Selasa, 28 Desember 2010

MENGENANG KEMBALI TAN MALAKA

Pardin Isa



*. Prolog
            Jangan sekali-kali melupakan sejarah, justru belajarlah dari sejarah, Karena sejarah adalah mahaguru bagi masa depan. Sejarah selalu mengajarkan banyak hal bagi setiap generasi, ilmu yang tidak ternilai harganya. Tapi bangsa ini terlalu mengabaikan sejarah, terlalu menganggap remeh sejarah, terlalu mempermainkan sejarah. Bagi bangsa ini, sejarah hanyalah sebuah lukisan zaman, sebuah potret tentang masa lalu yang tidak perlu di gali dan di kaji otentisitasnya. Sejarah hanyalah sekedar lintasan roh waktu dalam ruang-ruang kehidupan manusia. Sejarah adalah milik mereka yang menang dan punya kuasa.


            Para pahlawan masa lalu yang telah menorehkan tinta kebebasan dan kemerdekaan kepada kita yang hidup di zaman kini, patutlah jasa dan kontribusi mereka senantiasa kita kenang, sebagai bagian dari penghormatan dan rasa terima kasih kita atas segala darma-bakti mereka kepada bangsa dan Negara yang kini menjadi rumah hunian kita. alangkah picik nurani kita, dan alangkah kerdilnya otak kita, ketika kita lalu lupa dengan segala perjuangan tanpa gentar, dengan segala pengorbanan tanpa pamrih yang telah mereka berikan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pahlawannya, bangsa yang agung adalah bangsa yang senantiasa memberikan tempat terhormat dan agung kepada para pahlawannya. Siapa itu pahlawan? Siapa yang kau maksud sebagai pahlawan dalam omong kosongmu yang panjang dan berbelit-belit?...,


            Masing-masing dari kita punya konsepsi tersendiri soal apa itu pahlawan, tak perlu banyak berdefinisi karena kebanyakan definisi justru dapat membuat kita menjadi bingung dan ragu untuk berkonsepsi. Dan tak perlu harus membuka kamus, karena justru pikiranmu akan berdasarkan kamus yang pada akhirnya membuat dangkal pikiranmu. Berilmu hanya ketika memiliki kamus, menjadi tolol ketika tidak memiliki kamus, sebuah ironi.


            Tapi Ironi yang lebih fatal justru sedang melanda bangsa dan Negara ini, sebuah kebutaan terhadap sejarahnya sendiri. Saudara-saudaraku, Jangan berbakti kepada bangsa yang munafik, jangan mengabdi kepada bangsa yang munafik. karena para pemimpinnya kini merasa hebat, mereka memimpin sebuah bangsa yang telah bebas dan merdeka tanpa tahu bagaimana rasanya memulai sebuah perjuangan untuk menjadi bebas dan merdeka. Mereka telah munafik pada fakta masa lalu, mereka telah lupa pada pahitnya hari-hari bagi mereka yang dulu memulai sebuah perjuangan panjang untuk membuat bangsa ini menjadi bebas dan merdeka. Apa yang telah engkau nikmati dari kebebasan dan kemerdekaan hari ini?, menistakan rakyatmu dengan kemiskinan sambil membela diri bahwa kemiskinan itu datangnya dari Tuhan, atau datang dari kebijakan-kebijakan pasar global yang timpang?, sedangkan engkau menikmati hidup maha-sejahtera di atas bangkai rakyatmu, di atas kuburan para pahlawan bangsa yang telah engkau lupakan jasa-jasanya!.


            entah apa yang patut kita persembahkan kepada para pahlawan itu sebagai wujud dan pengormatan kita kepada mereka, dan sesungguhnya tak bisa dimengerti, apa pula yang di inginkan oleh mereka yang telah wafat dan membusuk di dalam kuburannya itu. Dan bahkan sebagian dari mereka tak diketahui nisannya.


*. Tan Malaka, Manusia Agung Yang Dilupakan


            Apalah arti penghormatan bagi seorang Sutan Ibrahim alias Datuk Tan Malaka, apalah arti sebuah pujaan bagi pria tak beristri, gembel tak ber-rumah, buruh tambang, Juru tulis di kantor perkebunan, guru rendahan di Cina, Singapura dan Indonesia, narapidana politik, buronan agen intelijen negara-negara imperialis dunia seperti dia. Ya, ini adalah contoh asumsi yang mencerminkan kekerdilan dan kepicikan berpikir. Sesungguhnya tak mungkin lagi Ibu Pertiwi melahirkan manusia agung seperti dia, manusia revolusioner yang telah ikut membentuk wajah sejarah, bukan sekedar sejarah bangsa ini, tapi sejarah dunia, sejarah global. Bangsa ini harusnya malu telah menelantarkan salah seorang putra terbaiknya, aib bagi seluruh pemimpin bangsa ini, aib bagi seluruh umat bangsa ini.
            Entah kesalahan apa yang telah diperbuat pria komunis ber-Tuhan ini sehingga bangsa menjadi lupa atas jasa-jasanya. Pria komunis yang di didik dan dibesarkan dari sebuah surau ditanah kelahirannya, masyarakat Minang yang memegah teguh filosofi “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”, yang tetap ia pegang teguh hingga akhir hayatnya. Manusia cerdas revolusioner yang selalu berbuat tanpa pamrih, manusia agung yang tak pernah ingin di puja-puji oleh pengagumnya. Siapa yang tidak gemetar badannya, dan tidak dingin aliran darahnya, ketika mendengar nama Tan Malaka dimasa ketika dia masih hidup, bahkan banyak orang menyamar sebagai Tan Malaka untuk sekedar membuat sensasi dan gagah-gagahan di depan para murba yang buta huruf. Dialah agen komunisme internasional (Komintern) yang punya hak veto atas seluruh kebijakan-kebijakan organisasi komunis yang berada di wilayah asia timur, asia tenggara, Australia, sampai asia selatan. Ho Chi Minh begitu menghormatinya Mao Tse Tung begitu menghargainya, bahkan soekarno begitu kagum dengan manusia ini, lalu kebodohan apa yang membuat bangsa ini sehingga menjadi lupa dengan nama besarnya?.


            Terlalu banyak polemik, terlalu banyak perdebatan konyol yang terkesan mengada-ada, menganggap Tan Malaka sebagai eks agen komunisme dunia, eks ketua PKI, yang kesemua ini pada akhirnya menafikan kenyataan lain bahwa Tan Malaka hanyalah seorang anak bangsa yang ingin agar bangsa dan rakyatnya yang tertindas, terhisap, miskin papa, melarat, terjajah itu menjadi merdeka. Dia menghendaki kemerdekaan 100% bagi rakyat dan bangsanya, kemerdekaan yang tanpa diplomasi berunding tapi dengan diplomasi bambu runcing, kemerdekaan yang bukan sekadar hadiah dari “Saudara Tua” seperti yang di idamkan para pemimpin bangsa lain pada ketika itu, dia menginginkan kemerdekaan yang sesungguhnya bagi bangsanya. Dia hanyalah seorang anak bangsa yang ingin bangsanya merdeka dengan cara yang diyakininya, dengan berbagi konsep, ideologi dan diskursus yang diyakininya. Dialah orang pertama yang memberi nama depan “Republik” bagi bangsa ini, lewat teks revolusionernya yang terbit di kanton bertajuk “Naar de Republiek Indonesia’. Puluhan buku revolusioner, ratusan brosur revolusioner terlahir lewat otaknya, kesemuanya di abdikan guna mendidik saudara sebangsanya, untuk bagaimana agar bangsa ini menjadi merdeka, dan bagaimana bangsa ini di bangun setelah memperoleh kemerdekaan. Pahlawan nasional mana yang telah menulis begitu banyak teks-teks revolusioner yang berisi ilmu, agitasi propaganda, strategi, untuk mendidik rakyat bangsa ini agar tahu bagaimana menghancurkan imperialis pada ketika itu?, bahkan Soekarno harus di penjara di Landrat bandung tahun 1931 oleh Belanda hanya karena ia menyimpan buku “Massa Aksi” tulisan Tan Malaka, sebuah buku maha terlarang pada ketika itu, sebuah buku yang ketika dibaca mampu membakar hasrat revolusioner setiap “inlander” idiot penakut sekalipun untuk bangkit dan mengangkat senjata.


            Membaca “Patjar Merah Indonesia” (sebuah novel sejarah tentang kisah Tan Malaka bersama beberapa kawan revolusionernya di berbagai Negara), serta “Dari Penjara Ke Penjara (From Jail To Jail) (yang lebih tepatnya merupakan Autobiografi Tan Malaka), serta belasan buku lain yang substansinya lahir dari otak orang ini, melukiskan banyak hal yang kesemua itu tidak dimiliki oleh orang lain yang hari ini kita daulat sebagai “pahlawan nasional”. Lalu kenapa Tan Malaka harus tersisih dalam teks sejarah kita?


Soekarno (Presiden pertama RI) telah mendaulat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional, dan pada masa Orde Baru, nama Tan Malaka justru menjadi asing ditelinga kita dan tak pernah disebut dalam teks sejarah. Ya, ada yang keliru dalam penjelasan sejarah kita, Tan Malaka tidak perlu dikat-kaitkan dengan upaya kudeta PKI tahun 1965, Dia tidak patut jika harus ikut menanggung aib 1965. Karena jasa dan kontribusinya teramat besar bagi bangsa ini, ia rela terbuang, di penjara, menjadi buronan, tidak menikah, menyamar dengan banyak nama, hanya karena ia menghendaki agar badan dan pikirannya tetap bebas agar senantiasa bisa berada di tengah-tengah rakyatnya dan agar dia tetap bisa berbakti dan mengabdi untuk bangsa dan rakyatnya, supaya menjadi bebas dan merdeka. Sebuah kebebasan dan kemerdekaan yang pada hari ini telah kita nikmati.


            Bangsa ini harus berintropeksi diri, harus malu kepada dunia, karena dominan sejarah perjuangan dan aktifitas revolusionernya justru di ulas oleh orang yang bukan Indonesia, sebut saja semisal Noriaki Oshikawa, Helen Jarvis, Harry A.Poeze, dan beberapa puluh penulis lain yang telah banyak mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk mengungkap sosoknya yang misterius. Hanya beberapa orang intelektual Indonesia yang masih mau peduli, serta dengan jujur berkata bahwa “Tan Malaka adalah sosok manusia agung yang pernah dilahirkan oleh bangsa ini, mungkin Ibu Pertiwi tidak akan lagi mengandung dan melahirkan anak seperti dia”.


            Dia mati di tangan saudara sebangsanya karena intrik, tak tentu jasadnya dan bangsa serta rakyatnya lupa dengan pengabdiannya yang tanpa pamrih (semoga benar apa yang disampaikan oleh Harry A. Poeze pada diskusi beberapa waktu lalu tentang telah ditemukannya kerangka tubuh Tan Malaka, hingga kini masih menunggu konfirmasi hasil tes DNA). Biarlah sejarah yang menjadi hakim, agar kebenaran di ungkap dan di tegakkan, bahwa dialah yang patut kita sebut sebagai “Pahlawan Nasional” yang sesungguhnya. ***  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar