertahankannya, hanya melalui perjuangan gigih menentang semua ideologi lainnya.

Tetapi mengapa --pembaca akan bertanya-- gerakan yang spontan, gerakan menurut garis perlawanan sekecil-kecilnya, menuju justru ke dominasi ideologi borjuis? Karena alasan yang sederhana yaitu bahwa ideologi borjuis jauh lebih tua menurut asal-usulnya daripada ideologi sosialis; karena ia dikembangkan secara lebih menyeluruh dan karena ia mempunyai sarana penyebaran yang tak berhingga lebih banyaknya*.  Dan semakin muda gerakan sosialis itu disuatu negeri, maka semakin keraslah ia harus berjuang menentang segala usaha memperkuat ideologi non-sosialis, dan semakin keraslah kaum buruh harus diperingatkan terhadap penasehat-penasehat jelek yang berteriak-teriak menentang "penilaian terlampau tinggi unsur sedar", dan sebagainya. Penulis-penulis ekonomi itu, seirama denga Raboceye Dyelo, mengecam ketidaktoleran yang khas bagi masa kanak-kanak gerakan itu.  Atas ini kita jawab: ya, gerakan kita memang masih dalam masa kanak-kananya, dan agar bisa lebih cepat dewasa, ia harus menjangkiti dengan ketidaktoleranan terhadap orang-orang yang menghambat pertumbuhannnya dengan pemujaan mereka kepada spontanitas. Tak ada yang lebih menggelikan dan lebih merugikan daripada berlagak sebagi "orang tua" yang sudah lama mengalami segala episode perjuangan yang menentukan.
Ketiga, Rabocaya Misl nomor pertama menunjukkan bahwa istilah "ekonomisme" ( yang, tentu saja, tidak kita usulkan supaya dilepaskan sebab bagaimanapun juga sebutan ini sudah berakar) tidak cukup mencerminkan hakekat aliran baru itu. Rabocaya Misl tidak menolak sama sekali perjuangan politik: dalam anggaran dasar untuk dana buruh yang dimuat dalam Rabocaya Misl No.1, ada disebut-sebut tentang perjuangan melawan pemerintah. Hanya saja Rabocaya Misl berpendapat bahwa "politik selalu mengikuti ekonomi dengan patuh" (dan Raboceye Dyelo membuat variasi dari tesis ini ketika, dalam programnya, ia mengatakan bahwa "di Rusia lebih dari negeri lain manapun, perjuangan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari perjuangan politik). Jika dengan politik itu dimaksudkan politik sosial-demokratis, maka dalil-dalil yang diajukan Rabocaya Misl dan Raboceye Dyelo itu salah sama sekali.  Perjuangan ekonomi kaum buruh sering sekali berkaitan (meskipun bukan tak terpisahkan) dengan politik borjuis, politik kepaderian, dan lain-lain, sebagaimana sudah kita lihat. Dalil-dalil Raboceye Dyelo itu benar jika dengan politik itu dimaksudkan politik trade-unionis, yaitu hasrat umum semua buruh guna memperoleh dari pemerintah tindakan-tindakan tertentu untuk meringankan kesengsaraan yang menjadi ciri keadaan mereka, tetapi yang tidak melenyapkan keadaan itu, yaitu tindakan-tindakan yang tidak menghapuskan penundukkan kerja kepada kapital. Hasrat ini memang umum bagi trade-unionis Inggris yang bersikap memusuhi sosialisme, bagi kaum buruh Katolik, bagi kaum buruh "Zubatov" , dan sebagainya. Ada bermacam-macam politik. Jadi, kita lihat bahwa Rabocaya Misl lebih memuja spontanitasnya, memuja ketiadaannya akan kesadaran daripada pengingkari perjuangan politik. Walaupun mengakui sepenuhnya perjuangan politik (lebih tepat dikatakan keinginan-keinginan dan tuntutan-tuntutan politik kaum buruh), yang tumbuh secara spontan dari gerakan buruh itu sendiri, Rabocaya Misl sama sekali menolak menyusun secara bebas politik sosial-demokratis  yang khas yang sesuai dengan tugas-tugas umum sosialisme dan dengan syarat-syarat dewasa ini di Rusia. Selanjutnya kita akan menunjukkan Raboceye Dyelo juga membuat kesalahan yang sama.


C. GRUP PEMBEBASAN DIRI DAN RABOCEYE DYELO54

Kita dengan begitu panjang lebar telah membicarakan tajuk rencana Rabocaya Misl nomor pertama yang tidak banyak diketahui dan sekarang hampir dilupakan orang, karena tajuk rencana ini paling awal dan paling menyolok menyatakan aliran pikiran yang umum yang kemudian muncul sebagi aliran-aliran kecil yang tak terhitung banyaknya. W.I sepenuhnya benar ketika, dalam memuji nomor pertama dan tajuk rencana Rabocaya Misl, dia mengatakan bahwa tajuk rencana tersebut ditulis secara "tajam dan dengan bergelora"(Listok Rabotnika No. 9-10 hal.49). Setiap orang yang percaya pada pendapatnya, yang berpendapat bahwa dia memberikan sesuatu yang baru, menulis "dengan gelora" dan dengan cara yang begitu rupa sehingga pandangan-pandangannya itu tampak menonjol. Hanyalah orang-orang yang biasa berdiri diatas dua perahu yang tidak mempunyai "gelora" sedikitpun, hanya orang-orang yang demikianlah yang bisa kemarin memuji-muji gelora Rabocaya Misl, hari ini menyerang "gelora polemik" lawan-lawan Rabocaya Misl.
Kita tidak akan membicayakan Lampiran Khusus Rabocaya Misl (nanti kita akan berkesempatan, mengenai berbagai hal, menyinggung tulisan ini, yang menyatakan ide-iede kaum ekonomis dengan konsekwen) tetapi hanya dengan singkat akan membicarakan Seruan Grup Pembebasan Diri Buruh ( Maret 1899, dimuat lagi dalam Nakanunye55 London, No.7 Juli 1899). Penulis-penulis seruan ini tepat sekali mengatakan bahwa "kaum buruh Rusia baru saja bangun, baru saja melihat sekelilingnya, dan secara naluri mencekau alat perjuangan yang pertama dijumpai". Tetapi di sini penulis-penulis itu menarik kesimpulan salah yang sama seperti yang di tarik Rabocaya Misl dengan melupakan bahwa kenalurian adalah kesadaran (spontanitas) yang harus dibantu oleh kaum sosialis, bahwa alat perjuangan  "yang pertama dijumpai", dalam masyarakat modern, akan selalu berupa alat perjuangan trade-unionis, dan ideologi "yang pertama dijumpai" akan berupa ideologi (trade-unionis) borjuis. Begitu juga, penulis-penulis ini tidak menolak politik, mereka hanya (hanya!) mengatakan, dengan mengulangi kata-kata yang diucapkan Tuan W.W, bahwa politik adalah bangunan atas, dan oleh karenanya, "agitasi politik harus menjadi bangunan-atas dari agitasi untuk kepentingan perjuangan ekonomi; ia harus tumbuh di atas dasar perjuangan ekonomi ini dan berjalan dibelakangnya".
Adapun Raboceye Dyelo, ia memulai aktivitasnya langsung dengan "membela" kaum ekonomis. Ia betul-betul berbohong dalam nomor pertamanya itu juga ( No. 1, hal 141-142) ketiga ia menyatakan bahwa ia "tidak tahu kawan-kawan muda mana yang dimaksud oleh Akselrod" dalam brosurnya yang terkenal,* dimana ia memperingatkan kaum ekonomis, tetapi Raboceye Dyelo dalam polemik sengit dengan Akselrod dan Plekhanov mengenai kebohongan itu, terpaksa mengakui bahwa ia "dengan menyatakan kebingungan ingin membela semua sosial-demokrat yang lebih muda di luar negeri dari tuduhan yang tidak adil" (Akselrod menuduh kaum ekonomis berpandangan cupet). Sebetulnya tuduhan ini adil sepenuhnya, dan Raboceye Dyelo tahu betul bahwa tuduhan ini antara lain menimpa juga W.I. seorang anggota dewan redaksinya. Sepintas lalu baiklah saya sebutkan bahwa dalam polemik tersebut Akselrod sepenuhnya benar dan Raboceye Dyelo sama sekali salah dalam menafsirkan brosur saya Tugas-Tugas Kaum Sossial-Demokrat Rusia*. Brosur itu ditulis dalam tahun 1897, sebelum Rabocaya Misl terbit, ketika saya berpendapat, dan berhak berpendapat, bahwa haluan semula Liga Perjuangan Petersburg, yang saya lukiskan diatas, adalah haluan yang berdominasi.   Dan haluan itu adalah benar-benar haluan yang berdominasi, setidak-tidaknya sampai pertengahan tahun 1898. Karena itu Raboceye Dyelo tidak berhak sedikitpun dalam usahanya membantah adanya dan bahaya ekonomisme, menunjuk kepada brosur yang menyatakan pandangan-pandangan yang didesak oleh pandangan-pandangan "ekonomis" di Petersburg dalam tahun 1897-1898**
Tetapi Raboceye Dyelo tidak hanya "membela" kaum ekonomis --ia sendiri senantiasa tergelincir kedalam kesalahan-kesalahan mereka yang fundamental. Sumber kekacauan ini terletak dalam pengertian yang bercabang mengenai tesis dalam program Raboceye Dyelo  berikut: "kita anggap gejala yang paling penting dari kehidupan Rusia, gejala yang terutama akan menentukan tugas-tugas" "dan watak aktivitas kesusasteraan Perserikatan, ialah gerakan massa buruh (kursif dari Raboceye Dyelo) yang telah timbul dalam tahun-tahun belakangan ini". Bahwasanya gerakan massa merupakan gejala yang paling penting, ini tak dapat dipertengkarkan lagi. Tetapi seluruh persoalannya ialah bagaimana memahami "penentuan tugas" oleh gerakan massa ini. Ini bisa diinterpretasi dengan dua cara: atau  dalam arti pemujaan kepada spontanitas gerakan ini, artinya menurunkan peranan sosial-demokrasi menjadi  pembudakan belaka kepada gerakan buruh sebagaimana adanya (interpretasi Rabocaya Misl, Grup Pembebasan Diri dan kaum ekonomis lainnya); atau dalam arti bahwa gerakan massa mengajukan kepada kita tugas-tugas baru di bidang teori, politik dan organisasi, yang jauh lebih rumit daripada tugas-tugas yang dapat memuaskan kita dalam periode sebelum timbulnya gerakan massa. Raboceye Dyelo telah dan masih cenderung justru ke interpretasi yang pertama, karena ia tidak mengatakan apapun yang tegas tentang sesuatu tugas baru, melainkan terus-menerus memperbincangkan seolah-olah "gerakan massa" ini justru membebaskan kita dari keharusan menyadari dengan jelas dan menyelesaikan tugas-tugas yang diajukannya kepada kita. Cukup ditunjukkan bahwa Raboceye Dyelo mengangap tidak mungkin menentukan penggulingan otokrasi sebagai tugas pertama gerakan massa buruh, dan bahwa ia memerosotkan tugas ini (demi kepentingan gerakan massa) menjadi tugas perjuangan untuk tuntutan-tuntutan politik yang terdekat (Jawaban, hal. 25) .
Akan kami lewati artikel B. Kricevski, redaktur Raboceye Dyelo, yang berjudul "Perjuangan Ekonomi dan Politik Dalam Gerakan Rusia", yang dimuat dalam surat kabar itu No.7, yang mengulangi kesalahan-kesalahan* itu juga, dan langsung beralih Raboceye Dyelo No.10. Tentu saja, kita tidak akan menguraikan secara terperinci berbagai kebertan yang diajukan B. Kreicevski dan Martinov terhadap Zarya dan Iskra.Yang menarik perhatian kita disini semata-mata pendirian prinsipiil yang dibentangkan oleh Raboceye Dyelo No.10. Misalnya, kita tidak akan mengupas keanehan --bahwa Raboceye Dyelo melihat suatu 'kontradiksi yang diametral" antara dalil:
"Sosial-demokrasi tidak mengikat tangannya, tidak membatasi aktivitas-aktivitasnya pada sesuatu rencana atau metode perjuangan politik yang telah dipertimbangkan sebelumnya; ia mengakui semua alat perjuangan selama alat-alat perjuangan itu sesuai dengan kekuatan yang ada pada partai", dan seterusnya (Iskra. No.1)56.
dengan dalil :
"Tanpa organisasi yang kuat, yang berpengalam dalam perjuangan politik dalam segala keadaan dan dalam segala periode, maka tak mungkin berbicara tentang rencana aktivitas yang sistematis yang diterangi dengan prinsip-prinsip yang teguh dan yang dilaksanakan dengan gigih, yang merupakan satu-satunya yang patut dinamakan taktik" (Iskra No.4)57.
Mencampuradukkan pengakuan, dalam prinsip, atas segala alat perjuangan, atas segala rencana dan metode, selama hal-hal ini bermanfaat --dengan tuntutan supaya pada saat politik tertentu kita berpedoman pada rencana yang dilaksanakan dengan teguh, jika kita hendak mempersoalkan taktik, ini berarti sama dengan mencampuradukkan pengakuan ilmu kedokteran atas berbagai cara pengobatan dengan tuntutan berpegang teguh pada satu cara pengobatan tertentu untuk penyakit tertentu.  Akan tetapi soalnya ialah bahwa Raboceye Dyelo, walaupun ia sendiri mengidap penyakit yang telah kita namakan memuja-muja spontanitas, tidak mau mengakui "cara pengobatan" apapun untuk penyakit itu. Karena itu, ia telah membuat penemuan yang istimewa bahwa "taktik- sebagai rencana berkontradiksi dengan jiwa pokok Marxisme" (No. 10, hal.18), bahwa taktik adalah "proses pertumbuhan tugas-tugas Partai yang tumbuh bersama dengan Partai" (hal.11, kursif dari Raboceye Dyelo). Ucapan yang terakhir ini mempunyai segala kemungkinan untuk menjadi peribahasa yang terkenal, suatu monumen yang abadi bagi "aliran" Raboceye Dyelo. Atas pertanyaan : kemana? Suatu organ pimpinan menjawab: gerakan adalah proses perubahan jarak antara titik pangkal dan titik-titik berikutnya gerakan itu. Tetapi kedalaman yang tiada tolok taranya ini bukan hanya suatu keanehan (jika demikian halnya, tak akan ada gunanya dibicarakan secara khusus), melainkan juga merupakan program seluruh aliran, yaitu program itu juga yang dinyatakan oleh R.M (dalam Lampiran Khusus Rabocaya Misl) dengan kata-kata: perjuangan yang dikehendaki ialah perjuangan yang mungkin dan perjuangan yang mungkin adalah perjuangan yang berlaku pada saat tertentu. Inilah justru aliran opurtunisme yang terbatas, yang seecara pasif menyesuaikan diri dengan spontanitas.

"Taktik- sebagai rencana berkontradiksi dengan jiwa pokok Marxisme!" Sungguh, ini adalah fitnahan terhadap Marxisme; ini berarti mengubahnya menjadi karikatur Marxisme yang dihadapkan kepada kita oleh kaum Narodnik dalam perang mereka melawan kita. Ini berarti meremehkan inisiatif dan enerzi aktivis-aktivis yang sadar, padahal Marxisme, sebaliknya, memberikan dorongan raksasa kepada inisiatif dan enerzi sosial-demokrat, membukakan baginya perspektif-perspektif yang seluas-luasnya dan (jika orang boleh menyatakan begitu) menyediakan untuknya kekuatan perkasa berjuta-juta orang dari klas buruh yang "secara spontan" bangkit berjuang! Seluruh sejarah sosial-demokrasi internasional penuh dengan rencana-rencana yang diajukan kadang-kadang oleh satu pimpinan politik, kadang-kadang oleh pimpinan politik lainnya; ada yang membenarkan pandangan jauh dan ketepatan pandangan politik dan organisasi dari pimpinan politik yang satu dan ada yang memperlihatkan kecupetan serta satu titik balik yang paling penting dalam sejarahnya --terbentuknya Kerajaan, pembukaan Reichstag dan pemberian hak pilih umum -- Liebknecht mempunyai satu rencana untuk politik dan pekerjaan sosial demokratis pada umumnya dan Schwetzer mempunyai rencana lain. Ketika Undang-Undang Anti Sosialis menyerang kaum Sosialis Jerman, Most dan Hasselmann mempunyai satu rencana, mereka siap seketika itu juga menyerukan dilakukannya kekerasan dan teror; Hochberg, Schraman dan (sebagian) Bernstein mempunyai rencana lain, mereka mulai mengkhotbahkan kepada kaum sosial-demokrat bahwa mereka sendirilah dengan kekasaran dan kerevolusioneran yang keterlaluan yang telah memprovokasi pengundangan Undang-Undang itu, dan sekarang harus bertingkah laku yang patut menjadi teladan untuk memperoleh maaf; rencana yang ketiga ialah yang diajukan oleh mereka yang mempersiapkan dan melaksanakan penerbitan organ ilegal. Tentu saja mudah, dalam menoleh kembali, bertahun-tahun sesudah perjuangan mengenai masalah pemilihan jalan terakhir dan sesudah sejarah menjatuhkan putusannya yang terakhir mengenai ketepatan jalan yaang telah terpilih, mengucapkan pepatah yang mendalam tentang pertumbuhan tugas-tugas Partai yang tumbuh bersama dengan partai. Tetapi pada saat kekalutan*, ketika "kritikus-kritikus" dan kaum ekonomis Rusia memerosotkan sosial demokrat ke tingkat trade-unionisme, dan ketika kaum teroris semakin kuat mengkhotbahkan diterimanya "taktik-sebagai-rencana" yang mengulangi lagi kesalahan-kesalahan lama, pada saat demikian itu, bila membatasi diri pada kedalaman-kedalaman itu, berarti memberi kepada diri sendiri "surat keterangan tentang kemiskinan". Pada saat banyak orang sosial-demokrat Rusia di hinggapi justru kelangkaan inisitif dan enerzi, dihinggapi kelangkaan "ruang lingkup propaganda politik, agitasi politik dan organisasi politik"*, kelangkaan "rencana" untuk mengorganisasi pekerjaan revolusioner secara lebih luas, bila pada saat yang demikian mengatakan: "taktik-sebagai rencana berkontradiksi dengan jiwa pokok Marxisme" berarti tidak hanya memvulgarkan Marxisme di bidang teori, tetapi juga menyeret Partai mundur dalam praktek.
Raboceye Dyelo seterusnya menggurui kita :
"Tugas  orang revolusioner sosial-demokrat hanyalah mempercepat perkembangan objektif dengan pekerjaannya yang secara sadar, tetapi bukan meniadakannya atau menggantinya dengan rencana-rencana subyektif. Iskra tahu semua ini dalam teori. Tetapi arti penting mahabesar yang secara tepat diberikan Marxisme kepada pekerjaan revolusioner yang sadar menyebabkan Iskra dalam praktek, karena padangannya yang dokriner tentang taktik, meremehkan arti penting unsur obyektif atau spontan perkembangan" (hal.18).
Satu contoh lagi tentang kekalutan teori yang luar biasa yang sudah sepatutnya bagi Tuan W.W dan kelompoknya. Kita akan bertanya kepada ahli filsafat kita: dalam hal apa dapat tercermin "peremehan" perkembangan obyektif dari pihak penyusun rencana-rencana yang subyektif? Jelas, dalam hal bahwa ia mengabaikan kenyataan bahwa perkembangan obyektif ini menciptakan atau memperkuat, menghancurkan atau melemahkan klas-klas, lapisan-lapisan, golongan-golongan tertentu, bangsa-bangsa, kelompok-kelompok bangsa tertentu, dsb, dengan begitu menjadi syarat bagi pengelompokan kekuatan-kekuatan politik internasional tertentu, bagi penentuan pendirian partai-partai revolusioner, dan sebagainya. Tetapi jika demikian, maka kesalahan penyusun rencana-rencana itu bukanlah dalam hal meremehkan unsur spontan melainkan sebaliknya, dalam hal meremehkan unsur sadar, karena dia tidak mempunyai cukup "kesadaran" untuk memahami secara tepat perkembangan obyektif. Karena itu omongan tentang "penilaian arti "relatif" (krsif dari Raboceye Dyelo) spontanitas dan kesadaran itu saja sudah menyingkapkan ketiadaan "kesadaran" sama sekali . Jika "unsur-unsur spontan perkembangan" tertentu dapat ditangkap oleh kesadaran manusia pada umumnya, maka penilaian yang tidak tepat mengenai unsur-unsur spontan itu akan sama saja dengan "meremehkan unsur sadar". Tetapi jika unsur-unsur spontan itu tidak dapat ditangkap oleh kesadaran, maka kita tak dapat mengetahuinya, dan tidak dapat membicarakannya. Jadi apakah yang dipercakapkan oleh B. Kreicevski itu? Jika dia berpendapat bahwa "rencana-rencana subyektif" Iskra itu salah (dan dia justru menyatakan rencana-rencana subyektif itu salah), maka dia semestinya menunjukkan kenyataan-kenyataan obyektif apa yang diabaikan dalam rencana-rencana ini, dan kemudian menuduh Iskra tidak mempunyai cukup kesadaran karena mengabaikannya dan menuduh Iskra, menggunakan kata-kata dia sendiri, "meremehkan secara sadar". Tetapi jika dia, walaupun tidak puas dengan rencana-rencana subyektif, tidak mempunyai argumen lain kecuali kutipan "meremehkan unsur spontan" (!!), maka dia dengan itu hanya membuktikan bahwa : 1) secara teori dia memahami Marxisme ala orang-orang sebangsa Kareyev dan Mikhailovski yang sudah cukup di cemooohkan oleh Beltov58, dan 2) dalam praktek, dia sepenuhnya puas dengan "unsur-unsur spontan perkembangan" yang telah membawa kaum Marxis legal kita ke Bernsteinisme dan membawa kaum sosial-demokrat kita ke ekonomisme, dan bahwa dia "sangat marah" kepada orang-orang yang telah bertekad bulat bagaimanapun juga akan membelokkan sosial-demokrasi Rusia dari jalan perkembangan "spontan".

Dan kemudian menyusullah hal-hal yang sungguh lucu. "Persis seperti manusia-manusia akan berbiak dengan cara kuno, kendatipun segala sukses ilmu pengetahuan alam, demikian pulalah kelahiran sistem masyarakat baru, dimasa depan juga., terutama sebagai akibat ledakan-ledakan spontan, kendatipun segala sukses ilmu-ilmu sosial dan pertambahan jumlah pejuang yang sadar" (hal.19). Persis seperti kata arif bijaksana kuno yang berbunyi: "Setiap orang tolol dapat melahirkan anak", kata arif bijaksana kaum "sosialis modern" (a la Narcissus Tuporilov59) juga berbunyi: setiap orang tolol dapat ikut serta dalam kelahiran spontan sistem masyarakat baru. Kita juga berpendapat demikia. Untuk keikutsertaan semacam itu cukuplah menyerah kepada ekonomisme ketika ekonomisme berkuasa, dan menyerah kepada terorisme ketika terorisme merajalela. Misalnya, dalam musim semi tahun ini, ketika begitu penting memperingatkan orang supaya jangan tergila-gila akan terorisme, Raboceye Dyelo bengong dihadapan masalah yang "baru" baginya itu. Dan sekarang, enam bulan sesudah itu, ketika masalah tersebut telah menjadi kurang aktual, ia sekaligus menyodorkan kepada kita pertanyaan : "kita berpendapat bahwa  tidak mungkin dan tidak seharusnya tugas sosial-demokrasi menghalang-halangi kebangkitan semangat teroris"(Raboceye Dyelo, No.10, hal 23)., juga resolusi Kongres: "Kongres menganggap teror yang sistematis dan ofensif sebagai tak tepat pada waktunya (Dua Kongres, Hal.18). Betapa terang dan sambung-menyambung! Jangan menghalang-halangi, tetapi menyatakan  sebagai tak tepat pada waktunya, dan menyatakannya dengan begitu rupa sehingga teror yang sistematis dan defensif tidak termasuk dalam ruang  lingkup "resolusi" itu. Haruslah diakui bahwa resolusi semacam itu sangat aman dan sepenuhnya terjamin terhadap kesalahan, seperti orang yang berbicara tetapi tidak mengatakan apa-apa itu terjamin terhadap kesalahan! Dan apa yang dibutuhkan untuk menyusun  resolusi semacam itu hanyalah: kecakapan untuk mengekor di belakang gerakan. Ketika Iskra mentertawakan Raboceye Dyelo karena menyatakan soal teror sebagi suatu soal baru, maka ia dengan marah menuduh Iskra "luar biasa kurang ajarnya karena memaksakan pada organisasi Partai pemecahan soal-soal taktik yang diusulkan oleh sekelompok penulis emigran lebih dari lima belas tahun yang lalu" (hal.24). Memang, alangkah kurang ajarnya dan alangkah dibesar-besarkannya unsur sadar --mula-mula secara teori memecahkan masalah-masalah, kemudian meyakinkan organisasi, Partai dan Massa akan ketepatan pemecahan itu!* Akan lebih baik jika sekadar mengulang-ulang sesuatu yang telah hafal dan tanpa "memaksakan" sesuatu pada siapapun juga, tunduk pada setiap "pembelokan" baik ke jurusan ekonomisme ataupun ke jurusan terorisme. Raboceye Dyelo bahkan menggeneralisasi petuah besar dari kebijaksanaan duniawi ini dan menuduh Iskra serta Zarya "mempertentangkan program mereka dengan gerakan seperti roh yang melayang-layang diatas kekacauan yang tak berbentuk", (hal.29). Tetapi apa lagi fungsi sosial-demokrasi jika bukan sebagai "roh", yang tidak hanya melayang-layang diatas gerakan spontan, tetapi juga meningkatkan gerkan ini ke tingkat "programnya"? Tentulah, bukan pula fungsinya mengekor di belakang gerakan: paling banter, ini tidak akan ada gunanya bagi gerakan: paling buruk ia akan sangat, sangat merugikan. Tetapi Raboceye Dyelo tidak hanya mengikuti "taktik-sebagai-proses" ini, bahkan mengangkatnya menjadi suatu prinsip, sehingga lebih tepatlah menamakan haluan Raboceye Dyelo bukan oportunisme, melainkan ekorisme (dari kata ekor). Dan haruslah diakui bahwa orang-orang yang telah bertekad untuk selalu membuntut dibelakang gerakan dan menjadi ekornya, selama-lamanya dan mutlak tidak bisa "meremehkan unsur spontan perkembangan".
*    *   *
Demikianlah, kita sudah menjadi yakin bahwa kesalahan pokok "aliran baru" dalam sosial demokrasi Rusia berupa pemujaan kepada spontanitas, dan ketidakmengertian bahwa spontanitas massa menuntut kesadaran besar-besaran dari kita kaum sosial-demokrat. Semakin besar kebangkitan spontanitas dari massa, semakin meluaslah gerakan, maka semakin cepat lagi dengan tiada bandingnya bertambah besarnya tuntutan akan kesadaran yang besar-besaran dalam pekerjaan teori, politik dan organisasi dari sosial-demokrasi.
Kebangkitan spontan massa di Rusia telah (dan terus) berlangsung dengan kecepatan sedemikian rupa sehingga pemuda sosial-demokrat ternyata belum dipersiapkan untuk menunaikan tugas-tugas raksasa ini. Ketidaksiapan ini merupakan kemalangan kita bersama, kemalangan semua  orang sosial-demokrat-Rusia. Kebangkitan massa  meluas dan berlangsung dengan tak putus-putusnya dan sambung-bersambung; ia bukan hanya tidak berhenti di tempat-tempat di mana ia telah mulai, tetapi melanda tempat-tempat baru dan lapisan-lapisan baru penduduk (di bawah pengaruh gerakan buruh telah hidup kembali gejolak di kalangan pemuda-pelajar, kaum intelektual pada umumnya dan bahkan dikalangan kaum tani). Akan tetapi kaum revolusioner ketinggalan di belakang kebangkitan ini baik dalam "teori-teori" mereka maupun dalam aktivitas mereka; mereka gagal mendirikan organisasi yang tak putus-putusnya dan yang sambung-bersambung, yang sanggup memimpin seluruh gerakan.
Dalam Bab I telah kami buktikan bahwa Raboceye Dyelo meremehkan tugas-tugas teori kita dan bahwa ia "secara spontan"  mengulang-ulangi semboyan yang sedang menjadi mode "kebebasan mengkritik"; bahwa mereka yang mengulang-ulangi semboyan ini tidak mempunyai cukup "kesadaran" untuk memahami pertentangan yang diametral antara pendirian para "kritikus" oportunis dengan pendirian kkaum revolusioner di Jerman dan di Rusia.
Dalam bab-bab yang berikut akan kita bahas bagaimana pemujaan kepada spontanitas ini mendapatkan perwujudannya di bidang tugas-tugas politik dan pekerjaan organisasi dari sosial-demokrasi.
-----------------
      
III

POLITIK TRADE-UNIONIS DAN POLITIK SOSIAL-DEMOKRATIS

Kami akan mulai lagi dengan  memuji Raboceye Dyelo. "Literatur Pemblejetan Dan Perjuangan Proletar" adalah judul yang diberikan oleh Martinov kepada artikelnya dalam Raboceye Dyelo No.10 tentang perbedaan pendapat dengan Iskra. Dia merumuskan hakekat perbedaan pendapat ini sebagai berikut :  "Kita tak dapat membatasi diri hanya pada memblejeti sistem yang merintangi jalan perkembangannnya" (partai buruh). "Kita harus pula memberi reaksi terhadap kepentingan-kepentingan terdekat dan sehari-hari proletariat" (hal.63). "….Iskra…… sebenarnya adalah sebuah organ dari oposisi revolusioner yang memblejeti sistem di negeri kita, terutama sistem politik……….. Akan tetapi kita bekerja dan akan bekerja untuk usaha buruh dalam hubungan organis yang erat dengan perjuangan proletar" (hal.63). Orang mau tidak mau harus berterima kasih kepada Martinov atas perumusan ini. Perumusan ini sangat menarik perhatian umum karena pada hakekatnya ia meliputi bukan hanya perbedaan pendapat kami dengan Raboceye Dyelo, melainkan juga perbedaan pendapat umumnya antara kami dengan kaum “ekonomis" mengenai perjuangan politik. Telah kami tunjukkan bahwa kaum "ekonomis" itu tidak menolak "politik" sama sekali, tetapi bahwa mereka hanya senantiasa menyimpang dari konsepsi politik sosial-demokratis ke konsepsi politik trade-unionis. Martinov menyimpang persis begitu juga, dan karena itu kami setuju mengambil justru pendangan-pandangannya sebagi contoh kesalahan ekonomis mengenai soal ini. Kami akan berusaha membuktikan bahwa baik penulis-penulis Lampiran khusus Rabocaya Misl, penulis-penulis manifes yang dikeluarkan oleh Grup Pembebasan Diri, maupun penulis-penulis surat ekonomis yang dimuat dalam Iskra No.12, tak akan mempunyai hak apapun untuk menggugat pilihan ini.

A.     AGITASI POLITIK DAN PEMBATASANNYA OLEH KAUM EKONOMIS

Setiap orang tahu bahwa pengembangan secara luas dan pengkonsolidasian perjuangan ekonomi*kaum buruh Rusia berlangsung berbarengan dengan pencitaan 'literatur" pemblejetan keadaan ekonomi (keadaaan di pabrik dan lapangan pekerjaan). "Surat-surat sebaran" ini terutama ditujukan untuk memblejeti keadaan pabrik, dan di kalangan kaum buruh segera bangkit gairah yang sejati akan pemblejetan-pemblejetan itu. Segera sesudah kaum buruh melihat bahwa lingkaran-lingkaran kaum sosial-demokrat ingin dan dapat memberikan kepada mereka surat sebaran macam baru yang menceritakan seluruh kebenaran tentang hidup mereka yang melarat, tentang kerja mereka yang terlalu berat, tentang ketiadaan hak mereka, maka mulailah, boleh dikatakan, membanjir surat-surat mereka dari pabrik-pabrik dan kilang-kilang. ""Literatur pemblejetan" ini menimbulkan sensasi yang hebat tidak hanya di pabrik dimana keadaannya diblejeti dalam surat sebaran tertentu, tetapi juga disemua pabrik dimana tersiar kabar tentang fakta-fakta yang terblejeti. Dan karena kesengsaraan serta kemiskinan kaum buruh diberbagai perusahaan dan berbagai lapang pekerjaan hampir saja sama saja, maka "kebenaran tentang kehidupan buruh " menggerakkan semuanya.Bahkan di kalangan kaum buruh yang paling terbelakangpun timbul gairah yang sejati untuk "dipublikasi" --suatu gairah yang mulia akan bentuk embrio perang melawan seluruh sistem sosial dewasa ini yang didasarkan atass perampokkan dan penindasan. Dan dalam kebanyakan hal "suart-surat sebaran" ini sesungguhnya merupakan sutu pernyataan perang, karena pemblejetan-pemblejetan itu sangat membantu membangkitkan kaum buruh dan menimbulkan di kalangan mereka tuntutan-tuntutan bersama untuk melenyapkan keburukkan-keburukkan yang paling menyolok dan membangkitkan pada mereka kesediaan menyokong tuntutan-tuntutan ini dengan pemogokkan-pemogokkan. Akhirnya, tuan-tuan pabrik sendiri terpaksa mengakui arti surat-surat sebaran ini sebagai suatu pernyataan perang sehingga sering sekali mereka tidak mau menunggu-nunggu lagi samapi perang itu sendiri pecah. Sebagaimana biasa, dengan diterbitkannya pemblejetan-pemblejetan ini saja sudah menjadikannya berdaya guna, memperoleh arti pengaruh moril yang perkasa. Bukan satu kali saja bahwa, penerbitan suatu surat sebaran itu saja ternyata cukup untuk menjamin dipenuhinya semua atau sebagian tuntutan. Pendek kata, pemblejetan-pemblejetan ekonomi (pabrik) telah dan tetap merupakan pengungkit penting perjuangan ekonomi. Dan pemblejetan-pemblejetan ini akan terus mempunyai arti demikian ini selama kapitalisme masih ada, yang menyebabkan kaum buruh harus membela diri. Di negeri-negeri Eropa yang paling maju pun sekarang masih dapat kita saksikan bagaimana pemblejetan keburukan-keburukan di suatu “perusahaan” yang terpencil atau suatu cabang industri rumah tangga yang sudah dilupakan orang, merupakan titik pangkal untuk menggugah kesadaran klas, untuk mengawali perjuangan serikat buruh dan untuk menyebar luaskan sosialisme.*
Mayoritas mutlak kaum sosial-demokrat Rusia di waktu belakangan ini hampir sama sekali mencurahkan perhatian mereka pada pekerjaan mengorbankan pemblejetan mengenai keadaan pabrik. Cukuplah mengingat Rabocaya Misl untuk melihat sampai seberapa jauh pencurahan perhatian ini. Pencurahan perhatian itu sampai sebegitu jauh sehingga dilupakan bahwa pencurahan ini sendiri, pada hakekatnya belum merupakan aktivitas sosial-demokratis, melainkan hanya aktivitas trade-unionis. Pada hakekatnya, pemblejetan-pemblejetan ini hanya mencakup hubungan-hubungan antara kaum buruh di lapangan pekerjaan tertentu dengan majikan-majikan mereka, dan apa yang dicapai oleh pemblejetan-pemblejetan  itu  ialah bahwa para penjual tenaga kerja belajar menjual “barang dagangan” mereka secara lebih menguntungkan dan berjuang melawan para pembeli berdasarkan transaksi dagang semata-mata. Pemblejetan-pemblejetan ini dapat menjadi (jika digunakan sebagaimana mestinya oleh organisasi kaum revolusioner) permulaan dan bagian komponen aktivitas sosial-demokratis, tetapi pemblejetan itu juga dapat menuju (dan dibawah syarat pemujaan kepada spontanitas pasti) menuju ke perjuangan “serikat buruh semata-mata” dan ke gerakan buruh non sosial-demokratis. Sosial-demokrasi memimpin perjuangan klas buruh tidak hanya untuk syarat-syarat yang lebih baik bagi penjualan tenaga kerja, tetapi juga untuk melenyapkan sistem masyarakat yang memaksa kaum tak bermilik menjual diri kepada si kaya. Sosial-demokrasi mewakili klas buruh bukan dalam hubungan klas buruh dengan hanya suatu grup pengusaha tertentu, melainkan dalam hubungan klas buruh dengan semua klas dari masyarakat modern, dengan negara sebagai suatu kekuatan politik yang terorganisasi. Dari sini jelaslah bahwa kaum sosial-demokrat bukan hanya tidak boleh membatasi diri pada perjuangan ekonomi, tetapi juga tidak boleh membiarkan perorganisasian pemblejetan di bidang ekonomi menjadi aktivitas mereka yang berdominasi. Kita harus dengan aktif mencengkam pendidikan politik klas buruh dan pengembangan kesadaran politiknya. Sekarang sesudah Zarya dan Iskra melakukan serangan yang pertama atas ekonomisme, “semua setuju” mengenai ini (meskipun ada yang setuju hanya dalam kata-kata, sebagaimana akan segera kita lihat).
Timbul pertanyaan: berupa apakah seharusnya pendidikan politik itu ? Dapatkah dibatasi hanya pada propaganda ide-ide tentang permusuhan klas buruh terhadap otokrasi? Tentu saja tidak. Tidaklah cukup menerangkan kepada kaum buruh bahawa mereka mengalami penindasan politik (sebagaimana tidak cukup hanya menerangkan kepada mereka bahwa kepentingan-kepentingan mereka berlawanan dengan kepentingan-kepentingan kaum majikan). Agitasi harus dilakukan mengenai setiap manifestasi kongkrit dari penindasan ini (sebagaimana kita telah mulai melakukan agitasi mengenai manifestasi kongret penindasan ekonomi). Dan karena penindasan ini menimpa bermacam-macam klas dalam masyarakat, karena ia menampakkan diri dalam lapangan hidup dan aktivitas yang sangat beraneka warna, dilapangan pekerjaan, sipil, perseorangan, keluarga, agama, ilmu, dan sebagainya dan sebagainya, maka tidakkah jelas bahwa kita tidak akan memenuhi tugas kita mengembangkan kesadaran politik kaum buruh jika kita tidak memikul tanggung-jawab pekerjaan mengorganisasi pemblejetan politik mengenai otokrasi dalam semua seginya? Bukankah untuk melakukan agitasi mengenai manifestasi kongkrit penindasan, orang perlu memblejeti manifestasi tersebut (sebagaimana orang perlu memblejeti penyalahgunaan dalam pabrik untuk melakukan agitasi ekonomi)?
Orang akan  berpendapat bahwa hal ini cukup jelas. Tetapi justru disinilah ternyata bahwa hanya dalam kata-kata “semua” setuju tentang perlunya mengembangkan kesadaran politik dalam semua seginya. Disini jugalah ternyata bahwa Raboceye Dyelo, misalnya , bukan hanya tidak memikul tugas mengorganisasi (atau memulai mengorganisasi) pemblejetan politik dalam semua seginya, tetapi malah menyeret mundur Iskra yang telah mengusahakan tugas ini. Dengarlah ini: “perjuangan politik klas buruh hanyalah” (justru bukan “hanya”) “bentuk perjuangan ekonomi yang paling berkembang, paling luas dan paling efektif “ (Program Raboceye Dyelo, Raboceye Dyelo No.1, hal.3). “Kaum sosial-demokrat sekarang dihadapkan kepada tugas memberikan, sedapat-dapatnya, watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri” (Martinov, Raboceye Dyelo No.10, hal42). “Perjuangan ekonomi  adalah cara yang paling luas dapat digunakan untuk menarik massa ke dalam perjuangan politik yang aktif” (Resolusi Kongres Perserikatan60) dan amandemen-amandemennya, Dua Kongres, hal. 11 dan 17). Seperti pembaca lihat, semua dalil ini meresapi Raboceye Dyelo, sejak dari nomor pertamanya sampai pada “Instruksi-Instruksi” terakhir ‘kepada Dewan Redaksi”, dan semuanya terang menyatakan satu pendapat mengenai agitasi dan perjuangan  politik. Tinjaulah pendapat ini dari sudut pendapat yang lazim di kalangan semua orang ekonomis, bahwa agitasi politik harus mengikuti agitasi ekonomi. Begitulah pada umumnya*  perjuangan ekonomi merupakan”cara yang paling luas digunakan” untuk menarik massa ke dalam perjuangan politik? Sama sekali tidak benar. Segala macam manifestasi kelaliman polisi dan perkosaan otokrasi, dan sekali-kali bukan hanya manifestasi yang berhubungan dengan perjuangan ekonomi, sedikitpun tidak kurang “dapat digunakan secara luas” sebagai cara untuk “menarik” massa. Orang-orang Zemski Nacalnik61, pemecutan terhadap petani-petani, korupsi para pegawai, perlakuan polisi terhadap “rakyat biasa” di kota-kota, perjuangan terhadap kaum lapar dan penindasan terhadap aspirasi rakyat untuk penerangan dan pengetahuan, pemerasan pajak, penguberan terhadap sekte-sekte agama, perlakuan yang merendahkan terhadap para serdadu dan perlakuan terhadap para mahasiswa dan intelegensia liberal seolah-olah mereka itu serdadu –mengapa kesemuanya ini  dan ribuan manifestasi penindasan lainnya yang serupa itu, yang tidak langsung bersangkutan dengan perjuangan “ekonomi”, merupakan pada umumnya cara dan alasan yang kurang “dapat digunakan secara luas” untuk agitasi politik dan untuk menarik massa ke dalam perjuangan politik? Justru sebaliknya: dari jumlah seluruh kejadian dimana kaum buruh mengalami (mereka sendiri ataupun orang-orang yang dekat dengan mereka) ketiadaan hak, kesewenang-wenangan dan aniaya, pastilah kejadian-kejadian penindasan polisi dalam perjuangan serikat buruh hanyalah merupakan jumlah kecil saja. Mengapa kita harus sebelumnya membatasi ruang lingkup agitasi politik dengan menyatakan hanya satu cara yang “paling luas dapat digunakan”, sedangkan kaum sosial-demokrat, disamping itu, mempunyai cara-cara lain yang pada umumnya tidak kurang “dapat digunakan secara luas”?
Lama, lama telah lalu (setahun yang lalu! ……) Raboceye Dyelo menulis: “Massa mulai mengerti akan tuntutan-tuntutan politik terdekat sesudah satu, atau sekurang-kurangnya, sesudah beberapa kali pemogokan”, “segera sesudah pemerintah mengerahkan polisi dan gendarme”  (No.7, hal 15, Agustus 1900). Teori tingkat-tingkat yang opurtunis ini sekarang telah ditolak oleh Perserikatan yang memberikan konsesi kepada kita dengan menyatakan : “Tidak ada perlunya sama sekali melakukan agitasi politik sejak awal mula semata-mata atas dasar ekonomi” (Dua Kongres, Hal.11). Ahli sejarah sosial-demokrasi Rusia yang akan datang dari penegasian oleh Perserikatan terhadap sebagian kesalahannya yang dulu itu saja akan melihat dengan lebih jelas daripada dari segala argumen panjang-panjang sampai seberapa jauh kaum ekonomis kita telah memerosotkan sosialisme! Tetapi Perserikatan sungguh naif membayangkan bahwa penolakan satu pembatasan politik akan dapat mendorong kita menyetujui bentuk pembatasan yang lain! Tidakkah akan lebih logis mengatakan, dalam hal ini juga, bahwa perjuangan ekonomi harus dilakukan seluas-luasnya, bahwa ia harus selalu digunakan untuk agitasi politik, tetapi bahwa “tidak ada perlunya sama sekali” menganggap perjuangan ekonomi sebagai cara paling luas dapat digunakan untuk menarik massa ke dalam perjuangan politik yang aktif?
Perserikatan memberikan arti penting kepada kenyataan bahwa ia mengganti kata-kata “cara yang terbaik” yang termuat dalam resolusi yang bersangkutan dari Kongres ke-IV Perserikatan  Buruh Yahudi (Bund)62 dengan kata-kata “yang paling luas dapat digunakan”. Kami, sungguh merasa sulit untuk mengatakan mana yang lebih baik dari resolusi-resolusi ini; menurut pendapat kami kedua-duanya “lebih jelek”. Baik Perserikatan maupun Bund disini salah (sebagian, barangkali, bahkan dengan tak sadar, karena pengaruh tradisi) memberikan interpretasi ekonomis, interpretasi trade unionis kepada politik. Pada hakekatnya soalnya sama sekali tidak berubah apakah hal ini dilakukan dengan menggunakan kata-kata “yang terbaik” atau kata-kata “yang paling luas dapat digunakan”. Andaikata Perserikatan mengatakan bahwa “agitasi politik atas dasar ekonomi”  adalah cara yang paling luas digunakan (dan bukan “yang dapat digunakan”) maka ia benar mengenai suatu periode tertentu dalam perkembangan gerakan sosial demokratis kita. Ia akan benar mengenai kaum ekonomis dan mengenai banyak (jika bukan mayoritas) pekerja praktis pada tahun-tahun 1898-1901, karena pekerja praktis ekonomis ini menggunakan agitasi politik (karena mereka pada umumnya menggunakannya!) hampir semata-mata atas dasar ekonomi. Agitasi politik yang demikian itu diakui dan,  sebagaimana telah kita lihat, bahkan dianjurkan oleh Rabocaya Misl dan Grup Pembebasan Diri ! Raboceye Dyelo seharusnya dengan tegas menghukum kenyataan bahwa pekerjaan agitasi ekonomi yang berguna dibarengi dengan pembatasan perjuangan politik yang merugikan, tetapi bukannya berbuat demikian ia bahkan menyatakan cara yang paling luas digunakan (oleh kaum ekonomis) sebagai yang paling luas dapat digunakan! Tidaklah mengeherankan kalau ketika kami menamakan orang-orang ini kaum ekonomis, mereka tak dapat berbuat lain kecuali memuntahkan segala macam cacian pada kita, dan menamakan kami “penipu”, “pengacau”, “duta-duta paus”, dan “pemfitnah”,* mengadukan kepada seluruh dunia bahwa kami sangat menyakiti hati mereka dan menyatakan hampir dengan bersumpah: “sekarang sama sekali tak ada organisasi sosial-demokrat satupun yang melakukan kesalahan ekonomisme” **. Ah, politikus-politikus busuk dan mefitnah ini! Tidakkah mereka dengan sengaja mengarang-ngarang seluruh ekonomisme itu, hanya karena rasa benci mereka terhadap manusia semata-mata, untuk menyakiti hati orang secara mendalam ?
Arti kongkrit real apakah yang diberikan oleh Martinov kepada kata-katanya tentang pengajuan tugas sosial-demokrasi “memberikan watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri”? Perjuangan ekonomi adalah perjuangan kolektif kaum buruh melawan majikan-majikan untuk syarat-syarat yang lebih baik dalam penjualan tenaga kerja, untuk syarat-syarat hidup dan syarat-syarat kerja kaum buruh yang lebih baik. Perjuangan ini mestilah perjuangan lapangan pekerjaan, karena syarat-syarat kerja sangat beraneka ragam di berbagai lapangan pekerjaan, dan oleh karenanya, perjuangan untuk perbaikan syarat-syarat ini tidak dapat tidak dilakukan  menurut lapangan pekerjaan (serikat-serikat buruh negeri-negeri barat, gabungan serikat buruh sementara dan surat-surat sebaran di Rusia, dan sebagainya). Oleh karena itu memberi “watak-watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri” berarti berusaha untuk dipenuhinya tuntutan-tuntutan lapangan pekerjaan ini, perbaikan syarat-syarat kerja di lapangan pekerjaan dengan jalan “tindakan-tindakan legislatif dan administrasi” (seperti dinyatakan Martinov pada halaman berikutnya dalam artikel hal 43). Ini adalah justru yang dilakukan dan selalu dilakukan oleh semua serikat buruhnya kaum buruh.  Bacalah tulisan-tulisan T. dan Ny. Webb63, sarjana-sarjana berkaliber berat (dan oportunis yang “tidak tanggung-tanggung), maka orang akan melihat bahwa serikat-serikat buruh Inggris sejak lama sekali telah menyadari dan melaksanakan tugas “memberi watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri”, sejak lama sekali berjuang untuk kebebasan mogok, untuk penghapusan segala macam rintangan hukum terhadap gerakan koperasi dan serikat buruh, untuk undang-undang yang melindungi kaum wanita dan anak-anak, untuk perbaikan syarat-syarat kerja dengan jalan perundang-undangan kesehatan dan pabrik dan lain-lain.
Jadi, dibelakang kata-kata muluk tentang “memberi watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri” yang kedengarannya “bukan main” mendalam dan revolusionernya, pada hakekatnya tersembunyi hasrat tradisional untuk memerosotkan politik sosial-demokratis ke tingkat politik trade-unionis! Dengan dalih mengkoreksi keberat-sebelahan Iskra  yang, katanya, menempatkan “perevolusioneran dogma lebih tinggi dari pada perevolusioneran kehidupan”*, kepada  kita disajikan perjuangan untuk reform ekonomi sebagai sesuatu yang baru. Sebenarnya, kata-kata “memberi watak politi kepada perjuang ekonomi itusendiri” berarti tidak lebih daripada perjuangan untuk reform-reform ekonomi. Dan Martinov sendiri semestinya sampai pada kesimpulan yang sederhana ini seandainya dia merenungkan arti kata-kata dia sendiri. “Partai kita”, katanya, seraya menghadapkan meriam-meriamnya yang terberat pada Iskra, ‘bisa dan seharusnya mengajukan tuntutan-tuntutan kongkrit kepada pemerintah supaya melaksanakan tindakan-tindakan legislatif dan administrasi guna menentang penghisapan ekonomi, pengangguran, kelaparan, dan sebagainya”  (Raboceye Dyelo No. 10 hal. 42-43). Tuntutan-tuntutan kongkrit untuk tindakan-tindakan  --tidakkah ini berarti tuntutan-tuntutan untuk reform-reform sosial? Dan sekali lagi kita bertanya kepada pembaca yang tidak berat sebelah, apakah kita memfitnah orang-orang Raboceye Dyelo-is (maafkan saya atas perkataan yang janggal ini!), dengan menamakan mereka kaum Bernsteinis yang bersembunyi ketika mereka mengajukan tesis tentang perlunya berjuang untuk reform-reform ekonomi sebagai perbedaan pendapat mereka dengan Iskra?
Sosial-demokrasi revolusioner dulu dan sekrangpun selalu memasukkan perjuangan untuk reform-reform sebagai bagian aktivitas-aktivitasnya. Tetapi ia menggunakan agitasi “ekonomi” untuk maksud mengajukan kepada pemerintah bukan hanya tuntutan-tuntutan untuk segala macam tindakan, melainkan juga (dan pertama-tama) tuntutan supaya pemerintah tidak lagi menjadi pemerintah otokratis. Kecuali itu sosial-demokrasi revolusioner menganggap  sebagai kewajibannya mengajukan tuntutan ini kepada pemerintah, bukan atas dasar perjuangan ekonomi saja, melainkan juga atas dasar segala manifestasi kehidupan sosial dan politik pada umumnya. Pendek kata, sosial-demokrasi revolusioner menempatkan perjuangan untuk kemerdekaan dan untuk sosialisme, sebagimana bagian tunduk kepada keseluruhan. Akan tetapi Martinov menghidupkan kembali teori tingkat-tingkat dalam bentuk lain, dan berusaha keras untuk menetapakan bagi perjuangan politik suatu jalan perkembangan yang, boleh dikatakan, bersifat ekonomi semata-mata. Dengan tampil kedepan pada saat pasang revolusioner dengan “tugas”  yang katanya khusus bagi perjuangan untuk reform, Martinov menyeret Partai mundur dan menguntungkan baik oportunisme “ekonomis” maupun oportunisme liberal.
Seterusnya, sementara dengan malu-malu menyembunyikan perjuangan untuk reform-reform dibelakang tesis yang muluk-muluk tentang “memberi watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri”, Martinov mengajukan, sebagai sesuatu yang khusus, reform-reform ekonomi semata-mata (dan bahkan reform-reform pabrik semata-mata). Mengapa dia berbuat demikian, tak tahulah kami. Barangkali karena keteledoran? Tetapi jika yang dia maksudkan itu bukan hanya reform-reform “pabrik” maka seluruh tesisnya, yang baru saja kami kutip itu, kehilangan arti sama sekali. Barangkali karena dia menganggap bisa dan mungkin bahwa pemerintah memberi “konsesi-konsesi” hanya dibidang ekonomi saja?**  Jika demikian, maka ini adalah kekeliruan yang aneh. Konsesi-konsesi juga mungkin dan diberikan dibidang perundang-undangan mengenai pencambukan, surat pas, uang tebusan, sekte-sekte agama, sensor, dan sebaginya dan sebagainya . Konsesi “ekonomi” (atau konsesi palsu) itu bagi pemerintah tentulah yang paling murah dan paling menguntungkan, karena dengan jalan ini pemerintah mengharapkan dapat memperoleh kepercayaan masa buruh. Tetapi justru karena inilah kita kaum sosial demokrat dalam keadaan apapun juga atau bagaimanapun juga mutlak tidak boleh  memberi tempat bagi pendapat (atau bagi salah pengertian) bahwa bagi kita reform-reform ekonomi lebih berharga, bahwa kita menganggap reform-reform ekonomi itu sebagai yang teristimewa pentingnya, dan lain-lain. “Tuntutan-tuntutan demikian itu”, kata Martinov mengenai tuntutan-tuntutan kongkrit yang diajukan di atas untuk tindakan legislatif dan administrasi, “ tidak akan merupakan omong kosong belaka karena, dengan menjanjikan hasil-hasil tertentu yang nyata berwujud, tuntuntutan-tuntutan itu bisa disokong aktif oleh massa buruh”….. Kami bukanlah kaum ekonomis, oh bukan! Kami hanya menyembah secara membudak kepada “dapat dirasakannya” hasil-hasil yang konkrit, seperti halnya orang-orang sebangsa Bernstein, Prokopowic, Struwe, R. M. dan tutti quanti!* Kami hanya ingin menjelaskan (bersama-sama dengan Narcissus Tuporilov) bahwa segala yang tidak “menjanjikan hasil-hasil yang nyata berwujud” adalah “omong-kosong” belaka! Kami hanya mencoba menyatakan pendapat seolah-olah massa buruh tak sanggup (dan belum membuktikan kesanggupan mereka, kendatipun ada orang melemparkan filistinismenya sendiri kepada massa buruh) menyokong dengan aktif setiap protes menentang otokrasi, bahkan protes yang sama sekali tidak menjanjikan kepada massa buruh hasil-hasil apa pun yang nyata berwujud!
Ambillah sebagai contoh “tindakan-tindakan” untuk melawan pengangguran dan bahaya kelaparan yang diajukan oleh Martinov sendiri. Selagi Raboceye Dyelo sibuk, ditilik dari apa yang telah dijanjikannya, menyusun dan menggarap program “tuntutan-tuntutan konkrit” (dalam bentuk rancangan undang-undang?) “untuk tindakan-tindakan legislatif dan administrasi” yang “menjanjikan hasil-hasil yang nyata berwujud”, Iskra, yang “selalu menempatkan perevolusioneran dogma lebih tinggi daripada perevolusioneran kehidupan”, mencoba menerangkan hubungan yang tak terpisahkan antara pengangguran dengan seluruh sistem kapitalis; memperingatkan bahwa “bahaya kelaparan sedang mendatang”; menelanjangi “perjuangan” polisi “melawan kaum lapar” dan “peraturan-peraturan hukuman darurat” yang melampaui batas; dan Zarya menerbitkan cetak ulang khusus, dalam bentuk brosur agitasi, sebagian dari “Tinjauan Dalam Negeri” yang mengenai bahaya kelaparan*. Tetapi ya Tuhanku! Alangkah “berat sebelahnya” kaum ortodoks picik yang tak dapat diperbaiki lagi ini, kaum dogmatis yang tuli terhadap panggilan “hidup itu sendiri”. Tidak satupun dari artikel-artikel mereka memuat—ah terlalu!—satu pun, bayangkanlah, sungguh-sungguh satu pun “tuntutan konkrit”, “yang menjanjikan hasil-hasil yang nyata berwujud”! Kaum dogmatis yang malang! Mereka seharusnya dikirim kepada Kricevski dan Martinov untuk diberi pelajaran bahwa taktik adalah proses pertumbuhan, proses dari apa yang tumbuh, dll, dan bahwa perjuangan ekonomi itu sendiri harus diberi watak politik!
“Disamping arti revolusionernya yang langsung, perjuangan ekonomi kaum buruh melawan kaum majikan dan pemerintah” (“perjuangan ekonomi melawan pemerintah”!!) “juga mempunyai arti demikian: ia senantiasa menjadikan kaum buruh sadar bahwa mereka tak mempunyai hak-hak politik” (Martinov, hlm. 44). Kami kutip bagian ini bukan untuk mengulangi keseratus dan keseribu kalinya apa yang sudah disebutkan di atas, melainkan terutama untuk menyatakan terima kasih kepada Martinov atas rumusan baru yang sangat bagus ini: “perjuangan ekonomi kaum buruh melawan kaum majikan dan pemerintah”. Alangkah indahnya! Sungguh suatu bakat yang tak tertirukan, sungguh mahir dalam meniadakan semua perbedaan pendapat yang bersifat sebagian-sebagian dan nuansa perbedaan di antara kaum ekonomis, dalil yang singkat dan jelas ini mengungkapkan seluruh hakekat ekonomisme: dari menyerukan kepada kaum buruh supaya terjun “ke dalam perjuangan politik yang mereka lakukan untuk kepentingan umum, dengan maksud memperbaiki keadaan seluruh kaum buruh”*, terus melalui teori tingkat-tingkat dan berakhir dengan resolusi Kongres tentang “yang paling luas dapat digunakan”, dsb. “Perjuangan ekonomi melawan pemerintah” adalah justru politik trade-unionis, yang jauh, jauh sekali dari politik sosial-demokratis.

B. KISAH TENTANG BAGAIMANA MARTINOV MEMPERDALAM PLEKHANOV

 
“Alangkah banyaknya orang sosial-demokrat sebangsa Lomonosov yang muncul di kalangan kita di waktu belakangan ini!” ujar seorang kawan pada suatu hari, dan yang dimaksudkannya ialah kecenderungan yang mengagumkan dari banyak orang di antara yang condong pada ekonomisme “dengan akal sendiri” pasti sampai pada kebenaran-kebenaran besar (misalnya, bahwa perjuangan ekonomi mendorong kaum buruh memikirkan ketiadaan hak bagi mereka), dan dengan demikian menganggap sepi, dengan sikap yang sangat menghina dari orang-orang zenial alamiah, segala yang sudah dihasilkan oleh perkembangan pikiran revolusioner dan perkembangan gerakan revolusioner yang terdahulu. Martinov-Lomonosov adalah justru seorang zenial alamiah semacam itu. Lihatlah artikelnya “Soal-Soal Terdekat” maka orang akan melihat bagaimana Martinov dengan akal sendiri mendekati apa yang sudah lama dikatakan oleh Akselrod (yang tentu saja sepatah kata pun tidak disebut-sebut oleh si Lomonosov kita); bagaimana, misalnya, dia mulai mengerti bahwa kita tidak dapat menganggap sepi oposisi dari berbagai lapisan borjuasi (Raboceye Dyelo No.9, hlm. 61, 62, 71; bandingkan ini dengan Jawaban redaksi Raboceye Dyelo kepada Akselrod,hlm. 22, 23, 24), dll. Tetapi sayang, dia hanya “mendekati” dan baru “mulai”, tidak lebih dari itu, karena dia bagaimanapun juga belum begitu mengerti ide-ide Akselrod, sehingga dia masih bicara tentang “perjuangan ekonomi melawan kaum majikan dan pemerintah”. Selama tiga tahun (1898-1901) Raboceye Dyelo telah berusaha keras untuk memahami Akselrod, tetapi—tetapi bagaimanapun tidak memahaminya! Barangkali hal ini terjadi juga karena sosial-demokrasi, “seperti umat manusia”, selalu mengajukan untuk dirinya sendiri hanya tugas-tugas yang dapat dilaksanakan?
Tetapi orang-orang  sebangsa Lomonosov itu menonjol tidak hanya karena ketidaktahuan mereka mengenai banyak hal (ini baru setengah celaka!), tetapi juga karena ketidaksedaran mereka akan kepicikan pengetahuan mereka. Nah, ini sudah celaka yang sesungguhnya: dan celaka inilah yang mendorong mereka tanpa berpanjang-panjang mulai “memperdalam” Plekhanov.
“Telah banyak waktu berlalu”, cerita Martinov-Lomonosov, “sejak Plekhanov menulis buku ini” (Tugas-Tugas Kaum Sosialis Dalam Perjuangan Melawan Bahaya Kelaparan di Rusia). “Kaum sosial-demokrat yang selama sepuluh tahun memimpin perjuangan ekonomi klas buruh…..belum berhasil memberikan dasar terori yang luas bagi taktik Partai. Soal ini sekarang sudah menjadi matang dan jika kita ingin memberikan dasar teori itu, kita tentu saja harus banyak memperdalam prinsip-prinsip taktik yang pernah dikembangkan oleh Plekhanov…… Definisi kita sekarang tentang perbedaan antara propaganda dengan agitasi harus berbeda dari definisi Plekhanov”. (Martinov baru saja mengutip kata-kata Plekhanov: “Seorang propagandis mengemukakan banyak ide kepada satu atau beberapa orang; seorang agitator hanya mengemukakan satu atau beberapa ide, tetapi dia mengemukakannya kepada sejumlah besar orang”). “Dengan propaganda kita artikan penjelasan secara revolusioner  tentang seluruh sistem sekarang atau manifestasi-manifestasinya sebagian-sebagian, tak peduli apakah ia dilakukan dalam bentuk yang dapat dipahami oleh orang-seorang atau oleh massa luas. Dengan agitasi, dalam arti kata setepatnya” (sic!), “kita artikan menyerukan kepada massa supaya melakukan aksi-aksi konkrit tertentu, memudahkan campur-tangan revolusioner secara langsung dari proletariat dalam kehidupan sosial”.
Kita ucapkan selamat kepada sosial-demokrasi Rusia—dan internasional—atas terminologi Martinov yang baru ini yang lebih tepat dan lebih mendalam. Selama ini kami berpendapat (bersama-sama dengan Plekhanov dan dengan semua pemimpin gerakan buruh internasional) bahwa seorang propagandis jika dia membahas misalnya, soal penganggurang itu juga harus menerangkan sifat kapitalis dari krisis, menunjukkan sebab-sebab mengapa krisis-krisis itu tak terhindarkan dalam msyarakat dewasa ini, melukiskan perlunya mengubah masyarakat ini menjadi masyarakat sosialis, dsbnya. Pendek kata, dia harus mengemukakan “banyak ide”, begitu banyak sehingga semua ide itu secara keseluruhan sekaligus akan dimengerti hanya oleh (relatif) beberapa orang saja. Akan tetapi seorang agitator yang berbicara tentang soal itu juga, akan mengambil sebagai contoh yang paling menyolok dan paling luas diketahui oleh para pendengarnya, misalnya, kematian karena kelaparan keluarga seorang penganggur, semakin meningkatnya kemelaratan, dsb, dan dengan menggunakan kematian ini, yang diketahui oleh semua orang tak ada kecualinya, akanmengarahkan segenap usahanya pada pengemukaan satu ide kepada “massa”, yaitu ide tentang kegilaan kontradiksi antara meningkatnya kekayaan dan meningkatnya kemiskinan; dia akan berusaha keras untuk membangkitkan ketidakpuasan dan kemarahan di kalangan massa terhadap ketidakadilan yang menyolok mata itu, dan menyerahkan penjelasan yang lebih lengkap tentang kontradiksi itu kepada propagandis. Karena itu, propagandis terutama bekerja dengan kata tercetak; agitator dengan kata hidup. Dari propagandis dituntut sifat-sifat yang berbeda dengan yang dituntut dari agitator. Kautsky dan Lafargue, misalnya, kita namakan propagandis; Bebel dan Guesde kita namakan agitator. Mengkhususkan bidang ketiga atau fungsi ketiga aktivitas praktis, dan memasukkan ke dalam fungsi ini “seruan kepada massa supaya melakukan aksi-aksi konkrit tertentu”, adalah omong-kosong besar, karena “seruan”, sebagai satu tindakan, atau sudah sewajarnya dan tak terelakkan melengkapi karya teori, brosur propaganda dan pidato agitasi, atau merupakan fungsi pelaksana semata-mata. Ambillah, misalnya, perjuangan yang sekarang sedang dilakukan oleh kaum sosial-demokrat Jerman menentang pajak padi-padian. Para ahli teori menulis karya-karya rise tentang politik cukai dan “menyerukan”, misalnya, supaya orang berjuang untuk perjanjian-perjanjian dagang dan untuk kebebasan berdagang. Propagandis melakukan hal itu juga dalam majalah, dan agitator dalam pidato-pidato di muka umum. Pada saat sekarang, “aksi-aksi konkrit” massa mengambil bentuk penandatanganan petisi-petisi kepada Reichstag menentang penaikan pajak padi-padian. Seruan untuk aksi ini secara tak langsung berasal dari para ahli teori, propagandis dan agitator, dan secara langsung berasal dari kaum buruh yang mengedarkan surat-surat petisi itu ke pabrik-pabrik dan rumah-rumah perseorangan mengumpulkan tanda-tangan. Menurut “terminologi Martinov”, kautsky dan Bebel kedua-duanya adalah propagandis, sedang mereka yang mengumpulkan tanda-tangan adalah agitaor; tidakkah demikian?
Contoh Jerman itu mengingatkan saya pada kata Jerman “Verballhornung” yang kalau diterjemahkan secara hurufiah berarti “pem-Ballhorn-an”. Johann Ballhorn, seorang penerbit di Leipzig pada abad ke 16, menerbitkan buku bacaan anak-anak dimana, sebagaimana kebiasaannya, dimuat lukisan ayam jantan; tetapi gambar ini bukannya melukiskan seekor ayam jantan biasa yang berjalu, melainkan melukiskannya tanpa jalu tetapi dengan dua butir telur terletak di dekatnya. Pada sampul buku ini dicetaknya tulisan tambahan “Cetakan yang telah diperbaiki oleh Johann Ballhorn”. Sejak waktu itu orang-orang Jerman menamakan setiap “perbaikan” yang sesungguhnya memperburuk, sebagai “pem-Ballhorn-an”. Dan orang mau tak mau mesti teringat pada Ballhorn apabila orang melihat bagaimana orang-orang sebangsa Martinov itu mencoba “memperdalam” Plekhanov.
Mengapa Lomonosov kita itu “menciptakan” kekusutan ini? Untuk menggambarkan bagaimana Iskra “mencurahkan perhatian hanya pada satu segi dari persoalan, seperti yang telah dilakukan oleh Plekhanov lima belas tahun yang lalu” (hlm. 39). “Menurut Iskra, tugas-tugas propaganda mendesak ke latar belakang tugas-tugas agitasi, sekurang-kurangnya untuk waktu sekarang” (hlm. 52). Jika dalil yang terakhir ini kita terjemahkan dari bahasa Martinov ke dalam bahasa manusia biasa (karena manusia belum berhasil memahami terminologi yang baru diciptakan itu), maka akan kita peroleh yang berikut: Menurut Iskra, tugas-tugas propaganda politik politik dan agitasi politik mendesak ke latar belakang tugas “mengajukan tuntutan-tuntutan konkrit kepada pemerintah untuk tindakan-tindakan legislatif dan administrasi” yang “menjanjikan hasil-hasil tertentu yang nyata berwujud” (atau tuntutan-tuntutan untuk refrom-reform sosial, yaitu jika kita sekali lagi saja diperkenankan menggunakan terminologi lama dri manusia lama yang belum mencapai tingkat Martinov). Kami sarankan supaya pembaca membandingkan tesis ini dengan tirade (semburan kata-kata—Red. IP) berikut ini:
“Yang juga mengherankan kita dalam program-program ini” (program-program kaum sosial-demokrat revolusioner) “ialah senantiasa ditonjolkannya keunggulan-keunggulan aktivitas kaum buruh dalam parlemen (yang tidak ada di Rusia), meskipun kaum sosial-demokrat itu tidak mau tahu sama-sekali (berkat nihilisme revolusioner mereka) akan arti penting kaum buruh ikut serta dalam sidang-sidang legislatif tuan pabrik mengenai urusan-urusan pabrik (yang ada di Rusia)……atau sekurang-kurangnya arti penting kaum buruh ikut serta dalam badan-badan kota-praja”……..
Penulis tirade ini menyatakan dengan sedikit lebih berterus-terang, jelas dan blak-blakan ide itu juga yang telah di dapat oleh Martinov-Lomonosov dengan akal sendiri. Penulis ini ialah R. M. dalam lampiran Khusus Rabacaya Misl (hlm. 15).
*  *  *

C. PEMBLEJETAN-PEMBLEJETAN POLITIK DAN "PENDIDIKAN KEAKTIFAN REVOLUSIONER"
Dengan mengajukan "teori"nya tentang "peningkatan  keaktifan massa buruh" untuk menentang Iskra, sebetulnya Martinov memperlihatkan usaha untuk meremehkan keaktifan ini, karena dia menyatakan perjuangan ekonomi itu sendiri, yang disembah-sembah oleh semua ekonomis, sebagai cara yang lebih baik, teristimewa penting dan "paling luas dapat digunakan" untuk membangkitkan keaktifan ini, dan sebagai lapangan untuknya. Kesalahan ini bersifat khas, justru karena ia sekali-kali bukanlah kesalahan khusus Martinov saja. Sebenarnya, "peningkatan keaktifan massa buruh" dapat dicapai hanya dengan syarat jika kita tidak membatasi diri pada "agitasi politik atas dasar ekonomi". Dan salah satu syarat pokok untuk perluasan agitasi politik yang diperlukan ialah pengorganisasian pemblejetan poolitik secara menyeluruh. Pendidikan kesadaran politik dan keaktifan revolusioner kepada massa tidak dapat dilakukan dengan cara lain kecuali melalui pemblejetan-pemblejetan itu. Karena itulah aktivitas semacam ini merupakan salah satu fungsi yang paling penting dari seluruh sosial-demokrasi internasional, karena adanya kemerdekaan politik  pun sekali-kali tidak meniadakan perlunya pemblejetan-pemblejetan itu, tetapi hanya sedikit mengalihkan lapangan yang menjadi sasaran pemblejetan-pemblejetan itu. Misalnya, Partai Jerman terutama memperkuat kedudukannya dan memperluas pengaruhnya justru berkat enerji yang tak kendor-kendornya dalam melakukan kampanye  pemblejetan politik. Kesadaran klas buruh tidak dapat menjadi kesadaran politik yang sejati jika kaum buruh tidak dididik memberi reaksi terhadap segala peristiwa, tanpa kecuali, tirani dan penindasan, kekerasan dan aniaya, tak peduli klas mana yang terkena. Lagipula memberi reaksi justru dari sudut pandangan sosial-demokratis dan bukan dari sembarang sudut pandangan lain.  Kesadaran massa buruh tak dapat menjadi kesadaran klas yang sejati, jika kaum buruh tidak belajar mengamati dari sudut fakta-fakta dan kejadian-kejadian politik konkrit dan lagi benar-benar hangat (aktual) setiap klas sosial lainnya dan segala manifestasi kehidupan intelektual, etika dan politik klas-klas ini; jika kaum buruh tidak belajar menerapkan dalam praktek analisa materialis dan  penilaian materialis mengenai segala segi aktivitas dan kehidupan semua klas, lapisan dan golongan penduduk. Orang yang memusatkan perhatian, pengamatan dan kesedaran klas buruh semata-mata, ataupun terutama, pada diri klas buruh saja maka ia bukanlah seorang sosial-demokrat; karena kesadaran diri klas buruh bertalian secara tak terpisahkan tidak hanya dengan pengertian teori yang sepenuhnya jelas-- bahkan lebih tepat mengatakan lebih banyak bertalian dengan pengertian teori  daripada dengan pengertian yang diperoleh melalui pengalaman kehidupan politik mengenai hubungan-hubungan di antara semua klas dari masyarakat modern. Itulah sebabnya maka khotbah kaum ekonomis kita, bahwa perjuangan ekonomi merupakan cara yang paling luas dapat digunakan untuk menarik massa ke dalam gerakan politik, sangat merugikan dan amat sangat reaksioner menurut arti paraktisnya. Untuk menjadi seorang sosial-demokrat, seorang buruh harus mempunyai gambaran  yang jelas mengenai watak ekonomi dan aspek-aspek sosial serta politik tuan tanah dan pendeta, pejabat tinggi negara dan petani, mahasiswa dan orang gelandangan; dia harus tahu segi lemah dan segi kuat mereka; dia harus bisa memahami ungkapan-ungkapan yang sangat laku dan macam-macam sofisme yang digunakan oleh masing-masing klas dan masing-masoing lapisan untuk mengkamuflase maksud-maksudnya yang egoistis dan "isi hatinya" yang sesungguhnya; dia harus mengerti kepentingan-kepentingan apa yang dicerminkan oleh lembaga-lembaga dan hukum-hukum tertentu dan bagaimana lembaga-lembaga dan hukum-hukum tertentu itu mencerminkannya. Tetapi "gambaran yang jelas" ini tidak dapat diperoleh dari buku. Ia dapat diperoleh hanyalah dari situasi hidup dan dari pemblejetan-pemblejetan yang cepat-cepat mengikuti apa yang sedang berlaku di sekitar kita pada saat tertentu, apa yang  sedang diperbincangkan, dalam bisik-bisik mungkin, oleh setiap orang menurut caranya sendiri, mengenai arti kejadian anu, statistik anu, keputusan pengadilan anu, dst, dst. Pemblejetan-pemblejetan politik secara menyeluruh ini merupakan syarat yang perlu dan pokok untuk memberikan pendidikan keatifan revolusioner kepada massa.
Mengapa kaum buruh Rusia masih memperlihatkan sedikit keatifan revolusioner dalam hubungan dengan perlakuan sangat kejam polisi terhadap rakyat, dalam hubungan dengan penguberan terhadap pengikut-pemgikut sekte-sekte agama, dengan pemecutan kaum tani, dalam hubungan dengan sensor yang melampaui batas, dengan penyiksaan serdadu-serdadu, penguberan terhadap usaha-usaha kebudayaan yang paling tak berdosa, dll? Apakah bukan karena "perjuangan ekonomi" tidak "mendorong" mereka untuk ini, karena aktivitas  demikian itu sedikit "menjanjikan hasil-hasil yang nyata yang berwujud", karena menghasilkan sedikit yang "positif"? Tidak. Pendapat-pendapat yang demikian itu, kita ulangi, tidak lain hanyalah usaha melemparkan kesalahan kepada orang lain, menyalahkan massa buruh karena filistinismenya (yang juga merupakan Bernsteinisme) sendiri. Kita harus menyalahkan diri kita sendiri, ketinggalan kita dari gerakan massa karena kita masih belum sanggup mengorganisasi pemblejetan-pemblejetan yang cukup luas, menyolok dan cepat mengenai semua kekejian ini. Apabila kita melakukan itu (dan kita harus dan dapa melakukannya), buruh yang paling terbelakang pun akan mengerti , atau akan merasa bahwa para mahasiswa dan pengikut sekte agama, para muzyik (petani--Red. IP) dan para penulis dicaci-maki dan dihina oleh kekuatan gelap itu juga yang menindas dan menggencet dia pada setiap langkah hidupnya, dan, dengan merasakan itu, dia sendiri akan penuh keinginan yang tak tertahankan untuk memberi reaksi terhadap hal-hal ini, maka hari ini dia akan meneriakkan ejekan-ejekan terhadap sensor, besok dia akan berdemonstrasi di muka rumah gubernur yang telah menindas pemberontakan petanid dengan kejam, lusa dia kan menghajar gendarme yang mengenakan baju jubah padri yang melakukan Pengadilan Suci, dsb. Kita masih sedikit sekali berbuat, hampir tidak berbuat apa-apa, untuk menyebarkan pemblejetan-pemblejetan yang menyeluruh dan baru di kalangan massa buruh. Banyak di antara kita bahkan masih belum menyadari kewajiban kita ini, tetapi secara spontan mengekor di belakang "perjuangan sehari-hari yang boyak", dalam bingkai sempit kehidupan pabrik. Di bawah keadaan demikian jika mengatakan bahwa "Iskra berkecenderungan memperkecil arti proses maju perjuangan sehari-hari yang boyak dibanding dengan propaganda ide-ide yang cemerlang dan lengkap-sempurna" (Martinov, hlm. 61)--berarti menyeret mundur Partai, berarti membela dan mengagung-agungkan ketidaksiapan dan keterbelakangan kita.
Tentang menyerukan kepada massa supaya beraksi, ini akan datang dengan sendirinya segera sesdudah dilakukannya agitasi politik yang giat, pemblejetan-pemblejetan  yang hidup dan menyolok. Menangkap basah seorang penjahat dan terus mencap dia di muka umum dan dimana-mana dengan sendirinya jauh lebih efektif daripada "seruan"; ini sering kali sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan orang menetapkan siapa sebenarnya yang "menyerukan" kepada orang banyak dan siapa sebenarnya yang mengajukan rencana demonstrasi ini atau itu, dll. Seruan-seruan untuk beraksi, bukan dalam arti kata yang umum, melainkan dalam arti kata yang konkrit, dapat dikeluarkan hanya di tempat aksi itu; hanya mereka yang melakukan aksi itu sendiri, dan melakukannya itu segera, yang dapat mengeluarkanseruan-seruan itu. Dan urusan kita sebagai publisis-publisis sosial-demokrat ialah memperdalam, memperluas dan memperhebat pemblejetan-pemblejetan politik dan agitasi politik.
Sambil lalu sepatah kata mengenai "seruan untuk beraksi". Satu-satunya surat kabar yang sebelum kejadian-kejadian pada musim semi menyerukan kepada kaum buruh supaya aktif campur tangan dalam soal yang pasti tidak menjanjikan hasil apa  pun yang nyata berwujud bagi kaum buruh, yaitu mewajibkan militer mahasiswa, ialah Iskra. Segera sesudah pengumuman perintah 11 Januari tentang "pewajiban militer 183 mahasiswa", Iskra memuat artikel tentang hal itu (dalam Nomor 2, Februari)64 dan sebelum demonstrasi apa pun dimulai secara terbuka menyerukan kepada "kaum buruh supaya membantu mahasiswa", menyerukan kepada "rakyat" supaya secara terbukan tantangan sombong pemerintah itu. Kami bertanya kepada semua tanpa kecuali: bagaimana menerangkan kenyataan yang istimewa itu bahwa walaupun Martinov berbicara begitu banyak tentang "seruan untuk beraksi" dan bahkan menonjolkan "seruan-seruan untuk beraksi" sebagai suatu bentuk aktivitas khusus, dia sepatah kata pun tidak menyebut-nyebut seruan ini? Sesudah ini, bukankah pernyataan Martinov bahwa Iskra berat sebelah karena ia tidak cukup "menyerukan" perjuangan untuk tuntutan-tuntutan yang "menjanjikan hasil-hasil yang nyata berwujud" itu filistinisme?
Kaum ekonomis kita, termasuk Raboceye Dyelo, mendapat sukses besar karena mereka menjilat kepada kaum buruh yang terbelakang. Tetapi buruh sosial-demokrat, buruh revolusioner (dan jumlah buruh demikian itu terus meningkat) dengan marah akan menolak segala omongan tentang perjuangan untuk tuntutan-tuntutan "yang menjanjikan hasil-hasil yang nyata berwujud" ini, dll, karena dia akan mengerti bahwa ini hanyalah suatu variasi dari lagu lama tentang tambahan satu kopek per rubel. Buruh demikian itu akan mengatakan kepada penasehat-penasehatnya dari Rabocaya Misl dan Raboceye Dyelo: kalian membuang-buang waktu saja, tuan-tuan, dan menyingkiri kewajiban-kewajiban tuan sendiri dengan terlalu getol turut campur dalam pekerjaan yang dapat kami tanggulangi sendiri. Kan sama sekali bukan sesuatu yang pintar  ketika tuan mengatakan bahwa tugas kaum sosial-demokrat ialah memberikan watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri; ini hanyalah permulaan, tetapi bukan tugas pokok kaum sosial-demokrat. Karena di seluruh dunia, termasuk Rusia, polisi itu sendiri sering mulai memberi watak politik kepada perjuangan ekonomi, dan kaum buruh sendiri belajar mengerti siapa yang didukung oleh pemerintah*. "Perjuangan ekonomi kaum buruh menentang kaum majikan dan pemerintah", yang begitu banyak kalian ributkan seakan-akan kalian telah menemukan Amerika baru, sedang dilakukan di banyak tempat jauh terpencil di Rusia oleh kaum buruh sendiri yang sudah mendengar pemogokan-pemogokan, tetapi yang hampir belum mendengar apa-apa tentang sosialisme. "Keaktifan" yang hendak kalian dorong di kalngan kami kaum buruh dengan mengajukan tuntutan-tuntutan konkrit yang menjanjikan hasil yang nyata berwujud, sudah ada pada kami dan dalam pekerjaan kecil-kecilan keserikatburuhan sehari-hari kami, kami sendiri mengajukan tuntutan-tuntutan konkrit ini, sering sekali tanpa bantuan apa pun dari kaum intelektual. Tetapi keaktifan demikian itu tidak cukup bagi kami; kami bukanlah anak-anak yang harus disuapi bubur encer politik "ekonomi" saja; kami ingin tahu segala sesuatu yang diketahui oleh orang lain; kami ingin mengetahui seluk-beluk dari segala segi kehidupan politik dan ambil bagian dengan aktif dalam setiap kejadian politik. Agar kami dapat melakukan ini, kaum intelektual harus mengurangi bicara kepada kami  tentang apa yang sudah kami ketahui*, dan lebih banyak menceritakan kepada kami tentang apa yang belum kami ketahui dan apa yang tak pernah dapat kami ketahui dari pengalaman pabrik dan pengalaman "ekonomi" kami, yaitu: pengetahuan politik. Kalian kaum intelektual dapat memperoleh pengetahuan ini, dan kewajiban kalianlah untuk membawanya kepada kami seratus dan seribu kali lebih banyak daripada yang telah kalian lakukan hingga sekarang; dan lagi kalian harus membawanya kepada kami, tidak hanya dalam bentuk argumen-argumen, brosur-brosur dan artikel-artikel (yang terkadang--maafkan keterusterangan kami---agak boyak), tetapi justru dalam bentuk pemblejetan-pemblejetan yang hidup tentang apa yang sedang dilakukan oleh pemerintah kita dan klas-klas berkuasa kita pada saat ini juga di segala bidang kehidupan. Cobalah curahkan semangat lebih besar lagi pada pelaksanaan kewajiban ini, dan kurangilah bicara tentang "meningkatkan keaktifan massa buruh"! keaktifan kami jauh lebih besar daripada yang kalian kira dan kami sanggup mendukung dengan perjuangan terbuka di jalan-jalan tuntutan-tuntutan yang tidak menjanjikan "hasil" apa pun "yang nyata berwujud"! Dan bukanlah kalian yang harus "meningkatkan" keaktifan kami, karena justru keaktifan itu yang tidak cukup pada kalian sendiri. Kurangilah pemujaan kepada spontanitas, dan pikirkanlah lebih banyak tentang peningkatan keaktifan kalian sendiri, tuan-tuan!
*
D. APA PERSAMAAN ANTARA EKONOMISME DENGAN TERORISME?
Di atas, dalam catatan bawah halaman, kami mengutip pendapat seorang ekonomis dan seorang teroris bukan sosial-demokrat yang kebetulan sependapat. Akan tetapi, berbicara secara umum, diantara keduanya tidak ada hubungan yang kebetulan, melainkan hubungan intern yang bersifat keharusan, hal yang mana harus kami bicarakan lebih lanjut, tetapi yang harus disinggung di sini ialah soal pendidikan keaktifan revolusioner. Kaum ekonomis dan kaum teroris masa kini mempunyai satu akar yang  sama, yaitu pemujaan kepada spontanitas, yang telah kami bicarakan dalam bab di muka sebagai suatu gejala umum, dan yang sekarang akan kami tinjau dalam hubungan dengan pengaruhnya atas aktivitas politik dan perjuangan politik. Sepintas kilas, pernyataan kami mungkin tampaknya seperti paradoks: begitu besar perbedaan antara orang-orang yang menitikberatkan "perjuangan sehari-hari yang boyak" dengan orang -orang yang menuntut perjuangan yang paling menuntut pengorbanan diri dari perseorangan. Tetapi ini bukanlah paradoks. Kaum ekonomis dan kaum teroris memuja kutub aliran spontan yang berbeda-beda: kaum ekonomis memuja spontanitas "gerakan buruh semata-mata", sedang kaum teroris memuja spontanitas amarah yang meradang dari kaum intelektual yang tidak mampu atau tidak mempunyai kesempatan untuk menyatukan pekerjaan revolusioner dengan gerakan buruh menjadi satu kesatuan yang utuh. Memang sulit bagi orang-orang yang telah kehilangan kepercayaannya, atau yang belum pernah percaya bahwa hal ini mungkin, untuk menemukan suatu jalan keluar lain bagi rasa amarah dan enerji revolusionernya kecuali teror. Jadi, pemujaan kepada spontanitas dari kedua aliran yang telah kami sebut di atas tak lain hanyalah permulaan pelaksanaan program Credo yang terkenal busuk itu: Biarkan kaum buruh melakukan "perjuangan ekonomi" mereka "menentang kaum majikan dan pemerintah" (kami minta maaf kepada penulis Credo karena menyatakan ide-idenya dengan kata-kata Martinov! Kami berpendapat, kami berhak berbuat demikian karena Credo juga mengatakan bahwa dalam perjuangan ekonomi kaum buruh "berhadapan dengan rezim politik"), dan biarkan kaum intelektual melakukan perjuangan politik dengan usaha-usaha mereka sendiri-- dengan bantuan teror, tentu saja! Ini adalah kesimpulan yang sepenuhnya logis dan tak terelakkan, yang harus dipegang teguh--meskipun orang-orang yang mulai melaksanakan program ini tidak menyadari sendiri bahwa kesimpulan ini tak dapat dielakkan.  Aktivitas politik mempunyai logikanya sendiri yang tidak bergantung pada kesadaran orang-orang yang, dengan maksud-maksud terbaik, menyerukan tindakan teror atau pemberian watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri. Jalan ke neraka bertabur dengan maksud-maksud baik, dan, dalam hal ini, maksud-maksud baik tidak menyelamatkan orang dari terseret secara spontan "sepanjang garis program Credo yang semata-mata borjuis. Bukanlah kebetulan pula bahwa banyak orang liberal Rusia-- orang-orang liberal yang terang-terangan dan orang-orang liberal yang berkedok Marxisme-- dengan sepenuh hati bersimpati pada teror dan sedang mencoba terus menghidupkan gelombang sentimen-sentimen teroris dewasa ini.
Dan pembentukan Grup Swoboda Sosialis-Revolusioner--yang menetapkan untuk dirinya sendiri tugas membantu gerakan buruh secara menyeluruh, tetapi yang memasukkan teror dalam programnya, dan pembebasan, boleh dikatakan, dari sosial-demokrasi--kenyataan ini sekali lagi membenarkan ketajaman pandangan yang istimewa dari P. B. Akselrod yang secara hurufiah meramalkan akibat-akibat kebimbangan sosial-demokrat ini sudah pada akhir tahun 1897 (Tugas-Tugas Dan Taktik Dewasa Ini), ketika dia menguraikan secara garis besar "dua perspektif"nya yang istimewa itu. Semua perdebatan dan perbedaan pendapat selanjutnya di kalangan kaum sosial-demokrat Rusia sudah terkandung, bagaikan tetumbuhan dalam benih, dalam dua perspektif* ini.
Dilihat dari sudut ini menjadi jelas pula mengapa Raboceye Dyelo, karena tak dapat melawan spontanitas ekonomisme, telah tak dapat pula melawan spontanitas terorisme. Sangatlah menarik untuk menyebutkan di sini argumen-argumen spesifik yang dikemukakan oleh Swoboda dalam membela terorisme. Ia "mengingkari sama sekali" peranan intimidasi dari terorisme (Kelahiran Kembali Revolusionisme, hlm.64), tetapi malahan menekankan "arti merangsang"nya. Ini adalah khas, pertama, sebagai hal yang menggambarkan salah satu tingkat kebobrokan dan kemerosotan lingkaran ide-ide tradisional (pra sosial-demokratis) yang tetap mempertahankan terorisme. Mengakui bahwa pemerintah sekarang tak dapat "ditakut-takuti"---dan oleh karenanya tidak dapat dikacaukan-- dengan teror, berarti, bahwa pada hakekatnya, menghukum teror sepenuhnya sebagai suatu sistem perjuangan, sebagai suatu bidang aktivitas yang dikukuhkan oleh program. Kedua, ini lebih-lebih lagi khas sebagai suatu contoh ketidakmengertian mengenai tugas kita yang terdekat dalam usaha "memberikan pendidikan keaktifan revolusioner kepada massa". Swoboda mempropagandakan teror sebagai suatu cara guna "merangsang" gerakan buruh, dan guna memberikan padanya suatu "dorongan keras". Suakrlah membayangkan suatu argumen yang lebih  membantah diri sendiri daripada argumen ini. Tidakkah cukup banyak perbuatan jahat yang dilakukan dalam kehidupan Rusia sehingga harus dikarang-karang "perangsang-perangsang" khusus? Dan di pihak lain, tidakkah jelas bahwa orang yang tidak terangsang dan tidak dapat dirangsang bahkan oleh kesewenang-wenangan Rusia akan menonton sambil "mengorek-ngorek hidung" beberapa gelintir teroris melakukan perkelahian seorang lawan seorang dengan pemerintah? Justru soalnya ialah bahwa massa buruh sangat terangsang oleh kekejian-kekejian dalam kehidupan Rusia, tetapi kita tak mampu mengumpulkan, kalau orang boleh mengatakan demikian, dan memusatkan semua tetes dan cucuran dari keterangsangan rakyat yang ditimbulkan oleh keadaan kehidupan Rusia dalam jumlah yang jauh lebih banyak daripoada yang kita bayangkan dan kira-kira, tetapi justru yang perlu dipadukan menjadi satu arus raksasa. Bahwa tugas ini dapat dilaksanakan dibuktikan dengan tak dapat dibantah oleh perkembangan maha besar gerakan buruh dan kedambaan kaum buruh akan literatur politik, yang sudah kami sebutkan di atas. Di pihak lain, seruan-seruan supaya melakukan teror dan seruan-seruan supaya memberi watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri hanyalah dua bentuk yang berbeda untuk menjauhi kewajiban yang paling mendesak dari kaum revolusioner Rusia, yaitu mengorganisasi agitasi politik yang meliputi banyak segi. Swoboda ingin mengganti agitasi dengan teror, dengan terang-terangan mengakui bahwa "segera sesudah agitasi yang ditingkatkan dan giat dimulai di kalangan massa maka akan selesailah peranan merangsang dari teror". (Kelahiran Kembali Revolusionisme, hlm. 68). Inilah justru yang menunjukkan bahwa baik kaum teroris maupun kaum ekonomis meremehkan keaktifan revolusioner massa, kendatipun ada bukti yang menyolok dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada musim semi*,dan kalau kaum teroris pergi mencari "perangsang-perangsang" buatan, kaum ekonomis berbicara tentang "tuntutan-tuntutan konkrit". Tetapi kedua-duanya tidak mencurahkan cukup perhatian pada pengembangan keaktifan mereka sendiri dalam agitasi politik dan dalam mengorganisasi pemblejetan-pemblejetan politik. Dan tak ada pekerjaan lain yang dapat menjadi pengganti untuk pekerjaan ini baik di waktu sekarang maupun di waktu lain mana pun juga.
*

E. KLAS BURUH SEBAGAI PEJUANG PELOPOR UNTUK DEMOKRASI
Telah kita lihat bahwa penyelenggaraan agitasi politik yang seluas-luasnya, dan oleh karenanya pengorganisasian pemblejetan-pemblejetan politik yang meliputi banyak hal, merupakan tugas aktivitas yang mutlak perlu dan paling mendesak, yaitu jika aktivitas itu harus betul-betul sosial-demokratis. Akam tetapi kita sampai pada kesimpulan ini semata-mata berdasarkan kebutuhan-kebutuhan mendesak klas buruh akan pengetahuan politik dan pendidikan politik. Tetapi sebenarnya mengemukakan soal demikian saja terlalu sempit, karena ia mengabaikan tugas-tugas demokratis umum sosial-demokrasi pada umumnya dan tugas-tugas sosial-demokrasi Rusia masa kini pada khususnya. Untuk menerangkan hal itu secara lebih kongkrit kita kan mencoba mendekati masalahnya dari segi yang "paling dekat" dengan ekonomis, yaitu dari segi praktis. "Semua orang sependapat" bahwa perlu mengambangkan kesadaran politik klas buruh. Soalnya ialah, bagaimana mengerjakannya, apa yang dibutuhkan untuk mengerjakan ini? Perjuangan ekonomi hanyalah "menyadarkan" kaum buruh akan soal-soal mengenai sikap pemerintah terhadap klas buruh. Karena itu, bagaimanapun juga usaha kita untuk "memberi watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri" kita tak akan dapat mengembangkan kesadaran politik kaum buruh (sampai pada tingkat kesadaran politik sosial-demokratis) di dalam rangka perjuangan ekonomi, karena rangka itu terlalu sempit. Rumus Martinov berharga bagi kita, bukan karena rumus itu mengggambarkan kemampuan Martinov mengacaukan sesuatu, melainkan karena ia secara menonjol mengungkapkan kesalahan fundamental yang  dilakukan oleh semua orang ekonomis, yaitu keyakinan mereka bahwa orang mungkin mengembangkan kesadaran politik klas kaum buruh, boleh dikatakan, dari dalam perjuangan ekonomi mereka, yaitu bertolak semata-mata (atau setidak-tidaknya pada pokoknya) dari perjuangan ini, berdasarkan semata-mata (atau setidak-tidaknya pada pokoknya) perjuangan ini. Pandangan demikian itu salah secara fundamental. Justru karena kaum ekonomis jengkel karena polemik-polemik kita dengan mereka, maka mereka tidak mau merenungkan dalam asal-usul perbedan-perbedaan pendapat ini, sehingga akibatnya kita sama-sekali tidak saling mengerti, berbicara dalam bahasa yang berlainan.
Kesadaran politik klas dapat ditanamkan pada kaum buruh hanya dari luar, yaitu dari luar perjuangan ekonomi, dari luar lingkungan hubungan-hubungan antara kaum buruh dngan kaum majikan. Lingkungan satu-satunya darimana pengetahuan ini mungkin ditimba ialah lingkungan hubungan-hubungan antara semua klas dan lapisan dengan negara dan pemerintah, lingkungan saling hubungan di antara semua klas. Karena itu, atas pertanyaan: apa yang harus dikerjakan untuk memberi pengetahuan politik kepada kaum buruh? Kita tidak bisa memberi satu-satunya jawaban yang dalam kebanyakan hal sudah memuaskan pekerja-pekerja praktis, terutama pekerja-pekerja praktis yang condong kepada ekonomisme, yaitu "pergi ke kalangan kaum buruh". Untuk memberikan pengetahuan politik kepada kaum buruh, kaum sosial-demokrasi harus pergi ke kalangan semua klas penduduk, harus mengirim satuan-satuan tentaranya ke segala jurusan.
Kita sengaja memilih rumus yang kaku ini, kita sengaja menyatakan pendirian kita secara sederhana dan blak-blakan --bukan karena kita ingin memperturutkan hati untuk berbicara dalam paradoks-paradoks, melainkan untuk secara baik-baik "menyadarkan" kaum ekonomis akan tugas-tugas yang mereka abaikan dengan tak termaafkan, untuk membuat mereka mengerti akan perbedaan antara politik trade-unionis dengan politik sosial-demokratis yang mereka tak mau memahaminya. Dan karena itu kami minta kepada pembaca supaya jangan naik darah, tetapi dengarkanlah dengan cermat sampai habis.
Ambillah tipe lingkaran orang-orang sosial-demokrat yang telah sangat meluas dalam beberapa tahun yang lalu dan telitilah pekerjaannya. Ia mempunyai "hubungan-hubungan dengan kaum buruh", dan merasa puas dengan ini, mengeluarkan surat-surat sebaran dimana penyalahgunaan di pabrik-pabrik, keberatsebelahan pemerintah ke pihak kaum kapitalis dan tindakan kekerasan polisi dilabrak. Dalam rapat-rapat kaum buruh pembicaraan-pembicaraan biasanya tidak atau jarang keluar dari batas-batas tema ini. Laporan-laporan dan pembicaraan-pembicaraan mengenai sejarah gerakan revolusioner, mengenai soal-soal politik dalam dan luar negeri pemerintah kita, mengenai soal-soal evolusi ekonomi Rusia dan Eropa, dan kedudukan berbagai klas dalam masyarakat modern, dsb, sangat jarang. Mengenai penyelenggaraan dan perluasan hubungan secara sistematis dengan klas-klas lain dalam masyarakat, tak seorang pun yang memikirkannya. Sebetulnya aktivis yang ideal, sebagaimana kebanyakan anggota lingkaran-lingkaran demikian itu menggambarkannya, adalah sesuatu yang lebih mirip seorang sekretaris serikat buruh daripada mirip seorang sosialis--pemimpin politik. Karena sekretaris serikat buruh mana saja, misalnya, serikat buruh Inggris, selalu membantu kaum buruh melakukan perjuangan ekonomi, membantu mengorganisasi pemblejetan di pabrik, menjelaskan ketidakadilan undang-undang dan tindakan-tindakan yang merintangi kebebasan mogok dan kebebasan berpiket (yaitu, untuk memperingatkan semua orang bahwa di suatu pabrik tertentu pemogokan sedang berlangsung), menjelaskan tentang keberatsebelahan hakim-hakim pengadilan arbitrasi yang termasuk klas-klas borjuis, dsb,dsb. Pendek kata, setiap sekretaris buruh melakukan dan membantu melakukan "perjuangan ekonomi melawan kaum majikan dan pemerintah". Dan tidak cukup hanya menenkankan bahwa ini belum sosial-demokratisme. Cita-cita seorang sosial-demokrat seharusnya bukan menjadi seorang sekretaris serikat buruh, melainkan menjadi mimbar rakyat, yang pandai memberi reaksi terhadap segala manifestasi keseweng-wenangan dan penindasan, tak peduli dimana terjadinya, tak peduli lapisan atau klas mana yang terkena; dia harus pandai menggeneralisasi semua manifestasi ini menjadi satu gambaran tentang tindakan kekerasan polisi dan penghisapan kapitalis; dia harus pandai mengggunakan setiap peristiwa, betapapun juga kecilnya, untuk menjelaskan keyakinan-keyakinan sosialisnya dan tuntutan-tuntutan demokratisnya kepada semua orang, untuk menjelaskan kepada semua orang tanpa kecuali arti yang bersejarah-dunia dari perjuangan proletariat untuk pembebasan. Bandingkanlah, misalnya, seorang aktivis seperti Robert Knight (sekretaris dan pemimpin terkenal Perhimpunan Pembikin Ketel Uap, salah satu serikat buruh yang paling kuat di Inggris) dengan Wilhelm Liebnecht, dan coba terapkan pada mereka pertentangan-pertentangan yang digambarkan oleh Martinov dalam perbedaan pendapat dengan Iskra. Kalian akan melihat --saya baca sepintas lalu artikel Martinov--bahwa Robert Knight lebih banyak mengeluarkan "seruan kepada massa supaya melakukan aksi-aksi kongkrit tertentu" (hlm. 39) sedang Wilhelm Liebnecht lebih banyak memberikan "penerangan secara revolusioner tentang seluruh sistem sekarang atau manifestasi-manifestasinya secara sebagian-sebagian" (hlm. 38-39); bahwa Robert Knight "merumuskan tuntutan-tuntutan terdekat proletariat dan menunjukkan cara untuk pencapaiannya" (hlm. 41), sedang Wilhelm Liebnecht, sementara melakukan ini, tidak menampik "bersamaan itu memimpin aktivitas-aktivitas berbagai lapisan oposisi", "mendiktekan program aksi yang positif bagi mereka"* (hlm. 41); bahwa justru Robert Knightlah yang berusaha keras "untuk sedapat mungkin memberi watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri" (hlm. 42) dan dengan ulung dapat "mengajukan kepada pemerintah tuntutan-tuntutan kongkrit yang menjanjikan hasil-hasil tertentu yang nyata berwujud" (hlm. 43), sedang W. Liebnecht jauh lebih banyak melakukan "pemblejetan-pemblejetan" yang "berat sebelah" (hlm. 40); bahwa Robert Knight lebih banyak menaruh arti pada "gerak maju perjuangan ekonomi sehari-hari yang boyak" (hlm. 61) sedang W. Liebnecht lebih banyak menaruh arti pada "propaganda tentang ide-ide yang cemerlang dan lengkap-sempurna" (hlm. 61); bahwa W. Liebnecht mengubah surat kabar yang dipimpinnya menjadi "sebuah organ revolusioner yang memblejeti sistem di negeri kita, terutama sistem politik, karena ia mengenai kepentingan-kepentigan lapisan penduduk yang sangat bermacam-macam" (hlm. 63), sedang Robert Knight "bekerja untuk usaha buruh dalam hubungan organis yang erat dengan perjuangan proletar" (hlm. 63) --jika dengan "hubungan erat dan organis" itu itu dimaksudkan pemujaan kepada spontanitas yang kita tinjau di atas dengan menggunakan contoh Kricevski dan Martinov --dan "membatasi lingkungan pengaruhnya", dengan keyakinan, tentu saja, seperti juga Martinov, bahwa dia "dengan demikian meningkatkan pengaruh itu" (hlm. 63). Pendek kata kalian akan melihat bahwa de fakto* Martinov memerosotkan sosial-demokrasi ke tingkat trade-unionisme, meskipun, sudah barang tentu, dia berbuat demikian bukan karena dia tidak menginginkan hal kebaikan sosial-demokrasi, melainkan semata-mata karena dia agak terlalu terburu-buru mau memperdalam Plekhanov, dan bukannya berjerih payah untuk memahami Plekhanov.
Akan tetapi baiklah kita kembali pada uraian kita. Kita katakan bahwa seorang  sosial-demokrat, jika dia tidak dalam kata-kata saja menyetujui perlunya mengembangkan secara menyeluruh kesadaran politik proletariat, harus "pergi ke kalangan semua klas penduduk". Ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan: Bagaimana harus melakukan ini? Apakah kita cukup mempunyai kekuatan untuk melakukan ini? Adakah dasar untuk pekerjaan demikian itu di kalangan semua klas lainnya? Apakah ini tidak akan berarti mundur, atau mengakibatkan pengunduran, dilihat dari sudut pendirian klas? Baiklah kita bahas pertanyaan-pertanyaan ini.
Kita harus "pergi ke kalangan semua klas penduduk" sebagai ahli teori, sebagai propagandis, sebagai agitator dan sebagai organisator. Tak seorang pun meragukan bahwa pekerjaan teori dari kaum sosial-demokrat harus ditujukan untuk mempelajari segala ciri kedudukan sosial dan politik berbagai klas. Tetapi dalam hubungan ini sedikit dan sedikit sekali, tak sepadan kecilnya jika dibandingkan dengan pekerjaan yang dipusatkan untuk mempelajari ciri-ciri kehidupan pabrik. Dalam komite-komite dan lingkaran-lingkaran, kalian akan menjumpai orang-orang yang malahan mendalami suatu cabang khusus dari industri logam, tetapi orang hampir tak pernah menemui anggota organisasi-organisasi (yang, sebagaimana sering terjadi, karena satu atau lain sebab terpaksa meninggalkan  pekerjaan praktis) yang khusus melakukan pengumpulan bahan-bahan mengenai suatu soal yang mendesak dari kehidupan sosial dan politik negeri kita yang dapat memberi alasan untuk melakukan pekerjaan sosial-demokratis di kalangan  lapisan-lapisan penduduk lainnya. Dalam membicarakan kekurangan pendidikan dari kebanyakan pemimpin gerakan buruh masa kini, kita tidak bisa tidak juga menyebutkan hal pendidikan dalam hubungan ini, karena ini pun berkaitan dengan konsepsi "ekonomi" tentang "hubungan organis yang erat dengan perjuangan proletar". Tetapi yang pokok tentu saja propaganda dan agitasi di kalangan semua lapisan rakyat. Bagi sosial-demokrat Eropa Barat tugas ini dipermudah oleh rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan umum, di mana hadir siapa saja yang mau, dan oleh parlemen di mana dia berpidato di muka wakil-wakil semua klas. Baik parlemen maupun kebebasan berapat tidak ada pada kita, walaupun demikian kita dapat menyelenggarakan rapat-rapat umum kaum buruh yang  ingin mendengarkan seorang sosial-demokrat. Kitra harus dapat juga menyelenggarakan rapat-rapat para wakil semua klas penduduk yang ingin mendengarkan seorang demokrat. Karena mereka yang dalam kenyataan melupakan bahwa "kaum komunis menyokong setiap gerakan revolusioner", bahwa kita karena itu berkewajiban membentangkan dan menekankan tugas-tugas demokratis umum dihadapan seluruh rakyat, tanpa sesaat pun menyembunyikan keyakinan-keyakinan sosialis kita, bukanlah orang sosial-demokrat. Mereka yang dalam kenyataan melupakan kewajibannya mendahului semua orang dalam mengajukan, menonjolkan dan memecahkan setiap masalah demokratis umum, bukanlah orang sosial-demokrat.
"Tetapi semua orang pasti setuju dengan ini!" --seru pembaca yang tidak sabar-- dan instruksi baru yang diterima oleh Kongres Perserikatan yang lalu65 untuk dewan redaksi Raboceye Dyelo secara tegas mengatakan: "Semua gejala dan kejadian kehidupan sosial dan politik yang mengenai proletariat baik secara langsung sebagai suatu klas khusus maupun sebagai  pelopor semua kekuatan revolusioner dalam perjuangan untuk kebebasan haruslah menjadi alasan-alasan untuk propaganda dan agitasi politik" (Dua Kongres, hlm. 17, kursif dari kami). Ya, ini adalah kata-kata yang tepat sekali dan sangat bagus dan kita akan puas sepenuhnya jika Raboceye Dyelo memahaminya, jika ia berbarengan dengan itu tidak mengatakan sesuatu yang  jutru merupakan kebalikannya. Karena tidaklah cukup menamakan diri kita sendiri "pelopor", detasemen depan; kita harus bertindak sebagai itu; kita harus bertindak begitu rupa sehingga semua detasemen lainnya akan melihat kita, dan terpaksa mengakui bahwa kita berjalan di baris depan. Dan kita bertanya kepada pembaca: Apakah wakil-wakil dari "detasemen-detasemen" lainnya itu orang-orang yang begitu tolol sehingga percaya pada kata-kata kita begitu saja bilamana kita mengatakan bahwa kita adalah "pelopor"? Coba bayangkan sendiri yang berikut ini: Seorang sosial-demokrat datang kepada "detasemen" kaum radikal terpelajar Rusia, atau kaum konstitusionalis liberal, dan berkata: Kami adalah pelopor, "tugas yang kami hadapi sekarang ialah sedapat mungkin memberi watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri". Si radikal, atau si konstitusionalis, jika dia sedikit cerdas (dan di kalangan kaum radikal dan kaum konstitusionalis Rusia terdapat banyak orang cerdas), hanya akan tersenyum mendengar omongan semacam itu, dan akan berkata (kepada diri sendiri, tentu saja, karena dalam kebanyakan hal dia adalah seorang diplomat yang berpengalaman): "Barisan pelopormu tentunya terdiri dari orang-orang tolol! Mereka bahkan tidak mengerti bahwa tugas kamilah, tugas wakil-wakil progressif dari demokrasi borjuis untuk memberi watak politik kepada perjuangan ekonomi kaum buruh itu sendiri. Nah, kami juga, seperti semua borjuis Eropa Barat, mau menarik kaum buruh ke dalam politik, tetapi justru ke dalam politik trade-unionis, dan bukan ke dalam politik sosial-demokratis. Politik trade-unionis dari klas buruh adalah justru politik borjuis dari klas buruh. Dan perumusan oleh "pelopor" itu mengenai tugas-tugasnya adalah justru rumus untuk politik trade-unionis! Karena itu, biarkan mereka bahkan menamakan dirinya kaum sosial-demokrat sesuka hatinya. Saya bukanlah anak-anak yang bisa menjadi naik darah karena cap. Asalkan mereka tidak terkena pengaruh kaum dogmatis ortodoks yang jahat, asalkan mereka memberikan "kebebasan mengkritik" kepada orang-orang yang dengan tidak sadar mendorong sosial-demokrasi ke saluran trade-unionis!"
Dan ketawa kecil dari konstitusionalis kita itu akan menjadi ketawa tebahak-bahak apabila dia tahu bahwa orang-orang sosial-demokrat yang berbicara tentang kepeloporan sosial-demokrasi masa kini, di kala spontanitas hampir sepenuhnya mendominasi gerakan kita, tidak ada yang lebih ditakutinya daripada "meremehkan unsur spontan", daripada "meremehkan arti kemajuan perjuangan sehari-hari  yang boyak, jika dibandingkan dengan propaganda tentang ide-ide yang cemerlang dann lengkap-sempurna", dsb, dsb! Barisan "pelopor" yang takut kalua-kalau kesadaran akan melampaui spontanitas, yang takut mengajukan suatu "rencana" yang berani yang akan memaksa pengakuan umum bahkan di kalangan orang-orang yang berpikir lain dengan kita! Apakah mereka tidak mencampuradukkan kata "barisan pelopor" dengan kata "barisan belakang"?
Renungkanlah pemikiran Martinov berikut ini. Pada halaman 40 dia mengatakan bahwa taktik pemblejetan Iskra adalah berat sebelah, bahwa "betapapun banyaknya kita sebarkan rasa tidak percaya dan kebencian terhadap pemerintah, kita tidak akan mencapai tujuan kita selama kita belum berhasil mengembangkan kekuatan sosial yang cukup aktif untuk menggulingkannya". Ini, dikatakan dalam tanda kurung, adalah urusan yang sudah kita ketahui untuk meningkatkan keaktifan massa, sementara berusaha membatasi keaktifannya sendiri. Tetapi sekarang ini bukan itu soalnya. Karena itu Martinov di sini berbicara tentang kekuatan revolusioner ("untuk menggulingkan"). Dan kesimpulan apa yang dicapainya? Karena di waktu-waktu biasa berbagai lapisan sosial tidak dapat tidak berjalan sendiri-sendiri, "maka itu jelaslah bahwa kita kaum sosial-demokrat tak dapat dengan serempak memimpin aktivitas-aktivitas berbagai lapisan oposisi, kita tak dapat mendiktekan kepada mereka program aksi yang positif, kita tidak dapat menunjukkan kepada mereka dengan cara apa mereka harus berjuang untuk kepentingan-kepentingan mereka sehari-hari….. Lapisan-lapisan liberal akan mengurus sendiri perjuangan aktif untuk kepentingan-kepentingan terdekat mereka dan perjuangan itu akan membawa mereka berhadapan muka dengan rezim politik negeri kita" (hlm. 41). Dengan demikian, setelah mulai dengan berbicara tentang kekuatan revolusioner, tentang perjuangan aktif untuk menggulingkan otokrasi, Martinov segera beralih ke kekuatan serikat buruh, ke perjuangan aktif untuk kepentingan-kepentingan terdekat! Dengan sendirinya jelaslah bahwa kita tak dapat memimpin perjuangan mahasiswa, kaum liberal, dll, untuk "kepentingan-kepentingan terdekat" mereka, tetapi soalnya bukan ini, tuan ekonomis yang terhormat! Persoalan yang kita bicarakan ialah keikutsertaan yang mungkin dan perlu dari berbagai lapisan sosial dalam menggulingkan otokrasi; dan kita tidak hanya dapat, tetapi bahkan mutlak harus memimpin "aktivitas-aktivitas berbagai lapisan oposisi" ini jika kita ingin menjadi "pelopor". Bukan hanya para mahasiswa kita, kaum liberal kita, dll, itu sendiri akan mengurus "perjuangan yang akan membawa mereka berhadapan muka dengan rezim politik negeri kita"; polisi dan pejabat-pejabat pemerintah otokrasi itu sendiri akan pertama-tama dan lebih-lebih mengurus ini. Tetapi "kita", jika kita ingin menjadi kaum demokrat yang maju, harus menjadikan urusan kita mendorong orang-orang  yang tidak puas hanya dengan keadaan di universitas, atau hanya dengan keadaan Zemstwo66, dsb, untuk berpikir bahwa sistem politik seluruhnya sama sekali tak ada harganya. Kita harus memikul tugas mengorganisasi perjuangan politik yang meliputi segala segi di bawah pimpinan Partai kita dengan cara yang sedemikian rupa sehingga memperoleh segala dukungan yang mungkin dari semua lapisan oposisi untuk perjuangan itu dan untuk Partai kita. Kita harus mendidik para pekerja praktis sosial-demokrat untuk menjadi pemimpin-pemimpin politik, yang cakap memimpin segala manifestasi perjuangan yang meliputi segala segi ini, yang cakap pada saat yang diperlukan "mendiktekan program aksi yang positif" kepada para mahasiswa yang resah, anggota-anggota Zemstwo yang tidak puas, sekte-sekte agama yang marah, guru-guru sekolah dasar yang merasa tersinggung, dsb, dsb. Karena itu, pernyataan Martinov, salah sama sekali-- bahwa "mengenai mereka ini, kita dapat tampil ke depan hanya dalam peranan negatif sebagai pemblejet-pemblejet penyalahgunaan….kita hanya dapat" (kursif dari kami) "membuyarkan harapan-harapan yang mereka letakkan pada berbagai komisi pemerintah". Dengan mengatakan demikian Martinov menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak mengerti apa-apa tentang peranan yang harus benar-benar dilakukan oleh "pelopor" revolusioner. Jika pembaca mengingat hal ini, maka ia akan jelas mengenai arti yang sesungguhnya dari kata-kata penutup Martinov yang berikut: "Iskra adalah organ oposisi revolusioner yang memblejeti keadaan di negeri kita, terutama keadaan politik karena ia mengenai kepentingan-kepentingan lapisan penduduk yang sangat bermacam-macam. Akan tetapi kita bekerja dan akan terus bekerja untuk usaha buruh dalam hubungan organis yang erat dengan perjuangan proletar. Dengan menyempitkan lingkungan pengaruh kita, maka dengan demikian kita memperumit pengaruh itu sendiri" (hlm. 63). Arti yang sebenarnya dari kesimpulan ini sebagai berikut: Iskra ingin meningkatkan politik trade-unionis dari klas buruh (para pekerja praktis kita sering membatasi diri pada politik ini; karena salah pengertian, kekurangan pendidikan, atau karena keyakinan) ke politik sosial-demokratis, sedang Raboceye Dyelo ingin memerosostkan politik sosial-demokratis ke politik trade-unionis. Dan, lagi pula, ia mencoba meyakinkan semua tanpa kecuali bahwa ini adalah "pendirian-pendirian yang sepenuhnya dapat disejalankan di dalam usaha bersama" (hlm. 63). O, Sancta simplicitas!*
Kita teruskan. Apakah kita mempunyai cukup kekuatan untuk mengarahkan propaganda dan agitasi kita ke kalangan semua klas penduduk? Tentu saja kit apunya cukup kekuatan. Kaum ekonomis kita, yang sering cenderung untuk mengingkari ini, melupakan sama sekali langkah maju raksasa yang telah dicapai oleh gerakan kita dari tahun 1894 (kira-kira) sampai pada tahun 1901. seperti kaum "khwostis" sejati, mereka seringkali hidup di masa lampau yang sudah lama silam., dalam periode awal gerakan. Memang pada waktu itu kita mempunyai kekuatan yang sangat kecil dan sudah sewajarnya dan logis sekali kalau pada waktu itu kitamencurahkan diri pada aktivitas-aktivitas di kalangan kaum buruh, dan dengan keras menecam setiap penyimpangan dari sini. Tugas seluruhnya pada waktu itu ialah mengkonsolidasi kedudukan kita dalam klas buruh. Tetapi pada waktu sekarang ini kekuatan-kekuatan raksasa telah terlibat ke dalam gerakan; wakil-wakil terbaik dari generasi muda dai klas-klas terpelajar pada datang kepada kita; di seluruh negeri terdapat orang-orang yang terpaksa tinggal di provinsi-provinsi, yang sudah mengambil bagian dalam gerakan di masa lampau atau yang ingin mengambil bagian sekarang, yang condong pada sosial-demokrasi (sedang dalam tahun 1894 orang bisa menghitung jumlah kaum sosial-demokrat Rusia dengan jari). Salah satu kekurangan politik dan organisasi yang pokok dari gerakan kita ialah bahwa kita tidak tahu bagaimana menggunakan semua kekuatan ini dan memberi pekerjaan yang cocok kepada mereka (hal ini akan kita bicarakan secara lebih terperinci lagi dalam bab berikutnya). Mayoritas mutlak dari kekuatan-kekuatan ini sama sekali tak mempunyai kesempatan untuk "pergi ke kalangan kaum buruh", maka itu tak mungkin berbicara tentang bahaya diselewengkannya kekuatan-kekuatan dari usaha pokok kita. Dan untuk dapat memberikan kepada kaum buruh pengetahuan politik yang sesungguhnya, menyeluruh dan hidup, kita harus mempunyai "orang-orang kita sendiri", orang-orang sosial-demokrat, dimana-mana, di kalangan semua lapisan masyarakat dan dalam semua kedudukan yang memungkinkan kita mengetahui penggerak intern mekanisme negara kita. Orang-orang demikian itu dibutuhkan tidak hanya dari segi propaganda dan agitasi, tetapi lebih-lebih lagi dari segi keorganisasian.
Adakah lapangan untuk aktivitas di kalangan semua klas penduduk? Orang-orang yang tak dapat melihat ini ketinggalan juga, dan dalam kesadaran mereka, dari kebangkitan massa yang secara spontan. Gerakan buruh telah menimbulkan dan terus menimbulkan rasa tak puas pada sementara orang, menimbulkan harapan-harapan akan dukungan bagi oposisi pada yang lain dan kesadaran akan tak dapat dibiarkannya dan tak terelakkannya keruntuhan otokrasi pada yang lainnya lagi. Kita akan menjadi "politikus" dan sosial-demokrat hanya dalam nama saja (sebagaimana dalam kenyataannya sering sekali terjadi), jika kita tidak menyadari bahwa tugas kita ialah menggunakan setiap manifestasi ketidakpuasan dan mengumpulkan serta menggunakan sebaik-baiknya setiap butir protes sekali pun masih berupa embrio. Jangan dikata lagi bahwa berjuta-juta kaum tani pekerja, pengrajin, tukang kecil, dsb, akan selalu dengan lahap mendengarkan khotbah seorang sosial-demokrat yang agak berkemampuan. Dapatkah kiranya orang menyebut satu klas penduduk dimana tidak terdapat orang-orang, golongan-golongan atau kalangan-kalangan yang tidak puas dengan ketiadaan hak dan kesewenang-wenangan dan, oleh karenanya, mudah dimasuki propaganda kaum sosial-demokrat sebagai juru bicara dari kebutuhan-kebutuhan demokrasi umum yang paling mendesak? Bagi mereka yang ingin mempunyai gambaran yang kongkrit mengenai agitasi politik seorang sosial-demokrat di kalangan semua klas dan lapisan penduduk, kita tunjukkan pada pemblejetan-pemblejetan politik dalam arti kata yang luas sebagai bentuk pokok (tetapi tentu saja bukan yang satu-satunya) agitasi ini.
"Kita harus membangkitkan pada setiap lapisan penduduk yang sedikit saja berkesadaran kegemaran pada pemblejetan-pemblejetan politik", demikian saya menulis dalam artikel saya "Dari Mana Mulai?" (Iskra No. 4, Mei 1901), yang akan saya bicarakan secara lebih terperinci lagi lagi nanti. "Kita tidak boleh kecil hati karena kenyataan bahwa suara pemblejetan politik sekarang masih sayup-sayup, jarang-jarang dan takut-takut. Ini bukanlah karena sikap berdamai secara menyeluruh terhadap kesewenang-wenangan polisi, melainkan karena mereka yang dapat dan bersedia melakukan pemblejetan-pemblejetan tidak mempunyai mimbar darimana mereka bisa bicara, tidak ada sidang pendengar yang akan mendengarkan dengan asyik dan memberi semangat para pembicara, dan karena pembicara tidak melihat dimana pun di kalangan rakyat kekuatan kepada siapa sepantasnya diarahkan keluhan-keluhan terhadap pemerintah Rusia yang "maha kuasa"…….. Kita sekarang mampu, dan kita berkewajiban, menyediakan mimbar memblejeti pemerintah tsar di muka seluruh rakyat. Mimbar itu haruslah  surat kabar sosial-demokratis"67.
Sidang pendengar yang ideal bagi pemblejetan-pemblejetan politik ialah klas buruh, yang pertama-tama dan terutama membutuhkan pengetahuan politik yang menyeluruh dan hidup, dan yang paling sanggup mengubah pengetahuan ini menjadi perjuangan aktif, sekalipun ia tidak menjanjikan "hasil-hasil yang nyata berwujud". Dan mimbar untuk pemblejetan-pemblejetan di muka seluruh rakyat hanya mungkin surat kabar untuk seluruh Rusia. "Tanpa organ politik, suatu gerakan yang patut diberi nama gerakan politik, tidaklah dapat dibayangkan di Eropa modern", dan dalam hal ini Rusia pasti termasuk juga dalam dalam Eropa modern. Pers sudah lama menjadi kekuatan di negeri kita, kalau tidak pemerintah tak akan mengeluarkan puluhan ribu rubel untuk menyuapnya, dan memberi subsidi kepada orang-orang sebangsa Katkov dan sebangsa Mescerski. Dan di Rusia otokratis bukanlah suatu barang baru bagi pers di bawah tanah untuk menembus tembok sensor dan memaksa pers legal dan konservatif membicarakannya secara terbuka. Demikianlah halnya dalam tahun-tahun 70-an dan bahkan dalam tahun-tahun 50-an. Betapa jauh lebih luas dan dalamnya sekarang ini lapisan -lapisan rakyat yang bersedia membaca pers ilegal, dan belajar dari padanya "bagaimana hidup dan bagaimana mati", demikianlah menurut kata-kata seorang buruh yang mengirim surat kepada Iskra (No. 7)68. Pemblejetan-pemblejetan politik adalah serupa dengan pernyataan perang kepada pemerintah seperti pemblejetan-pemblejetan ekonomi merupakan pernyataan perang kepada pemilik-pemilik pabrik. Dan arti moril pernyataan perang ini akan lebih-lebih lagi besarnya jika kampanye pemblejetan ini lebih luas dan lebih hebat lagi, lebih banyak dan lebih gigih klas sosial yang telah menyatakan perang untuk memulai perang. Karenanya pemblejetan-pemblejetan politik itu dengan sendirinya menjadi salah satu alat yang ampuh untuk menghancurkan sistem musuh, suatu cara untuk menceraikan dari musuh sekutu-sekutunya yang kebetulan atau sementara waktu, suatu cara untuk menyebarkan permusuhan dan ketidakpercayaan di kalangan kompanyon-kompanyon tetap kekuasaan otokrasi.
Lanjut halaman 168
perjuangan ini"? Tidakkah gamblang bahwa ini berarti pendidikan politik kaum buruh, penyingkapan di muka mereka semua segi otokrasi kita yang keji itu? Dan tidakkah jelas bahwa justru untuk pekerjaan inilah kita membutuhkan "sekutu-sekutu dalam barisan kaum liberal dan inteligensia", yang bersedia bersama-sama dengan kita memblejeti serangan politik  terhadap Zemstwo-Zemstwo, terhadap guru, terhadap  para ahli statistik, terhadap mahasiswa, dsb? Apakah "mekanisme" yang mengagumkan "rumitnya" ini benar-benar begitu sulit untuk dipahami? Tidakkah P. B. Akselrod telah mengulangi berkali-kali kepada kalian sejak tahun 1897: "Masalah kaum sosial-demokrat Rusia memperoleh pengikut dan sekutu yang langsung dan tidak langsung di kalangan klas-klas non-proletar akan terpecahkan terutama dan pertama-tama oleh watak aktivitas-aktivitas propagandis yang dilakukan di kalangan proletariat itu sendiri?" Tetapi orang-orang sebangsa Martinov dan orang-orang ekonomis lainnya terus membayangkan bahwa "dengan perjuangan ekonomi melawan kaum majikan dan pemerintah", kaum buruh mula-mula harus mengumpulkan kekuatan (untuk politik trade-unionis) dan kemudian "beralih" --barangkali dari "pendidikan keaktifan" trade-unionis-- ke keaktifan sosial-demokratis!
"…..Dalam pencariannya", sambung kaum ekonomis, "Iskra tidak jarang menyimpang dari pendirian klas, mengaburkan kontradiksi-kontradiksi klas dan mengedepankan keumuman ketidakpuasan terhadap pemerintah, walaupun sebab-sebab dan derajat ketidakpuasan ini sangat berbeda-beda di kalangan 'sekutu-sekutu'. Demikianlah, misalnya, sikap Iskra terhadap Zemstwo"…. Iskra, katanya, "menjanjikan bantuan klas buruh kepada kaum bangsawan yang tidak puas dengan persen pemerintah, tetapi Iskra sepatah kata pun tidak menyebut-nyebut antagonisme klas di antara lapisan-lapisan penduduk ini". Jika pembaca mau memperhatikan artikel-artikel "Otokrasi Dan Zemstwo" (Iskra No. 2 dan 4) yang, mungkin dimaksud oleh penulis-penulis surat itu, akan didapatinya bahwa artikel-artikel* ini membicarakan sikap pemerintah terhadap "agitasi lunak dari Zemstwo birokratik, yang berdasarkan pangkat-pangkat", dan terhadap "aktivitas bebas dari klas-klas yang bermilik sekalipun". Dalam artikel-artikel ini dinyatakan bahwa kaum buruh tak dapat menyaksikan dengan acuh tak acuh sementara pemerintah melakukan perjuangan menentang Zemstwo, dan Zemstwo-is-Zemstwo-is dihimbau supaya menghentikan pidato-pidato yang lunak, dan supaya berbicara dengan tegas dan keras ketika sosial-demokrasi revolusioner menghadapi pemerintah dengan segenap kekuatannya. Apa yang tidak disetujui oleh para penulis surat ini di sini tidak jelas. Pakah mereka berpikir bahwa kaum buruh "tidak akan mengerti" kata-kata "klas-klas yang bermilik" dan "Zemstwo birokratik yang berdasarkan pangkat-pangkat"? Apakah mereka berpikir bahwa mendesak Zemstwo-is-Zemstwo-is supaya menghentikan pidato-pidato yang lunak dan supaya berbicara dengan tegas dan keras adalah "menilai terlalu tinggi ideologi"? Apakah mereka mengkhayalkan kaum buruh dapat "mengumpulkan kekuatan" untuk perjuangan melawan absolutisme, jika mereka tidak mau tahu sikap absolutisme terhadap Zemstwo? Kesemuanya ini juga tetap tidak diketahui. Cuma satu hal saja yang jelas yaitu bahwa para penulis surat itu mempunyai gambaran yang sangat samar-samar mengenai apa itu tugas-tugas politik sosial-demokrasi. Hal ini disingkapkan dengan lebih jelas lagi oleh kata-kata mereka: "Demikian juga" (yaitu, juga "mengaburkan antagonisme-antagonisme klas") "sikap Iskra terhadap gerakan mahasiswa". Bukannya menyerukan kepada kaum buruh supaya menyatakan dengan demonstrasi-demonstrasi terbuka bahwa sumber sesungguhnya dari kekerasan, ekses-ekses  dan main merdeka bukanlah para mahasiswa melainkan pemerintah Rusia (Iskra, No. 2*), malah kita semestinya tak ragu lagi menyisipkan argumen-argumen yang berjiwa Rabocaya Misl! Dan pikiran-pikiran demikian itu dinyatakan oleh kaum sosial-demokrat dalam musim rontok tahun 1901, sesudah peristiwa Februari dan peristiwa Maret, pada saat menjelang kebangkitan baru gerakan mahasiswa, yang menyingkapkan bahwa di bidang ini pun protes yang "spontan" terhadap otokrasi melampaui pimpinan sosial-demokrasi yang sedar atas gerakan itu. Usaha spontan kaum buruh membela para mahasiswa yang dipukuli oleh polisi dan orang-orang Kozack itu melampaui aktivitas sedar organisasi sosial-demokratis!
"Sementara itu dalam artikel-artikel lainnya", para penulis surat itu meneruskan, "Iskra dengan keras mengecam segala kompromi, dan tampil membela, misalnya, sikap yang tidak toleran dari kaum Guesdis". Kami ingin menasehati mereka yang biasanya begitu percaya pada diri sendiri dan main gampang-gampangan menyatakan dalam hubungan dengan perbedaan pendapat yang ada di antara kaum sosial-demokrat dewasa ini bahwa perbedaan pendapat itu tidak penting dan tidak membenarkan adanya perpecahan, supaya merenungkan dalam kata-kata ini. Mungkinkah ada aktivitas yang berhasil baik, di dalam satu organisasi, dari orang-orang yang mengatakan bahwa kita masih berbuat luar biasa sedikitnya dalam hal menerangkan permusuhan otokrasi terhadap berbagai klas, dan memberitahukan kepada kaum buruh tentang oposisi berbagai lapisan penduduk terhadap otokrasi, dan dari orang-orang yang melihat hal ini sebagai suatu "kompromi"--jelas suatu kompromi dengan teori "perjuangan ekonomi melawan kaum majikan dan pemerintah"?
kita telah berbicara tentang perlunya memasukkan perjuangan klas ke desa-desa pada kesempatan ulang tahun ke-40 pembebasan kaum tani (No. 369) dan berbicara tentang tak terdamaikannya badan-badan pemerintah otonom dengan otokrasi dalam hubungan dengan memorandum rahasia Witte (No. 4). Dalam hubungan dengan undang-undang baru kita serang tuan-tuan tanah feodal dan pemerintah yang mengabdi mereka (No. 870), dan menyambut kongres ilegal Zemstwo. Kita mendorong Zemstwo supaya beralih dari mengajukan petisi-petisi yang merendahkan diri ke perjuangan (No. 871). Kita mendorong para mahasiswa, aygn telah mulai mengerti perlunya perjuangan politik, dan telah memulainya (No. 3), dan bersamaan dengan itu kita melabrak "ketiadaan pengertian yang amat sangat" yang diperlihatkan oleh pengikut-pengikut gerakan "mahasiswa semata-mata", yang menyerukan kepada para mahasiswa supaya jangan ambil bagian dalam demonstrasi di jalan-jalan (No. 3, dalam hubungan dengan manifes Komite Eksekutif Mahasiswa Moskow tanggal 25 Februari). Kita blejeti "impian-impian gila" dan "kemunafikan yang membohong" dari kaum liberal yang licik dari surat kabar Rossiya72 (No. 5) dan bersamaan dengan itu kita mengulas kematagelapan "dalam penyiksaan atas diri para penulis yang suka damai, professor-professor dan sarjana-sarjana lanjut usia dan kaum Zemstwo-is liberal yang terkenal" dalam kamar-kamar siksa pemerintah (No. 5, "Penggrebekan Polisi Terhadap Literatur"). Kita blejeti arti sesungguhnya dari program "perhatian negara atas kesejahteraan kaum buruh", dan menyambut dengan gembira "pengakuan yang berharga" bahwa "lebih baik memberikan reform-reform dari atas untuk mendahului tuntutan untuk reform-reform itu dari bawah, daripada menantikan sampai tuntutan-tuntutan itu diajukan" (No. 673). Kita dorong para ahli statistik yang memprotes (No. 7), dan mengecam para ahli statistik yang memcah pemogokan (No. 9). Barang siapa melihat dalam taktik ini suatu pengaburan kesadaran klas dari proletariat dan suatu kompromi dengan liberalisme dengan menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak memahami arti sejati program Credo dan de fakto melaksanakan program itu, bagaimanapun juga dia memungkirinya! Karena dengan begitu dia menyeret sosial-demokrasi ke arah "perjuangan ekonomi melawan kaum majikan dan pemerintah" dan menyerah kepada liberalisme, meninggalkan tugas untuk campur tangan secara aktif dalam setiap persoalan "liberal" dan untuk menentukan sikapnya sendiri, sikap sosial-demokratis, terhadap soal ini.+++

F. SEKALI LAGI “PEMFITNAH”, SEKALI LAGI “PENIPU”
Kata-kata yang sopan ini, seperti pembaca ingat, adalah kata-kata Raboceye Dyelo, yang dengan cara demikian menjawab tuduhan kita bahwa ia “secara tak langsung mempersiapkan dasar untuk mengubah gerakan buruh menjadi suatu alat demokrasi borjuis”. Dalam kesederhanaan jiwanya Raboceye Dyelo memutuskan bahwa tuduhan ini tidak lain hanya ulah polemik, seolah-olah mau mengatakan, kaum dogmatis pendengki ini telah berketetapan untuk mengatakan segala macam hal yang tidak enak tentang diri kita; nah, apa yang bisa lebih tidak enak daripada menjadi alat demokrasi borjuis? Maka itulah mereka mencetak dengan huruf tebal “bantahan”: “Tidak lain hanya fitnah mentah-mentah” (Dua Kongres, hlm. 30), “penipuan” (hlm. 31), “penyamaran” (hlm. 33). Seperti Yupiter, Raboceye Dyelo (meskipun hanya sedikit saja mirip Yupiter) marah karena ia salah, dan dengan makiannya yang keburu nafsu itu membuktikan ketidakmampuannya menyelamami jalan pikiran lawan-lawannya. Namun, dengan merenungkan sedikit saja, ia akan mengerti mengapa segala pemujaan kepada spontanitas gerakan massa dan setiap pemerosotan politik sosial-demokratis ke politik trade-unionis justru berarti mempersiapkan dasar untuk mengubah gerakan buruh menjadi suatu alat demokrasi borjuis. Gerakan buruh yang spontan dengan sendirinya sanggup menciptakan 9dan pasti menciptakan) trade-unionisme saja, dan politik trade-unionis klas buruh adalah justru politik borjuis dari klas buruh. Keikutsertaan klas buruh dalam perjuangan politik, dan bahkan dalam revolusi politik, tidaklah dengan sendirinya membuat politiknya menjadi politik sosial-demokratis. Apakah Raboceye Dyelo berani menyangkal ini? Maukah ia akhirnya menerangkan di muka umum dengan blak-blakan dan tanpa putar lidah pengertiannya mengenai soal-soal yang mendesak dari gerakan sosial-demokratis internasional dan Rusia? Oh tidak, ia tidak akan memberanikan diri untuk melakukan sesuatu semacam itu, karena ia berpegang kuat-kuat pada cara yang bisa dinamakan cara mengatakan “tidak” kepada segala-galanya; “Aku bukan aku; kuda itu bukan kudaku; aku bukan kusir. Kami bukan kaum ekonomis; Rabocaya Misl bukan ekonomisme; di Rusia sama sekali tidak ada ekonomisme”. Ini adalah suatu cara yang luar biasa lihainya dan “panjang akal”, akan tetapi mempunyai cacat sedikit yaitu bahwa penerbitan-penerbitan yang mempraktekkannya itu biasanya diberi julukan “Apa yang tuan kehendaki?”
Raboceye Dyelo mengira bahwa pada umumnya demokrasi borjuis di Rusia hanyalah suatu “khayal” belaka (Dua Kongres, hlm. 32)*. Sungguh orang-orang yang bahagia! Laksana burung unta, mereka memendamkan kepalanya ke dalam pasir, maka mengira bahwa segala sesuatu disekelilingnya menghilang lenyap. Publisis-publisis liberal yang dari bulan ke bulan memproklamasikan kepada dunia kemenangan mereka atas keruntuhan dan bahkan kelenyapan Marxisme; surat-surat kabar liberal (S. Petersburgskiye Wyedomosti74), Russkiye Wyedomosti, dan banyak lagi lainnya) yang mendorong kaum liberal yang membawa kepada kaum buruh konsepsi Brentano75 tentang perjuangan klas dan konsepsi trade-unionis tentang politik; sekumpulan bintang kritikus terhadap Marxisme, yang kecenderungan-kecenderungannya yang sesungguhnya disingkapkan dengan begitu baiknya oleh Credo dan yang produk literaturnya saja beredar di Rusia tanpa halangan apa-apa; kehidupan kembali aliran-aliran revolusioner non sosial-demokratis, terutama sesudah peristiwa Februari dan peristiwa Maret—kesemuanya ini rupanya khayal belaka! Kesemuanya ini sama-sekali tidak ada hubungannya dengan demokrasi borjuis!
Raboceye Dyelo dan para penulis surat ekonomis yang dimuat dalam Iskra No. 12 seharusnya “memikirkan apa sebanya peristiwa-peristiwa pada musim semi itu telah mengakibatkan kehidupan kembali aliran-aliran revolusioner non-demokratis demikian itu dan bukannya menaikkan wibawa dan prestise sosial-demokrasi”. Sebabnya ialah bahwa ternyata kita tidak memadai tugas-tugas yang kita hadapi. Keaktifan massa buruh ternyata melebihi keaktifan kita; pada kita tidak terdapat pemimpin-pemimpin dan organisator-organisator revolusioner yang cukup terlatih yang tahu betul akan suasana hati di kalangan semua lapisan oposisi dan pandai memimpin gerakan, mengubah demonstrasi yang spontan menjadi demonstrasi politik, memperluas sifat politiknya, dsb. Dalam keadaan yang demikian keterbelakangan kita tidak bisa bisa tidak pasti akan digunakan oleh kaum revolusionerbukan sosial-demokrat yang lebih lincah dan lebih giat, dan kaum buruh, bagaimanapun juga keras dan besarnya pengorbanan diri mereka dalam berkelahi melawan polisi dan pasukan-pasukan tentara, bagaimanapun juga revolusionernya aksi-aksi mereka, akan ternyata hanya merupakan suatu kekuatan yang menyokong kaum revolusioner ini, merupakan barisan belakang demokrasi borjuis, dan bukan merupakan pelopor sosial-demokratis. Ambillah, sebagai misal, kaum sosial-demokrat Jerman, yang hanya segi-segi lemahnya saja yang ingin dijiplak oleh kaum ekonomis kita. Apa sebabnya maka tidak satu pun peristiwa politk yang terjadi di Jerman yang tanpa menambah wibawa dan prestise sosial-demokrasi? Karena sosial-demokrasi selalu ternyata mendahului semua lainnya dalam memberikan penilaian yang paling revolusioner kepada setiap peristiwa tertentu dan dengan pembelaannya atas setiap protes menentang kesewenang-wenangan. Ia tidak meninabobokkan diri dengan pembicaraan-pembicaraan tentang perjuangan ekonomi menghadapkan kaum buruh pada kenyataan ketiadaan hak-hak bagi mereka dan pembicaraan-pembicaraan tentang keadaan konkrit yang secara fatal mendorong gerakan buruh ke jalan revolusi. Ia campur tangan dalam segala bidang dan dalam segala soal kehidupan sosial-politik: dalam soal penolakan Wilhelm untuk mensahkan seorang progressis borjuis sebagai wali kota (kaum ekonomis kita belum berhasil meyakinkan orang-orang Jerman bahwa ini pada hakekatnya adalah suatu kompromi dengan liberalisme!); dalam soal undang-undang yang melarang penerbitan-penerbitan dan gambar-gambar “cabul”; dalam soal pemerintah mempengaruhi pemilihan professor-professor, dsb, dsb. Di mana-mana kaum sosial-demokrat ternyata berada di depan semua lainnya, membangkitkan ketidakpuasan politik di kalangan semua klas, membangunkan yang malas-malas, mendorong yang terbelakang dan memberikan banyak bahan guna pengembngan kesadaran politik dan keaktifan politik proletariat. Hasil dari kesemuanya ini ialah bahwa musuh-musuh sosialisme yang sedar pun mempunyai rasa hormat terhadap pejuang-pejuang politik yang maju ini, dan tidak jarang sebuah dokumen penting tidak hanya dari kalangan borjuis, tetapi bahkan juga juga dari kalangan birokrat dan istana, melalui suatu jalan ajaib sampai pada kantor redaksi Vorwarts.
Maka inilah keterangan mengenai hal yang tampaknya merupakan “kontradiksi”, yang  begitu jauh di luar pengertian Raboceye Dyelo sehingga ia hanya angkat tangan dan berteriak; “Penyamaran!” Memang, cobalah bayangkan: kami, Raboceye Dyelo, memandang gerakan massa buruh sebagai batu alas (dan mencetak hal itu dengan huruf-huruf tebal!); kami peringatkan semua orang tanpa kecuali terhadap peremehan arti unsur spontan; kami ingin memberi watak politis  kepada perjuangan ekonomi itu sndiri, itu sendiri, itu sendiri; kami ingin memelihara hubungan yang erat dan organis dengan perjuangan proletar! Tetapi dikatakan bahwa kami mempersiapkan dasar untuk mengubah gerakan buruh menjadi suatu alat demokrasi borjuis! Dan siapakah yang mengatakan itu? Orang-orang yang “berkompromi” dengan liberalisme, yang campur tangan dalam setiap soal “liberal” (sungguh suatu salah pengertian yang bukan main tentang “hubungan organis dengan perjuangan proletar!”), yang mencurahkan begitu banyak perhatian pada para mahasiswa dan bahkan (oh, sungguh, terlalu!) pada kaum Zemstwo-is! Orang-orang yang pada umumnya ingin mencurahkan usaha-usaha mereka dalam persentase yang lebih besar (dibandingkan dengan kaum ekonomis) pada aktivitas di kalangan klas-klas non-proletar dari penduduk! Apakah ini bukan suatu “penyamaran”?
Raboceye Dyelo yang malang! Apakah ia akan menemukan pemecahan bagi teka-teki yang pelik ini?
*  *  *




IV
KERAJINAN-TANGANISME KAUM EKONOMIS DAN ORGANISASI KAUM REVOLUSIONER
Pernyataan-pernyataan Raboceye Dyelo—yang telah kita analisa di atas—bahwa perjuangan ekonomi merupakan cara agitasi politik yang paling luas dapat digunakan dan bahwa tugas kita sekarang ialah memberi watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri, dsb, mengungkapkan pandangan picik tidak hanya mengenai tugas-tugas politik kita, tetapi juga mengenai tugas-tugas keorganisasian kita. “Perjuangan ekonomi melawan kaum majikan dan pemerintah” sekali-kali tidaklah memerlukan—dan karenanya perjuangan demikian itu tidak akan bisa melahirkan—suatu organisasi se-Rusia yang terpusat yang akan mengkombinasikan dalam satu serangan umum semua dan setiap manifestasi oposisi politik, protes dan kemarahan, suatu organisasi yang akan terdiri dari kaum revolusioner professional yang dipimpin oleh pemimpin-pemimpin politik sejati seluruh rakyat. Ini jelas. Watak organisasi apa saja sewajarnya dan tak dapat tidak ditentukan oleh isi aktivitasnya. Karena itu Raboceye Dyelo, dengan pernyataan-pernyataannya seperti dianalisa di atas, menguduskan dan mensahkan bukan hanya kepicikan aktivitas politik, melainkan juga kepicikan pekerjaan keorganisasian. Dalam hal ini pun, seperti biasanya, Raboceye Dyelo merupakan organ yang kesedarannya menyerah kepada spontanitas. Namun pemujaan kepada bentuk-bentuk organisasi yang berkembang secara spontan, tidak adanya kesedaran betapa sempit dan primitifnya pekerjaan keorganisasian kita, betapa kita masih merupakan “tukang kerajinan-tangan” di bidang yang penting ini, tidak adanya kesadaran ini, saya katakan, merupakan penyakit yang sungguh-sungguh menghinggapi gerakan kita. Ini bukanlah penyakit yang terdapat dalam proses kemerosotan, tetapi tentu saja penyakit yang terdapat dalam proses pertumbuhan. Tetapi justru sekaranglah, pada waktu gelombang kemarahan spontan, boleh dikatakan, melanda kita, para pemimpin dan organisator gerakan, bahwa teristimewa perlu dilakukan perjuangan yang paling tak terdamaikan terhadap segala pembelaan atas keterbelakangan, terhadap segala legalitas kepicikan dalam soal ini, dan terisitimewa pula perlu menimbulkan pada setiap orang yang ambil bagian dalam pekerjaan praktis atau yang sedang bersiap-siap memulai pekerjaan itu, rasa tidak puas dengan kerajinan-tanganisme yang berdominasi di kalangan kita dan tekad yang teguh untuk membebaskan diri dari kerajinan-tanganisme itu.
  1. APAKAH KERAJINAN-TANGANISME ITU?
Akan kita coba menjawab pertanyaan ini dengan memberikan gambaran singkat tentang aktivitas suatu lingkaran sosial-demokrat yang khas pada tahun-tahun 1894-1901. Sudah kita sebutkan tentang kegairahan pada Marxisme yang melanda pemuda pelajar pada periode itu. Tentu saja kegairahan ini tidak hanya menyangkut atau bahkan tidak begitu banyak menyangkut Marxisme sebagai suatu teori, tetapi sebagai suatu jawaban kepada pertanyaan; “apa yang harus dikerjakan?”; sebagai suatu seruan untuk memulai pertempuran melawan musuh. Dan pejuang-pejuang baru ini pergi ke pertempuran dengan perlengkapan dan latihan yang luar biasa primitifnya. Dalam banyak hal, mereka bahakan hampir tidak mempunyai perlengkapan apapun dan tak ada latihan sama sekali. Mereka pergi berperang seperti petani-petani dari membajak, hanya bersenjatakan pentung. Suatu lingkaran mahasiswa yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan aktivis-aktivis lama gerakan, tak mempunyai hubungan apapun dengan lingkaran di distrik-distrik lain, atau bahkan di bagian-bagian lain kota yang sama (atau dengan perguruan-perguruan lain), tanpa pengorganissian berbagai pekerjaan revolusioner apapun, tidak mempunyai rencana aktivitas yang sistematisyang meliputi sesuatu jangka waktu, mengadakan hubungan-hubungan dengan kaum buruh dan mulai bekerja. Lingakran itu berangsur-angsur meluaskan propaganda dan agitasinya; dengan aktivitas-aktivitasnya ia memperoleh simpati dari lapisan-lapisan buurh yang agak besar dan dari segolongan tertentu masyarakat terpelajar, yang memberikan kepadanya uang dan dari kalangan mana “komite” mendapatkan grup-grup pemuda baru. Daya tarik komite (atau Liga Perjuangan) tumbuh, ruang lingkup aktivitasnya menjadi semakin luas dan ia memperluas aktivitas ini secara spontan sepenuhnya; orang-orang itu juga yang setahun atau beberapa bulan yang lalu berbicara dalam pertemuan-pertemuan lingkaran mahasiswa itu dan memecahkan soal: “Ke Mana?”, yang mengadakan dan memelihara hubungan dengan kaum buruh, menulis dan mengeluarkan surat-surat sebaran, sekarang mengadakan hubungan dengan grup-grup lain dari kaum revolusioner, memperoleh literatur, mulai bekerja untuk untuk menerbitkan surat-surat kabar lokal, mulai berbicara tentang tentang mengorganisir demonstrasi, dan akhirnya memulai aksi permusuhan terbuka (aksi permusuhan terbuka ini, menurut keadaan bisa mengambil bentuk penerbitan surat sebaran agitasi yang mula pertama, atau nomor pertama surat kabar, atau penyelenggaraan demonstrasi yang pertama kali).
Dan biasanya aksi-aksi yang mula pertama itu segera berkhir dengan kegagalan total. Segera dan total justru karena aksi-aksi permusuhan terbuka ini bukan merupakan hasil rencana yang sistematis dan dipikirkan masak-masak sebelumnya serta dipersiapkan secara berangsur-angsur untuk perjuangan jangka panjang dan gigih, tetapi semata-mata hasil pertumbuhan spontan dari pekerjaan lingakran yang tradisional; karena polisi, sudah sewajarnya, hampir selalu tahu pemimpin  utama gerakan setempat, karena mereka sudah “mendapat nama baik” untuk dirinya sendiri pada masa sekolahnya, dan polisi hanya menantikan saat yang paling baik baginya untuk melakukan penggrebekan, dengan sengaja memeberikan waktu yang cukup kepada lingkaran itu untuk tumbuh dan berkembang sehingga polisi mendapatkan suatu corpus delicti* yang nyata dan selalu dengan sengaja membiarkan beberapa orang yang mereka kenal tetap bebas untuk berlaku sebagai “pembiak-pembiak” (yang, setahu saya, adalah istilah teknik yang dipakai baik oleh orang-orang kita maupun oleh gendarme). Orang tidak bisa tidak membandingkan perang macam ini dengan perang yang dilakukan oleh segerombolan petani, yang bersenjatakan pentungan, melawan pasukan-pasukan tentara modern. Dan orang hanya dapat mengagumi daya hidup gerakan yang berkembang, tumbuh dan memperoleh kemenangan-kemenangan meskipun tanpa latihan sama sekali di kalangan para pejuangnya. Benar bahwa dilihat dari sudut sejarah, keprimitifan perlengkapan itu bukan hanya tidak terhindarkan mula-mula, tetapi bahkan sah sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan pejuang-pejuang secara luas. Tetapi begitu operasi-operasi perang yang serius mulai (dan operasi-operasi ini sebenarnya sudah mulai dengan pemogokan-pemogokan pada musim panas tahun 1896), maka kekurangan-kekurangan dalam organisasi-organisasi tempur kita semakin terasa. Walaupun mula-mula kebingungan dan membuat beberapa kesalahan (misalnya, seruannya kepada masyarakat yang melukiskan perbuatan-perbuatan jahat kaum sosialis, atau pembuangan kaum buruh dari ibukota ke pusat-pusat industri daerah), tetapi pemerintah dengan cepat sekali menyesuaikan diri dengan keadaan baru perjuangan dan berhasil menyebarkan detasemen-detasemen agen provokator, mata-mata dan gendarmenya yang dilengkapi dengan sempurna. Pogrom76 menajdi begitu sering, menimpa begitu banyak orang dan menyapu begitu habis-habisan lingkaran-lingkaran setempat sehingga massa buruh betul-betul kehilangan semua pemimpin mereka, gerakan menjadi bersifat luar biasa sporadisnya dan mejadi sama-sekali tak mungkin untuk menegakkan kontinuitas dan kesinambungan dalam pekerjaan. Sangat terpencar-pencarnya para aktivis setempat, sifat kebetulan keanggotaan lingkaran, ketiadaan pendidikan dalam soal-soal teori, politik dan organisasi dan pandangan-pandangan yang picik mengenai soal-soal tersebut, kesemuanya ini adalah akibat yang tak terelakkan dari keadaan-keadaan seperti yang dilukiskan di atas. Keadaan telah sampai begitu rupa sehingga di beberapa tempat kaum buruh, karena pada kita kurang daya tahan dan kekonspiratifan, mulai kehilangan kepercayaan kepada intelijensia dan menjauhi mereka; kaum intelektual, kata mereka, terlalu sembrono sehingga memberi kesempatan kepada polisi untuk melakukan penggrebekan!
Siapapun yang sedikit saja mengenal gerakan, mengetahui bahwa semua orang sosial-demokrat yang berpikir akhirnya mulai memandang kerajinan-tanganisme  ini sebagai suatu penyakit. Tetapi supaya pembaca yang tak mengenal gerakan tidak akan berpikir bahwa kami “mengarang-ngarang” suatu tingkat khusus atau suatu penyakit khusus gerakn itu, maka kami akan ajukan sekali lagi saksi yang sudah kami sebut. Kami mengharap hendaknya dimaafkan atas panjangnya kutipan ini.

B. KERAJINAN-TANGANISME DAN EKONOMISME
Kita sekarang harus membicarakan suatu soal yang pasti sudah timbul dalam pikiran setiap pembaca. Dapatkah diadakan hubungan antara kerajinan-tanganisme, suatu penyakit pertumbuhan yang menghinggapi seluruh gerakan, dengan ekonomisme, yang merupakan salah satu aliran dalam sosial-demokrasi Rusia? Kita rasa dapat. Ketiadaan latihan praktis, ketiadaan kecakapan untuk melakukan semua pekerjaan keorganisasian memang umum bagi kita semua, termasuk mereka yang sejak semula telah mempertahankan Marxisme revolusioner dengan teguh. Dan tentu saja seandainya hanya ketiadaan latihan praktis saja, maka tak seorangpun bisa menyalahkan pekerja praktis. Tetapi kecuali ketiadaan sesuatu yang lain: ia berarti ruang lingkup yang sempit dari semua pekerjaan revolusioner pada umumnya, ketidakmengertian bahwa suatu organisasi yang baik dari kaum revolusioner tak dapat dibangun atas dasar aktivitas yang sempit itu, dan akhirnya –dan yang paling penting – ia berarti percobaan-percobaan untuk membenarkan kesempaitan ini dan untuk mengangkatnya ke suatu “teori” khusus, yaitu pemujaan kepada spontanitas dalam soal ini juga. Sekali percobaan-percobaan demikian itu menampakkan diri, niscayalah kerajinan-tanganisme itu berhubungan dengan ekonomisme dan kita tak akan melenyapkan kesempitan aktivitas organisasi kita ini sebelum kita melenyapkan ekonomisme pada umumnya (yaitu, pengerrtian picik tentang teori Marxis, tentang peranan sosial demokrasi dan tentang tugas-tugas politiknya). Dan percobaan-percobaan ini nempak dalam dua jurusan. Ada yang mulai berkata: massa buruh sendiri belum mengajukan tugas-tugas politik yang luas dan militan yang sedang dicoba “dipaksakan” kepada mereka oleh kaum revolusioner; mereka masih harus berjuang untuk tuntutan-tuntutan politik yang terdekat, melakukan “perjuangan ekonomi melawan majikan dan pemerintah” *(dan sudah sewajarnya, sesuai dengan perjuangan ini yang “mudah dimengerti” oleh gerakan massa mestilah ada organisasi yang akan “mudah dimengerti” bahkan ada pemuda yang paling tidak terlatih). Lainnya lagi, jauh dari segala macam “beberangsur-angsuran”, mulai berkata: adalah mungkin dan perlu “melakukan revolusi politik”, tetapi untuk itu tidak diperlukan pembangunan suatu organisasi kuat kaum revolusioner guna mendidik proletariat dalam perjuangan yang tabah dan gigih. Untuk itu cukuplah kalau kita semua mememgang pentung kayu yang sudah kita kenal dan “mudah dipakai”. Berbicara tanpa kiasan ini berarti –kita harus mengorganisasi pemogokan* umum, atau kita harus mendorong kemajuan yang “kersang” dari gerakan buruh dengan jalan “teror yang merangsang”*. Kedua aliran ini, kaum oportunis dan kaum “revolusionis”, menyerah kepada kerajinan –tanganisme yang sedang berdominasi: kedua-duanya tidak percaya bahwa ia dapat dilenyapkan, kedua-duanya tidak mengerti akan tugas praktis kita yang utama dan paling mendesak, yaitu mendirikan suatu organisasi kaum revolusioner yang sanggup memelihara energi, kestabilan dan kontinuitas perjuangan politik.
     Kita baru saha mengutip kata-kata B-v: pertumbuhan gerakan buruh melampaui pertumbuhan dan perkembangan organisasi-organisasi revolusioner”. “Ucapan yang berharga dari seorang pengamat dekat” ini (komentar Rabocahaya  Dyelo mengenai artikel B-v) mempunyai nilai yang rangkap bagi kita. Ia menunjukkanbahwa pendapat kita benar yaitu bahwa sebab pokok krisis dalam sosial-demokrasi Rusia dewasa ini ialah bahwa para pemimpin (para “ideologis”, kaum revolusioner, kaum sosial demokrat) terbelakang dari kebangkitan massa yang spontan. Ia menunjukkan bahwa semua argumen yang dikemukakan oleh para penulis surat ekonomis (dalam Iskra No.12), oleh B. Kricevski dan oleh Martinov, mengenai bahwa meremehkan arti unsur spontan, mengenai perjuangan sehari-hari yang boyak, mengenai taktik-sebagai-proses, dsb., adalah justru pengagung-agungan dan pembelaan terhadap kerajinan-tanganisme. Orang-orang ini yang tak dapat mengucapkan kata “teoritikus” tanpa seringai yang menghina, yang menamakan tekuk lutut mereka kepada tidak adanya secara umum pendidikan dan keterbelakangan mereka sebagai suatu “perasaan akan kehidupan”, dalam praktek menyingkapkan ketidakmengertian akan tugas-tugas praktis kita yang paling mendesak. Kepada orang-orang yang ketinggalan mereka berteriak: Berjalan serempak! Jangan lari mendahului! Kepada orang-orang yang kurang energi dan inisiatif dalam pekerjaan keorganisasian, tidak cukup mempunyai “rencana” untuk aktivitas yang luas dan berani, mereka meneriakkan “taktitk sebagai proses”! Dosa pokok kita ialah bahwa kita memerosotkan tugas-tugas politik dan keorganisasian kita ke tingkat kepentingan-kepentingan “kongkrit”, langsung, yang “nyata berwujud” dari perjuangan ekonomi sehari-hari; namun demikian mereka terus menyanyikan kepada kita lagu lama: berikan watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri. Kita katakan lagi: ini persis sama dengan “perasaan akan kehidupan” yang diperlihatkan oleh pahlawan dalam dongeng rakyat yang berteriak kepada suatu iring-iringan pemakan: selama hari lahir!
Ingatlah keangkuhan yang tiada bangingnya, yang benar-benar seperti “Narcissus”78 dengan keangkuhan ma aorang-orang yang sok tahu ini memberi kuliah kepada Plekhanov tentang “lingkaran-lingkaran kaum buruh pada umumnya” (sic!) “tak mampu menanggulangi tugas-tugas politik dalam arti kata yang sesungguhnya dan praktis, yaitu dalam arti perjuangan praktis  yang efektif dan berhasil baik untuk tuntutan-tuntutan politik” (jawaban Rabocheye Dyelo, hlm.24). Ada macam-macam lingkaran, tuan-tuan! Lingkaran-lingkaran “tukang kerajinan tangan” tentu saja tak sanggup menanggulangi tugas-tugas politik selama tukang-tukang kerajinan tangan itu belum menyadari karajianan-tanganisme mereka dan membuangnya. Jika selain itu, tukang-tukang kerajian tangan itu jatuh cinta pada kerajinan-tanganisme mereka, jika mereka menulis kata “praktis” pasti dalam kursif, dan membayangkan bahwa kepraktisan menuntut supaya tugas-tugas mereka diturunkan ke taraf pengertian lapisan-lapisan massa yang paling terbelakang, maka tentu saja tukang-tukang kerajinan tangan itu tiada berpengharapa, dan memang tak dapat menanggulangi tugas-tugas politik apapun pada umumnya. Tetapi lingkaran dari jago-jago seperti Alekseyev dan Mssykin, Khalturin dan Zyelyabov sanggup menanggulanginya justru karena dan sejauh pengkhotbahan mereka yang gairah mendapat sambutan di kalangan massa yang bangkit secara spontan, dan energi mereka yang bergolak disahut dan didukung oleh energi klas revolusioner. Plekhanov seribu kali benar kerika ia tidak hanya menunjukkan bahwa tak terelakkannya dan tak terhindarkannya kebangkitan yang sponta, tetapi juga ketika ia meletakkkan di hadapan “lingkaran-lingkaran kaum buruh” pun tuga politik besar dan luhur. Tetapi kalian menunjukkepada gerakan massa yang telah timbul sejak waktu itu untuk memerosotkan tugas ini, untuk mempersempit energi dan  ruang lingkup aktivitas “lingkaran-lingkran kaum buruh”. Jika kalian bukan tukang-tukang kerajinan tangan yang jatuh cinta pada kerajian-tanganisme kalian, lalu kalian itu apa? Kalian menyombongkan diri dengan kepraktisan kalian tetapi kalian tidak melihat fakta yang diketahui oleh setiap pekerja praktis Rusia, yaitu keajaiban-keajaiban yang dapat dilaksanakan oleh energi tidak hanya dari lingkaran-lingkaran tetapi juga dari orang-orang sendiri-sendiri dalam usaha revolusi. Atau kalian berpendapat bahwa gerakan kita tak dapat menghasilkan jago-jago seperti jago-jago pada tahun-tahun 70-an? Tetapi mengapa? Karena kita kurang latihan? Tetatpi kita sedang melatih diri, akan terus berlatih dan terlatih! Celakanya, betul lumut telah tumbuh diatas permukaan air mandek “perjuangan ekonomi melawan majikan dan pemerintah”: di kalangan kita telah miuncul orang-orang yang sujud menyembah spontanitas, memandang dengan takzimnya (sebagaimana dinyatakan oleh plekhanov ) kepada “bokong” proletariat Rusia. Tetapi kita akan dapat membebaskan diri dari lumut ini. Justru sekaranglah kaum revolusioner Rusia, yang dibimbing oleh teori revolusioner sejati, dengan menyandarkan diri pada klas revolusioner sejati dan yang bangkit spntan, akhirnya –akhirny!—dapat tegak lurus dan membentangkan segenap kekuatan raksasanya. Untuk itu yang dibutuhkan hanyalah bahwa massa pekerja praktis kita, dan massa orang yang lebih banyak lagi yang merindukan pekerjaan praktis sejak masih duduk di bangku sekolah, harus menyambut dengan cemooh dan ejekan setiap percobaan memerosotkan tugas-tugas politik kita dan membatasi ruang lingkup pekerjaan keorganisasian kita. Dan kita akan mencapai itu percayalah, tuan-tuan!
     Dalam artikel “Dari Mana Kita Mulai?” saya menulis bertentangan dengan Rabocheye Dyelo: “taktik agitasi dalam hubungan dengan sesuatu soal khusus, atau taktik mengenai sesuatu detail dari organisasi partai bisa berubah dalam 24 jam, atau 24 bu7lan sekalipun, pandangan-pandangan mereka mengenai apakah pada umumnya, selamanya dan mutlak, perlu mempunyai organisasi militan dan melakukan agitasi politik di kalangan massa“79. Rabochaya Dyelo menjawab: “Ini, satu-satunyadari tuduhan-tuduhan Iskra yang katanya berdasarkan fakta-fakta, sama sekali tanpa alasan. Para pembaca Rabochaya Dyelo tahu betul bahwa sejak semula kami tidak hanya menuntut agitasi politik, dengan tidak menantikan terbitnya Iskra” … (dan bersamaan itu mengatakan bahwa bukan hanya lingkaran-lingkaran kaum buruh “melainkan juga gerakan massa buruh tak dapat memandang penggulingan absolutisme sebagai tugas politiknya yang utama”, tetapi hanya perjuangan untuk tuntutan-tuntutan politik yang terdekat, dan bahwa “massa mulai mengerti akan tuntutan-tuntutan politik yang terdekat sesuadah satu atau setidak-tidaknya sesudah beberapa pemogokan)… “tetapi penerbitan-penerbitan yang kita peroleh dari luar negeri untuk kawan-kawan yang bekerja di Rusia, memberikan satu-satunya bahan politik dan agitasi sosial demokratis” … (dan dalam satu-satunya bahan ini, kalian tidak hanya mendasarkan agitasi politik yang seluas-luasnya semata-mata pada perjuangan ekonomi, tetapi kalian bahkan sampai menyatakan bahwa agitasi yang dipersempit ini adalah yang “paling luas dapat digunakan”. Dan tidakkah kalian melihat, utan-tuan, bahwa argumen-argumen kalian sendiri justru membuktikan perlunya –karena bahan macam itu satu-satunya bahan yang diberikan –penerbitan Iskra dan perjuangannya menentang Raboceye Dyelo?)….” Di pihak lain, aktivitas penerbitan kita sebebanranya mempersiapkan dasar bagi kesatuan taktik partai”… (kesatuan dalam pendapat bahwa taktik adalah suatu proses pertumbuhan tugas-tugas Partai, yang tumbuh bersama-sama dengan Partai? Suatu kesatuan yang sungguh-sungguh berharga!)… “dan dengan itu memberikan kemungkinan untuk penciptaan suatu ‘organisasi miltan’ yang untuk penciptaannya itu perserikatan telah melakukan segala-galanya yang dapat dilakukan oleh suatu organisasi di luar negeri” (Raboceye Dyleo No.10 hl,.15). Suatu usaha pengekangan yang sia-sia! Saya sekali-kakli tak ada niat untuk menyangkal bahwa kalian melakukan segala sesuatu yang dapat kalian lakukan. Saya telah menyatakan dan sekarang pun menyatakan bahwa batas-batas  dari apa yang “mungkin” bagi kalian untuk melakukannya dipersempit oleh kepicikan pandangan kalian. Bahkan mengglkikan berbicara tentang “organisasi militan” guna memperjuangkan “tuntutan-tuntutan politik yang terdekat”, atau melakukan “perjuangan ekonomi melawan kaum majikan dan pemerintah”.
     Tetapi jika pembaca ingin melihat contoh cemerlang dari kecintaan “ekonomis” pada kerajianan-tanganisme, sudah barang tentu dia harus berpaling dari Rabceye Dyelo yang eklektis dan bimbang-bimbang kepada raboceye Misl yang konsekwen dan tegas. Dalam lampiran khususnya, hlm.13, R.M menulis: “Sekarang dua patah kata tentang apa yang dinamakan inteligensia revolusioner yang sebenarnya. Benar bahwa lebih dari sekali mereka telah membuktikan bahwa mereka sepenuhnya siap siap untuk ‘memasuki pertempuran yang gigih melawan tsarisme’! Akan tetapi celakanya ialah bahwa intelegensi revolusioner kita yang secara kejam diuber-uber oleh polisi politik, menganggap perjuangan melawan polisi politik, menganggap perjuangan politik melawan otokrasi. Itulah sebabnya maka, sampai hari inipun, mereka tak dapat mengerti ‘dimana dapat diperoleh kekuatan untuk perjuangan melawan otokrasi’”.
     Betapa tiada tara dan bagusnya penghinaan itu terhadap perjuangan melawan polisi dari pemuja (pemuja dalam arti yang paling jelek) gerakan spontan  ini, bukan? Dia bersedia membenarkan  ketidaktrampilan kita di bidang kospirasi dengan argumen di bawah syarat gerakan massa yang spontan, yang pada hakekatnya tidaklah penting bagi kita untuk berjuang melawan polisi politik!! Memang sedikit sekali yang akan menyetujui kesimpulan yang ajaib ini; kekurangan-kekurangan organisasi revolusioner kita telah menjadi soal yang begitu mendesak untuk mengijinkan mereka menyetujui ini. Tetapi jika martinov, misalnya, tidak mau menyetujuinya, itu hanyalah karea dia tak sanggup atau tidak mempunyai keberanian untuk memikirkan ide-idenya sampai pada kesimpulan logis. Sesungguhnya, apakah “tugas” mendorong massa supaya mengajukan tuntutan-tuntutan kongkrit yang menjanjikan hasil-hasil yang nyata berwujud itu memerlukan usaha-usaha khsusus guna menciptakan suatu organisasi kaum revolusioner yang kokoh, terpusat, militan? Apakah massa yang sama sekali tidak “berjuang melawan polisi politik” itupun tak dapat melakukan “tugas” demikian? Lagi: dapatkah tugas ini dilaksanakan jika, disamping pemimpin-pemimpin yang sedikit itu, ia tidak dipikul oleh kaum buruh (mayoritas mutlak), yang sama sekali tak mampu “berjuang melawan polisi politik”? Kaum buruh demikian itu, orang rata-rata dari kalangan massa, sanggup memperlihatkan enerzi yang maha besar dan pengorbanan diri dalam pemogokan-pemogokan dan pertempuran di jalan-jalan melawan polisi dan pasukan-pasukan tentara, dan sanggup (sebenarnya mereka saja yang sanggup) menentukan kesudahan seluruh gerakan kita –tetapi perjuanganmelawan polisi politik justru membutuhkan sifat-sifat khsusus, membutuhkan kaum revolusioner profesional. Dan kita tidak boleh hanya mengusahakan supaya massa “mengajukan” tuntutan-tuntutan yang kongkrit, tetapi juga supaya massa buruh “menampilkan” semakin banyak orang revolusioner profesional demikian itu. Dengan demikian kita telah sampai pada soal hubungan antara organisasi kaum revolusioner profesional dengan gerakan buruh semata-mata. Meskipun soal ini mendapatkan sidikit pencerminan dalam literatur, namun ia telah bnayak menyibukkan kita “politikus-politikus” dalam pembicaraan-pembicaraan dan perdebatan-perdebatan dengan kawan-kawan yang sedikit atau banyak condong kepada ekonomisme. Soal ini patut dibahas secara khusus. Tetapi terlebih dulu baiklah kita petik pertalian antara kerajian-tanganisme dengan ekonomisme.
Dalam Jawabannya, Tuan N. N.80 menulis: “Grup Pembebasan Kerja menuntut perjuangan langsung melawan pemerintah tanpa lebih dulu mempertimbangkan di mana kekuatan-kekuatan materiil untuk perjuangan ini bisa didapat, dan tanpa menunjukkan jalan perjuangan itu”. Dan menggarisbawahi kata-kata yang terakhir, penulis menambahkan pada kata “jalan” catatan bawah halaman berikut: “Hal ini tidak dapat diterangkan oleh maksud-maksud konspirasi,  karena program tidak menyebutkan suatu komplotan tetapi gerakan massa. Dan massa tak dapat berjalan lewat jalan-jalan rahasia. Mana mungkin ada pemogokan rahasia? Masa mungkin ada demonstrasi dan petisi rahasia?” (Vademacum, hlm. 59). Penulis sangat mendekati baik soal “kekuatan-kekuatan materiil” (para organisator pemogokan dan demonstrasi) maupun “jalan-jalan” perjuangan, tetapi walaupun demikian, masih dalam keadaan kebingungan, karena dia “memuja” gerakan massa, yaitu dia memandangnya sebagai sesuatu yang membebaskan kita dari keharusan melakukan aktivitas revolusioner dan bukan sebagai sesuatu yang seharusnya memberanikan kita dan mendorong aktivitas revolusioner kita. Suatu pemogokan rahasia tidaklah mungkin—bagi orang-orang yang mengambil bagian di dalamnya dan bagi orang-orang yang langsung berhubungan dengannya. Tapi suatu pemogokan bisa tetap (dan sebagian besar tetap) merupakan suatu “rahasia” bagi massa buruh Rusia, karena pemerintah berusaha memutuskan segala hubungan antara para pemogok, berusaha mencegah segala berita tentang pemogokan-pemogokan itu jangan sampai tersiar luas. Di sinilah sesungguhnya dimana dibutuhkan suatu “perjuangan khusus” “melawan polisi politik”, suatu perjuangan yang sekali-kali tidak akan dapat dilakukan secara aktif oleh massa yang sebegitu banyak seperti yang ambil bagian dalam pemogokan-pemogokan. Perjuangan ini harus diorganisasi, menurut “segala aturan seni”, oleh orang-orang yang secara professional melakukan aktivitas revolusioner. Kenyataan bahwa massa secara spontan tertarik ke dalam gerakan tidaklah membuat pengorganisasian perjuangan ini menjadi kurang perlu. Sebaliknya, hal ini membuatnya menjadi lebih perlu lagi, karena kita kaum sosialis akan tidak melaksanakan kewajiban kita yang langsung terhadap massa jika kita tidak mampu mencegah polisi membuat setiap pemogokan dan setiap demonstrasi menjadi suatu rahasia (dan jika kita sendiri kadang-kadang tidak mempersiapkannya secara rahasia). Dan kita akan berhasil dalam melakukan ini, justru karena kebangkitan masssa yang secara spontan itu akan menampilkan juga dari kalangan mereka sendiri semakin banyak orang “revolusioner professional” (yaitu, jika kita tidak berniat menasehati kaum buruh supaya tetap berjalan di tempat).
* * *
C. ORGANISASI KAUM BURUH DAN ORGANISASI KAUM REVOLUSIONER
Jika konsepsi perjuangan politik bagi kaum sosial-demokrat adalah identik dengan konsepsi “perjuangan ekonomi melawan kaum majikan dan pemerintah”, maka sewajarnyalah dapat diharapkan bahwa konsepsi “organisasi kaum revolusioner” baginya sedikit atau banyak identik dengan konsepsi “organisasi kaum buruh”. Dan ini sebenarnya adalah apa yang sungguh-sungguh terjadi; sehingga apabila kita berbicara tentang organsasi, kita benar-benar bicara dalam bahasa yang berlainan. Sebagaimana sekarang saya ingat, misalnya, pada suatu percakapan antara saya dengan seorang ekonomis yang agak konsekwen, yang tidak saya kenal sebelumnya. Kami membicarakan brosur Siapa Yang Akan Melaksanakan Revolusi Politik? Dan kami segera sependapat bahwa kekurangannya yang utama ialah bahwa ia mengabaikan soal organisasi. Kami mulai merasa bahwa kami sepenuhnya akur satu sama lain—tetapi…serentak pembicaraan berjalan terus, ternyatalah bahwa kami membicarakan hal yang berlainan. Lawan bicara saya menuduh si penulis mengabaikan dana pemogokan, perkumpulan gotong-royong, dll, sedang yang saya maksudkan suatu organisasi  kaum revolusioner yang diperlukan untuk “melaksakan” revolusi politik. Begitu perbedaan pendapat itu menjadi jelas, saya sudah tidak ingat lagi akan soal prinsipil satupun yang saya sependapat dengan kaum ekonomis itu!
Apa yang menjadi sumber perbedaan pendapat kami itu? Sumbernya ialah kenyataan bahwa baik mengenai soal organisasi maupun soal politik kaum ekonomis selamanya tergelincir dari sosial-demokratisme ke dalam trade-unionisme. Perjuangan politik sosial-demokrasi jauh lebih luas dan rumit daripada perjuangan ekonomi kaum buruh melawan kaum majikan dan pemerintah. Begitu juga (dan memang karena itu) organisasi suatu partai sosial-demokrat revolusioner tak dapat tidak pasti suatu organisasi macam lain daripada organisasi kaum buruh yang diperuntukkan perjuangan ini. Sebuah organisasi kaum buruh haruslah pertama-tama sebuah organisasi sekerja; kedua, ia harus seluas mungkin; dan ketiga, ia harus sesedikit mungkin bersifat konspirasi (di sini dan selanjutnya, sudah tentu, yang saya maksudkan hanyalah Rusia otokratis). Sebaliknya, organisasi kaum revolusioner haruslah terdiri pertama-tama dan terutama dari orang-orang yang membuat aktivitas revolusioner sebagai professinya (itulah ssebabnya saya akan berbicara tentang organisasi kaum revolusioner, maksudnya ialah kaum revolusioner  sosial-demokrat). Mengingat ciri umum anggota-anggota organisasi demikian itu, maka segala perbedaan antara kaum buruh dengan kaum intelektual, dan tentu saja perbedaan-perbedaan di antara berbagai professi haruslah dihapuskan sama sekali. Organsasi yang demikian itu semestinya tidak boleh terlalu luas dan sedapat mungkin bersifat konspirasi. Baiklah kita bahas tiga macam perbedaan ini.
Di negeri-negeri dimana ada kemerdekaan politik perbedaan antara serikat buruh dengan organisasi politik cukup jelas, sebagaimana perbedaan antara serikat buruh dengan sosial-demokrasi. Hubungan antara yang tersebut belakangan dengan yang pertama pasti berbeda-beda di berbagai negeri menurut syarat-syarat sejarah, syarat-syarat yuridis dan syarat-syarat lainnya— bisa sedikit banyak rapat, rumit, dsb, (dari sudut pandang kita hubungan itu seharusnya serapat dan sesederhana mungkin); tetapi di negeri-negeri merdeka sama sekali tidak bisa organisasi-organisasi serikat buruh identik dengan organisasi-organisasi partai sosial-demokrat. Akan tetapi di Rusia penindasan otokrasi sepintas lalu tampaknya menghapuskan segala perbedaan antara organisasi sosial-demokrat dengan serikat buruh, karena segala perserikatan kaum buruh dan segala lingkaran dilarang, dan karena manifestasi serta senjata utama perjuangan ekonomi kaum buruh—pemogokan—dipandang sebagai suatu pelanggaran kriminal (dan bahkan kadang-kadang sebagai pelanggaran politik). Karena itu keadaan-keadaan di negeri kita, di satu pihak, sangat “mendorong” kaum buruh yang melakukan perjuangan ekonomi menaruh perhatian pada soal-soal politik, dan di pihak lain, keadaan-keadaan itu “mendorong” kaum sosial-demokrat mencampur-adukkan trade-unionisme dengan sosial-demokratisme (dan orang-orang sebangsa Kricevski, sebangsa Martinov kita serta konco-konconya, sementara dengan rajin mendiskusikan “pendorongan” macam pertama, tidak melihat “pendorongan” macam kedua). Memang, bayangkanlah sendiri orang-orang yang 99% terbenam dalam “perjuangan ekonomi melawan kaum majikan dan pemerintah”. Beberapa di antara mereka, tidak akan pernah, sepanjang masa aktivitas mereka (empat sampai enam bulan), terdorong untuk memikirkan soal perlunya suatu organisasi kaum revolusioner yang lebih rumit; lainnya mungkin akan “bersua” dengan literatur Bernsteinis yang agak luas, dan dari literatur itu mereka akan menjadi yakin akan istimewa pentingnya “kemajuan perjuangan sehari-hari yang boyak”. Lainnya lagi mungkin agak terpikat oleh ide yang menggoda yaitu menunjukkan kepada dunia suatu contoh baru tentang “hubungan yang erat dan organis dengan perjuangan proletar”—hubungan antara gerakan serikat buruh dengan gerakan sosial-demokratis. Orang-orang demikian itu bisa berargumentasi bahwa semakin terbelakang sebuah negeri memasuki gelanggang kapitalisme dan, karenanya, juga gelanggang gerakan buruh, maka semakin dapatlah kaum sosialis negeri itu mngambil bagian dalam gerakan serikat buruh dan menyokong gerakan serikat buruh, dan dapat serta seharusnya semakin berkurang alasan bagi adanya serikat buruh non sosial-demokratis. Sampai sekarang argumen tersebut benar sekali; tetapi celakanya ada yang sampai melewati itu dan mengangan-angankan fusi sepenuhnya antara sosial-demokratisme dengan trade-unionisme. Kita akan segera melihat, dari contoh Anggaran Dasar Liga Perjuangan Petersburg, betapa merugikannya pengaruh angan-angan ini atas rencana-rencana pengorganisasian kita.
Organisasi-organsasi kaum buruh untuk perjuangan ekonomi haruslah organisasi-organisasi serikat buruh. Setiap buruh sosial-demokrat haru sedapat mungkin membantu dan bekerja aktif dalam organisasi-organisasi ini. Ini bbenar. Tetapi sekali-kali bukanlah kepentingan kita untuk menuntut supaya hanya orang-orang sosial-demokratlah yang bisa menjadi menjadi anggota serikat-serikat “sekerja”: ini hanya akan mempersempit pengaruh kita atas massa. Biarlah setiap buruh yang mengerti akan perlunya bersatu untuk perjuangan melawan kaum majikan dan pemerintah masuk serikat sekerja. Tujuan-tujuan serikat sekerja itu sendiri tak akan tercapai jika tidak mempersatukan semua orang yang sekurang-kurangnya telah mencapai tingkat pengertian yang elementer ini, dan jika serikat-serikat sekerja itu tidak merupakan organisasi-organisasi yang sangat luas. Dan semakin luas organisasi-organisasi ini, maka akan semakin luas pulalah pengaruh kita atas organisasi-organisasi tersebut—suatu pengaruh yang tidak hanya karena perkembangan “spontan” perjuangan ekonomi tetapi juga karena usaha secara langsung dan sedar dari anggota-anggota sosialis serikat buruh untuk mempengaruhi kawan-kawan mereka. Tetapi organisasi yang luas tak dapat menerapkan konspirasi ketat (karena konspirasi itu menuntut latihan yang jauh lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk perjuangan ekonomi). Bagaimana kontradiksi antara perlunya jumlah anggota yang besar dengan perlunya konspirasi ketat itu dapat disesuaikan? Bagaimana kita dapat membuat organisasi serikat sekerja itu sesedikit mungkin bersifat konspirasi? Secara umum, untuk tujuan ini hanya bisa ada dua jalan: atau serikat-serikat sekerja itu dilegalkan (dan di beberapa negeri hal ini mendahului legalisasi peerkumpulan-perkumpulan sosialis dan politik), atau organisasi itu tetap dijaga sebagai suatu organisasi rahasia, tetapi begitu “bebas” dan tidak berbentuk, lose81 seperti kata orang Jerman, sehingga kebutuhan akan konspirasi bagi massa anggota menjadi hampir dapat ditiadakan.
Legalisasi perkumpulan-perkumpulan buruh non sosialis dan non-politik di Rusia sudah mulai dan tak ragu lagi bahwa setiap kemajuan dari gerakan buruh sosial-demokratis kita yang tumbuh dengan cepat akan melipatgandakan dan mendorong usaha-usaha legalisasi—usaha-usaha yang untuk sebagian besar berasal dari pendukung-pendukung sistem yang ada, tetapi sebagian juga dari kaum buruh sendii dan dari kaum intelektual liberal. Panji legalitas sudah dikibarkan oleh orang-orang sebangsa  Wasilyev dan Zubatov. Tuan-tuan sebangsa Tuan Ozerov dan Tuan Worms sudah menjanjikan dukungan mereka, dan pengikut-pengikut aliran baru sudah terdapat di kalangan kaum buruh. Mulai sekarang kita tidak bisa tidak memperhitungkan aliran ini. Adapun bagaimana kita harus memperhitungkannya, tidak mungkin ada dua pendapat di kalangan kaum sosial-demokrat. Kita harus dengan gigih memblejeti setiap peranan yang dilakukan dalam gerakan ini oleh orang-orang sebagnsa Zubatov dan Wasilyev, gendarme dan pendeta-pendeta, dan menerangkan kepada kaum buruh apa maksud mereka yang sesungguhnya. Kita harus pula memblejeti nada kedamaian, “keharmonisan” yang tercetus dalam pidato-pidato para politikus liberal dalam rapat-rapat legal kaum buruh, tak pandang apakah pidato-pidato ini didorong keyakinan sungguh-sungguh akan dikehendakinya kerjasama klas secara damai, oleh keinginan untuk mencari muka kepada pihak yang berkuasa, atau semata-mata akibat kerikuhan. Akhirnya, kita harus memperingatkan kaum buruh  terhadap jebakan-jebakan yang sering dipasang oleh polisi, yang dalam rapat-rapat terbuka itu dan perkumpulan-perkumpulan mendapat ijin memata-matai orang-orang yang “berkepala panas” dan berusaha melalui organisasi-organisasi legal untuk memasukkan agen-agen provokator mereka ke dalam organisasi-organisasi ilegal.
Tetapi sementara melakukan kesemuanya ini, kita tidak boleh lupa bahwa pada akhirnya legalisasi gerakan buruh akan menguntungkan kita dan bukan menguntungkan orang-orang sebangsa Zubatov. Sebaliknya, justru kampanye pemblejetan kita yang akan membantu kita memisahkan rerumputan dari batang gandum. Mengenai apa itu rerumputan, sudah kita tunjukkan. Dengan batang gandum, kita maksudkan ialah bahwa perhatian lapisan-lapisan buruh yang lebih besar lagi dan lebih terbelakang tertarik pada soal-soal sosial dan politik; kita maksudkan membebaskan kita , kaum revolusioner, dari fungsi-fungsi yang pada hakekatnya legal (penyebaran buku-buku legal, gotong-royong, dll), dan yang pada perkembangannya pasti akan memberikan kepada kita semakin banyak bahan untuk agitasi. Dalam arti ini kita bisa dan dan harus berkata kepada orang-orang sebangsa Zubatov dan Ozerov: terus berusahalah tuan-tuan, berusahalah! Karena kalian memasang jebakan bagi kaum buruh (baik dengan jalan provokasi secara langsung maupun dengan pembejatan kaum buruh secara “jujur” dengan bantuan “Struwe-isme”), maka akan kita usahakan ssupaya kalian diblejeti. Karena kalian mengambil langkah maju yang nyata, walaupun dalam bentuk “liku-liku yang paling takut-takut”, kita kan berkata: silakan terus! Dan satun-satunya langkah yang dapat merupakan langkah maju yang nyata ialah perluasan yang nyata, meskipun kecil, dari lapangan aksi kaum buruh. Dan setiap perluasan  demikian itu akan menguntungkan kita dan akan membantu mempercepat munculnya perkumpulan-perkumpulan legal di mana bukan agen-agen provokator akan mencium jejak kaum sosialis, tetapi dimana kaum sosialis  akan mendapat pengikut. Pendek kata, tugas kita ilah membersihkan tanah untuk tumbuhnya benih gandum. Dan sementara orang-orang sebangsa Afanasi Iwanowic dan sebangsa Pulkheria Iwanovna82 memelihara tanaman pot-potan mereka, kita harus menyediakan penyabit yang pandai membabat rerumputan pada hari ini, dan juga menuai gandum pada hari esok*.
Jadi dengan legalisasi itu kita tak dapat memecahkan masalah menciptakan suatu organisasi serikat buruh yang akan  sesedikit mungkin konspiratif dan yang akan seluas mungkin (tetapi kita akan sangat gembira jika orang-orang sebangsa Zubatov dan Ozerov memberikan kita kesempatan sekalipun sebagian untuk pemecahan itu—dan untuk tujuan itu kita harus berjuang melawan mereka sekuat mungkin!). Tinggal jalan organisasi serikat buruh rahasia; dan kita harus memberi segala bantuan kepada kaum buruh yang (sebagaimana kita ketahui dengan pasti) sudah menempuh jalan ini. Organisasi-organisasi serikat buruh tidak hanya bisa mempunyai nilai yang sangat besar dalam usaha mengembangkan dan mengkonsolidasi perjuangan ekonomi, tetapi bisa pula menjadi pembantu yang sangat penting bagi agitasi politik dan organisasi revolusioner. Untuk mencapai ini, dan untuk membimbing gerakan serikat buruh yang mulai timbul menurut saluran-saluran yang diingini kaum sosial-demokrat, kita pertama-tama harus menyadari dengan jelas betapa nonsensnya rencana organisasi yang telah menyibukkan kaum ekonomis Petersburg selama hampir lima tahun. Rencana ini dibentangkan baik dalam “Anggaran Dasar Dana Buruh” pada bulan Juli 1897 (Listok Rabotnika No. 9-10, hlm. 46; diambil dari Rabocaya Misl No. 1), maupun dalam “Anggaran Dasar Organisasi Serikat Buruh” pada bulan Oktober 1900 (surat sebaran khusus yang dicetak di Petersburg dan dikutip dalam Iskra No. 1). Kekurangan fundamental dari kedua anggaran dasar ini ialah bahwa kedua anggaran-anggaran dasar tersebut memberikan formulasi secara terperinci mengenai organisasi luas kaum buruh dan memcampuradukkannya dengan organisasi kaum revolusioner. Marilah kita ambil anggarand asar yang kedua, karena ia disusun secara lebih terperinci. Isinya terdiri dari 52 pasal. Dua puluh tifa pasal menguraikan struktur, cara pengelolaan dan yurisdiksi “lingkaran-lingkaran kaum buruh”, yang harus diorganisasi di setiap pabrik (“tidak lebih dari sepuluh orang”) dan yang memilih “grup-grup pusat (pabrik)”, “Grup Pusat”, bunyi pasal 2, “mengikuti semua yang terjadi di pabrik atau kilang dan membuat catatan tentang kejadian-kejadian di pabrik atau di kilang itu”. “Grup Pusat memberikan laporan keuangan setiap bulan kepada semua anggota” (pasal 17), dsb. Sepuluh pasal diperuntukkan bagi “organisasi distrik”, dan 19 pasal bagi soal saling hubungan yang sangat rumit antara “Komite Organisasi Buruh” dengan “Komite Liga Perjuangan Petersburg” (wakil-wakil yang dipilih dari setiap distrik dan dari “grup-grup eksekutif”—“grup-grup propagandis, grup-grup untuk memelihara hubungan dengan provinsi-provinsi dan dengan organisasi di luar negeri. Grup-grup untuk mengurus perbekalan, penerbitan dan dana”.
Sosial-demokrasi= “grup-grup eksekutif” dalam hubungan dengan perjuangan ekonomi kaum buruh! Akan sulitlah mendemonstrasikan dengan lebih menyolok bagaimana ide-ide kaum ekonomis menyimpang dari sosial-demokratisme ke trade-unionisme, dan bagaimana asingnya bagi mereka setiap gagasan bahwa seorang sosial-demokrat harus menaruh perhatian pertama-tama dan terutama pada organisasi kaum revolusioner yang sanggup memimpin seluruh perjuangan proletariat untuk pembebasan. Berbicara tentang “pembebasan politik klas buruh” dan tentang perjuangan melawan “despotisme tsar”, tetapi menyusun anggaran dasar semacam itu, berarti sama-sekali tidak mempunyai pengertian tentang tugas-tugas politik yang sebenarnya dari sosial-demokrasi itu. Tak satupun dari kurang lebih lima puluh pasal itu yang menunjukkan sedikit saja pengertian bahwa perlu melakukan agitas politik seluas mungkin di kalangan massa, agitasi yang membahas setiap segi absolutisme Rusia dan semua ciri berbagai klas sosial di Rusia. Anggaran dasar semacam ini tidak ada gunanya sekalipun  untuk mencapai tujuan-tujuan trade-unionis, apalagi tujuan-tujuan politik, karena hal ini membutuhkan organisasi menurut lapangan pekerjaan, yang sama-sekali tidak disebut-sebut dalm Anggaran Dasar itu.
Tetapi yang paling khas dari semuanya ialah, mungkin, sifat terlalu berat di atas yang mengagungkan dari seluruh “sistem” itu yang mencoba mengikat setiap pabrik dengan “komite” dengan tali permanen yaitu peraturan-peraturan yang seragam dan tetek bengek yang menggelikan dan sistem pemilihan tiga tingkat. Terkungkung oleh pandangan ekonomisme yang picik, maka pikiran tenggelamlah dalam detail-detail yang pasti berbau formalisme dan birokrasi. Dalam praktek, sudah barang tentu, tiga perempat dari pasal-pasal ini tidak pernah diterapkan; akan tetapi, sebaliknya, suatu organisasi “konspiratif” macam ini, dengan grup pusatnya di setiap pabrik, sangat memudahkan gendarme-gendarme melakukan penggerebekan secara besar-besaran. Kawan-kawan Polandia telah mengalami tahap yang demikian itu dalam gerakan mereka, pada kala setiap orang antusias dengan pengorganisasian dana-dana buruh secara luas; tetapi mereka cepat sekali melepaskan ide-ide ini ketika mereka melihat bahwa organisasi-organisasi demikian itu hanyalah mendatangkan panen yang kaya bagi gendarme-gendarme. Jika kita menghendaki organisasi-organisasi kaum buruh yang luas dan bukan penangkapan-penangkapan secara besar-besaran, jika kita tidak ingin memberi kepuasan kepada gendarme-gendarme, maka kita harus berusaha supaya organisasi-organisasi ini sama sekali tidak formal. Tetapi apakah organisasi-organisasi itu akan dapat berfungsi jika demikian? Baiklah, mari kita lihat apa fungsi-fungsinya itu: “……mengikuti semua yang terjadi dalam pabrik dan membuat catatan tentang kejadian-kejadian dalam pabrik itu” (Anggaran Dasar pasal 20. Apakah kita betul-betul membutuhkan organisasi dengan bentuk tertentu untuk ini? Apakah hal ini tidak dapat dicapai dengan lebih baik dengan surat-menyurat kepada surat-surat kabar ilegal dan tanpa mendirikan grup-grup khusus? “…….. Memimpin perjuangan kaum buruh untuk perbaikan keadaan mereka dalam pabrik” (Anggaran Dasar pasal 3). Inipun tidak membutuhkan grup formal. Sembarang agitator yang cerdas sedikit saja dapat mengetahui dengan tepat tuntutan-tuntutan  apa yang ingin diajukan kaum buruh dari percakapan biasa dan menyampaikannya kepada organisasi kaum revolusioner yang sempit—bukan yang luas—supaya dimuat dalam surat sebaran. “……Mengorganisasi dana….. dengan iuran dua kopek dari setiap rubel” (Pasal 9)……memberikan laporan keuangan setiap bulan kepada para anggota (pasal 170….memecat anggota-anggota yang tidak membayar iuran (pasal 10), dan seterusnya. Sungguh, inilah sorga betul-betul bagi polisi; karena bagi mereka tidak ada yang lebih mudah daripada menembus seluruh konspirasi “dana pabrik pusat” ini, ,menyita uangnya dan menangkapi semua orang yang terbaik. Apakah tidak lebih sederhana mengeluarkan kartu-kartu dari satu atau dua kopek dengan memakai cap resmi dari suatu organisasi yang terkenal (yang sangat sempit dan dan sangat konspiratif), atau megnadakan pemungutan tanpa kartu macam apapun dan memuat laporan-laporan menurut kode tertentu yang sudah disetujui dalam sebuah surat kabar ilegal? Dengan begitu tujuan akan tercapi, tetapi akan seratus kali lebih sulit bagi gendarme-gendarme untuk menemukan kuncinya.
Saya dapat meneruskan menganalisa Anggaran Dasar itu, tetapi saya rasa cukuplah apa yang sudah dikatakan di atas. Suatu inti kecil yang kompak terdiri dari buruh-buruh yang paling dapat dipercaya, berpengalaman dan terbaja, yang mempunyai wakil-wakil yang bertanggung jawab di distrik-distrik yang terpenting dan yang berhubungan melalui semua peraturan konspirasi yang ketat dengan organisasi kaum revolusioner, dapat, dengan bantuan yang seluas-luasnya dari massa dan tanpa organisasi formal apapun melakukan semua fungsi organisasi serikat buruh, dan tambahan pula, melakukannya menurut cara yang dikehendaki sosial-demokrasi. Hanya dengan jalan demikianlah kita dapat menjamin pengkonsolidasian dan pengembangan gerakan serikat buruh sosial-demokratis, kendatipun adanya segala gendarme.
Orang bisa mengajukan keberatan bahwa organisasi yang begitu los, sehingga juga tidak mempunyai bentuk tertentu, dan yang bahakan tidak mempunyai anggota yang tercatat dan terdaftar, sekali-kali tidaklah bisa dinamakan suatu organisasi. Itu mungkin. Saya tidak mementingkan nama. Tetapi “organisasi tanpa anggota” ini akan melakukan segala-galanya yang diperlukan, dan sejak semula menjamin hubungan yang serapat-rapatnya antara serikat-serikat buruh kita yang akan datang dengan sosialisme. Hanyalah seorang utopis yang sudah tak dapat diperbaiki lagi yang menginginkan suatu organisasi kaum buruh yang luas, dengan pemilihan, laporan, hak pilih umum, dsb, di bawah otokrasi.
Kias yang dapat diambil dari sini sederhana saja: jika kita mulai dengan dasar yang kokoh dari suatu organisasi kaum revolusioner yang kuat, maka kita dapat menjamin kestabilan gerakan dalam keseluruhannya dan melaksanakan tujuan-tujuan sosial-demokrasi maupun tujuan-tujuan serikat buruh sendiri. Akan tetapi jika kita mulai dengan organisasi luas kaum buruh, yang dianggap paling “mudah dimasuki” massa (tetapi sebenarnya paling mudah dimasuki gendarme dan membuat kaum revolusioner paling mudah didatangi polisi), kita tak akan mencapai satu pun dari kedua tujuan itu; kita tidak akan membebaskan diri dari kerajinan-tanganisme, dan karena kita tetap berkeping-keping dan kekuatan kita senantiasa diceraiberaikan oleh polisi, maka kita hanya akan membuat serikat-serikat buruh tipe Zubatov dan Ozerov itu paling mudah dimasuki massa.
Sebenarnya, apa seharusnya fungsi-fungsi organisasi kaum revolusioner? Hal ini akan kita bicarakan secara terperinci. Tetapi lebih dulu marilah kita tinjau satu argumen yang sangat khas yang dikemukakan oleh teroris kita, yang dalam hal ini juga (nasib malang!) adalah tetangga dekat ekonomis. Swoboda (No. 1), majalah yang diterbitkan untuk kaum buruh, memuat sebuah artikel yang berjudul “Organisasi”, yang penulisnya mencoba membela kawan-kawanya, kaum buruh ekonomis dari Iwanowo-Woznesensk. Dia menulis:
“Adalah jelek apabila orang banyak bisu dan tak berkesadaran, dan apabila gerakan tidak timbul dari lapisan bawah. Misalnya, para mahasiswa dari suatu kota universitas pulang ke rumah masing-masing selama musim panas dan liburan-liburan lainnya dan segera terhentilah gerakan kaum buruh. Dapatkah suatu gerakan kaum buruh yang harus didorong dari luar menjadi suatu kekuatan yang sesungguhnya? Tentu saja tidak! …. Ia belum belajar berjalan, ia masih dituntun. Demikianlah halnya dengan segala sesuatu. Para mahasiswa pergi dan segala sesuatu berhenti. Yang paling cakap ditangkap, kepala susu dicedok—susu menjadi asam. Jika ‘komite’nya ditangkap segala sesuatu macet sampai komite baru dapat terbentuk. Dan siapa tahu komite macam apa yang akan terbentuk kemudian—mungkin sama sekali tidak seperti yang terdahulu. Yang pertama berkata begini, yang kedua mungkin berkata justru kebalikannya. Kontinuitas antara kemarin dan besok terputus, pengalaman masa lampau tidak menjadi pelajaran bagi masa depan. Dan kesemuanya ini adalah karena di kalangan orang banyak belum tertancap  akar-akar yang dalam; pekerjaan dilakukan bukan oleh seratus orang yang tolol, melainkan oleh selusin orang yang bijaksana. Selusin orang yang bijaksana dapat disapu sekali pukul, tetapi apabila organisasi itu meliputi orang banyak, maka tak seorang pun, bagaimanapun juga kerasnya dia berdaya upaya, akan mampu memusnahkan usaha kita” (hlm. 63).
Fakta-fakta itu dapat dilukiskan dengan tepat. Fakta-fakta itu memberikan gambaran yang agak baik tentang kerajinan-tanganisme kita. Tetapi kesimpulan-kesimpulannya baik dalam hal kebodohannya maupun kecerobohan politiknya adalah sepadan dengan Rabocaya Misl. Kesimpulan-kesimpulan itu merupakan puncak kebodohan, karena si penuls mencampuradukkan soal filsafat dan soal sosial-sejarah tentang “kedalaman” “akar-akar” gerakan dengan soal teknik dan keorganisasian cara terbaik melawan gendarme. Kesimpulan-kesinpulan itu merupakan puncak kecerobohan politik, karena si penulis, bukannya berpaling dari pemimpin-pemimpin yang jelek dan menghimbau kepada pemimpin-pemimpin yang baik, melainkan berpaling dari pemimpin-pemimpin pada umumnya dan emnghimbau kepada “orang banyak”. Ini sama dengan suatu percobaan untuk menyeret kita mundur secara organisasi sebagaimana ide untuk mengganti agitasi politik dengan terorisme yang merangsang menyeret kita mundur secara politik. Memang, saya sedang benar-benar megnalami embras de richesses*, dan tak tahu darimana saya mulai menguraikan kekusutan yang ditimbulkan oleh Swoboda itu. Untuk jelasnya, akan saya coba mulai dengan mengutip suatu contoh. Ambillah orang-orang Jerman. Saya harap, kalian tidak akan menyangkal bahwa organisasi mereka mencakup orang banyak, bahwa di Jerman semuanya berasal dari orang banyak, bahwa gerakan buruh di sana sudah belajar berjalan. Tetapi perhatikan bagaimana orang banyak yang berjuta-juta itu menilai “selusin” pemimpin politiknya yang sudah teruji, bagaimana mereka melekat erat-erat pada para pemimpinnya! Para anggota partai-partai musuh dalam parlemen sering mengolok-olok kaum sosialis dengan mengatakan: “Memang kalian orang-orang demokrat yang baik! Gerakan kalian adalah gerakan klas buruh dalam nama saja, dalam kenyataan sesungguhnya klik pemimpin-pemimpin itu juga yang selalu tampil. Bebel yang itu juga, Liebknecht yang itu juga, dari tahun ke tahun, dan itu terus berlangsung selama puluhan tahun. Wakil-wakil buruh kalian yang katanya dipilih itu lebih permanen daripada pejabat-pejabat yang diangkat oleh kaisar!” Tetapi orang-orang Jerman itu membalasnya hanya dengan senyum menghina usaha-usaha demagogik ini untuk mempertentangkan “orang banyak” dengan para “pemimpin”, untuk mengobarkan insting buruk dan ambisius pada orang banyak, dan untuk merampas gerakan dari kekohohan dan stabilitasnya dengan menggerogoti kepercayaan massa kepada “selusin orang bijaksana” mereka. Pikiran politik sudah cukup berkembang di kalangan orang-orang Jerman, dan mereka telah mengumpulkan cukup pengalaman politik untuk mengerti bahwa tanpa “selusin” pemimpin yang sudah teruji dan berbakat (dan orang-orang yang berbakat tidak lahir ratusan), terlatih secara professional, terdidik oleh pengalaman yang lama dan bekerja dalam keserasian yang sempurna, tidak ada klas dalam masyarakat modern yang dapat melakukan perjuangan dengan gigih. Orang-orang Jerman pun pernah mempunyai demagog-demagog dalam barisan mereka yang telah menyanjung “seratus orang tolol”, mengagungkan mereka di atas “selusin orang bijak”, memuji-muji “tinju berotot besar” dari massa, dan (seperti Most dan Hassellman) telah merangsang mereka melakukan aksi “revolusioner” yang sembrono dan menyebarkan ketidakpercayaan kepada para pemimpin yang teguh dan tabah. Hanya dengan berjuang terus menerus dan tak kenal damai melawan segala macam elemen demagogik di dalam gerakan sosialis, barulah sosialisme Jerman berhasil tumbuh dan menjadi kuat. Akan tetapi orang-orang kita yang sok pintar itu pada waktu sosial-demokrasi Rusia mengalami krisis yang seluruhnya disebabkan oleh tidak adanya cukup banyak pemimpin yang terlatih, maju dan berpengalaman guna memimpin massa yang bangkit secara spontan, berteriak dengan kedalaman si pandir: “Sungguh jelek apabila gerakan tidak berasal dari orang-orang lapisan bawah”!
“Suatu komite mahasiswa tidaklah berguna, ia tidak stabil!”. Benar sekali. Tetapi kesimpulan yang harus ditarik dari sini ialah bahwa kita harus mempunyai suatu komite kaum revolusioner professional dan tidaklah menjadi soal apakah seorang mahasiswa atau seorang buruh sanggup menjadi seorang revolusioner professional. Akan tetapi kesimpulan yang kalian tarik ialah bahwa gerakan buruh tidak boleh didorong dari luar! Dalam kenaifan politik kalian, kalian tidak melihat bahwa kalian sedang membantu kaum ekonomis kita dan memupuk kerajinan-tanganisme kita. Dengan jalan bagaimana, kalau saya boleh bertanya, para mahasiswa kita itu “mendorong” kaum buruh kita? Semata-mata dengan membawa kepada buruh keratan-keratan pengetahuan politik yang dimilikinya sendiri, remah-remah dari ide-ide sosialis yang telah berhasil diperolehnya (karena santapan rohani yang utama dari mahasiswa masa kini, yaitu “Marxisme legal”, hany dapat memberikan abese, hanya remah-remah pengetahuan). “Pendorongan dari luar” demikian itu belum pernah terlalu banyak; sebaliknya, hingga kini masih terlalu sedikit, keterlaluan sedikitnya dalam gerakan kita, karena kita terlalu tekun bekerja dengan mengurung diri; kita telah memuja terlalu amat membludak kepada “perjuangan ekonomi” elementer kaum “buruh melawan majikan dan pemerintah”. kita kaum revolusioner professional harus dan akan menjadikan pekerjaan kita melakukan “pendorongan” macam ini seratus kali lebih hebat daripada kita lakukan selama ini. Tetapi justru kenyataan bahwa kalian memilih kata-kata yang begitu hina seperti “pendorongan dari luar”—kata-kata yang tidak bisa tidak membangkitkan di kalangan kaum buruh (sekurang-kurangnya di kalangan kaum buruh yang sama belum berkembangnya seperti kalian sendiri) rasa tidak percaya kepada semua orang yang membawa kepada mereka pengetahuan politik dan pengalaman revolusioner dari luar, dan membangkitkan pada mereka nafsu naluriah untuk melawan semua orang itu—membuktikan bahwa kalian adalah demagog, dan demagog adalah musuh yang paling jahat klas buruh.
Ya, ya! Jangan cepat-cepat muali menjerit-jerit mengenai “cara-cara’ polemik saya yang “tidak secara sekawan”! Saya sesekali tidak bermaksud menyangsikan kemurnian maksud-maksud kalian. Seperti sudah saya katakan, orang dapat menjadi demagog semata-mata karena kenaifan politik. Tetapi sudah saya tunujukkan bahwa kalian telah merosot ke demagogi, dan saya tidak akan jemu-jemunya mengulangi bahwa demagog-demagog adalah musuh yang paling jahat klas buruh. Musuh yang paling jahat karena mereka mengobarkan insting-insting jelek pada orang banyak, karena buruh yang belum maju tak dapat mengenal musuh pada diri orang-orang yang menampilkan diri, dan kadang-kadang dengan ketulusan hati, sebagai sahabat-sahabatnya. Musuh-musuh yang terjahat karena dalam periode perpecahan dan kegoyangan, ketika gerakan kita baru saja mulai mengambil bentuk, tidak ada yang lebih mudah daripada menggunakan cara demagogik untuk menyesatkan orang banyak yang dapat menyadari kesalahnnya baru kemudian sesudah megnalami pengalaman yang paling pahit. Itulah sebabnya semboyan kini bagi sosial-demokrat Rusia haruslah: berjuang dengan tegas melawan Swoboda dan Raboceye Dyelo, yang kedua-duanya telah merosot ke tingkat demagogi (hal ini akan kita bahas secara lebih terperinci lagi di tempat lain*).
“Selusin orang bijaksana dapat diringkus lebih mudah daripada seratus orang tolol!” Kebenaran yang cemerlang ini (untuk mana seratus orang tolol akan selalu bertepuk tangan menyambut kalian) tampaknya jelas hanya karena justru di tengah-tengah perdebatan kalian telah melompat dari satu soal ke soal lain. Kalian mulai dengan bicara, dan terus bicara tentang “komite”, “organisasi” yang diringkus, dan sekarang kalian melompat ke soal “kedalaman” “akar-akar” gerakan. Tentu saja, kenyataannya ialah bahwa gerakan kita tak dapat diringkus justru karena ia mempeunyai ratusan  dan ratusan ribu akar yang mendalam di kalangan massa; tetapi soalnya kan sama sekali bukan itu. Mengenai “akar-akar yang dalam” itu, kita tak dapat “diringkus” sekarang pun, kendatipun segala kerajinan-tanganisme kita, namun kita semua, mengeluh, dan tidak bisa tidak mengeluh, karena diringkusnya “organisasi-organisasi”, dengan akibat musnahnya setiap kesinambungan gerakan. Tetapi karena kalian mengemukakan soal peringkusan organisasi dan tidak mau melepaskannya, maka saya tegaskan kepada kalian bahwa jauh lebih sulit meringkus selusin orang bijaksana daripada seratus orang tolol. Dan tesis ini akan saya pertahankan bagaimanapun juga kalian menghasut orang banyak supaya menentang saya karena “anti-demokratisme saya, dsb. Seperti sudah saya katakan berkali-kali bahwa dengan “rang-orang bijaksana”, dalam hubungan dengan organisasi, saya maksudkan orang-orang revolusioner professional, tak peduli apakah mereka itu terlatih dari kalangan para mahasiswa atau kaum buruh. Saya tegaskan: 1) bahwa tak ada gerakan revolusioner yang dapat bertahan tanpa suatu organisasi yang stabil dari pemimpin-pemimpin dan yang memelihara kesinambungan; 2) bahwa semakin luas massa yang secara spontan tertarik ke dalam perjuangan, yang merupakan dasar gerakan dan ikut serta di dalamnya, maka semakin mendesaklah kebutuhan akan organisasi demikian itu, dan semakin kokoh seharusnya organisasi ini (karena jauh lebih mudah bagi demagog-demagog untuk menyesatkan lapisan-lapisanmassa yang lebih terbelakang); 3) bahwa organisasi demikian itu harus terdiri terutama dari orang-orang yang secara professional melakukan aktivitas revolusioner; 4) bahwa di negara otokrasi, semakin kita membatasi keanggotaan organisasi demikian itu pada orang-orang yang secara professional melakukan aktivitas revolusioner dan yang secara professsional telah terlatih dalam seni berjuang melawan polisi politik, maka akan semakin sukarlah untuk “meringkus” organisasi demikian itu, dan 5) akan semakin besarlah jumlah orang baik dari klas buruh maupun dari klas-klas lainnya dalam masyarakat yang akan bisa ikut serta dalam gerakan dan bekerja aktif di dalamnya.
Saya persilakan kaum ekonomis, teroris dan “ekonomis-teroris”* kita membantah dalil-dalil ini. Pada saat ini saya hanya akan membahas dua hal terakhir. Soal mengenai apakah lebih mudah untuk meringkus “selusin orang bijaksana” atau “seratus orang tolol” pokoknya adalah soal yang telah kita kupas di atas, yaitu apakah mungkin mempunyai organisasi massal pada waktu diperluas konspirasi yang ketat. Kita tak akan dapat memberikan kepada suatu organisasi yang luas derajat konspirasi, yang tanpa itu mustahil ada stabilitas dan kesinambungan perjuangan melawan pemerintah. tetapi memuaskan semua fungsi konspirasi dalam tangan sesedikit mungkin orang revolusioner professional tidaklah berarti bahwa orang-orang revolusioner professional itu akan “berpikir untuk semuanya” dan bahwa orang banyak tidak akan ambil bagian aktif dalam gerakan. Sebaliknya, orang banyak akan menampilkan dari barisannya  semakin banyak orang revolusioner professional; karena mereka akan tahu bahwa tidaklah cukup beberapa mahasiswa dan beberapa orang buruh yang melakukan perjuangan ekonomi itu saja, berkumpul bersatu dan membentuk suatu “komite”, tetapi bahwa diperlukan waktu bertahun-tahun guna melatih diri untuk menjadi seorang revolusioner professional; orang banyak tidak akan “memikirkan” cara-cara kerajinan-tanganisme saja tetapi juga latihan itu. Sentralisasi fungsi-fungsi konspirasi organisasi sama sekali tidaklah berarti sentralisasi semua fungsi gerakan. Keikutsertaan aktif massa yang seluas-luasnya  dalam pers ilegal tidak akan berkurang karena “selusin” orang revolusioner professional mensentralisasi fungsi-fungsi konspirasi yang berkaitan dengan pekerjaan ini; sebaliknya, keikutsertaan itu akan meningkat sepuluh kali lipat. Dengan demikianlah, dan hanya demikianlah, kita akan menjamin bahwa pembacaan literatur ilegal, menulis untuk literatur ilegal itu, dan sampai pada batas tertentu penyebarannya pun, hampir tidak lagi merupakan pekerjaan konspirasi, karena polisi akan segera menyadari ketololan dan kemustahilan menggerakkan seluruh aparat pengadilan, dan pemerintahan untuk menyergap setiap eksemplar penerbitan yang disiarkan dalam jumlah ribuan. Hal ini tidak hanya berlaku bagi pers, tetapi juga bagi semua fungsi gerakan, bahkan bagi demonstrasi-demonstrasi. Keikutsertaan secara aktif dan luas massa tak akan menderita kerugian; tetapi sebaliknya, akan beruntung karena kenyataan bahwa “selusin” orang revolusioner yang berpengalaman, yang secara professional tidak kurang terlatihnya daripada polisi, akan mensentralisasi semua segi konspirasi pekerjaaan itu—menyusun surat-surat sebaran, menyusun rencana-rencana secara garis besar dan mengangkat badan-badan pemimpin untuk masing-masing distrik kota, untuk masing-masing distrik pabrik dan untuk masing-masing lembaga pendidikan, dsb. (saya tahu bahwa akan ada orang yang membantah pandangan-pandangan saya yang “tidak demokratis”, tetapi keberatan yang sama sekali tidak cerdik ini akan saya jawab selengkapnya nanti). Sentralisasi fungsi-fungsi yang paling konspiratif dalam sebuah organisasi kaum revolusioner taka akan mengurangi, tapi malah menambah luas dan mempertinggi mutu aktivitas sejumlah besar organisasi lainnya yang diperuntukkan bagi umum yang luas dan oleh karena itu selonggar mungkin dan sedapat-dapatnya tidak konspiratif, seperti serikat-serikat kaum buruh, lingkaran-lingkaran pendidikan sendiri buruh dan lingkaran-lingkaran untuk pembacaan literatur ilegal, lingkaran-lingkaran sosialis dan juga lingkaran-lingkaran demokratis di kalangan semua lapisan penduduk lainnya, dst, dst. Kita harus mempunyai lingkaran-lingkaran, serikat-serikat buruh dan organisasi sedemikian itu dimana-mana dalam jumlah sebanyak mungkin dan dengan fungsi yang sangat beraneka warna; tetapi sunguh nonsen dan membahayakan jika mencampuradukkan lingkaran-lingkaran tersebut dengan organisasi kaum revolusioner, jika menghapuskan garis pemisah di antara mereka, jika lebih memburamkan lagi pengertian massa yang sudah luar biasa kaburnya itu mengenai hal bahwa untuk “mengabdi” kepada gerakan massa kita harus mempunyai orang-orang yang khusus membaktikan diri sepenuh hati pada aktivitas-aktivitas sosial-demokratis, dan bahwa orang-orang itu harus melatih diri dengan sabar dan tekun menjadi orang-orang  revolusioner professional.
Ya, pengertian ini telah menjadi luar biasa kaburnya. Dosa kita yang terbesar mengenai organisasi ialah bahwa dengan kerajinan-tanganisme kita, kita telah memerosotkan prestise kaum revolusioner di Rusia. Seseorang yang lembek dan goyah dalam soal-soal teori, yang mempunyai pandangan picik, yang mengemukakan spontanitas massa sebagai dalih bagi kemlempemannya sendiri, yang lebih mirip seorang sekretaris buruh daripada mimbar rakyat, yang tidak sanggup mengajukan suatu rencana yang luas dan berani yang akan menimbulkan rasa hormat bahkan pada lawan-lawan pun, dan yang tak berpengalaman dan kaku dalam seni professionalnya sendiri—seni perjuangan melawan polisi politik—nah, orang demikian itu bukanlah seorang revolusioner melainkan seorang tukang kerajinan-tangan yang menyedihkan!
Hendaknya jangan ada seorang pekerja praktis yang merasa tersinggung karena kata-kata yang terus terang ini, karena mengenai latihan yang tak cukup, saya terapkan kata-kata itu pertama-tama dan terutama pada diri saya sendiri. Saya pernah bekerja di sebuah lingkaran83 yang mengajukan untuk dirinya sendiri tugas-tugas yang sangat luas, yang menyeluruh; dan kami semua, anggota-anggota lingkaran itu, merasa pedih, perih, karena menyadari bahwa kami ternyata adalah tukang kerajinan tangan pada saat sejarah tatkala kita semestinya dapat mengatakan, dengan menubah kata-kata seloka yan gterkenal: “Berilah kami sebuah organisasi kaum revolusioner, maka Rusia akan kami jungkir-balikkan!” Dan semakin sering saya teringat pada rasa malu yang membakar yang saya alami pada waktu itu, maka semakin pahitlah perasaan saya terhadap orang-orang sosial-demokrat gadungan yang khotbah-khotbahnya “menodai martabat seorang revolusioner”, yang tidak megnerti bahwa kita bukanlah membela pemerosotan seorang revolusioner ke tingkat  tukang kerajinan tangan, melainkan meningkatkan tukang-tukang kerajinan tangan itu ke taraf kaum revolusioner.
*  *  *



WASANA KATA
Sejarah sosial-demokrasi Rusia dapat dibagi dengan jelas dalam tiga periode:
Periode pertama meliputi kira-kira sepuluh tahun, kira-kira dari tahun 1884 sampai pada tahun 1894.  Ini adalah periode kelahiran dan konsolidasi teori dan program sosial-demokrasi. Jumlah pengikut aliran baru di Rusia dapat dihitung dengan jari. Sosial-demokrasi ada tanpa gerakan buruh; sebagai suatu partai politik ia megnalami proses perkembangan embrional.
Periode kedua mencakup tiga atau empat tahun—1894-1898. Dalam periode ini sosial-demokrasi lahir sebagai gerakan sosial, sebagai kebangkitan massa rakyat, sebagai partai politik. Ini adalah periode masa kanak-kanak dan masa remajanya. Dengan kecepatan bagaikan wabah menjalarlah di kalangan intelijensia suatu kegairahan umum untuk menentang Narodisme dan masuk ke kalangan buruh; suatu kegairahan umum di kalangan kaum buruh untuk aksi mogok. Gerakan itu memperoleh sukses-sukses maha besar. mayoritas terbesar para pemimpinnya adalah orang-orang yang masih muda sekali yang masih jauh di bawah “usia tiga puluh lima tahun” yang rupanya bagi Tuan N. Mikhailovski merupakan semacam garis batas yang wajar. Berhubung dengan kemudaan mereka, maka ternyatalah mereka tidak terlatih untuk pekerjaan praktis dan mereka turun panggung dengan sangat cepatnya. Tetapi dalam kebanyakan hal ruang lingkup pekerjaan mereka luas sekali. Banyak di antara mereka mulai berpikir secara revolusioner sebagai pengikut-pengikut Narodnaya Wolya. Hampir semua mereka dalam awal masa mudanya dengan gairah memuja-muja pahlawan teroris. Untuk membuang kesan-kesan yang mempesonakan dari tradisi-tradisi heroik ini diperlukan perjuangan, dan dibarengi dengan pemutusan hubungan dengan orang-orang yang bertekad bulat untuk tetap setia pada Narodnaya Wolya dan yang sangat dihormati oleh kaum sosial-demokrat yang masih muda itu. Perjuangan itu memaksa mereka belajar, membaca literatur ilegal dari berbagai macam  aliran dan dengan seksama mempelajari soal-soal Narodisme legal. Terlatih dalam perjuangan ini, kaum sosial-demokrat masuk gerakan buruh tanpa “barang sesaat  pun” melupakan baik teori Marxisme yang dengan terang menyinari jalan mereka maupun tugas menggulingkan otokrasi. Pembentukan Partai dalam musim semi tahun 1898 adalah tindakan yang paling menonjol dan bersamaan itu tindakan yang terakhir dari kaum sosial-demokrat dalam periode ini.
Periode ketiga, sebagaimana  telah kita lihat, dipersiapkan dalam tahun 1897 dan secara definitif mengganti periode yang kedua dalam tahun 1898 (1898- ?). ini adalah suatu periode perpecahan, keterpecahbelahan dan kebimbangan. Dalam masa keremajaan suara orang menjadi pecah. Demikian pula, dalam periode ini, suara sosial-demokrasi Rusia mulai pecah, suaranya mulai kedengaran sumbang—di satu pihak, dalam tulisan-tulisan Tuan Struwe dan Prokopowic, Bulgakov dan Berdyaev, dan di pihak lain, dalam tulsian-tulisan W. I –n  dan R. M, B. kricevski dan Martinov. Tetapi hanya para pemimpinlah yang berjalan lambat dengan susah payah sendiri-sendiri dan mundur; gerakan itu sendiri terus tumbuh, dan mju dengan langkah-langkah maha besar. Perjuangan proletar meluas merembet ke lapisan-lapisan baru kaum buruh, meluas ke seluruh Rusia dan bersamaan itu secara tak langsung mendorong kehidupan kembali semangat demokratis di kalangan mahasiswa dan di kalangan lapisan-lapisan penduduk lainnya. Akan tetapi tetapi kesadaran para pemimpin tidak memadai keluasan dan kekuatan kebangkitan yang spontan itu; di kalangan kaum sosial-demokrat berdominasi suatu tipe lain—tipe aktivis yang telah terdidik hampir hanya berdsarkan literatur “Marxis legal” semata-mata dan literatur ini semakin tidak cukup dengan spontanitas massa menurut kesedaran yang semakin tinggi dari para pemimpin. Para pemimpin itu ternyata tidak hanya terbelakang baik di bidang teori (“kebebasan mengkritik”) maupun di bidang praktek (“kerajinan-tanganisme”), tetapi juga mencoba membela keterbelakangan mereka itu dengan segala argumen yang bombastik. Sosial-demokratisme dimerosotkan ke tingkat trade-unionisme oleh kaum Brentanois dalam literatur legal, dan oleh kaum khwostis dalam literatur ilegal. Program Credo mulai dilaksanakan, terutama ketika “kerajinan-tanganisme” kaaum sosial-demokrat menyebabkan hidupnya kembali kecenderungan-kecenderungan revolusioner non-sosial-demokratis.
Dan jika pembaca mencerca saya karena telah membicarakan tentang Raboceye Dyelo secara terlampau mendetail, maka akan saya jwab: Raboceye Dyelo telah memperoleh arti “sejarah” karena ia yang paling menyolok mencerminkan “jiwa” periode yang ketiga* ini. Bukanlah R. M. yang konsekwen itu melainkan orang-orang sebangsa Kricevski dan Martinov yang angin-anginan yang dapat secara tepat mengungkapkan perpecahan dan kebimbangan, kesediaan memberikan konsesi-konsesi kepada “kritik”, kepada “ekonomisme” dan kepada terorisme. Bukanlah sikap memandang rendah yang luhur terhadap pekerjaan praktis yang diperlihatkan oleh seorang pemuja “keabsolutan” yang merupakan sifat khas periode ini, melainkan justru pemaduan praktisisme remeh-temeh dengan sikap acuh tak acuh sama sekali terhadap teori. Pahlawan-pahlawan periode ini lebih banyak melakukan pemvulgeran “kata-kata besar” daripada menolaknya mentah-mentah; sosialisme ilmiah tidak lagi menjadi teori revolusioner yang utuh tetapi menjadi semacam gado-gado yang dengan “bebas” diencerkan dengan isi setiap buku pelajaran Jerman yang baru; semboyan “perjuangan klas” tidak mendorong mereka maju ke aktivitas yang semakin luas dan semakin giat, tetapi menjadi obat penenang, karena “perjuangan ekonomi berhubungan secara tak terpisahkan dengan perjuangan politik”; ide tentang partai tidak menjadi seruan untuk membentuk organisasi militan kaum revolusioner, tetapi digunakan untuk membenarkan sesuatu macam “birokrasi revolusioner” dan permainan dengan bentuk-bentuk “demokrasi” secara kekanak-kanakan.
Bilamana periode ketiga ini akan berakhir dan bilamana akan mulai periode keempat tak tahulah kita (bagaimanapun juga ia sudah dialamatkan oleh banyak gelagat).  Kita sedang  beralih dari bidang sejarah ke bidang masa kini dan sebagian masa depan. Tetapi kita percaya dengan teguh bahwa periode keempat akan membawa pengkonsolidasian Marxisme militan, bahwa sosial-demokrasi Rusia akan keluar dari krisis dan menjadi lebih kuat serta lebih dewasa, bahwa barisan belakang oportunis akan “diganti” oleh barisan pelopor sejati dari klas yang paling revolusioner.
Dalam artian menyerukan “pengantian” demikian itu dan menyimpulkan semua yang telah diuraikan di atas, maka atas pertanyaan: Apa yang harus dikerjakan ? kita dapat memberi jawaban singkat berikut:
Likwidasi Periode Ketiga.
*   *  *



USAHA MEMPERSATUKAN ISKRA DENGAN RABOCEYE DYELO
Sekarang kita tinggal menguraikan taktik yang diambil dan dijalankan dengan konsekwen oleh Iskra dalam hubungan-hubungan keorganisasiannya dengan Raboceye Dyelo. Taktik ini sudah dinyatakan selengkapnya dalam Iskra No. 1, dalam sebuah artikel “Perpecahan Dalam Perserikatan Kaum Sosial-Demokrat Rusia Di Luar Negeri”*. Sejak semula kita berpendirian bahwa  Perserikatan Kaum Sosial-Demokrat Di Luar Negeri yang sebenarnya, yang dalam kongres pertama Partai kita diakui sebagai wakilnya di luar negeri, telah pecah menjadi dua organisasi; bahwa soal perwakilan Partai tetap merupakan suatu soal yang masih terkatung-katung, karena baru diselesaikan untuk sementara waktu dan bersyarat dengan terpilihnya dalam Kongres Internasional di Paris dua anggota dari Rusia untuk Biro Sosialis Internasional, seorang dari masing-masing golongan dari Perserikatan yang sudah pecah itu. Kita telah menyatakan bahwa pada hakekatnya Raboceye Dyelo salah; secara prinsip kita dengan tegas memihak grup Pembebasan Kerja, tetapi bersamaan itu kita menolak mempersoalkan detail-detail perepecahan itu dan mencatat jasa-jasa Perserikatan di bidang pekerjaan praktis semata-mata*.
Karena itu, sikap kita, sampai pada batas tertentu, adalah sikap menunggu; kita memberi konsesi kepada pendapat-pendapat yang berdominasi di kalangan mayoritas kaum sosial-demokrat Rusia bahwa lawan-lawan yang paling gigih  ekonomisme dapat  bekerja bergandengan tangan dengan Perserikatan karena Perserikatan itu telah sering menyatakan persetujuannya secara prinsip dengan grup Pembebasan Kerja, tanpa, rupanya, menuntut kebebasan mengenai soal-soal teori dan taktik yang fundamental. Kebenaran sikap kita secara tak langsung dibuktikan oleh kenyataan bahwa hampir berbarengan dengan terbitnya nomor pertama Iskra (Desember 1900) tiga anggota yang memisahkan diri dari Perserikatan dan yang membentuk apa yang dinamakan “Grup Pemrakarsa” dan menawarkan jasa-jasa mereka: (1) kepada seksi luar negeri dari organisasi Iskra, (2) kepada Organisasi Sotsial-Demokrat Revolusioner, dan (3) kepada Perserikatan, sebagai perantara dalam perundingan-perundingan untuk perdamaian. Dua organisasi yang pertama segera  memaklumkan persetujuan mereka, yang ketigamenolak. Benar, ketika seorang pembicara membentangkan fakta-fakta ini dalam Kongres “Persatuan” tahun yang lalu, seorang anggota Pengurus Perserikatan menyatakan bahwa penolakan mereka atas tawaran itu  semata-mata karena kenyataan bahwa Perserikatan tidak puas dengan komposisi Grup Pemrakarsa itu. Akan tetapi sementara saya menganggap sebagai kewajiban saya mengutip penjelasan ini, saya tidak bisa untuk tidak menyatakan pendapat bahwa penjelasan ini tidak memuaskan: mengetahui bahwa dua organisasi telah sepakat untuk mengadakan perundingan-perundingan, Perserikatan semestinya dapat mendekati mereka melalui perantara lain atau secara langsung.
Dalam musim semi tahun 1901 baik Zarya (No. 1, April) maupun Iskra (No. 4, Mei) mengadakan polemik terbuka dengan Raboceye Dyelo98.  Iskra terutama menyerang “pembelokan sejarah” yang dilakukan oleh Raboceye Dyelo yang, dalam lampirannya pada bulan April, yaitu sesudah peristiwa-peristiwa musim semi, menampakkan kegoyangan mengenai keranjingan pada teror dan seruan-seruan “berdarah”. Walaupun ada polemik-polemik itu, Perserikatan setuju memulai lagi perundingan-perundingan untuk perdamaian melalui perantaraan suatu grup “pendamai” baru. Dalam bulan Juni berlangsung konferensipendahuluan dari para wakil ketiga organisasi tersebut di atas dan disusunlah suatu rancangan perjanjian atas dasar “persetujuan mengenai prinsip-prinsip” yang sangat terperinci yang dimuat oleh Perserikatan dalam brosur Dua Kongres dan oleh Liga dalam brosur Dokumen-Dokumen Kongres “Persatuan”.
Isi persetujuan mengenai prinsip-prinsip ini (atau sebagaimana lebih sering dinamakan, Resolusi-Resolusi Konferensi Juni) menunjukkan dengan jelas bahwa kita telah mengajukan sebagai syarat mutlak persatuan ialah penolakan yang setegas-tegasnya terhadap dan segala manifestasi oportunisme pada umumnya dan oportunisme Rusia pada khususnya. Pasal 1 berbunyi: “Kami menolak setiap usaha untuk memasukkan oportunisme ke dalam perjuangan klas proletariat—usaha-usaha yang telah diungkapkan dalam apa yang dinamakan ekonomisme, Bersnsteinisme, Millerandisme, dsbnya.”. “bidang aktivitas sosial-demokrasi  meliputi…… perjuangan ideologi menentang semua lawan Marxisme revolusioner” (4, c); “Di setiap bidang aktivitas keorganisasian dan agitasi sosial-demokrasi tidak boleh barang sesaatpun lupa bahwa tugas proletariat Rusia yang terdekat ialah—menggulingkan otokrasi” (5, a); “…..agitasi, tidak hanya atas dasar perjuangan sehari-hari antara kerja upahan dengan kapital” (5, b); “… tidak mengakui … suatu tingkat perjuangan ekonomi semata-mata dan tingkat perjuangan untuk tuntutan politik sebagian-sebagian” (5, c); “….kami menganggap penting bagi gerakan untuk mengkritik kecenderungan-kecenderungan yang mengangkat keelementeran… dan kepicikan bentuk-bentuk rendah gerakan sebagai suatu prinsip” (5, d).  Bahkan orang luar sama sekalipun, yang telah membaca resolusi-resolusi itu dengan agak teliti,  akan melihat dari perumusannya saja bahwa resolusi-resolusi itu ditujukan kepada orang-orang yang menjadi oportunis dan “ekonomis” yang, sekalipun untuk sesaat, melupakan tugas menggulingkan otokrasi, yang mengakui teori tingkat-tingkat, yang telah mengangkat kepicikan menjadi suatu prinsip, dsb. Dan siapapun juga yang sedikit saja mengetahui polemik-polemik yang dilakukan oleh grup Pembebasan Kerja, Zarya dan Iskra terhadap Raboceye Dyelo, sesaatpun tidak dapat menyangsikan bahwa resolusi-resolusi itu, pasal demi pasal, menolak justru kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan Raboceye Dyelo. Karena itu, ketika salah seorang anggota Perserikatan menyatakan dalam Kongres “Persatuan” bahwa artikel-artikel dalam Raboceye Dyelo No. 10 didorong bukan oleh “pembelokan sejarah” baru pada pihak Perserikatan, melainkan oleh “keabstrakan” yang keterlaluan dari resolusi itu*, maka hal ini sudah sepantasnyalah ditertawakan oleh salah seorang pembicara. Resolusi-resolusi itu bukan hanya tidak abstrak, katanya, tetapi bahkan luar biasa konkritnya; membaca resolusi-resolusi itu sepintas kilas saja sudahlah cukup untuk mengetahui bahwa resolusi-resolusi tersebut dimaksudkan untuk “menangkap” seseorang.

Pernyataan ini menjadi sebab terjadinya episode yang khas dalam kongres itu. Di satu pihak , B. Kricevsky segera mencekam kata “menangkap” dengan mengira ini adalah selip lidah  yang menyingkapkan maksud-maksud jahat kita (“memasang perangkap”) dan dengan penuh perasaan berseru: “Siapakah yang hendak mereka tangkap, siapa gerangan?” “Ya siapakah sesungguhnya?” tanya Plekhanov dengan ironis . “Saya akan bantu kawan Plekhanov yang kurang pandai menebak”, jawab B Kricevsky. “Akan saya terangkan kepadanya bahwa yang mau ditangkap ialah dewan redaksi Roboceye Dyelo(ruang sidang riuh gelak tawa terbahak-bahak ).”Tetapi kami tidak membiarkan diri kami tertangkap !(Komentar dari kiri : semakin celaka bagi kalian!”). Di pihak lain seseorang anggota dari group Borba (suatu grup pendamai ), dalam menentang amandemen-amandemen Perserikatan pada resolusi-resolusi itu dan dalam keinginannya untuk membela pembicara kita , menyatakan bahwa rupanya kita kata kata “menangkap “ itu terlontar secara tidak sengaja dalam panas-panasnya polemik.
Dari pihak saya, saya berpendapat bahwa “pembelaan” demikian itu bagi pembicara yang menggunakan kata-kata yang sedang di bahas itu tidak akan menyenangkan. Saya berpendapat kata-kata “menangkap seseorang” adalah “kata-kata yang di ucapkan dengan kelakar tetapi yang dipikirkan dengan serius”: kita selalu menuduh Raboceye Dyelo tidak teguh , bimbang dan karena itu, tentu saja, kita harus berusaha menangkapnya  untuk menghentikan kebimbangannya ini. Sedikit pun tak ada terbayang maksud jahat dalam hal ini, karena soalnya mengenai ketidakteguhan dalam prinsip. Dan kita berhasil “menangkap” Perserikatan secara kawan* sedemikian rupa sehingga B.Kricevsky sendiri dan seorang anggota lagi dari Pengurus Perserikatan menandatangani resolusi-resolusi Juni.
Artikel-artikel dalam Raboceye Dyelo  No.10 (kawan-kawan kita melihat nomor ini untuk pertama kali ketika mereka sampai di kongres, beberapa hari sebelum sidang-sidang di mulai) , menunjukkan dengan jelas bahwa suatu pembelokan baru telah terjadi dalam Perserikatan dalam masa antara musim panas dan musim rontok: kaum ekonomis telah unggul lagi , dan dewan redaksi yang berubah menurut kemana “angin” berembus, mulai membela lagi kaum “Bernsteinis yang paling karatan”dan “kebebasan mengkritik”, membela “spontanitas” dan melalui mulut Martinov, mengkhotbakan “teori membatasi” lingkungan pengaruh politik kita (katanya dengan maksud membuat pengaruh ini menjadi lebih rumit) . Sekali lagi pendapat Pavrus yang jitu bahwa sulit menangkap seorang oportunis dengan suatu rumus, terbukti benar. Seorang oportunis dengan mudah menyetujui sembarang rumus dan semudah itu pula meninggalkannya, karena oportunisme itu justru ketiadaan prinsip-prinsip yang pasti dan teguh.  Hari ini kaum oportunis menolak segala usaha memasukkan oportunisme, menolak segala kepicikan, dengan khidmat berjanji “tak akan  barang sesaatpun melupakan tugas menggulingkan otokrasi’, melakukan “agitasi tidak hanya atas dasar perjuangan sehari-hari antara kerja upahan dengan kapital”, dst, dst. Tetapi esoknya mereka mengubah bentuk pernyataan mereka dan kembali pada muslihat lama mereka dengan dalih membela spontanitas dan gerak majunya perjuangan sehari-hari yang boyak, menyanjung-nyanjung tuntutan-tuntutan yang menjanjikan hasil-hasil yang nyata berwujud, dsbnya. Dengan terus menegaskan bahwa dalam artikel-artikel dalam No. 10 “Perserikatan baik di masa lalu maupun sekarang tidak melihat sesuatu penyimpangan secara bid’ah prinsip-prinsip umum rncangan yang diterima dalam konferensi” (Dua Kongres, hlm.26), maka Perserikatan hanyalah memperlihatkan tidak adanya sama sekali kemampuan atau keengganan untuk memahami hakekat perbedaan-perbedaan pendapat.    
Sesudah keluarnya Raboceye Dyelo No. 10, kita hanya dapat melakukan satu usaha saja: membuka diskusi umum guna memastikan apakah semua anggota Perserikatan setuju dengan artikel-artikel ini dan dengan dewan redaksinya. Perserikatan teristimewa tidak senang dengan kita karena hal ini dan menuduh kita berusaha menabur benih perpecahan dalam Perserikatan, turut campur dalam urusan orang lain, dsb. Tuduhan-tuduhan ini terang tidak beralasan karena dengan dewan redaksi pilihan yang “berputar haluan” ke mana saja angin berembus, bagaimanapun lemahnya angin ini, segala-galanya bergantung justru pada arah angin, dan kita tentukan arah itu dalam sidang-sidang tertutup dimana tak seorang pun hadir kecuali anggota-anggota organisasi-organisasi yang berniat bersatu. Amandemen-amandemen pada resolusi-resolusi Juni yang diajukan atas nama perserikatan telah melenyapkan bayangan terakhir harapan tercapainya kata sepakat. Amandemen-amandemen itu merupakan bukti dokumenter pembelokan baru ke ekonomisme dan kenyataan bahwa mayoritas anggota Perserikatan sependapat dengan Raboceye Dyelo No. 10. Diajukan supaya kata-kata “apa yang dinamakan ekonomisme” dicoret dari kaitannya dengan manifestasi-manifestasi oportunisme (dengan dalih “arti” empat kata ini “samar-samar”—tetapi sekiranya demikian motifnya, maka konsekwensinya adalah orang harus lebih tepat mendefinisi hakekat kesalahan yang sudah meluas), dan mencoret “Millerandisme” (meskipun B. Kricevski membelanya dalam Raboceye Dyelo No. 2-3, hlm. 83-84) dan lebih terang-terangan lagi dalam Vorwarts*. Walaupun kenyataan bahwa resolusi-resolusi Juni itu dengan tegas menunjukkan bahwa tugas sosial-demokrasi adalah “memimpin setiap manifestasi perjuangan proletariat menentang segala bentuk penindasan politik, ekonomi dan sosial”, dengan demikian menuntut adanya keberencanaan dan persatuan dalam semua manifestasi perjuangan ini. Perserikatan menambah lagi kata-kata yang sama sekali tidak perlu yaitu bahwa “perjuangan ekonomi merupakan pendorong yang perkasa bagi gerakan massa” (dengan sendirinya, kata-kata ini tak dapat dibantah, tetapi dengan adanya ekonomisme yang sempit, ini tidak bisa tidak memberi alasan untuk interpretasi yang keliru). Selain itu, bahkan penyempitan “politik” secara langsung dimasukkan ke dalam resolusi-resolusi Juni, baik dengan dicoretnya kata-kata “barang sesaat pun” (tidak melupakan tujuan menggulingkan otokrasi) maupun dengan ditambahkannya kata-kata “perjuangan ekonomi merupakan jalan yang paling luas dapat digunakan untuk menarik massa ke dalam perjuangan politik yang aktif”. Tentu saja sesudah dimasukkannya amandemen-amandemen demikian itu semua pembicara dari pihak kita, satu demi satu, menolak berbicara, menganggap sama-sekali tidak ada gunanya meneruskan perundingan-perundingandengan orang-orang yang membelok lagi ke ekonomisme dan yang berusaha menjamin bagi diri mereka sendiri kemerdekaan untuk bimbang.
“Justru dipertahankannya wajah bebas dan otonomi Raboceye Dyelo yang dianggap oleh Perserikatan sebagai sine qua non* bagi kekokohan persetujuan kita yang akan datang, yang dipandang oleh Iskra sebagai batu penghalang bagi persetujuan” (Dua Kongres, hlm. 250. Ini sangat tidak tepat. Kita tidak pernah melakukan makar menentang otonomi* Raboceye Dyelo. Kita memang mutlak menolak mengakui kebebasan wajahnya, jika dengan “wajah bebas’ itu dimaksudkan kebebasan mengenai soal-soal prinsip yang bertalian dengan teori dan taktik: Resolusi-resolusi Juni memang secara mutlak menolak mengakui kebebasan wajah demikian itu karena, dalam praktek, “wajah bebas” demikian itu selalu berarti, sebagaimana telah kita tunjukkan, segala macam kebimbangan yang memupuk perpecahan yang berdominasi di kalangan kita dan yang tak dapat dibiarkan dilihat dari segi Partai. Dengan artikel-artikel dalam No. 10 dan dengan “amandemen-amandemen” itu Raboceye Dyelo jelas memperlihatkan keinginannya mempertahankan justru kebebasan wajah semacam ini, dan keinginan yang demikian itu tentu saja dan tak terelakkan membawa perpecahan dan pernyataan perang. Tetapi kita semua bersedia mengakui “wajah bebas” dari Raboceye Dyelo dalam arti bahwa ia harus memusatkan diri pada fungsi-fungsi ini secara tepat dengan sendirinya meminta: 1) majalah keilmuan, 2) surat kabar politik, dan 3) kumpulan artikel yang populer, dan brosur-brosur yang populer. Hanya dengan menyetujui pembagian fungsi yang demikianlah Raboceye Dyelo akan membuktikan bahwa ia dengan tulus hati ingin meninggalkan sekalidan selama-lamanya kesalahan-kesalahannya yang menjadi sasaran resolusi-resolusi Juni. Hanya pembagian fungsi yang demikianlah yang akan melenyapkan segala kemungkinan perselisihan dan secara efektif akan menjamin persetujuan yang kokoh yang bersamaan itu akan menjadi dasar bagi kebangkitan baru dan sukses-sukses baru gerakan kita.
Sekarang tak ada sosial-demokrat Rusia satu pun yang dapat menyangsikan lagi bahwa perpecahan yang definitif antara kecenderungan revolusioner dengan kecenderungan oportunis ditimbulkan bukan oleh sesuatu keadaan “keorganisasian”, melainkan oleh keinginan kaum oportunis untuk mengkonsolidasi wajah bebas oportunisme dan untuk terus menimbulkan kekusutan pikiran dengan uraian-uraian panjang lebar orang-orang sebangsa Kricevski dan Martinov.
-------  *    *   *  ----------






Sosialisme dan Agama

Vladimir Lenin (1905) 

Masyarakat yang ada saat ini sepenuhnya didasarkan atas eksploitasi yang dilakukan oleh sebuah minoritas kecil penduduk, yaitu kelas tuan tanah dan kaum kapitalis, terhadap masyarakat luas yang terdiri atas kelas pekerja. Ini adalah sebuah masyarakat perbudakan, karena para pekerja yang "bebas", yang sepanjang hidupnya bekerja untuk kaum kapitalis, hanya "diberi hak" sebatas sarana subsistensinya. Hal ini dilakukan kaum kapitalis guna keamanan dan keberlangsungan perbudakan kapitalis.
Tanpa dapat dielakkan, penindasan ekonomi terhadap para pekerja membangkitkan dan mendorong setiap bentuk penindasan politik dan penistaan terhadap masyarakat, menggelapkan dan mempersuram kehidupan spiritual dan moral massa. Para pekerja bisa mengamankan lebih banyak atau lebih sedikit kemerdekaan politik untuk memperjuangkan emansipasi ekonomi mereka, namun tak secuil pun kemerdekaan yang akan bisa membebaskan mereka dari kemiskinan, pengangguran, dan penindasan sampai kekuasaan dari kapital ditumbangkan. Agama merupakan salah satu bentuk penindasan spiritual yang dimanapun ia berada, teramat membebani masyarakat, teramat membebani dengan kebiasaan mengabdi kepada orang lain, dengan keinginan dan isolasi. Impotensi kelas tertindas melawan eksploitatornya membangkitkan keyakinan kepada Tuhan, jin-jin, keajaiban serta jang sedjenisnya, sebagaimana ia dengan tak dapat disangkal membangkitkan kepercayaan atas adanya kehidupan yang lebih baik setelah kematian. Mereka yang hidup dan bekerja keras dalam keinginan, seluruh hidup mereka diajari oleh agama untuk menjadi patuh dan sopan ketika di sini di atas bumi dan menikmati harapan akan ganjaran-ganjaran surgawi. Tapi bagi mereka yang mengabdikan dirinya pada orang lain diajarkan oleh agama untuk mempraktekkan karitas selama ada di dunia, sehingga menawarkan jalan yang mudah bagi mereka untuk membenarkan seluruh keberadaannya sebagai penghisap dan menjual diri mereka sendiri dengaan tiket murah untuk menuju surga. Agama merupakan candu bagi masyarakat. Agama merupakan suatu minuman keras spiritual, di mana budak-budak kapital menenggelamkan bayangan manusianya dan tuntutan mereka untuk hidup yang sedikit banyak berguna untuk manusia.
Tetapi seorang budak yang menjadi sadar akan perbudakannya dan bangkit untuk memperjuangkan emansipasinya ternyata sudah setengah berhenti sebagai budak. Para buruh modern yang berkesadaran-kelas, digunakan oleh industri pabrik skala besar dan diperjelas oleh kehidupan perkotaan yang merendahkan kedudukan di samping prasangka-prasangka religius, meninggalkan surga kepada parra pastur dan borjuis fanatik, dan mencoba meraih kehidupan yang lebih baik untuk dirinya sendiri di atas bumi ini. Proletariat sekarang ini berpihak pada sosialisme, yang mencatat pengetahuan dalam perang melawan kabut agama, dan membebaskan para pekerja dari keyakinan terhadap kehidupan sesudah mati dengan mempersatukan mereka bersama guna memperjuangkan masa sekarang untuk kehidupan yang lebih baik di atas bumi ini.
Agama harus dinyatakan sebagai urusan pribadi. Dalam kata-kata inilah kaum sosialis biasa menyatakan sikapnya terhadap agama. Tetapi makna dari kata-kata ini harus dijelaskan secara akurat untuk mencegah adanya kesalahpahaman apapun. Kita minta agar agama dipahami sebagai sebuah persoalan pribadi, sepanjang seperti yang diperhatikan oleh negara. Namun sama sekali bukan berarti kita bisa memikirkan agama sepanjang seperti yang diperhatikan oleh Partai. Sudah seharusnya agama tidak menjadi perhatian negara, dan masyarakat religius seharusnya tidak berhubungan dengan otoritas pemerintahan. Setiap orang sudah seharusnya bebas mutlak menentukan agama apa yang dianutnya, atau bahkan tanpa agama sekalipun, yaitu, menjadi seorang atheis, dimana bagi kaum sosialis, sebagai sebuah aturan. Diskriminasi diantara para warga sehubungan dengan keyakinan agamanya sama sekali tidak dapat ditolerir. Bahkan untuk sekedar penyebutan agama seseorang di dalam dokumen resmi tanpa ragu lagi mesti dibatasi. Tak ada subsidi yang harus diberikan untuk memapankan gereja, negara juga tidak diperbolehkan didirikan untuk masyarakat religius dan gerejawi. Hal-hal ini harus secara absolut menjadi perkumpulan bebas orang-orang yang berpikiran begitu, asosiasi yang independen dari negara. Hanya pemenuhan seutuhnya dari tuntutan ini yang dapat mengakhiri masa lalu yang memalukan dan keparat, saat gereja hidup dalam ketergantungan feodal pada negara, dan rakyat Rusia hidup dalam ketergantungan feodal pada gereja yang mapan, ketika di jaman pertengahan, hkum-hukum inquisisi (yang hingga hari ini masih mendekam dalam hukum-hukum pidana dan pada kitab undang-undang kita) ada dan diterapkan, menyiksa banyak orang untuk keyakinan maupun ketidakyakinannya, memperkosa hati nurani orang-orang, dan menggabungkan pemerintah yang enak dan pendapatan dari pemerintah, dengan dispensasi ini dan itu yang membiuskan, oleh lembaga gereja. Pemisahan yang tegas antara lembaga Negara dan Gereja adalah apa yang dituntut proletariat sosialis mengenai negara modern dan gereja modern.
Revolusi Rusia harus memberlakukan tuntutan ini sebagai sebuah komponen yang diperlukann untuk kemerdekaan politik. Dalam hal ini, revolusi Rusia berada dalam sebuah posisi yang menyenangkan, karena ofisialisme yang menjijikkan dari otokrasi feodal polisi berkuda telah menimbulkan ketidakpuasan, keresahan, dan kemarahann bahkan di antara para pendeta. Serendah-rendahnya dan sedungu-dungunya pendeta Orthodoks Rusia, mereka pun sekarang telah dibangunkan oleh guntur keruntuhan tatanan abad pertengahan yang kuno di Rusia. Bahkan mereka yang bergabung dalam tuntutan untuk kebebasan, memprotes praktek-praktek birokratik dan ofisialisme, hal memata-matai polisiyang sudah ditetapkan sebagai "pelayan Tuhan". Kita kaum sosialis harus memberikan dukungan kita pada gerakan ini, mendukung tuntutan para pendeta yang jujur dan tulus hati menuju ke tujuan mereka, membuat mereka meyakini kata-kata mereka tentang kebebasan, menuntut bahwa mereka harus memutuskan semua hubungan antara lembaga keagamaan dan kepolisian. Seperti juga bagi Anda yang tulus hati, di tiap kasus Anda harus mempertahankan pemisahan antara Gereja dengan Negara dan sekolah dengan Agama, sepanjang agama sudah dinyatakan secara tuntas dan menyeluruh sebagai urusan pribadi. Atau Anda tidak menerima tuntutan-tuntutan konsisten tentang kebebasan ini, dalam kasus dimana Anda tetap terpikat dengan tradisi inkuisisi, dalam kasus dimana Anda tetap berpegang teguh dengan kerja pemerintahan yang enak dan pendapatan dari pemerintah, dalam kasus dimana Anda tidak percaya terhadap kekuatan spiritual dari senjatamu dan melanjutkan untuk mengambil suap dari negara. Dan dalam kasus itulah para pekerja berkesadaran-kelas di seluruh Rusia menyatakan perang tanpa ampun terhadap Anda.
Sepanjang yang diperhatikan kaum sosialis proletariat, agama bukanlah sebuah persoalan pribadi. Partai kita adalah sebuah asosiasi dari para pejuang maju yang berkesadaran kelas, yang bertujuan untuk emansipasi kelas pekerja. Sebuah asosiasi seperti itu tidak dapat dan tidak seharusnya mengabaikan adanya kekurangan kesadaran- kelas, ketidaktahuan atau obscurantisme (isme kekaburan, ketidakjelasan) dalam bentuk keyakinan-keyakinan agama. Kita menuntut pembinasaan sepenuhnya terhadap Gereja dan dengannya mampu menerangi kabut religius yang begitu ideologis dan dengan sendirinya senjata ideologis, dengan sarana pers kita dan melalui kata dari mulut. Namun kita mendirikan asosiasi kita, Partai Buruh Sosial-Demokrat Rusia, tepatnya untuk sebuah perjuangan melawan setiap agama yang menina bobokan para pekerja. Dan bagi kita perjuangan ideologi bukan sebuah urusan pribadi, namun persoalan seluruh Partai, seluruh proletariat.
Jika memang demikian, mengapa kita tidak menyatakan dalam Program kita bahwa kita adalah atheis? Mengapa kita tidak melarang orang-orang Kristen dan para penganut agama Tuhan lainnya untuk bergabung dalam partai kita?
Jawaban terhadap pertanyaan ini akan memberikan penjelasan tentang perbedaan yang cukup penting dalah hal persoalan agama yang ditampilkan oleh para demokrat borjuis dan kaum Sosial-Demokrat.
Program kita keseluruhannya berdasar pada cara pandang yang ilmiah, dan lebih jauh materialistik. Oleh karenanya, sebuah penjelasan mengenai program kita secara amat perlu haruslah memasukkan sebuah penjelasan tentang akar-akar historis dan ekonomis yang sesungguhnya dari kabut agama. Propaganda kita perlu memasukkan propaganda tentang atheisme; publikasi literatur ilmiah yang sesuai – dimana pemerintah feodal otokratis hingga saat ini telah melarang dan menyiksa – yang pada saat ini harus membentuk satu bidang dari kerja partai kita. Kita sekarang mungkin harus mengikuti nasehat yang diberikan Engels kepada kaum Sosialis Jerman: menterjemahkan dan menyebarkan literatur intelektual Pencerahan Perancis abad ke-18 dan kaum atheis.
Namun bagaimanapun juga kita tidak boleh dan tidak patut untuk jatuh dalam kesalahan menempatkan persoalan agama ke dalam sebuah abstrak, kebiasaan jang idealistik, sebagai sebuah masalah "intelektual" yang tak berhubungan dengan perjuangan kelas, seperti yang tidak jarang dilakukan oleh kaum demokrat-radikal yang ada di antara kaum borjuis. Tentulah bodoh untuk berpikir bahwa, dalam sebuah masyarakat yang berdasar pada penindasan tanpa akhir dan merendahkan massa pekerja, prasangka-prasangka agama bisa disingkirkan hanya melalui metode propaganda melulu. Inilah kesempitan cara berpikir borjuis yang lupa bahwa beban agama yanng memberati kehidupann manusia sebenarnya tak lebih adalah sebuah produk dan refleksi beban ekonomi yang ada di dalam masyarakat. Tak satupun dari famplet khotbah, berabapun jumlahnya, dapat memberi pencerahan pada kaum proletariat, jika ia tidak dicerahkan dengan perjuangannya sendiri melawan kekuatan gelap dari kapitalisme. Persatuan dalam perjuangan revolusioner yang sesungguhnya dari kelas kaum tertindas untuk menciptakan sebuah sorgaloka di bumi, lebih penting bagi kita ketimbang kesatuan opini proletariat di taman firdaus surga.
Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kita tidak dan tidak akan menyatakan atheisme dalam program kita, itulah mengapa kita tidak akan dan tidak akan melarang kaum proletariat yang tetap memelihara sisa-sisa prasangka lama untuk menggabungkan diri mereka dengan Partai kita. Kita akan selalu mengkhotbahkan cara pandang ilmiah, dan hal itu essensial bagi kita untuk memerangi ketidakkonsistenan dari berbagai aliran "Nasrani". Namun bukan berarti bahwa pada akhirnya persoalan agama akan dikembangkan menjadi persoalan utama, sementara hal itu sudah tidak dipersoalkan lagi, atau bukan pula berarti bahwa kita akan membiarkan semua kekuatan dari perjuangan ekonomi dan politik revolusioner yang sesungguhnya untuk dipilah-pilah mengikuti opini tingkat ketiga ataupun ide-ide yang tidak masuk akal. Karena hal ini akan segera kehilangan semua arti penting politisnya, segera akan disapubersih sebagai sampah oleh perkembangan ekonomi.
Dimanapun kaum borjuis reaksioner hanya memperhatikan dirinya sendiri, dan sekarang sudah mulai memperhatikan dirinya di Rusia, dengan menggerakkan perselisihan agama – karenanya dalam rangka membelokkan perhatian massa dari problem-problem ekonomi dan politik yang demikian penting dan fundamental, pada saat ini diselesaikan dalam praktek oleh semua proletariat Rusia yang bersatu dalam perjuangan revolusioner. Kebijaksanaan revolusioner yang memecahbelahkan kekuatan kaum proletariat, dimana pada saat ini manifestasinya muncul dalam program Black-Hundred, mungkin besok akan menyusun bentuk-bentuk yang lebih subtil. Kita, pada setiap tingkat, akan melawannya dengan tenang, secara konsisten dan sabar berkhotbah tentang solidaritas proletarian dan cara pandang ilmiah – seorang pengkhotbah yang asing pada apapun hasutan-hasutan perbedaan sekunder.
Kaum proletariat reevolusioner akan berhasil dalam membentuk agama menjadi benar-benar urusan pribadi, sejauh yang diperhatikan oleh negara. Dan dalam sistem politik ini, bersih dari lumut-lumut abad pertengahan, kaum proletariat akan keluar dan membuka pertarungan untuk mengeliminasi perbudakan ekonomi, sumber yang murni dari segala omong kosong relijius manusia.







 

Masyarakat yang ada saat ini sepenuhnya didasarkan atas eksploitasi yang dilakukan oleh sebuah minoritas kecil penduduk, yaitu kelas tuan tanah dan kaum kapitalis, terhadap masyarakat luas yang terdiri atas kelas pekerja. Ini adalah sebuah masyarakat perbudakan, karena para pekerja yang "bebas", yang sepanjang hidupnya bekerja untuk kaum kapitalis, hanya "diberi hak" sebatas sarana subsistensinya. Hal ini dilakukan kaum kapitalis guna keamanan dan keberlangsungan perbudakan kapitalis.
Tanpa dapat dielakkan, penindasan ekonomi terhadap para pekerja membangkitkan dan mendorong setiap bentuk penindasan politik dan penistaan terhadap masyarakat, menggelapkan dan mempersuram kehidupan spiritual dan moral massa. Para pekerja bisa mengamankan lebih banyak atau lebih sedikit kemerdekaan politik untuk memperjuangkan emansipasi ekonomi mereka, namun tak secuil pun kemerdekaan yang akan bisa membebaskan mereka dari kemiskinan, pengangguran, dan penindasan sampai kekuasaan dari kapital ditumbangkan. Agama merupakan salah satu bentuk penindasan spiritual yang dimanapun ia berada, teramat membebani masyarakat, teramat membebani dengan kebiasaan mengabdi kepada orang lain, dengan keinginan dan isolasi. Impotensi kelas tertindas melawan eksploitatornya membangkitkan keyakinan kepada Tuhan, jin-jin, keajaiban serta jang sedjenisnya, sebagaimana ia dengan tak dapat disangkal membangkitkan kepercayaan atas adanya kehidupan yang lebih baik setelah kematian. Mereka yang hidup dan bekerja keras dalam keinginan, seluruh hidup mereka diajari oleh agama untuk menjadi patuh dan sopan ketika di sini di atas bumi dan menikmati harapan akan ganjaran-ganjaran surgawi. Tapi bagi mereka yang mengabdikan dirinya pada orang lain diajarkan oleh agama untuk mempraktekkan karitas selama ada di dunia, sehingga menawarkan jalan yang mudah bagi mereka untuk membenarkan seluruh keberadaannya sebagai penghisap dan menjual diri mereka sendiri dengaan tiket murah untuk menuju surga. Agama merupakan candu bagi masyarakat. Agama merupakan suatu minuman keras spiritual, di mana budak-budak kapital menenggelamkan bayangan manusianya dan tuntutan mereka untuk hidup yang sedikit banyak berguna untuk manusia.
Tetapi seorang budak yang menjadi sadar akan perbudakannya dan bangkit untuk memperjuangkan emansipasinya ternyata sudah setengah berhenti sebagai budak. Para buruh modern yang berkesadaran-kelas, digunakan oleh industri pabrik skala besar dan diperjelas oleh kehidupan perkotaan yang merendahkan kedudukan di samping prasangka-prasangka religius, meninggalkan surga kepada parra pastur dan borjuis fanatik, dan mencoba meraih kehidupan yang lebih baik untuk dirinya sendiri di atas bumi ini. Proletariat sekarang ini berpihak pada sosialisme, yang mencatat pengetahuan dalam perang melawan kabut agama, dan membebaskan para pekerja dari keyakinan terhadap kehidupan sesudah mati dengan mempersatukan mereka bersama guna memperjuangkan masa sekarang untuk kehidupan yang lebih baik di atas bumi ini.
Agama harus dinyatakan sebagai urusan pribadi. Dalam kata-kata inilah kaum sosialis biasa menyatakan sikapnya terhadap agama. Tetapi makna dari kata-kata ini harus dijelaskan secara akurat untuk mencegah adanya kesalahpahaman apapun. Kita minta agar agama dipahami sebagai sebuah persoalan pribadi, sepanjang seperti yang diperhatikan oleh negara. Namun sama sekali bukan berarti kita bisa memikirkan agama sepanjang seperti yang diperhatikan oleh Partai. Sudah seharusnya agama tidak menjadi perhatian negara, dan masyarakat religius seharusnya tidak berhubungan dengan otoritas pemerintahan. Setiap orang sudah seharusnya bebas mutlak menentukan agama apa yang dianutnya, atau bahkan tanpa agama sekalipun, yaitu, menjadi seorang atheis, dimana bagi kaum sosialis, sebagai sebuah aturan. Diskriminasi diantara para warga sehubungan dengan keyakinan agamanya sama sekali tidak dapat ditolerir. Bahkan untuk sekedar penyebutan agama seseorang di dalam dokumen resmi tanpa ragu lagi mesti dibatasi. Tak ada subsidi yang harus diberikan untuk memapankan gereja, negara juga tidak diperbolehkan didirikan untuk masyarakat religius dan gerejawi. Hal-hal ini harus secara absolut menjadi perkumpulan bebas orang-orang yang berpikiran begitu, asosiasi yang independen dari negara. Hanya pemenuhan seutuhnya dari tuntutan ini yang dapat mengakhiri masa lalu yang memalukan dan keparat, saat gereja hidup dalam ketergantungan feodal pada negara, dan rakyat Rusia hidup dalam ketergantungan feodal pada gereja yang mapan, ketika di jaman pertengahan, hkum-hukum inquisisi (yang hingga hari ini masih mendekam dalam hukum-hukum pidana dan pada kitab undang-undang kita) ada dan diterapkan, menyiksa banyak orang untuk keyakinan maupun ketidakyakinannya, memperkosa hati nurani orang-orang, dan menggabungkan pemerintah yang enak dan pendapatan dari pemerintah, dengan dispensasi ini dan itu yang membiuskan, oleh lembaga gereja. Pemisahan yang tegas antara lembaga Negara dan Gereja adalah apa yang dituntut proletariat sosialis mengenai negara modern dan gereja modern.
Revolusi Rusia harus memberlakukan tuntutan ini sebagai sebuah komponen yang diperlukann untuk kemerdekaan politik. Dalam hal ini, revolusi Rusia berada dalam sebuah posisi yang menyenangkan, karena ofisialisme yang menjijikkan dari otokrasi feodal polisi berkuda telah menimbulkan ketidakpuasan, keresahan, dan kemarahann bahkan di antara para pendeta. Serendah-rendahnya dan sedungu-dungunya pendeta Orthodoks Rusia, mereka pun sekarang telah dibangunkan oleh guntur keruntuhan tatanan abad pertengahan yang kuno di Rusia. Bahkan mereka yang bergabung dalam tuntutan untuk kebebasan, memprotes praktek-praktek birokratik dan ofisialisme, hal memata-matai polisiyang sudah ditetapkan sebagai "pelayan Tuhan". Kita kaum sosialis harus memberikan dukungan kita pada gerakan ini, mendukung tuntutan para pendeta yang jujur dan tulus hati menuju ke tujuan mereka, membuat mereka meyakini kata-kata mereka tentang kebebasan, menuntut bahwa mereka harus memutuskan semua hubungan antara lembaga keagamaan dan kepolisian. Seperti juga bagi Anda yang tulus hati, di tiap kasus Anda harus mempertahankan pemisahan antara Gereja dengan Negara dan sekolah dengan Agama, sepanjang agama sudah dinyatakan secara tuntas dan menyeluruh sebagai urusan pribadi. Atau Anda tidak menerima tuntutan-tuntutan konsisten tentang kebebasan ini, dalam kasus dimana Anda tetap terpikat dengan tradisi inkuisisi, dalam kasus dimana Anda tetap berpegang teguh dengan kerja pemerintahan yang enak dan pendapatan dari pemerintah, dalam kasus dimana Anda tidak percaya terhadap kekuatan spiritual dari senjatamu dan melanjutkan untuk mengambil suap dari negara. Dan dalam kasus itulah para pekerja berkesadaran-kelas di seluruh Rusia menyatakan perang tanpa ampun terhadap Anda.
Sepanjang yang diperhatikan kaum sosialis proletariat, agama bukanlah sebuah persoalan pribadi. Partai kita adalah sebuah asosiasi dari para pejuang maju yang berkesadaran kelas, yang bertujuan untuk emansipasi kelas pekerja. Sebuah asosiasi seperti itu tidak dapat dan tidak seharusnya mengabaikan adanya kekurangan kesadaran- kelas, ketidaktahuan atau obscurantisme (isme kekaburan, ketidakjelasan) dalam bentuk keyakinan-keyakinan agama. Kita menuntut pembinasaan sepenuhnya terhadap Gereja dan dengannya mampu menerangi kabut religius yang begitu ideologis dan dengan sendirinya senjata ideologis, dengan sarana pers kita dan melalui kata dari mulut. Namun kita mendirikan asosiasi kita, Partai Buruh Sosial-Demokrat Rusia, tepatnya untuk sebuah perjuangan melawan setiap agama yang menina bobokan para pekerja. Dan bagi kita perjuangan ideologi bukan sebuah urusan pribadi, namun persoalan seluruh Partai, seluruh proletariat.
Jika memang demikian, mengapa kita tidak menyatakan dalam Program kita bahwa kita adalah atheis? Mengapa kita tidak melarang orang-orang Kristen dan para penganut agama Tuhan lainnya untuk bergabung dalam partai kita?
Jawaban terhadap pertanyaan ini akan memberikan penjelasan tentang perbedaan yang cukup penting dalah hal persoalan agama yang ditampilkan oleh para demokrat borjuis dan kaum Sosial-Demokrat.
Program kita keseluruhannya berdasar pada cara pandang yang ilmiah, dan lebih jauh materialistik. Oleh karenanya, sebuah penjelasan mengenai program kita secara amat perlu haruslah memasukkan sebuah penjelasan tentang akar-akar historis dan ekonomis yang sesungguhnya dari kabut agama. Propaganda kita perlu memasukkan propaganda tentang atheisme; publikasi literatur ilmiah yang sesuai – dimana pemerintah feodal otokratis hingga saat ini telah melarang dan menyiksa – yang pada saat ini harus membentuk satu bidang dari kerja partai kita. Kita sekarang mungkin harus mengikuti nasehat yang diberikan Engels kepada kaum Sosialis Jerman: menterjemahkan dan menyebarkan literatur intelektual Pencerahan Perancis abad ke-18 dan kaum atheis.
Namun bagaimanapun juga kita tidak boleh dan tidak patut untuk jatuh dalam kesalahan menempatkan persoalan agama ke dalam sebuah abstrak, kebiasaan jang idealistik, sebagai sebuah masalah "intelektual" yang tak berhubungan dengan perjuangan kelas, seperti yang tidak jarang dilakukan oleh kaum demokrat-radikal yang ada di antara kaum borjuis. Tentulah bodoh untuk berpikir bahwa, dalam sebuah masyarakat yang berdasar pada penindasan tanpa akhir dan merendahkan massa pekerja, prasangka-prasangka agama bisa disingkirkan hanya melalui metode propaganda melulu. Inilah kesempitan cara berpikir borjuis yang lupa bahwa beban agama yanng memberati kehidupann manusia sebenarnya tak lebih adalah sebuah produk dan refleksi beban ekonomi yang ada di dalam masyarakat. Tak satupun dari famplet khotbah, berabapun jumlahnya, dapat memberi pencerahan pada kaum proletariat, jika ia tidak dicerahkan dengan perjuangannya sendiri melawan kekuatan gelap dari kapitalisme. Persatuan dalam perjuangan revolusioner yang sesungguhnya dari kelas kaum tertindas untuk menciptakan sebuah sorgaloka di bumi, lebih penting bagi kita ketimbang kesatuan opini proletariat di taman firdaus surga.
Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kita tidak dan tidak akan menyatakan atheisme dalam program kita, itulah mengapa kita tidak akan dan tidak akan melarang kaum proletariat yang tetap memelihara sisa-sisa prasangka lama untuk menggabungkan diri mereka dengan Partai kita. Kita akan selalu mengkhotbahkan cara pandang ilmiah, dan hal itu essensial bagi kita untuk memerangi ketidakkonsistenan dari berbagai aliran "Nasrani". Namun bukan berarti bahwa pada akhirnya persoalan agama akan dikembangkan menjadi persoalan utama, sementara hal itu sudah tidak dipersoalkan lagi, atau bukan pula berarti bahwa kita akan membiarkan semua kekuatan dari perjuangan ekonomi dan politik revolusioner yang sesungguhnya untuk dipilah-pilah mengikuti opini tingkat ketiga ataupun ide-ide yang tidak masuk akal. Karena hal ini akan segera kehilangan semua arti penting politisnya, segera akan disapubersih sebagai sampah oleh perkembangan ekonomi.
Dimanapun kaum borjuis reaksioner hanya memperhatikan dirinya sendiri, dan sekarang sudah mulai memperhatikan dirinya di Rusia, dengan menggerakkan perselisihan agama – karenanya dalam rangka membelokkan perhatian massa dari problem-problem ekonomi dan politik yang demikian penting dan fundamental, pada saat ini diselesaikan dalam praktek oleh semua proletariat Rusia yang bersatu dalam perjuangan revolusioner. Kebijaksanaan revolusioner yang memecahbelahkan kekuatan kaum proletariat, dimana pada saat ini manifestasinya muncul dalam program Black-Hundred, mungkin besok akan menyusun bentuk-bentuk yang lebih subtil. Kita, pada setiap tingkat, akan melawannya dengan tenang, secara konsisten dan sabar berkhotbah tentang solidaritas proletarian dan cara pandang ilmiah – seorang pengkhotbah yang asing pada apapun hasutan-hasutan perbedaan sekunder.
Kaum proletariat reevolusioner akan berhasil dalam membentuk agama menjadi benar-benar urusan pribadi, sejauh yang diperhatikan oleh negara. Dan dalam sistem politik ini, bersih dari lumut-lumut abad pertengahan, kaum proletariat akan keluar dan membuka pertarungan untuk mengeliminasi perbudakan ekonomi, sumber yang murni dari segala omong kosong relijius manusia.