Rabu, 29 Desember 2010

DAYA PIKAT KORUPTOR


Oleh; Pardin Isa


Terlampau sempit jika kita hanya mendefinisikan korupsi sebagai tindakan “menyimpang” yang dilakukan oleh orang-orang tertentu (pejabat/penyelenggara negara), yang memanfaatkan posisi, wewenang dan kesempatannya untuk menguras kekayaan negara demi kepentingan memperkaya diri dan kelompok. Jika terminologi semacam ini yang kita gunakan untuk mendefinisikan “apa itu korupsi?”, maka kita telah sengaja menjebak diri untuk berenang kedalam lautan dangkal logika. Tentunya ada kerangka dasar yang mesti kita pahami, yang melandasi setiap terminologi. Boleh jadi, sejarawan semisal Ong Hok Ham memberi batasan korupsi hanya pada perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pejabat publik, karena Ong Hok Ham mengkaji akar sejarah “korupsi” sebagai perilaku yang muncul ketika masyarakat manusia sudah mulai mengenal sistem pemerintahan. Sehingga dia cenderung menyandarkan definisinya semata-mata hanya pada penyimpangan atas kekayaan negara yang merupakan hak rakyat. Tak banyak berbeda dengan definisi yang termaktub dalam Undang-undang.

            Sesungguhnya makna kata ‘korupsi’ memiliki cakupan yang cukup luas, bukan hanya pada tindakan penyelewengan harta negara (rakyat), tapi “korupsi” juga mencakup segala tindak penyelewengan yang substansinya adalah sebuah tindakan amoral untuk menghindari tanggungjawab, pemenuhan berlebih atas kepentingan diri, keluarga dan kelompok diluar batasan hak yang telah ditetapkan sesuai prinsip-prinsip hukum dan moral. Dan, “korupsi” secara praktis (sebagaimana yang dipahami oleh Gayus Tambunan) adalah sebuah perilaku anarki, tak tahu malu, simbol inferioritas diri, kepicikan nurani, kedangkalan moral, yang dipraktekkan oleh orang-orang kerdil berotak udang yang berguru pada hewan, titisan “Ahriman”.

            Bagi Indonesia, persoalan korupsi merupakan persoalan sejarah. artinya, sejarah Indonesia cenderung berlangsung pada lokus pertarungan antara hukum melawan korupsi. Dalam setiap dekade, wacana pemberantasan korupsi tetap menjadi jargon sejarah, seolah tak pernah henti-hentinya bangsa ini menyatakan perang terhadap korupsi. Ini terlampau aneh bagi sebuah bangsa dengan produk hukum yang begitu banyak variannya dalam soal pemberantasan korupsi. memberantas korupsi di negara ini, ibarat memberantas virus maha sadis tak tahu mati, yang ketika satu induk diberantas, pada saat yang jauh sebelumnya, ternyata telur-telurnya sudah menetas dan beranak pinak dalam jumlah yang kian banyak. Dan, satu induk yang diberantas tersebutpun sangatlah anti-mati, ibarat makhuk yang memiliki kelainan genetik, sehingga ketika dibunuh dan mati, maka dia akan kembali kedalam kepompongnya untuk bermutasi genetik ke jenis yang lainnya, kembali terlahir dan kembali dengan teror yang sama. Karena kepompongnya memiliki daya tarik maha dahsyat, mampu menyihir seorang anak manusia berakal sehat untuk masuk kedalam perangkap ciptaan “Ahriman” penguasa kegelapan.
            Beberapa kasus yang akhir-akhir ini mengemuka, mengindikasikan begitu panjang dan lebarnya ruang-ruang gelap untuk berkonspirasi, menguras hak-hak orang lain untuk kepentingan diri dan kelompok, memanfaatkan peluang dan kesempatan, bermodalkan jabatan seadanya (skandal Century, Sisminbakum dengan indikasi kerugian negara 420 M, mafia perpajakan yang membuat tenar nama Gayus. Etc.etc.). pegawai kelas teri semisal Gayus saja, sudah berhasil menggarong harta yang diprediksi hampir mencapai 100 M, bermodalkan jabatan yang tidak seberapa, tapi dengan peluang yang terbuka, kesempatan yang tepat dalam kondisi yang tepat pula. Mengail di air jernih, dapat ikan bagus dan gemuk (Bakrie Group, etc.). Pegawai rendahan di instansi “basah”, yang tidak memiliki kuasa yang cukup untuk mengendalikan kebijakan instansi, tapi benar-benar bisa mandi dan basah kuyup, lalu Gayus berkelit sambil berargumentasi bahwa tindakan itu tidak menyalahi aturan terkait tugas dan tanggungjawabnya, lalu alangkah besarnya jasa Gayus ketika dia menyelamatkan Bakrie Group, etc, sehingga dihadiahi duit sebegitu banyak, tidakkah ini menjadi dilema?. Bagaimana dengan pegawai pada instansi yang sama, yang memiliki eselon tinggi, lalu punya kuasa untuk mengendalikan kebijakan instansi?, atau pada instansi lain yang sama-sama basah, dan didukung oleh eselon yang cukup dan dengan kuasa yang cukup, sebagai pengendali kebijakan atau sebagai pengambil kebijakan (semisal Yusril Ihza Mahendra), tidakkah ini membuat risau jiwa mereka yang mencintai hak diri, kewajaran, kesederhanaan, kejujuran dan keadilan ditegakkan di bangsa ini ?

            Sebegitu rumit dan berbelit-belitnya polemik hukum di bangsa ini, menguras waktu, sumberdaya dan energi bangsa untuk menyelesaikannya. Menyeret banyak pihak, menjerumuskan banyak pihak dalam perangkap-perangkap gampangan, murahan. Sebegitu mudahnya aparat penegak hukum diperangkap, sebegitu murahnya harga diri dan kesetiaan orang-orang ini terhadap hukum digadaikan. 

            Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi lamban, rumit, dan tak kunjung tuntas, mungkin juga karena disebabkan oleh tidak konsistennya aparat penegak hukum untuk benar-benar menyatakan perang terhadap korupsi. Satu tersangka pelaku tindak pidana korupsi, bisa menyeret beberapa aparat penegak hukum untuk ikut ambil bagian, menjadi lakon, sutradara, pemeran pengganti, konspirator, yang dengan paradigma suap menyuap yang membudaya, merekapun ikut mencicipi kue adonan berbahan dasar tahi ayam yang lezat itu. Pemberantasan korupsi bisa dianggap hanya sebagai jargon retoris belaka. Tak bisa dibedakan, antara mana terpidana kasus korupsi dan mana aparat penegak hukum yang mempidakan tersangka. Karena ternyata, pada akhir kisahnya justru yang membuat vonis bisa sama-sama dipenjara bersama si ter-vonis. Bukankah ini menandakan bahwa aparat penegak hukum kita terlampau bermain-main dan menganggap sepele produk hukum yang hendak di tegakkannya?.

“seorang perempuan sebaiknya jangan dahulu menikah sebelum ia tahu bagaimana cara merawat dan mengasuh bayi”. Kita menjadi kebingungan, mana yang lebih dahulu hendak diberantas, apakah mafia penggarong, rampok (semisal gayus si mafia pajak di institusi perpajakan) yang terdapat dihampir semua institusi di bangsa ini?. ataukah mafia hukum yang marak di institusi-institusi penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, KPK)?. 

Tapi sesungguhnya jika ditelaah, bukanlah institusi penegak hukum yang terlampau kurus dan lemah (hingga dibentuk KPK, Kompolnas, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, dibantu oleh masyarakat umum lewat puluhan LSM-LSM – jadinya malah overlapping), bukan pula mekanisme sistem yang lemah dalam memonitoring, dan mengkoordinasi pengambilan kebijakan untuk memberantas korupsi. Tapi kelemahan ini terletak pada; 
pertama, produk hukum. sanksi hukum yang terlampau ringan bagi terpidana tindak pidana korupsi. Sehingga tidak memberi efek jera yang berarti untuk menghindari terjadinya tindak pidana serupa, baik oleh oknum yang sama, maupun oleh oknum lain yang juga memiliki peluang dan kesempatan yang cukup untuk melakukan tindak pidana korupsi. Tidak ada rasa sakit yang melebihi rasa sakit ketika orang kehilangan salah satu anggota tubuhnya, rasa sakit yang bisa membuat rapuh mental “manusia”nya.  Tidak ada rasa takut yang melebihi rasa takut manusia terhadap yang namanya “maut” dan “kematian”. Hukum “Potong tangan”, dan hukum “gantung” atau eksekusi “mati” bagi terpidana korupsi, bukankah ini menjadi alternatif yang menarik?. Tangan yang “nakal” pengambil hak orang harus dipotong (korupsi dibawah 1 M). dan pertimbangan HAM, masih bisa diperdebatkan kembali, mengeksekusi mati satu manusia (korupsi di atas 1 M), lebih mulia dibandingkan dengan membiarkannya hidup dimuka bumi, dibiarkan menjadi manusia “korup” perampas hak orang lain, yang pada akhirnya memudaratkan berjuta-juta manusia lainnya, membunuh secara perlahan berjuta-juta manusia lainnya. Mana yang lebih tidak manusiawi, membiarkan satu manusia hidup sebagai virus yang menggerogoti dan menebar nestapa bagi banyak manusia lainnya, atau membunuh satu manusia untuk menyelamatkan berjuta-juta manusia lainnya? (Karena efek jera yang menjadi entri poin kita).
Kedua, bangunan paradigma kita. Inilah yang dimaksudkan dengan “makna kata korupsi yang memiliki cakupan yang cukup luas”, yang tidak hanya sekedar makna praktis sebagaimana yang dipertontonkan oleh para “pesinetron” kita saat ini. Kita membudayakan praktek-praktek korupsi mulai dari yang paling terkecil, mulai dari lingkungan yang paling sederhana. Indisipliner, mangkir, Seseorang yang menyeleweng dari tanggungjawabnya, seseorang yang mengambil lebih dari sekedar hak yang patut didapatkannya, adalah variabel-variabel budaya korup yang dengan perasaan bangga kita akrabkan dalam praktek keseharian kita, bersama tindakan-tindakan amoral lainnya. Hingga memang akan terasa hambar, ketika satu jari menunjuk dan menuduh, ternyata keempat jari yang lainnya justru menunjuk dan menuduh diri sendiri. Seperti berkaca dan meracau didepan cermin, menunjuk dan berteriak-teriak, memaki-maki orang yang berdiri didalam cermin sebagai manusia “korup”, laknat, tak tahu malu, yang ternyata adalah diri kita sendiri. Sehingga menjadi sulit untuk memberantas korupsi ketika hakikat nilai dari korupsi itu sendiri, tidak lain adalah entitas budaya kita sendiri. Semua mempraktekkan hal yang sama, dan semua generasi tumbuh dalam bangunan paradigma yang sama dengan para “sepuh”nya. Sehingga koruptor tua mati, koruptor muda sudah dewasa dan siap melanjutkan wasiat moyangnya. Bisakah wasiat kuno, aib, murahan, amoral semacam ini kita lenyapkan dari budaya yang telah sebegitu menyatu bersama darah, daging dan sum-sum kita?.

Wahai panglima!, wahai jagoan! Jangan bergumam, jangan meracau konyol dibalik bahu kawanmu!, lihatlah debu di lengan kemeja merahmu, pulanglah!, pulang dan bersihkan lagi kemejamu…!, andaikan sudah bersih, mereka mungkin tetap ragu, pundakmu juga berdaki…!
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar