ARTIKEL UMUM

DEMOKRASI MULUT BESAR
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengemukakan pencapaian terbaik kerja politik di kawasan ini dalam konteks demokratisasi tatkala membuka Bali Democracy Forum, beberapa waktu lalu. Presiden Yudhoyono, dengan ukuran-ukuran yang coba diangkat, mengajukan kepercayaan politik bahwa demokrasi sudah menunjukkan keberhasilan signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini.
Namun, sungguh tidak dapat dimungkiri bahwa kepercayaan politik ini sedang terkurung dalam ketidakberdayaan. Hingga di ujung 2010, korupsi masih mendapatkan tempat terbaik dalam kancah kekuasaan. Institusi legislatif belum sepenuhnya mampu menerjemahkan harapan publik. Lembaga hukum seperti Mahkamah Konstitusi sedang terserang 'cerita tidak sedap'. Belum lagi tentang ketidakhadiran negara dalam sekian banyak masalah kerakyatan. Tidak terlewatkan kisah kekerasan yang terus mendera kelompok Ahmadiyah. Masih ditambah dengan jejak-jejak kemiskinan dan kemelaratan di ruang publik.

Materialistik
Berangkat dari kenyataan pahit semacam ini, pandangan Presiden Yudhoyono berhubungan dengan akumulasi keberhasilan demokrasi di Indonesia khususnya serentak mendapatkan gugatan yang tidak terelakkan. SBY dalam kesempatan itu mengemukakan tiga pencapaian utama keberhasilan demokrasi, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Stabilitas politik telah terkunci dalam tiga persoalan utama yang tidak terselesaikan selama ini. Pertama, secara perlahan, oligarki politik mendefinisikan tubuh kekuasaan di negeri ini. Demokrasi ditentukan segelintir orang kuat di kancah kekuasaan. Ini dikerjakan agar koheren dengan kebutuhan kekuatan tak terjamah dalam silang sengkarut masalah Century, korupsi dan mafia pajak Gayus.
Kedua, oligarki politik menjadi bagian tidak terpisahkan dari arus besar elitisme kekuasaan. Oligarki politik dibangun di atas basis energi politik elitis. Dalam suasana seperti ini, ada satu kecenderungan umum yang berlaku. Di satu pihak, para pemenang proses demokrasi memiliki segala hak untuk mengatur kehidupan politik. Di pihak lain, hanya ada sedikit kewajiban politik yang dapat mereka tunjukkan kepada publik.
Ketiga, dua hal tersebut akan memberikan ruang luas bagi feodalisme kekuasaan. Yang berkuasa akan menjadi kelompok tidak tersentuh meskipun korupsi melumuri dinding-dinding kekuasaan. Para pejabat politik yang berurusan dengan kebutuhan publik dengan lekas menempatkan diri pada posisi yang jauh dari jangkauan kepentingan rakyat.
Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan lebih banyak mengacu pada laporan-laporan tekstual yang sering kali gagal menjelaskan problem rakyat paling konkret. Ukuran-ukuran yang dilekatkan pada keberhasilan demokrasi belum sepenuhnya menyentuh masalah-masalah mendasar keseharian rakyat. Aspek-aspek nonmateriel seperti kebebasan beragama, hak-hak asasi manusia, ketakutan sosial akibat kekerasan komunal merupakan ukuran-ukuran penting menyangkut keberhasilan demokrasi di Indonesia.

Despotisme politik
Meskipun ada pengakuan terbuka atas keberhasilan demokrasi, kenyataannya kekuasaan sedang dijalankan dengan penuh ketegangan. Seolah kehidupan kita bersama selalu berada dalam situasi gawat darurat secara terus-menerus. Demokrasi yang tersandera banyak kepentingan menjadikan para penguasa tidak lugas dalam menyelesaikan masalah kenegaraan dan kebangsaan. Maka, konklusi seputar keberhasilan demokrasi di negeri ini sebenarnya tidak dibangun di atas premis-premis yang sahih.
Satu contoh menarik. Sekretariat Gabungan Koalisi Partai Politik pendukung pemerintahan SBY dengan sigap akan menggelar rapat-rapat konsultasi berhubungan dengan kontroversi RUU Keistimewaan Yogyakarta. Sebenarnya, kita tidak perlu menghabiskan waktu untuk membicarakan hal yang sudah jelas, jika mengacu pada pendapat Presiden di Bali. Bahwa demokrasi bukan sesuatu yang dipaksakan dan ada sebagai energi milik masyarakat merupakan kebenaran yang berkaitan dengan 'Keistimewaan Yogyakarta'. Setgab memiliki banyak pilihan persoalan krusial untuk dibahas dan diselesaikan seperti kasus mafia pajak Gayus.
Dengan mempelajari kebiasan-kebiasan kekuasaan semacam ini, sinyalemen James Caesar (2009) bahwa demokrasi prosedural dapat melahirkan despotisme politik. Bukan itu saja. Langkah-langkah semacam ini memperkuat gagasan bahwa demokrasi dan politik kita terlalu bernuansa strukturalistis. Miskin imajinasi kreatif. Defisit spontanitas konstruktif. Semuanya diselenggarakan dengan dahi mengerut dan wajah tegang. Demokrasi berada di tangan para pelaku kekuasaan dengan kombinasi karakter yang tidak menguntungkan ini.
Terasa lucu jika membaca artikel Pramono Anung Wibowo, anggota DPR F-PDIP (Media Indonesia, 16/12) yang mengajukan pertanyaan apakah politik Indonesia tahun depan masih terpenjara dalam tata kelola demokrasi semu. Orang seperti Pramono Anung seharusnya lebih banyak memberikan jawaban atas begitu banyak pertanyaan masyarakat yang tidak bisa dijawab dengan lancar oleh para penguasa. Rendahnya kecakapan teknis elite politik memberikan jawaban paling rasional atas sekian banyak masalah kenegaraan dan kebangsaan saat ini akan dengan segera menghasilkan jawaban paling tepat untuk pertanyaan seperti ini.
Nyata bahwa kita hanya bisa membuat 'kilap' dan kelihatan 'mewah' simbol-simbol demokrasi. Demokrasi prosedural yang 'ditangisi' Pramono Anung Wibowo telah menguras energi politik yang sedemikian besar sehingga mendamparkan negara pada kelelahan sosial untuk membangun persentuhan keprihatinan dengan rakyat. Pendapat Dan Jankelovic benar bahwa kejahatan politik terbesar para penguasa yang lahir dari prosedur demokrasi ketika mereka mengucilkan rakyat dari keseluruhan proses politik.

Partisipatif
Kekuasaan dalam cara pandang demokrasi merupakan konstruksi kepercayaan politik publik kepada para wakil mereka. Demokrasi perwakilan (representative democracy) merupakan mekanisme politik yang dipilih untuk mewadahi konstruksi kekuasaan. Partisipasi publik merupakan syarat mutlak pencapaian demokrasi perwakilan yang berkualitas. Namun, substansi demokrasi tidak boleh hilang dalam mekanisme dan proses politik.
Persoalannya tidak sampai di sini saja. Kekuasaan (penguasa) pada gilirannya harus memiliki kemampuan partisipatif dalam mengelola politik dan pembangunan. Terutama yang berhubungan dengan kehidupan publik. Pada level ini, dalam konteks kita, mereka yang mendapatkan kepercayaan publik harus menunjukkan partisipasi aktif melawan kaum despotik politik yang sedang membangun 'tirani demokrasi' di Indonesia. Mereka yang sedang menjajah rakyat atas nama demokrasi!
Bob Chadwik (1999) mengajukan gagasan penting bahwa para penguasa harus mengasah kemampuan dan keberanian menunjukkan partisipasi efektif memerangi pembusukan demokrasi. Ketiadaan dua aspek penting ini akan menyebabkan publik terisolasi dari keseluruhan proses politik demokratik. Ini yang akan mengunci demokrasi sekedar 'mainan' mulut besar kekuasaan. Dari situ akan lahir banyak jenis 'paksaan' yang menyengsarakan publik.



MAX LANE:
Nasionalisme Indonesia Belum Selesai

Indonesia sebagai sebuah nasion baru ada setelah abad XX. Untuk menjelaskan itu akan dimulai dengan pengertian nasion (nation). Untuk menjelaskan itu saya akan mengajukan beberapa hal menyangkut pembentukan nasion. Pertama-tama yang dimaksud nasion adalah gejala baru dalam sejarah umat manusia. Nasion sebenarnya hanya muncul di atas bumi manusia sejalan dengan berkembangnya kapitalisme. Sebelum ada kapitalisme tidak ada yang namanya bangsa atau nasion. Pada masa sebelum perkembangan kapitalisme yang ada hanyalah kelompok-kelompok etnis, kesukuan, kerajaan dan sebagainya—bukan nasion, bukan negara.
Indonesia sebagai sebuah nasion baru ada setelah abad XX. Untuk menjelaskan itu akan dimulai dengan pengertian nasion (nation). Untuk menjelaskan itu saya akan mengajukan beberapa hal menyangkut pembentukan nasion. Pertama-tama yang dimaksud nasion adalah gejala baru dalam sejarah umat manusia. Nasion sebenarnya hanya muncul di atas bumi manusia sejalan dengan berkembangnya kapitalisme. Sebelum ada kapitalisme tidak ada yang namanya bangsa atau nasion. Pada masa sebelum perkembangan kapitalisme yang ada hanyalah kelompok-kelompok etnis, kesukuan, kerajaan dan sebagainya—bukan nasion, bukan negara. Nasion memiliki beberapa sifat konkret, yang menurut saya—yang jika semua sifat itu tidak ada, kalau tidak lengkap—tidak bisa disebut nasion, atau belum nasion.

Nasion merupakan sebuah komunitas yang terbentuk dalam proses perkembangan sejarah yang stabil. Artinya, ada (eksis), sudah mampu bertahan cukup lama dan cukup stabil. Jadi, sesuatu fenomena yang eksis 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun terus hilang, itu belum stabil. Jadi, nasion itu harus yang sudah stabil, sudah eksis cukup lama. Komunitas orang-orang yang terbentuk dalam proses sejarah yang stabil itu, pertama, harus memiliki wilayah yang dihuni bersama (common territory). Kedua, ada bahasa yang dipakai bersama (common language). Ketiga, kehidupan ekonomi bersama—semua orang yang tinggal di suatu wilayah memiliki satu kehidupan ekonomi bersama. Biasanya dalam proses kemunculan kapitalisme terbentuk suatu pasar yang terintegrasi, tersatukan di dalam wilayah itu. Cerminan fenomenanya adalah adanya mata uang yang sama, hukum pajak yang sama, peredaran barang di seluruh wilayah, termasuk tenaga kerja manusia tersatukan dalam satu proses ekonomi di suatu wilayah. Keempat, ada watak psikologis bersama yang tercerminkan dalam satu kebudayaan bersama.

Sifat-sifat di atas tidak mendadak jatuh dari langit. Di setiap negara, kemunculan sifat tersebut berbeda-beda dan dengan pasang surut yang berbeda-beda pula. Ada yang bisa berkembang cepat, sementara yang lainnya lama, dan seterusnya. Keempat sifat di atas—sebagaimana analisis dari kaum kiri—tidak diperoleh dari langit, melainkan merupakan hasil dari pengamatan terhadap proses. Orang yang pertama kali menulis soal untuk pertama kalinya mengamati proses sejarah masyarakat Eropa, dan kemudian Amerika. Di jaman Eropa feodal misalnya, kerajaan-kerajaan yang ada adalah kerajaan-kerajaan kecil. Kalaupun ada raja besar, itu adalah kerajaan yang memperoleh upeti dari berbagai raja-raja kecil. Di masing-masing kerjaan Eropa itu bahasanya berbeda-beda—itu yang sering dilupakan orang. Misalnya di Prancis ketika terjadi Revolusi Prancis, jumlah orang yang saat ini disebut sebagai orang Prancis dan berbahasa Prancis hanya 30%, sedangkan 70% lainnya sebelum Revolusi Prancis berbicara dalam bahasa-bahasa suku. Demikian pula di Jerman dan Itali. Sebelumnya tidak ada bahasa Italia yang menyatukan seluruh Italia. Di Inggris, bahasa Skotlandia yang asli, bahasa Wales yang asli tidak dimiliki oleh orang Inggris. Di Eropa pada awalnya batas-batas geografis kerajaan itu sangat cair. Tetapi dalam proses penyatuan, misalnya Napoleon menyatukan Prancis, Bismark menyatukan Jerman dan sebagainya, setelah melalui berbagai peperangan, lama kelamaan wilayahnya menjadi jelas.

Salah satu faktor yang menggerakan kaum borjuasi di Prancis untuk menjatuhkan feodalisme adalah karena adanya “kemumetan” dalam mengatur perekonomian. Itu karena masing-masing wilayah di Prancis, pertama-tama bahasanya, isi perjanjian ekonomi, pajak dan lain-lain di setiap daerah memiliki bahasa yang berbeda-beda. Berdasarkan kenyataan itu kaum borujuasi menginginkan satu pengaturan ekonomi yang meliputi seluruh wilayah dengan mata uang yang sama, aturan pajak dan pungutan yang sama. Mereka menginginkan satu ekonomi nasional, pasar nasional dengan aturan nasional yang bersatu, yang terintegrasi, di mana semua orang bisa terlibat. Itu merupakan salah satu sebab—bukan satu-satunya—mengapa kaum borjuasi Prancis menggulingkan kekuasaan feodal. Mereka menginginkan sebuah bentuk republik untuk seluruh Prancis. Jadi orang-orang bukan lagi abdi raja, tapi menjadi warga suatu republik, suatu nasion. Termasuk tenaga kerja masuk ke pasar nasional, di mana harga tenaga kerja dalam bentuk gaji itu menjadi relatif merata di semua sektor ekonomi. Membeli buruh di suatu daerah dan daerah lainnya kurang lebih sama. Kalaupun tidak sama, ada aturan nasional yang bisa memastikannya (memberi kepastian), sehingga terbentuklah pasar nasional.

Apakah memang bangsa-bangsa itu memiliki watak psikologis yang berbeda-beda? Watak psikologis ini datang dari mana? Kebudayaan yang dialami, dijalankan bersama-sama dalam wilayah tersebut (nasion) berasal dari mana? Faktor itu penting, apalagi di negara-negara pasca kolonial seperti Indonesia.

Munculnya nasion dengan sifat di atas merupakan proses sejarah. Artinya, ada awalnya, ada proses berkembangnya, dan ada proses selesainya. Jadi kalau ada pertanyaan apakah bisa selesai, menurut saya proses menyelesaikan atau mewujudkan keempat sifat nasion di atas seharusnya bisa. Hal yang perlu dicatat dan penting adalah bahwa terbangunnya nasion tidak menjamin apa-apa bagi masyarakat yang menjadi warganya. Adanya nasion tidak menjamin kemakmuran masyarakat. Adanya nasion hanya menjamin kemampuan untuk satu nasion berhubungan/berususan dengan nasion-nasion lain. Suka tidak suka, dunia sekarang terdiri dari nasion-nasion. Dalam kerangka itu, jika proses pembentukkan nasion belum mantap, maka dalam berurusan dengan nasion lain nasion yang bersangkutan akan berada dalam posisi lemah. Sebaliknya, jika sudah berkembang posisinya bisa tidak lemah lagi atau tidak selemah seperti sebelum berkembang. Faktor lain yang dapat menjadi imbangan kekuatan adalah potensi. Tinggal persoalannya apakah potensi yang ada itu bisa direalisasikan atau tidak.

Batasan wilayah Indonesia berasal dari batasan yang dibuat pada jaman Hindia Belanda. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa batas wilayah Indonesia merupakan hasil dari proses kolonialisme—tetapi bukan bentukan Hindia Belanda. Oleh sebab itu, keliru jika mengatakan bahwa Indonesia merupakan ciptaan Belanda, sebagaimana pendapat beberapa kalangan sejarawan Barat. Secara kewilayahan, Indonesia merupakan hasil pertempuran pihak-pihak kolonial (Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris).

Pandangan yang mengatakan bahwa Indonesia dipersatukan oleh Belanda adalah tidak benar. Kaum kolonial justru memecah belah setiap usaha membentuk nasion Indonesia. Wilayah Indonesia menjadi jelas terjadi dalam proses sejarah kolonialisme. Sedangkan aspek-aspek lain yang menjadi ciri nasion Indonesia dibangun oleh orang Indonesia sendiri—hasil dari proses perjuangan orang Indonesia sendiri. Bahasa Indonesia menjadi bahasa bersama diresmikan oleh gerakan Indonesia: Sumpah Pemuda. Hal itu merupakan hasil dari sebuah proses. Dalam hal itu, Pramoedya Ananta Toer memiliki jasa besar dalam menunjukkan bahwa orang Indo dan orang Tionghoalah yang sebenarnya membangun landasan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional.

Sebuah bahasa hanya bisa berkembang menjadi sebuah bahasa nasional jika sudah mampu dipakai untuk sastra. Sebelum muncul sastra bahasa Melayu, bahasa Melayu hanya dipakai untuk sastra kraton—dengan bahasa yang sangat sempit—dan bahasa perdagangan. Sebagai lingua franca, bahasa yang dipakai di seluruh kepulauan Nusantara hanya untuk kepentingan perdagangan, seperti isi kontrak, harga, tawar-menawar di pasar dan pelabuhan. Kalangan yang mulai membangun bahasa Melayu sebagai bahasa yang bisa dipakai untuk membicarakan atau membahas masalah kehidupan modern adalah orang-orang Indo yang menulis novel-novel tentang kehidupan Hindia Belanda waktu itu, kemudian orang Tionghoa yang menulis cerpen dan novel-novel dalam bahasa Melayu. Dengan begitu bahasa Melayu pun berkembang. Kalangan yang mengambil langkah berikutnya—yang membawa bahasa Melayu benar-benar menjadi bahasa nasional—adalah aktivis-aktivis gerakan nasionalis. Mereka menggunakan bahasa Indonesia untuk menjelaskan visi dan perjuangannya ke masa depan. Sebaliknya, Belanda sendiri menggunakan bahasa Melayu hanya sebagai bahasa administrasi—bahasa larangan dan alat pengaturan terhadap masyarakat jajahannya—bukan bahasa yang akan mampu menjadi bahasa untuk membentuk suatu—bahasa yang mampu membahas segala aspek kehidupan, terutama politik. Di jaman penjajahan Belanda bahasa Melayu selalu disempitkan menjadi bahasa yang sangat kaku. Bahasa Melayu menjadi bahasa yang hidup diwujudkan melalui gerakan nasionalisme, yang pada tahun 1928 diresmikan sebagai bahasa nasional. Dari situlah bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa Indonesia yang aktif dipakai untuk membahas masa depan Indonesia: bagaimana mencapainya dan apa yang harus dilakukan untuk mencapainya.

Jika membaca karya tulis pengamat Belanda di jaman kolonial, ciri yang paling berlaku tentang kehidupan ekonomi di Hindia Belanda adalah dual economy: di satu sisi ada ekonomi yang dijalankan oleh orang-orang Eropa, sebagian kecil orang Tionghoa; dan di sisi lain ekonomi yang dijalankan oleh orang Hindia Belanda—dari semua etnis. Orang-orang Eropa berada di sektor ekonomi yang sangat produktif dan menghasilkan kekayaan besar, sedangkan di luar masyarakat Eropa produktivitas ekonominya sangat rendah, serta disertai kemiskinan dan kemelaratan. Pada jaman Hindia Belanda kehidupan ekonomi bersama tidak ada. Orang-orang yang tinggal di pedesaan dunia ekonominya berbeda dengan orang-orang di perkotaan. Pada waktu itu menuju pada kehidupan bersama sebenarnya mulai ada—mata uang yang sama, dan mulai ada undang-undang ekonomi yang berlaku di seluruh Hindia Belanda. Dual economy melahirkan jurang (ketimpangan) yang besar. Bukan saja jurang kaya dan miskin, tetapi juga jurang bahasa, kehidupan sehari-hari, kebudayaan sehari-hari, dan terutama produktivitas.

Apakah ada yang disebut kebudayaan Indonesia? Itu merupakan persoalan besar. Kebudayaan sebuah nasion datang dari mana? Ali Murtopo tahun 1970-an mengemukakan tentang “kebudayaan nusantara”, “kebudayaan kepulauan”. Menurutnya kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan kepulauan. Apa yang dimaksud dengan kebudayaan kepulauan? Maksudnya adalah: berbagai kebudayaan yang ada di pulau nusantara, dan kebudayaan Indonesia adalah penggabungan dari semua kebudayaan etnis-etnis yang ada. Itu adalah ide baru. Sebelum Orde Baru tidak ada ide itu. Memang ada slogan “bhineka tunggal ika”, tetapi asumsi—pada tahun 1930-an, 1940-an, 1950-an, 1960-an, semua pikiran tentang bhineka tunggal ika dan lain-lain—yang hidup di masyarakat yaitu ada kebudayaan yang sama sekali baru yang sedang berkembang. Kalau kita melihat sejarah Prancis, Jerman, Inggris, Amerika, Australia, dan Jepang, ketika mereka berkembang menjadi nasion memang tampak sekali ada suatu kebudayaan yang sama sekali baru yang lain dari kebudayaan sebelumnya. Kebudayaan Prancis setelah Revolusi Prancis tidak ada hubungannya dengan kebudayaan Prancis yang sebenarnya juga tidak ada—karena yang ada adalah kebudayaan berbagai bahasa yang ada di Prancis di jaman feodal. Demikian pula dengan Jepang, apakah ada hubungan kebudayaan Jepang sekarang dengan kebudayaan Jepang pada abad 18 dan 19. Sedikit sekali sisa-sisanya.

Lantas pertanyaannya, datang dari mana kebudayaan baru itu? Sebenarnya sumber utama dari kebudayaan baru adalah perjuangan yang dilakukan dangan sadar untuk mencapai perubahan. Di Eropa, pembangunan nasion dilakukan melalui perjuangan menghancurkan feodalisme. Di Amerika, perjuangan membangun nasion dilakukan dengan menghancurkan pengaruh kolonialisme Inggris dan perbudakan—karena tidak akan bisa mewujudkan suatu kehidupan ekonomi bersama jika masih ada masyarakat budak. Perjuangan untuk mencapai perubahan—penghancuran feodalisme dan kolonialisme—di kebanyakan negara-negara bekas kolonial bukan hanya menghancurkan feodalisme—karena kolonialisme sendiri yang sebenarnya sudah menghancurkan feodalisme sebagai kekuatan—tetapi juga feodalisme sebagai pengaruh mental. Sultan-sultan, raja-raja di nusantara sudah kalah tiga ratus tahun sebelumnya oleh Belanda, dan yang tersisa tinggal simbol—dalam mental dan kebudayaan masih ada—tetapi sebagai kekuatan sudah hilang. Jadi, perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan mengalahkan kolonialisme. Perjuangan itulah yang kemudian melahirkan kebudayaan baru, dan semua perjuangan itu berbuntut revolusi.

Revolusi itu pertama-tama adalah memutarbalikkan susunan kekuasaan yang ada—yang dominan sebelumnya, yang tadinya berkuasa menjadi tidak berkuasa lagi, dan yang tadinya dikuasai menjadi berkuasa. Aspek kedua—merupakan syarat mutlak—dari revolusi adalah bahwa dalam proses memutarbalikkan kekuasaan tersebut terjadi proses menciptakan sesuatu yang sama sekali 100% baru atau yang sama sekali 100% tidak ada sebelumnya. Revolusi itu merupakan proses yang sangat kreatif, sekaligus juga destruktif. Dikatakan destruktif karena revolusi menghancurkan kekuasaan yang ada sebelumnya; dan dikatakan kreatif karena melahirkan sesuatu yang sama sekali baru. Dalam kasus-kasus revolusi anti-fedodal maupun kasus-kasus revolusi anti-kolonial yang terjadi di Asia seperti di Indonesia—yang dihancurkan oleh nasionalisme—adalah penghancuran struktur kekuasaan kolonial, yang dikreasikan sebagai gejala yang 100% sama sekali baru di atas muka bumi. Itu adalah sebuah nasion yang tidak ada sebelumnya, yaitu Indonesia. Kita bisa melihat itu dalam keempat buku Pramoedya Ananta Toer—dari Bumi Manusia hingga Rumah Kaca—yang diakui oleh hampir semua orang sebagai buku kebangkitan Indonesia, walaupun dalam keempat buku tersebut kata Indonesia sama sekali tidak dipakai. Mengapa, sebab waktu itu kata Indonesia belum ada di benak siapapun, kecuali seorang sosiolog Inggris. Mengapa tidak ada sama sekali, karena waktu itu baru dimulai, belum bisa dibayangkan. Orang-orang Indonesia waktu baru mulai membayangkan Indonesia seperti tercermin dalam gerakan nasionalisme tahun 1920-an. PKI adalah yang pertama kali menggunakan kata Indonesia, kemudian diikuti gerakan nasionalisme lainnya. Mengapa dibayangkan, karena waktu itu mulai eksis, sudah mulai berkembang: wilayahnya sudah ada, bahasanya—berkat orang Indo dan Tionghoa mulai menyebar sebagai bahasa yang berguna. Terwujud di mana? Pertama-tama dalam sastra Indonesia. Jangan meremehkan sastra. Banyak pengamat dan akademisi menulis bahwa dalam pembangunan nasion yang penting adalah bahasa. Memang, ada bahasa bersama itu betul. Tetapi bahasa bersama itu tidak berkembang sebagai national language. Bahasa nasional baru bisa berkembang jika sastranya berkembang. Apa yang menjadi basis kebudayaan Prancis? Sastranya. Apa yang menjadi basis kebudayaan Inggris? Sastranya. Kalau tidak ada Shakesphere, tidak ada Charles Dickens. Atau jika di Amerika tidak ada Jack London, kebudayaan Amerika dan Inggris datang dari mana? Nilai-nilai budayanya datang dari mana? Apakah datang dari gereja? Sudah tidak. Dari agama? Sudah tidak. Hanya sebagian kecil saja yang masih kuat agamanya, sementara orang-orang yang beragama dengan yang sudah lemah agamanya pun nilai-nilainya sering sama. Nilai-nilainya datang dari mana? Sastra, karena lama kelamaan sastra menjadi sesuatu yang dinikmati seluruh masyarakat, dan sastra diajarkan di sekolah mulai dari SMP secara serius. Sampai sekarang Indonesia adalah satu-satunya negeri di seluruh dunia yang tidak mengajarkan sastra Indonesia di SMP dan SMA—yang memiliki kewajiban membaca sekian banyak novel, sekian drama, sekian syair, ramai-ramai membedahnya di kelas, pekerjaan rumahnya menuli essay. Hal itu di Indonesia tidak ada, satu-satunya negeri di seluruh dunia.

Di Indonesia sastra hanya diselipkan dalam pelajaran bahasa, padahal nilai-nilai budaya sastra Indonesia kaya. Melalui sastra, drama, syair, lagu muncul kebudayaan baru. Tetapi, harus dicatat bahwa kelahiran kebudayaan baru tidak hanya lewat sastra, tetapi juga lewat politik. Dalam kebudayaan Prancis ada slogan liberty, fraternity, equality atau di Amerika ada slogan by the people, of the people, for the people. Pidato-pidato politik besar dan pemikiran politik yang berkembang dalam proses pembentukkan meraih nasionnya (kemerdekaan) itulah yang menjadi nilai-nilai budaya. Mengapa di Amerika pidato-pidato George Washington dan Thomas Jefferson menjadi bacaan wajib? Apakah tulisan-tulisan Soekarno, seperti Indonesia Menggugat menjadi bacaan wajib di sekolah Indonesia? Tidak. Padahal pada awal gerakan kemerdekaan—tahun 1920-an, 1930-an, 1940-an, 1950-an hingga 1965—sastra dan pemikiran politik menjadi sesuatu yang sangat hidup di masyarakat. Melalui proses pertarungan ini penyebaran sastra, Indonesia melancarkan gerakan kebudayaan seperti melalui Lekra, gerakan nasinoal dan gerakan Islam waktu itu sungguh luar biasa. Jumlah cerpennya, syairnya, kegiatan kebudayaan sampai ke desa-desa secara luar biasa.

Dalam hal berorganisasi sebenarnya Indonesia melampaui banyak negara di Asia. Pada waktu Sarekat Islam sampai puncaknya, sebagai organisasi modern—memiliki AD/ART-nya, cabang-cabang, buletin, pedebayan, dan traning-traning-nya—merupakan organisasi massa modern terbesar di dunia waktu itu. Di Eropa, Amerika dan Asia tidak ada organisasi sebesar Sarekat Islam, apalagi partai-partai yang menyusul setelahnya. Jadi, tidak benar orang Indonesia dianggap tidak suka berorganisasi, kecuali jaman Orde Baru yang memang dilarang berorganisasi. Nah, melalui organisasi itu sastra, pidato politik membentuk kehidupan kebudayaan bersama.

Harus diingat, sejarah Indonesia setelah kemerdekaan adalah 62 tahun (sampai 2007). Tetapi selama 62 tahun, kurang lebih 32 tahunnya berada di bawah kekuasaan Orde Baru. Itu artinya, lebih dari separuh usia kemerdekaan Indonesia di bawah kekuasaan Orde Baru. Di bawah Orde Baru itulah Indonesia banyak mengalami kemunduran. Jadi, kalau para sejarawan membahas sejarah Orde Baru, salah satu hal yang harus dikaji adalah soal perkembangan dan kemunduran—sampai sejauh mana berkembang dan mundur—usaha membangun nasion Indonesia. Wilayah masih sama, tapi Aceh hampir hilang, karena memperlakukan Aceh sebagai bangsa asing. Itu merupakan warisan dari Belanda yang diterima setelah kemerdekaan, karena semua kepulauan di sebelah Utara menerima dengan sukarela masuk Indonesia, tidak ada paksaan. Hampir tidak ada penyatuan suatu nasion di seluruh dunia yang terjadi tanpa satu etnis memaksa etnis lain. Di Inggris Raya, Great Britain, perang orang Inggris melawan Scotlandia dan orang Inggris menjajah Wales berkali-kali perang dan puluhan ribu orang mati. Demikian pula di Jerman dan Amerika. Hanya Indonesia yang bisa bersatu dengan sedikit sekali darah. Itu kesukarelaan. Jadi kalau prinsip kesukarelaan dilanggar, seperti yang terjadi di Aceh pada tahun 1980-an, belum tentu orang mau menerima lagi.

Bagaimana dengan bahasa bersama? Apakah bahasa Indonesia berkembang sebagai bahasa yang dipakai oleh semua lapisan rakyat dan semua daerah untuk membicarakan masa depan Indonesia? Itu berkaitan dengan politik. Sebab, jika membicarakan masa depan dengan politik dilarang, lalu bagaimana bahasa bisa berkembang. Pergilah ke desa, sampai sejauh mana orang desa sekarang mampu membicarakan, menjelaskan pikiran mereka tentang masa depan Indonesia dalam bahasa Indonesia. Jika itu tidak berkembang, maka bahasanya pun terhambat. Di Indonesia hal itu masih menjadi persoalan besar. Memang, sebagian penyatuan kehidupan ekonomi Indonesia ada perubahan, penyatuannya semakin ada, tetapi masih sedikit. Sebagian kehidupan ekonomi Indonesia masih bersifat dual economy. Lebih dari itu, dual economy yang ada di jaman Hindia Belanda sekarang muncul lagi. Jaman Hindia Belanda kehidupan ekonomi di lapisan atas bahasanya adalah bahsa Belanda, sekarang mereka yang dilapisan atas mengirim anaknya ke sekolah berbahasa Inggris—international school. Sehingga di bidang kebudayaan pun ada bahaya, karena kehidupan ekonomi bersama—bukan hanya soal kaya dan miskin—semakin tidak terintegrasi, sehingga nasion pun semakin lemah karena itu.

Pertanyaannya sekarang, apa itu nilai-nilai budaya Indonesia. Pancasila itu menarik. Pancasila selama Orde Baru dikampanyekan besar-besaran. Pelajar harus lulus, setiap kali upacara diucapkan, tetapi setelah Soeharto jatuh hanya dalam waktu singkat Pancasila sudah hilang dari wacana publik—bahkan sudah terjadi sebelum Soeharto jatuh. Padahal selama kurang lebih 30 tahun Pancasila digembar-gemborkan oleh Orde Baru tetapi sama sekali tidak mengakar. Demikian pula dengan kata pembangunan. Setelah Soeharto jatuh berapa banyak orang yang berbicara tentang pembangunan. Seperti halnya Pancasila, pembangunan hilang juga sebagai suatu nilai. Selama Orde Baru masyarakat tidak mengetahui sejarahnya, karena ditutup-tutupi—kecuali diwajibkan menghapal tanggal dan tempat peristiwa. Di sekolah menengah tidak ada pelajaran sastra, sehingga berjuta-juta lulusannya tidak pernah membaca satu novel serius. Demikian pula dalam kehidupan politik, sehingga bahasanya bisa menjelaskan segala hal tidak ada.

Apakah sekarang ini ada watak psikologis bersama, suatu cara pandang dunia yang sama di Indonesia? Menjawab pertanyaan itu tidak cukup hanya melihat sejauh mana ya dan tidak, karena yang penting sekali adalah kekuatan masyarakat mana yang menggerakkan proses pembentukkan nasion dan kekuatan masyarakat mana yang menghambatnya. Agency-nya apa? Pelakunya siapa, kekuatannya siapa? Siapa yang menggerakkan? Semua itu diciptakan oleh gerakan itu sendiri: gerakan nasioanalisme dan anti-kolonialisme itu sendiri. Siapa penggerak tersebut? Di Indonesia khas, karena tidak ada kelas pengusaha. Penggeraknya adalah segelintir intelektual yang hebat dan rakyat (massa) itu sendiri. Jadi, agency-nya, kekuatan pelaku di dalam sejarah sampai kemerdekaan adalah intelektual-intelektual, aktivis-aktivis muda dengan massa.

Namun demikian, setelah kemerdekaan muncul persoalan. Sebelum 1949 sudah terjadi pertarungan antara mereka yang menganggap bahwa dengan diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh dunia internasional berarti revolusi Indonesia sudah selesai. Sementara di pihak lainnya berpikir sebaliknya: revolusi Indonesia belum selesai. Mengapa dianggap belum selesai, karena kehidupan ekonominya belum bersatu dan masih dikuasai perusahaan-perusahaan Belanda. Tiga ratus tahun Belanda merampok Indonesia, mendirikan perkebunan, pertambangan, perkapalan, itu semua hasil perampokan selama kolonialisme. Hal yang tidak masuk akal adalah pemerintah Hatta menyetujui pengembalian hasil rampokan Belanda tersebut. Itu benar-benar tidak masuk akal. Bukan hanya itu, sejumlah uang yang senilai dengan biaya yang dikeluarkan Belanda untuk memerangi Indonesia juga dijanjikan akan dibayar kepada Belanda, meskipun sampai tahun 1956 dihentikan.

Seperti disebutkan tadi, setelah kemerdekaan ada pertarungan antara mereka yang menganggap revolusi sudah selesai dengan mereka yang menganggap belum selesai. Mereka yang menganggap selesai berpandangan stabil saja dan berorientasi pada pembangunan dengan cara menginintegrasikan ekonomi Indonesia dengan Barat. Sebagian intelektual kemudian bergabung dengan penguasaha-pengusaha dalam negeri yang selanjutnya menjadi pengusaha nasional. Saya membedakan dalam negeri dan nasional, karena dalam negeri itu dikuasai tokoh-tokoh yang tersebar di banyak kota, tetapi jaringan usahanya sendiri belum nasional dan baru mulai atau baru sedikit-sedikit saja berwawasan nasional. Pengusaha dalam negeri yang berusaha menjadi pengusaha besar nasional bekerjasama dengan kaum intelektual. Mereka menganggap revolusi sudah selesai, tetapi perusahaan-perusahaan hasil perampokkan kolonial masih di tangan kolonial, hutang di Belanda masih diakui. Terjadi usaha untuk menyelesaikan itu dimana tahun 1956-57 perusahaan kolonial diambilalih oleh rakyat dan langsung diduduki dan orang-orang Belanda diusir secara fisik dari perusahaan-perusahaan tersebut. Setelah itu baru parlemen menasionalisasikan perusahaan-perusahaan Belanda.

Dalam periodisasi sejarah Indonesia di banyak buku kita mengenal ada demokrasi parlementer, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin. Semua itu omong kosong, karena yang terjadi pada tahun 1948-49 adalah pertarungan. Tidak ada satu sistem yang berhasil diterapkan dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga semua orang bisa menilai keberhasilan dan kegagalannya. Sepanjang periode itu yang terjadi adalah pertarungan, karena tidak ada satu pun kekuasaan politik yang sempat menjalankan misi dan konsepsnya secara stabil dalam jangka panjang. Apalagi demokrasi terpimpin. Saya menilai demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin tidak sempat dijalankan sama sekali. Itu hanya mungkin dijalankan kalau ada pemerintah yang dikuasai Soekarno, PKI, PNI kiri dan Partindo. Padahal sampai 1965 pun PKI tidak masuk di kabinet secara berarti. Partindo tidak secara berarti, PNI kiri tidak secara berarti. Belum ada kekuatan kiri yang mampu memenangkan demokrasi terpimpin. Justru tahun 1965 (peristiwa G30S-ed) terjadi untuk mencegahnya.

Nah, dalam proses pertarungan sampai 1965 pun harus dilihat siapa yang menggerakkan? Siapa yang meluaskan sastra ke masyarakat? Kekuatan sosial apa? Kekuatan sosial yang beroposisi dan berontak adalah di buruh dan tani. Intelektual dan mahasiswa bersolidaritas dengan buruh dan tani. Kalangan itulah yang terutama menerapkannya. Siapa yangg mau menuju kepada sebuah pasar nasional, dan setelah 1965, siapa yang memimpin proses itu mundur? Kekuatan sosial mana? Di Indonesia kekuatan sosial terdiri dari mereka yang bemodal—kapitalis dan penguasaha—dan masyarakat lainnya—buruh dan tani. Namun, pemodal dalam negeri itu ternyata—sejak awal abad XX sampai sekarang—tidak mampu untuk menggerakkan proses nation building. Sampai sekarang pun tidak mampu. Kekuatan sosial yang mampu menggerakkan perubahan sejak tahun 1930-an sampai 1960-an adalah gerakan rakyat miskin. Ketika itu dihancurkan, maka semua usaha nation bulting pun mengalami kemunduran.



SAMSIR MOHAMAD;
Revolusi Yang Di Kompromikan

Kita bernama Indonesia itu belum lama yaitu tahun 1850. Nama itu pun bukan kita (bangsa Indonesia-ed) yang membuat, tapi orang lain. Sumpah Pemuda saya sebut sebagai peristiwa monumental. Rendra pernah menulis bahwa Sumpah Pemuda itu lebih agung, lebih besar daripada Borobudur. Sebelum Sumpah Pemuda lahir, barangkali karena posisi geografis kita tercerai-berai dalam kepulauan, organisasi pemuda yang ada ketika itu mengikuti posisi geografisnya: Jong Ambon, Jong Sumatera, Jong Selebes.
Di Surabaya lahir sebuah perkumpulan pemuda yang tujuannya memperluas pengetahuan umum, mempelajari kebudayaan, dan bahasa. Perkumpulan itu diberi nama Trikoro Darmo. Perkumpulan itulah yang kemudian tumbuh menjadi Jong Java. Perkumpulan-perkumpulan pemuda yang ada—atas inisiatif Jong Java dan Jong Sumatera—itulah yang merintis ke arah penyatuan berbagai organisasi pemuda yang ada. Puncaknya pada Kongres Pemuda Kedua yang melahirkan Sumpah Pemuda. Satu hal perlu dicatat di sini: di dalam membidani lahirnya Sumpah Pemuda partai-partai politik yang sudah ada ketika itu tidak terdengar muncul, apalagi berperan. Bahwa dikemudian hari orang-orang dari kalangan Indonesia Muda itu menyebar ke berbagai partai politik, itu benar, tetapi ketika membidani Sumpah Pemuda—sejauh yang saya ketahui dari berbagai literatur—tidak ada. Hal itu berulang kembali, yakni ketika membidani Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus. Tidak ada satupun partai politik yang muncul. Bahwa waktu itu dilarang oleh Jepang, itu benar, tetapi dalam momen seperti itu yang menentukan nasib bangsa, toh tidak muncul juga.

Dua peristiwa terulang. Siapa yang berperan di situ? Ini bukan untuk mengistimewakan kawan muda, tapi memang anak mudalah yang berperan. Ketika Sumpah Pemuda, jelas para pemuda yang berperan. Ketika Proklamasi, pemuda lagi dengan mahasiwa yang berperan. Berulang lagi ketika menurunkan Soekarno dengan cara-cara yang aneh, itu juga pemuda dan mahasiswa. Ketika menurunkan Soeharto, kembali lagi pemuda dan mahasiswa. Apakah itu saja? Cukup di situ saja peranan paramuda: menaikkan dan melengserkan, kemudian setelah itu ciserasera? Itu berpulang pada kalian yang muda-muda. Saya tidak akan mengatakan harus begini, harus begitu, tidak. Tapi, pengalaman itu mengatakan kepada kita, bahwa semua kejadian itu telah membawa kita pada hari ini di mana kita merasa tidak betah. Terus terang, saya sendiri tidak betah pada keadaan yang saya hadapi, yang saya alami dan yang saya jalani sekarang ini. Orang usaha sendiri dengan modal sendiri, susah payah sendiri diobrak-abrik. Petani bekerja keras, menanam, memelihara tanaman, dibiarkan saja dimangsa tengkulak. Bank-bank kita, bank perkreditan kita ratusan jumlahnya, tetapi tidak menyentuh jelata. Kaum jelata tetap saja menjadi korban bank keliling yang bunganya tidak kira-kira.

Kembali ke Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda itu yang mengerucutkan organisasi-organisasi pemuda menjadi terhimpun dan melahirkan Indonesia Muda. Indonesia Muda itu awalnya diperbolehkan oleh pemerintah kolonial, dengan syarat tidak berpolitik. Tapi dalam praktiknya, mereka berpolitik juga sampai akhirnya digerebek, digeledah kantornya dan ditahan pengurusnya. Pemerintah kolonial waktu itu melarang anak-anak amtenar-amtenar (pegawai negeri) untuk menjadi anggota Indonesia Muda. Meskipun demikian Indonesia Muda tidak surut, malah berkembang. Semakin ditekan dia semakin keras melawan.

Pengukuhan kita sebagai satu bangsa dilakukan oleh pemuda lewat Sumpah Pemuda. Sejak itulah kita menganggap diri kita satu bangsa. Tetapi, bagaimana itu terjadi, asal mulanya dan seperti apa, tampaknya kebanyakan dari kita merasa tidak perlu untuk menelitinya. Saya sendiri mengetahui itu sebagian dari literatur yang ditulis orang asing sebagaimana saya mengetahui misalnya Sarekat Islam merupakan organisasi setelah Budi Utomo terbesar yang pernah ada sampai hari ini. Pengetahuan itu saya peroleh dari literatur orang. Mengapa sejawaran-sejarawan kita tidak menulis itu? Dengan begitu kita bisa belajar dari bangsa dan negeri sendiri. Saya tidak mengatakan tidak perlu belajar dari bangsa lain, dari revolusi-revolusi negara lain. Belajar dari bangsa lain, itu baik, tetapi belajarlah dari bangsa dan negeri sendiri, supaya kita tahu apa kita ini, bagaimana kita ini, apa perjalanan yang sudah kita tempuh, mana yang baik, mana yang salah, supaya tidak mengulangi kesalahan.

Jika sekarang banyak pelajar kita yang tidak tahu kapan dan siapa yang membuat nama Indonesia, itu tidak berarti mereka bodoh, karena mereka itu adalah korban. Korban dari pendidikan kita yang tidak sehat. Contoh yang mudah saja, Diponegoro itu tahun 1830 tamat riwayatnya, lalu bagaimana asal-usulnya dia menjadi pahlawan nasional, sementara nama Indonesia saja baru ada 20 tahun kemudian. Namun demikian, tidak perlu kita mencari siapa yang bersalah, lebih baik kita perbaiki. Jadi, sejarah Indonesia itu baru bisa dikatakan sebagai sejarah Indonesia yang sebenarnya adalah sejak 1850. Sebelum itu adalah pra Indonesia.

Kita memiliki MSI (Masyarakat Sejarah Indonesia), perkara ada kata PKI dibelakang G30S saja ribut. Mengapa itu yang diributkan? Apa dikira kalau ada kata PKI dunia Indonesia ini kiamat? Lihatlah, hitunglah dari tahun 1966, berapa lama? 41 tahun. Apakah ada orang-orang bekas PKI yang membuat huru-hara? Tanya pada polisi, apakah ada orang-orang PKI yang merampok? Apakah ada yang menjadi penyelundup? Mereka sudah finish. Saya jadi teringat kepada formulasi Yuyun Sumasumantri. Ada empat kategori manusia. Pertama, yang tahu ditahunya, itu bagus; kedua, yang tidak tahu ditahunya, itu aneh; ketika, yang tahu ditidaktahunya, itu juga bagus. Paling sial yang keempat, orang yang tidak tahu ditidaktahunya. Kita ini masuk yang mana? Kalian bisa menilai sendiri-sendiri.

Perjalanan kita sejak Sumpah Pemuda hingga hari ini itu apa saja dan bagaimana? Sebelum Sumpah Pemuda, Soekarno mendirikan partai politik di Bandung, namanya PNI (Partai Politik Nasional). Tujuannya jelas, untuk mencapai kemerdekaan. Sikapnya juga jelas, non koorperatif terhadap pemerintah kolonial. Sebelumnya, tahun 1920 PKI muncul dan berdiri. Dalam kongresnya tahun itu di Semarang mengambil dua keputusan. Pertama, bergabung dengan Komintern (Komunis Internasional); dan kedua, bersikap kooperatif terhadap pemerintah kolonial. Itulah yang terjadi. Silahkan kalian menilainya. Saya ini bukan orang yang suka menjelek-jelekkan atau membagus-baguskan. Saya suka lurus dan benar. Lurus itu tidak selingkuh, benar itu seperti yang terjadi. Kita tahu PKI enam tahun kemudian—meskipun resmi mengambil sikap kooperatif—dia memberontak pada tahun 1926. Digulung oleh Belanda: dihukum digantung, dihukum ke Digul, dan dipenjara. Ketika Soekarno ditangkap untuk kesekian kalinya dan penjara, pemimpin PNI yang lain ini beranggapan bahwa keputusan pengadilan Belanda itu membuka kemungkinan menangkapi pemimpin-pemimpin PNI yang lain. Pada waktu itu mereka menyimpulkan, bubarkan saja PNI. Ada dua orang yang tidak setuju pada sikap itu, yaitu Hatta dan Sjahrir. Oleh sebab itulah mereka mendirikan partai lagi dengan singkatan PNI juga, yaitu Pendidikan Nasional Indonesia. Belanda tidak bodoh, karena mengtahui tujuan organisasi itu, sehingga Hattan dan Sjahrir pun dibuang ke Digul. Soekarno keluar dari penjara setelah berdiri Partindo, dan kemudian Soekarno pun aktif di Partindo. Belanda menangkap lagi Soekarno dan diasingkan ke Ende. Dari Enda dipindahkan ke Bengkulu. Itu perjalanan sampai akhirnya Jepang mendarat di Indonesia.

Jepang mendarat di Banten pada 4 Maret 1942. Empat hari kemudian tentara Belanda menyerah tanpa syarat, tanpa membalas tembakan sekalipun, tanpa bertempur. Sebuah tentara di manapun jika berhadapan dengan musuh yang menyerbunya tidak melawan dan hanya kabur terbirit-birit, menyerah, menurut saya itu tentara yang hina dina secara universal. Beberapa eksponen dari tentara yang hina dina itu ada seorang yang berpangkat sersan (Soeharto-ed) yang kemudian menjadi presiden di negeri ini. Ada satu masalah yang sampai sekarang ini tidak pernah dipersoalkan—bukan untuk mencari siapa salah siapa benar, tapi untuk mencari yang terjadi seperti apa—yaitu sejarah. Sejarah itu ialah pencatatan tentang peristiwa-peristiwa penting yang menyangkut orang banyak, ditulis secara lurus dan benar. Lurus, tidak boleh selingkuh; benar, seperti yang terjadi. Tentang penilaian, terserah yang hadir. Apakah mau disukai, tidak disukai, mau disalahkan, mau dibenarkan, terserah. Perwira-perwira tentara KNIL itu menjadi petinggi-petinggi di Indonesia. Kenapa orang Jepang tidak menangkap mereka, itu aneh. Dikatakan aneh, karena tentara Jepang adalah tentara kekuatan musuhnya. Tapi itu tidak terjadi, malah mereka mendapatkan jabatan pada jaman Jepang. Nah, mengapa itu terjadi, saya sendiri tidak tahu. Itu pekerjaan rumah kalian jika mau tahu. Cari tahu mengapa. Itu petinggi-petinggi, tidak main-main: Urip Sumodiharjo, jenderal; Nasution, jenderal (lulusan PMA, militer di Bandung), dan sejumlah perwira lainnya. Itu penting diungkap, bukan untuk mengungkit-ungkit, menggugat-gugat, tapi untuk mencari tahu mengapa itu terjadi. Kalau ada manfaat di situ kita tangguk, tapi kalau ada masalah di situ jangan diulangi. Kalau saya mengatakan orang yang menandatangani prolamasi pada 17 Agustus 1945 dini hari, lalu sekitar empat tahun kemudian dia menerima penyerahan kedaulatan dari Kerjaan Belanda, dari Ratu Belanda, katakan apa itu namanya: baguskah, tidak baguskan, terserah kalian menilainya. Bagi saya, tidak bagus! Buat apa saya tanda tangani proklamasi kalau ujung-ujungnya saya mau tanda tangan lagi menerima kedaulatan dari Kerajaan Belanda. Itu kenyataan.

Saya berharap, ke depan kita mulai membaca kenyataan seperti kenyataan itu sendiri, jangan diselingkuhkan, jangan dipelinyir-pelintir demi apapun, sebab kebenaran adalah kebenaran. Barangkali karena keselingkuhan-keselingkuhan di masa lalu itulah kita jadi terpuruk ke dalam suatu keadaan seperti sekarang yang nyaris apapun buntu. Pembangunan buntu, moneter buntu, industri buntu. Mencari gas dan minyak, yang keluar malah lumpur hingga merendam desa-desa orang. Kemana-mana buntu. Kalau mau menolong orang miskin dengan raskin (beras miskin) sebanyak 20 kilogram satu bulan, dengan harga seribu per kilogram, dalam kenyataannya tidak sebanyak dua puluh kilogram. Saya katakan begitu, karena saya memperoleh raskin. Kenyataannya hanya lima kilogram. Paling tinggi tujuh kilogram. Subsidi 300 ribu per keluarga miskin, orang yang mendapat jatah bicara pada saya: “iya, tanda tangannya 300 ribu, tetapi yang saya terima hanya 150 ribu.” Kemana yang lainnya? “Dipotong.” Buat apa? “Biaya-biaya,” katanya. Mengapa masyarakat mau? Nah, di sini persoalan.

Ada hal yang elementer, barangkali saya ditertawakan kalau mengatakan ini, tapi tak apa-apa. Kalian semua diwajibkan membuat KTP bukan? Kalau tidak membuat, ada sanksinya. Ada razia, ditangkap. Si A menyuruh si B membuat sesuatu, kemudian si A mengatakan jika tidak awas kamu, dan bayar oleh kamu! Nah, yang menyuruh membuat KTP, menyuruh membayar juga. Harganya pun bukan harga yang sebenarnya, karena berlipat-lipat. Apa namanya yang seperti itu? Kalau kau menyuruh orang menggosok sepatu atau sepeda motormu, kan kamu yang bayar orang itu. Tapi ini tidak, kamu dirusuh sekaligus diminta membayar. Itulah berlangsung. Masyarakat-bangsa ini mau diperlakukan seperti itu.

Di era kolonial para pemimpin kita itu hebat. Saya menghormati mereka. Siapa mereka itu? Kihajar Dewantara, Tan Malaka, Setiabudi, berturut-turut pada generasi berikutnya sampai ke Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir Syarifudin, Mohamad Yamin, Samratulangi, Dr. Mansur dan lain-lain. Orang-orang itu kalau hanya mau hidup senang dengan Belanda, mereka cukup dan mudah. Gaji besar, minimum 300 Gulden satu bulan ketika harga beras 4 sen satu liter. Kalau ekuivalen dengan beras, berapa itu, bisa dihitung sendiri. Itu belum termasuk fasilitas. Ibrahim (Tan Malaka) itu bekerja dengan gaji 300 Gulden dengan fasilitas-fasilitas dan hak-haknya dipersamakan dengan orang Belanda. Tapi mereka tidak memilih itu. Mereka menepiskan itu dan terjun ke dalam pergerakan nasional, berlanjut dengan perjuangan. Itulah mereka. Nah, saya menamakan mereka itu kaum terpelajar yang sehat dan patriotik. Itu saya hormati.

Tetapi, setelah Jepang datang; fasis Jepang menduduki Hindia Belanda, mereka bekerjasama dengan Jepang. Tidak semua. Sutan Sjahrir tadinya tidak mau bekerjasama dengan Jepang, walaupun ujung-ujungnya dia juga mengajar di sebuah badan (lembaga) buatan Jepang dengan dalih karena Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Dalam nalar saya ketika itu, lho kemerdekaan kok diberi oleh Jepang? Bukankah kemerdekaan itu milik sendiri, harus diambil sendiri? Kalau kemerdekaan pemberian, kedengaran aneh buat saya waktu itu. Yang namanya diberi itu di bawah tangan. Tidak ada yang diberi itu tangannya di atas. Yang menerima itu tangannya di bawah. Itulah perselisihan yang timbul ketika itu: antara para senior dengan paramuda—yang isinya adalah pemuda dan mahasiswa. Saya terlibat di situ. Saya masih “anak bawang”ketika itu. Usia saya masih 19-an tahun. Setelah berdebat soal proklamasi, akhirnya kelompok senior mau memprolamirkan kemerdekaan. Sehari setelah itu UUD disahkan, pemerintahan dibentuk. Kabinet waktu itu terdiri dari 8 menteri. Kita tidak tahu lagi apa yang dilakukan oleh pemerintah. Saya dengan kawan-kawan waktu itu menyerbu Jepang, mengambil alih stasiun kota, stasiun trem. Di Kramat Raya diambil alih, Manggarai diambil alih. Ada komite van aksi waktu itu. Dulu memakai istilah “van”, karena kebanyakan adalah lulusan sekolah Belanda. Komite dari aksi: komite van aksi. Ketuanya adalah Chairul Saleh, wakil ketuanya Johar Noer. Nah, kita yang bertindak ketika itu, sampai-sampai si paramuda itulah yang berpikir kita sudah merdeka dengan proklamasi, sudah punya UUD 1945, sudah punya kabinet—yaitu pemerintahan—kok tidak memiliki tentara?

Tiga orang di antara paramuda itu—pemuda Menteng 31—menghadap Menteri Pertahanan Amir Syarifudin di jalan Cilacap untuk mendesak supaya segera dibentuk tentara Indonesia, karena kita sudah merdeka. Itu terjadi bulan September tahun 1945, sekitar sebulan setelah proklamasi. Kita tidak tahu apa yang dipikirkan oleh senior-senior yang sudah jadi presiden, wakil presiden, menteri—apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka rencanakan—ketika itu. Kita hanya melihat bahwa kita sudah memiliki negara, sudah merdeka, maka harus memiliki tentara. Kita desak, disampaikan pada Amir Syarifudin. Setelah itu pada tanggal 5 Oktober 1945 keluarlah Dekrit Presiden: membentuk Barisan Keamanan Rakyat (BKR), bukan tentara. Ketika itu saya tidak tahu apa alasannya. Belakangan ada justifikasi supaya kita tidak dianggap agresor, tidak dianggap agresif oleh sekutu. Dimana-mana negara itu memiliki tentara, kecuali Monako barangkali. Kami mulai kecewa waktu itu. Kecewa terhadap para pemimpin senior. Lalu datanglah perintah-perintah yang menyusul kemudian—kebetulan waktu itu saya ada di Bandung, tapi bulannya lupa—kami disuruh mundur, meninggalkan kota Bandung. Kita itu bukan kalah dalam pertempuran oleh tentara Belanda. Mereka (tentara Belanda-ed) duduk-duduk di sana, minum kopi, kita disuruh mundur. Siapa yang menyuruh? Pemerintah kita sendiri.

Setelah Proklamasi, kelompok Menteng 31, di mana saya bergabung menjelma menjadi API (Angkatan Pemuda Indonesia). Selanjutnya API menjelama menjadi Laskar Rakyat Jakarta Raya, yang kemudian melebar lagi menjadi Laskar Rakyat Jawa Barat. Itu proses dalam masyarakat. Dalam pemerintahan yang terjadi dari perundingan ke perundingan, mundur ke mundur. Mengapa begitu? Ini revolusi! Kenapa saya katakan revolusi? Ketika kita diperintah mundur dari Bandung, pemerintah sendiri, pemerintah kita—bukan diperintah oleh Belanda—yang mundur itu bukan pasukan-pasukan bersenjata, tapi rakyat. Mereka ikut mundur, ikut pergi, tidak mau hidup di bawah kekuasaan Belanda. Itu salah satu indikator penting bahwa rakyat bangkit membela kemerdekaan, bangkit membela proklamasi. Kebangkitan itu oleh pemimpin-pemimpin kita diredam, disuruh mundur, toh menurut: mundur berbondong-bondong penduduk Bandung menyeberangi sungai Citarum, meninggalkan harta kekayaan. Bayangkan itu! Harta benda yang mereka kumpulkan semumur-umur ditinggalkan saja, karena memihak kemerdekaan, memihak Nagara Republik Indonesia. Tidak mau di bawah Belanda. Tapi pemimpin kita tidak membaca itu. Itu bukan hanya di Bandung, di Semarang, Surabaya, Makasar, Medan, Menado, dimana-mana seperti itu. Bukankah itu suatu kebangkitan dari masyarakat?

Nah, pertanyaannya, mengapa masyarakat bisa bangkit seperti itu? Apa datang wahyu dari langit, atau bagaimana? Saya berpendapat, itulah hasil, buah kerja para pemimpin kita di era kolonial. Kalau dihitung dari 1912 sampai 1942, 30 tahun tidak henti-hentinya mereka—walaupun bermacam-macam partai dan organisasinya—tapi satu arah melawan penjajahan. Caranya beragam: ada yang keras brontak, tegas, serta yang lunak dan lembek pun ada. Tapi semua itu satu arah. Umar Said Tjokroaminoto dari Sarekat Islam menyatakan: tidak boleh lama lagi kita menjadi sapi perah yang hanya diambil susunya dan diberi makan oleh Belanda yang jauhnya ribuan kilometer. Itu satu. Beberapa tahun kemudian kongres Sarekat Islam membuat keputusan: berjuang melawan kapitalisme yang zalim. Itu kongres Sarekat Islam di tahun 1920-an.

Nah, kalau sekarang, yang saya dengar dan membaca koran, gerakan Islam berjuang melawan komunis. Sampai-sampai dihalalkan darahnya. Saya jadi berpikir, mengapa bangsaku ini bisa begitu? Siapa yang mengajari seperti itu? Dulu tahun 1945 itu rukun saja semua. Entah dia Hisbullah, Sabililah, BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia), pasukan Istimewa, API, Laskar Rakyat, RIS, rukun melawan penjajah. Jadi, satu garis, satu benang merah, bahwa kebangkitan masyarakat itu digugah oleh para pendahulu kita dulu. Ada formulasi bagus dari seorang pemimpin kita waktu itu: rakyat Indonesia bagaikan ayam yang mati di lumbung padi. Negeri ini subur, kaya sumber-sumbernya, kita melarat. Itu pemimpin-pemimpin kita dulu. Itu ucapan Soekarno dulu, di era kolonial. Tapi belakangan, ketika musim tari lenso—dipopulerkan oleh Soeharno—sampai orang-orang dari ormas, tokoh-tokoh politik dianjurkan untuk berlenso. Ada lirik lagu: “di Indonesia banyak makanan”. Itu saya plesetkan: “di restoran banyak makanan”. Dipanggil saya karena itu, dimarahi: “bikin kacau kamu, ya!” Memang betul. Di restoran yang banyak makanan. Di kampung-kampung susah, orang harus bekerja dulu: terima upah, baru beli beras.

Pemimpin kita yang begitu hebat ketika melawan kolonial, mengapa menjadi begitu jinak ketika menghadapi tentara Belanda yang dibantu oleh sekutu setelah merdeka? Mengapa itu, mengapa? Tidak pantas itu. Kehebatan, ketahanujian, pengorbanan ketika melawan kolonial begitu hebat. Tapi setelah menjadi presiden, menteri, kok menjadi jinak? Sutan Sjahrir itu menandatangani Perjanjian Linggarjati, tahun 1946. Isinya pasal pertama yang saya ingat: “wilayah kekuasaan de facto—tanpa kekuasaan de jure—Republik Indonesia: Jawa, Madura dan Sumatera. Itu yang ditandangani. Itu yang diterima. Padahal sebelum Sjahrir itu ke Digul. Mengapa mendadak sontak jadi jinak seperti itu? Saya ketika itu berada di pihak yang menolak perjanjian itu. Jadi, apa boleh buat, saya jadi buronan republik. Menyusul setelah itu Perjanjian Renville juga begitu. Kekuatan tentara kita di kantung-kantung gerilya di pulau Jawa ini harus keluar dari kantung-kantung gerilya, berkumpul ke Yogyakarta semua. Saya termasuk dalam kelompok yang menolak itu. Kalau mau bukan kita yang keluar, tapi itu Belanda yang pergi dari ini. Nah, mengapa pemimpin kita sampai begitu? Why? Mengapa mereka yang dulu begitu perkasa di era kolonial menjadi jinak seperti tidak punya tulang punggung? Haah-heeh saja pada Belanda. Ketika itu saya masih muda, jengkel sekali. Apalagi ketika KMB. Coba kalian pikir, kau tandatangani sebuah perjanjian, terus kautandatangani sesuatu yang menganulir yang ditandatangan pertama, apa itu namanya?

Nah, sejarah tentang itu tidak diungkap. Saya tidak mempersalahkan orang-orang yang sampai sekarang memuja-muja Hatta, memuja-muja Sjahrir, silahkan. Akupun memujanya, tapi Sjahrir yang mana, Hatta yang mana? Hatta yang ketika sekolah di Belanda aktif dalam Liga Anti-Kolonial. Itu Hatta yang hebat. Tapi Hatta yang menandangani KMB, maaf. No way! I do not respect it! Jadi saya itu proporsional. Saya tidak mau berpikir absolut. Kalau bagus itu bagus saja dari ujung sampai ujung. Tidak ada di dunia yang seperti itu. Kalau baca perjanjian KMB, yang saya ingat saja: itu utang-utang Belanda selama menyerang kita bertahun-tahun harus dibayar oleh kita. Terus tentara kita, TNI harus dicampur aduk dengan KNIL. Karena itu saya tidak suka, dan saya letakan. Saya bersedia menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia), tapi tentara RIS (Republik Indonesia Serikat-ed) sama sekali tidak. Saya mundur. Nah, itu perjalanan kita.

Saya sendiri sudah lama minta tolong beberapa kawan untuk dicarikan naskah-nasakah perjanjian itu: Linggarjati, Renville, KMB yang otentik, supaya bisa dibaca, bisa dipelajari, bisa ditangguk pengalaman dari situ. Kalau ada yang baik bisa diambil, kalau ada yang buruk kita tinggalkan, jangan diulangi. Hanya untuk itu! Tadi saya berkata seperti itu bukan saya menjelekan Hatta. Saya hanya bertanya, mengapa kamu yang begitu hebat dulu di negeri Belanda sampai ditangkap oleh Belanda karena anti-kolonial, di Indonesia gara-gara menentang kolonialisme ditangkap dan dibuang ke Digul, tapi mengapa sekarang loyo begitu, main tanda tangan saja perjanjian yang menguntungkan Belanda. Itu pertanyaan besar. Apa sebabnya, saya sendiri belum bisa jawab. Tapi, terjadilah seperti itu. It was happen like that?

Nah, itu perjalanan. Tanpa mempelajari perjanjian ini (Perjanjian Linggarjati, Renville, dan KMB) omong kosong kita mempelajari pemerintahan negara Indonesia. Apa yang mau dipelajari: puji-memuji, hebat-menghebat, puja-memuja, gitu-gituan saja? Itu sama dengan “si buta dan si gagu”. Menurut saya itu tidak baik. Kalian harus lebih mengerti dan lebih tahu mengapa semua itu terjadi, bagaimana sampai terjadi. Kalau kita membuat perbandingan sedikit, kita ambil contoh negeri yang kecil: luasnya lebih kecil, jumlah penduduknya juga lebih kecil dari kita—jauh lebih kecil—dijajah oleh Prancis, Prancis dia lawan. Dia tidak menempuh jalan kompromi, tapi dia menempuh jalan perjuangan. Rakyatnya bangkit, melawan, kalah Prancis. Benteng yang dibangga-banggakan Prancis Dien-dien Fu itu direbut oleh mereka, dan jenderalnya ditangkap di situ. Karena wilayah itu strategis menurut pandangan tuan-tuan modal, tidak bileh lepas itu. Datanglah tentara Amerika ke sana. Enam sampai tujuh ratus ribu jumlahnya dikirim ke tempat itu, ke negeri itu untuk menghancurkan gerakan kemerdekaan. Apa yang terjadi? Karena mereka menempuh jalan perjuangan, mereka membaca kesadaran rakyat, kebangkitan rakyat, serdadu Amerika itu terbirit-birit kabur dari situ walaupun jumlahnya 700 ribu orang. Nah, kita sebesar ini, seluas ini, 70 juta waktu itu kita punya penduduk, hanya dengan 100 ribu tentara Belanda diem. Kok kita mendek-mendek. Mengapa pemimpin-pemimpin jadi begitu? Aneh sekali. Saya serahkan pada kalianlah untuk mencari jawabnya. Mereka yang begitu hebat terus mendek-mendek hanya dengan 100 ribu tentara Belanda. Total itu yang bule dan kulit hitam—KNIL dan KL. Sedangkan mereka di sana 700 ribu tentara Amerika yang persenjataannya jauh lebih hebat dari tentara Belanda toh mereka bisa atasi.

Nah, dari sana saya mencoba-coba untuk membuat sebuah hipotesis: suatu revolusi kalau dikompromikan, maka revolusi itu bunuh diri. Itulah yang terjadi. Itu yang terjadi di Prancis, revolusinya dikompromikan, habislah: Montesque, Dante digueletin semua. Padahal mereka itu adalah pencetus revolusi. Kalau di sini tidak sampai digueletin, karena tidak ada digueletin, tapi ditembaki. Gara-gara menolak perjanjian Linggarjati diserbu dan ditembak. Gara-gara menolah Perjanjian Renville diserbu, ditangkap, dan ditembak di tempat. Jadi, main tembak mati di tempat itu bukan Soeharto saja, sudah ada jauh sebelumnya.

Itu perjalanan. Untuk apa itu semua? Supaya kita tahu di mana benarnya di mana salahnya. Salahnya jangan diulangi, benarnya bisa diteruskan. Seperti yang ditulis oleh Utuy Tatang Sontani tentang Sangkuriang: ketika Sangkuriang mati, Dayang Sumbi mati, semua menangis, maka datanglah lengser dan berkata, “sudahlah, jangan ditangisi lagi, tidak hidup lagi yang mati”. Sekarang tinggal yang jeleknya kita tunda, yang baiknya tuluy keneun sarerea (tinggal diteruskan oleh semua). Nah, itu formulanya. Jadi saya hanya mengemukakan fakta-fakta, kejadian-kejadian dan proses berlangsungnya.

Terakhir, kita punya Undang-Undang Dasar. Saya bertanya kepada diri saya sendiri: mengapa kalangan terpelajar kita hari ini tidak membahas Undang-Undang Dasar? Sekalinya dibahas untuk diobok-obok. Mengapa timbul kemalasan di situ? Saya tidak tahu itu mengapa. Padahal isinya itu—berulang-ulang harus saya sitir, harus diulangi lagi mentang-mentang saya duduk di Dewan Konstituante, badan perancang konstitusi negara—semua orang bisa baca kalau mau. Kok saya tidak pernah dengar ada kelompok diskusi membahas apa Undang-Undang Dasar kita itu. Baca, diskusikan, apa ini artinya ini, dan apa itu artinya. Akibat kelalaian—kalau boleh disebut kelalaian—sekarang ini sudah 3600 lebih undang-undang dan perda-perda yang dibuat tidak sesuai dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Karena kalian tidak mau membahas Undang-Undang Dasar, ya sudah, dilangkah-langkahi, dibiarkan saja, diam-diam saja. Itu persoalan kita sekarang. Kalau memang betah seperti itu saya tidak apa-apa, up to you, up to all of you.




HILMAR FARID
Nasionalisme Indonesia berhenti Di Titik Kenyataan Politik

Saya mulai dengan pernyataan bahwa sejarah Indonesia itu penuh mitos, dan Sumpah Pemuda adalah salah satunya. Jangan salah paham dulu. Mitos itu tidak selalu berarti negatif sehingga harus ditinggalkan. Banyak mitos yang berguna seperti juga kepercayaan. Sumpah Pemuda menjadi mitos bukan kesalahan orang-orang yang membuat Sumpah Pemuda, tetapi tafsir-tafsir yang datang kemudian. Sedikit saja sebagai konteks, harus diingat bahwa 28 Oktober 1928, terjadi dua tahun setelah pemberontakan PKI 1926. Setelah itu lanskap politik di Hindia Belanda berubah total. Fase pertama dari nasionalisme Indonesia itu sangat radikal, mengutamakan kesetaraan.

Setelah Belanda menumpas pemberontakan kemudian membangun negara polisi—isinya intel dimana-mana. Nah, kultur yang selama Orde Baru hidup—perasaan terus-menerus diawasi, mengawasi satu sama lain—sebetulnya warisan kolonial. Sumpah Pemuda lahir di dalam kondisi seperti itu. Arti penting dari sumpah itu sendiri datang belakangan. Setahu saya—tolong dikoreksi jika salah, pertama kali Sumpah Pemuda diperingati, dirayakan secara besar-besaran—keinginan Soekarno—baru tahun 1948. Jadi, Sumpah Pemuda dianggap sebagai tonggak perjalanan suatu bangsa itu terjadi belakangan. Saya periksa koran-koran tahun 1928, tanggal 29, 30 sampai 1 November dan seterusnya, tidak ada orang yang membahas Sumpah Pemuda. Jadi, pada saatnya dia terjadi tidak, atau belum mendapat arti penting. Mitoslah yang kemudian melihat sumpah terlihat sebagai sesuatu yang begitu hebat pada jamannya. Tidak! Arti penting itu dibuat belakangan, meskipun memang dia penting.

Pentingnya begini: tadi disebut tahun 1850 Sbastian, kemudian Logan memberi nama atau menyebut kawasan yang kita kenal Indonesia sekarang itu sebagai Indonesia. Meminjam konsep-konsep Pramudia Ananta Toer, 1850 itu Indonesia menjadi kenyataan geografis dengan munculnya studi-studi antrolologi dan geografi yang menyebut kawasan ini sebagai Indonesia. Tetapi, orang-orang Indonesia atau yang hidupnya di atas tanah Indonesia tidak merasa dirinya Indonesia. Belum. Mereka masih terbagi-bagi dalam komunitas kesukuan (etnik), dan etnik pun masih bisa dipecah-pecah. Orang Jawa atau orang Sunda semangat menjadi orang Jawa dan Sunda itu belangan, bukan awalnnya. Dulu semua menganggap dirinya sebagai pusat bumi. Makanya raja Jawa walaupun bertetangga semuanya menganggap diri mereka sebagai pusat dunia. Pakualam dan Hamengkubuwono dua-duanya mengaku sebagai pusat bumi, padahal hanya beberapa ratus kilometer saja jaraknya.

Nah, apa yang dilakukan oleh Sumpah Pemuda dan juga gerakan sebelumnya, maka Sumpah Pemuda bisa dikatakan sebagai kulminasi. Apa yang dilakukan oleh pergerakan pada masa awal tersebut membuat Indonesia sebagai kenyataan geografis menjadi kenyataan politik, dengan memberi nama pada gerakan untuk mewujudkan kemerdekaan itu “Indonesia”. Perhimpunan Indonesia yang pertama kali menggunakan, PKI, kemudian PNI dan seterusnya, semua mulai menggunakan nama Indonesia. Sumpah Pemuda menjadi penting, karena dia menandai bukan hanya kenyataan politik yang mewujudkan organisasi yang memiliki nama (bernama), tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai sebuah kenyataan kultural. Namun, sampai sekarang hal itu masih menjadi cita-cita—yang sebetulnya semakin tipis. Semakin sedikit orang yang mencoba mencurahkan waktunya untuk mewujudkan Indonesia sebagai sebuah kenyataan kultural.

Apa yang saya kemukakan itu merujuk pada Pramedya Ananta Toer. Saya meminjam konsep-konsep dia, bukan pikiran orisinal saya. Jadi, ada kenyataan geografis tahun 1850; kenyataan politik pada awal abad XX, dan kemudian mencoba menjadi kenyataan kultural yang sampai sekarang masih diupayakan, karena belum “menjadi”. Dibanding tahun 1950-an 1960-an, saya kira sekarang malah agak melangkah mundur. Perhatian kita terhadap bahasa misalnya, sangat menurun. Dulu ada komisi istilah dan benar-benar dipakai, sekarang ada komisi istilah tidak ada yang perduli.

Menjunjung bahsa persatuan bahasa Indonesia, sederhananya bahasa itu dipakai menjadi alat untuk masuk di dalam dunia yang komples ini. Kita memberi nama-nama, memberi istilah-istilah, dan menemukan istilah-istilah untuk menamai kenyataan tertentu. Gunanya adalah agar kita bisa ikut dan terlibat dalam pengelolaan kehidupan dunia. Sekarang kita tidak perduli dan cenderung potong kompas. Kita mengambil saja istilah-istilah dari bahasa lain, sehingga cenderung semakin tidak berkembang. Kenyataan kultural yang dicanangkan oleh Sumpah Pemuda bukan hanya tidak mengalami kemajuan, tetapi sebetulnya agak merosot.

Kalau melihat dari tiga kenyataan tadi, pertanyaannya kemudian adalah: apa itu nasionalisme? Itu mitos yang lain lagi. Nasionalisme bisanya dianggap sebagai semangat kebangsaan. Tapi kalau kita melihat belakangan ini—terutama di era Orde Baru—wacana nasionalisme menonjol dibanding era Soekarno. Namun, semangat kebangsaan dalam konteks itu diwujudkan hampir selalu dengan simbol, dan biasanya benda. Jadi, seperti pemuja berhala sebenarnya: bedera, lagu-lagu, pakaian. Seolah-olah itulah ekspresi kebangsaan. Kalau bajunya putih, slayer-nya merah itu dianggap jauh lebih nasionalis. Kalau ada yang memperjuangkan buruh—dan karena itu berhadapan dengan kekuasaan—dianggap tidak nasionalis dan dianggap menjual bangsa sendiri. Dengan kita mengirim berita—misalnya pada jaman Soeharto—ke luar negeri tentang kejadian di Indonesia dipersoalkan karena dianggap menjual. Mereka yang menampari buruh dianggap nasionalis tulen. Itu sudah terbalik-balik.

Nah, nasionalisme sering kali pengertiannya sebatas seberapa jauh kita setia, cinta pada simbol-simbol itu. Sementara jika melihat sejarahnya, nasionalisme Indonesia tidak berdasarkan kepada kesatuan etnik. Jelas tidak. Tidak ada yang bisa mengklaim sayalah asal-usul dari Indonesia. Bukan karena bahasa, bukan karena warna kulit. Jadi apa yang menyatukan tidak lain adalah cita-cita politik. Indonesia adalah sebuah cita-cita politik, yakni kenyataan geografis yang kemudian diumumkan sebagai kenyataan politik dengan membentuk republik. Proklamasi itu adalah pengumuman bahwa Indonesia sekarang sudah menjadi kenyataan politk dan kenyataan hukum sekaligus. Nah, itu yang disebut Indonesia. Kalau sekarang tidak. Sekarang ini mau coba-coba dicari akar-akar etniknya apa, coba-coba dicari akar linguistiknya apa, sementara akar politiknya nyaris dilupakan. Politknya jelas: politik kesetaraan.

Sejak awal jika melihat wacana nasionalisme Indonesia, jauh sebelum Sumpah Pemuda sudah ada: egaliter, prinsip kesetaraan. Itu yang menjadi alasan mengapa orang mau bergabung. Seperti jaman dulu, kalau orang mau bergabung dengan keyakinan tertentu karena dibebaskan dari statusnya sebagai budak. Nasionalisme yaitu keyakinan akan cita-cita tersebut. Belakangan jika kita melihat upacara-upacara, simbol-simbol, merah-putih, segala macam—ya, simbol penting, mitos penting, tidak untuk ditinggalkan—tapi pahami betul mengapa kita harus memiliki kecintaan pada simbol-simbol itu: terutama adalah karena komitmen politiknya tertanam dalam simbol-simbol. Kalau sekarang bisa dikatakan simbol-simbol itu hilang komitmen politiknya. Sudah kosong. Sudah hampa.

Kalau sekarang kita tanya pada orang di jalan apa itu Indonesia, jawabannya akan kabur. Kita satu komunitas—KTP Indonesia, kalau dia punya paspor, maka paspornya Republik Indonesia, mengaku warga negara Indonesia—apakah tahu Indonesia? Jadi, kita bagian dari komunitas yang kita sendiri tidak terlalu paham. Itu adalah persoalan defisit nasionalisme. Bukan kecintaan kepada bendera dan lagu. Itu belakangan, tidak diutamakan. Tapi, komitmen politik pada simbol itulah yang perlu kita persoalkan. Karena bagi saya jelas, cita-cita politik, prinsip kesetaraan dan lain-lain, itulah inti dari nasionalisme.

Dulu saya terlibat dalam membela orang-orang Timor Leste, dan usaha memperjuangkan kemerdekaan mereka dianggap tidak nasionalis. Nanti dulu. Urusan mau merdeka atau tidak adalah urusan orang Timor Leste, tapi saya akan bela hak mereka untuk merdeka. Jadi, intinya yang ingin saya sampaikan, tidak ada hubungannya kalau kita mengatakan apa yang dilakukan oleh bangsa atau negara sebagai sebuah kesalahan dianggap sebagai komitmen pada nasionalisme. Misalnya, right or wrong is my country. Bagi saya sederhana: Indonesia sebagai cita-cita tetap dibela. Tetapi kalau salah ya harus dibilang salah. Melindungi kesalahan dan kemudian terjerumus pada keadaan seperti sekarang lebih tidak nasionalis daripada kita berbicara apa kesalahan-kesalahan yang ada, dan coba membuat koreksi. Itu adalah ilustrasi apa dari yang saya pikirkan tentang nasionalisme.

Soal yang terakhir tentang konstitusi—dan kalau bicara gerakan untuk mengubah Indonesia lebih baik—belakangan saya mulai berpikir bahwa apa yang saya lihat hubungan antara aktivis, intelektual dengan orang pada umumnya, dengan khalayak, itu semakin lama semakin jauh. Di arus atas, aktivis semakin “tebal imannya”, semakin banyak baca buku, pendalaman materi dan seterusnya, sehingga lebih mudah mendebat lawannya daripada berbicara pada orangnya sendiri. Hal seperti itu banyak terjadi di dalam pergerakan nasional di jaman dulu: lebih mudah berdebat dengan musuh Belandanya daripada berbicara pada rakyatnya sendiri. Itu sekarang tampaknya berulang. Konstitusi itu menurut saya menjadi semacam jembatan, karena dokumen itu kunci. Itu merupakan dokumen kunci di Indonesia, yang celakanya banyak dari kita tidak hapal. Pembukaan UUD 1945 menurut saya—daripada panjang lebar neoliberalisme segala macam—itu sudah menjadi dokomen politk dan menjadi dasar politik serta menjadi dokumen yang paling bagus untuk menjadi dasar kampanya anti-neoliebral, karena Republik Indonesia itu memang dibuat anti-kapitalis. Pembukaan konstitusi Indonesia itu sangat kiri. Tentu perlu ada perbaikan di sana-sini, tapi maksud saya, ini adalah landasan bagi kampanye politik yang ramai-ramai dibicarakan sekarang ini. Cara yang sangat efektif, buat saja kumpulan diskusi warga membahas konstitusi. Kalau proses itu dilakukan selama setahun saya kira akan ada proses politisasi sebagaimana yang diharapkan selama ini.

Membuat kelompok diskusi tentang konstitusi itu merupakan salah satu jalan, dan bukan jalan yang mudah bagi perubahan. Inspirasinya saya peroleh pertama dari tulisan Samsir, dan yang kedua, kalau mengikuti perkembangan Hugo Chavez, yang dilakukan oleh dia itu adalah: gerakan yang mempertahankan konstitusi Bolivarian di Venezuela. Dia dianggap sebagai alternatif terhadap kapitalis dan globalisasi. Buat lingkaran-lingkaran di mana orang membicarakan konstitusi. Dari situ orang kemudian bangkit. Ya, tentu tidak dengan sendirinya akan menghasilkan apa yang diimpikan, tetapi sebagai titik tolak itu pantas untuk dipegang. Menurut saya, krisis yang belakangan ini terjadi bukan hanya dalam bidang ekonomi, politik dan sosial, tetapi yang dipertaruhkan adalah eksistensi republik. Kalau mau belajar sejarah bukan hanya apa yang terjadi di masa lalu, tapi mengapa kita bisa sampai ke dalam situasi seperti sekarang, dan menganggap itu wajar. Itu pertanyaan besar. Kalaupun sejarah itu masih berguna untuk dipikirkan, dia harus menjawab pertanyaan itu.




ASVI WARMAN ADAM
Merumuskan Kembali Persatuan Indonesia

Dalam peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2008, pertanyaan yang paling sering muncul adalah apakah dasar negara kita itu masih relevan dalam kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara. Apakah kita sudah menerapkan kelima sila itu dalam praktik?
Dalam krisis multidimensi yang melanda Indonesia dan tak kunjung pulih sepenuhnya serta ancaman disintegrasi bangsa, selain separatisme juga pertentangan antara pusat dengan daerah serta antara daerah (tingkat satu) dengan daerah (tingkat dua), maka orang akan mempertanyakan persatuan Indonesia. Apakah persatuan Indonesia masih ada ketika pembelahan masyarakat miskin dengan masyarakat kaya semakin besar dan semakin membesar. Masihkah layak kita berbicara tentang persatuan nasional ketika kesenjangan sosial kian merebak.
Tulisan ini mencoba membahas aspek persatuan ini dalam perumusan dasar negara tahun 1945 serta penafsiran tentang persatuan pada era Orde Baru. Pada bagian penutup akan dibicarakan tentang syarat terbentuknya persatuan pada era reformasi ini.
Lahirnya Pancasila

Persatuan adalah kata yang diucapkan oleh hampir seluruh anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI dalam merumuskan dasar negara tahun 1945. Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 merupakan pidato yang mendapat sambutan sangat meriah dari para anggota BPUPKI yang menegaskan tentang hal ini.

“Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi “semua buat semua.”

Negara itu tentu didiami oleh bangsa. Menurut Renan, syarat bangsa adalah “kehendak untuk bersatu”. Soekarno menambahkan dengan mengutip anggota BPUPKI yang lain Bagus Hadikusumo, yang dibutuhkan adalah persatuan antara orang dengan tempat, antara manusia dengan tempatnya. Tempat itu tidak lain dari tanah air. Tanah air itu adalah suatu kesatuan.

“Minangkabau bukanlah satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan. Jogya hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan. Sunda pun hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan. Bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang sudah ditentukan oleh Allah SWT tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre ensemble”, sudah menjadi ‘character gemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu dan sekali lagi satu!”

Tepuk tangan paling ramai diberikan setelah ia berpidato. Mengapa hal ini terjadi?

Sejak remaja Soekarno mengagumi gaya HOS Tjokroaminoto, seorang tokoh Sarekat Islam. Kekaguman itu tumbuh bahkan sejak Soekarno tinggal di rumah tokoh itu di Surabaya. Di ruang kamarnya yang sempit pada malam hari ia naik ke atas meja dan berlatih berpidato. Ia memang sudah membayangkan berbicara di depan rakyat banyak untuk menyampaikan pesan kebangsaan.

Pidato 1 Juni 1945 dimulai dengan bagian pengantar yang sangat diharapkan pendengarnya tentang “merdeka selekas-lekasnya”. Perumpamaan yang digunakan oleh Bung Karno sangat mengena yakni kalau kita ingin menikah tidak perlu punya rumah dulu dengan perabot lengkap. Tentu gaya bahasa ini cocok dengan kondisi pada zaman itu.

Rumusan Pancasila 1 Juni 1945 itu mendapatkan tantangan dengan tambahan tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” yang kemudian diakomodasi dalam apa yang disebut Mukadimah (Sukarno) atau Piagam Jakarta (Muhammad Yamin) tanggal 22 Juni 1945.

Namun, ketika Pancasila disahkan sebagai dasar negara, maka ungkapan yang terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak lagi menggunakan rumusan Piagam Jakarta. Ketiga peristiwa proses Pancasila sejak dicetuskan oleh Bung Karno, lalu menjadi Piagam Jakarta sampai dijadikan sebagai dasar negara, 18 Agustus memperlihatkan sikap kenegarawanan founding fathers dan founding mothers kita saat itu. Rumusan tertanggal 18 Agustus itu meskipun tidak disebut secara eksplisit dalam teksnya sebagai Pancasila sudah kita terima secara resmi. Rumusan itu merupakan kompromi yang memperlihatkan bahwa pendiri bangsa kita lebih mengutamakan persatuan karena musuh sudah berada di depan pintu.

Serba Tunggal

Ketika menghadapi persoalan sulit yakni pergolakan daerah, maka tahun 1957 peringatan Sumpah Pemuda diadakan secara besar-besaran. Pada saat itu dikemukakan bahwa kita berbangsa satu, bertanah air satu dan berbahasa satu. Walaupun sesungguhnya rumusan sumpah tersebut tidak persis sama seperti disampaikan tanggal 28 Oktober 1928. Pada tahun 1928 dinyatakan kita menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Persatuan sebagaimana dirumuskan dalam slogan Sumpah Pemuda itu hanya menyangkut “persatuan” semata-mata. Itulah sebabnya Prof Sartono Kartodirdjo menganggap bahwa Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda tahun 1925 tidak kalah pentingnya. Bila dalam Sumpah Pemuda hanya ditekankan “unity”, maka dalam Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia aspek itu digabungkan dengan “egality” dan “liberty”. Persatuan itu hanya tercapai dalam suasana kemerdekaan. Demikian persatuan itu tidak ada artinya bila tidak ada kesetaraan. Orang bisa “bersatu” dalam sebuah bis kota, tetapi persatuan itu akan menyakitkan bila tidak ada kesetaraan, bila ada penumpang yang satu menginjak kaki penumpang yang lain.

Pada era Orde Baru, demi mewujudkan stabilitas, pemerintah menerapkan segala sesuatu yang serba tunggal. Persatuan itu identik dengan kata tunggal. Organisasi profesi harus tunggal, Persatuan Wartawan Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia, organisasi pengacara semuanya harus tunggal. Demikian pula dengan organisasi kepemudaan yang bernaung di bawah Komite Nasional Pemuda Indonesia. Semua organisasi ini harus memiliki asas tunggal yakni Pancasila.

Sejarah pun ditulis dan diajarkan dalam versi tunggal termasuk sejarah lahirnya Pancasila. Pada awal Orde Baru terdapat dualisme kekuasaan antara Presiden Soekarno dengan Jenderal Soeharto. Namun yang terjadi kemudian bukan saja penghilangan dualisme tersebut tetapi juga pendeskreditan nama besar Soekarno.

Dalam kaitannya dengan tanggal 1 Juni 1945 saat Sukarno berpidato tentang dasar negara yang dinamainya Pancasila, dikatakan bahwa Muhammad Yamin telah berpidato sebelum Bung Karno. Walaupun pernyataan itu telah dibantah oleh Panitia Lima (Mohamad Hatta, Ahmad Subardjo, AA Maramis, Sunario dan AG Pringgodigdo). Supomo pun disebutkan telah menguraikan tentang dasar negara. Padahal Supomo berpidato tentang syarat adanya negara yaitu wilayah, penduduk dan pemerintah yang berdaulat. Bahkan pada buku-buku sejarah yang digunakan di sekolah diajarkan bahwa Pancasila merupakan karya seluruh bangsa Indonesia sejak dari zaman purbakala sampai masa sekarang.

Sejak tanggal 1 Juni 1970, Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, melarang peringatan lahirnya Pancasila. Pada 22 Juni tahun yang sama, mantan Presiden Soekarno wafat. Sejarawan Perancis, Jacques Leclerc mengatakan bahwa pada hakikatnya Bung Karno telah dibunuh dua kali. Secara fisik ia dalam status “tahanan rumah” tidak dirawat sebagaimana semestinya sehingga kesehatannya semakin memburuk dan akhirnya meninggal, sedangkan pemikirannya dilarang untuk didiskusikan.

Kontroversi tentang lahirnya Pancasila ini dimulai pada awal Orde Baru dengan terbitnya buku tipis Nugroho Notosusanto berjudul Naskah Proklamasi jang otentik dan Rumusan Pancasila jang otentik (Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Departemen Pertahanan-Keamanan, 1971). Di dalam buku ini Nugroho mengatakan, ada empat rumusan Pancasila yaitu yang disampaikan Muhammad Yamin pada 29 Mei 1945, Sukarno pada 1 Juni 1945, berdasarkan hasil kerja tim sembilan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (22 Juni 1945) dan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 (18 Agustus 1945). Menurut Nugroho rumusan Pancasila yang otentik adalah rumusan tanggal 18 Agustus 1945 karena Pancasila yang termasuk dalam Pembukaan UUD 1945 itu dilahirkan secara sah (yakni berlandaskan Proklamasi) pada tanggal 18 Agustus 1945.

Pada akhir leflet itu Nugroho menandaskan, “Kiranya tidak perlu lahirnya Pancasila itu kita kaitkan kepada seorang tokoh secara mutlak. Karena lahirnya suatu gagasan sebagai sesuatu yang abstrak memang tidak mudah ditentukan dengan tajam. Yang dapat kita pastikan adalah saat pengesahan formil dan resmi daripada suatu dokumen.”

Manuver sejarah yang pada awalnya bersumber dari Pusat Sejarah ABRI ini kemudian mendapat penentangan dari kalangan sejarawan dan pelaku sejarah. A.B Kusuma dalam makalah berjudul Menelusuri Dokumen Historis Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan berdasarkan notulen yang telah ditemukan kembali tahun 1989 mengatakan bahwa tidak benar bahwa Muhammad Yamin yang pertama mengungkapkan tentang dasar negara Pancasila. Hal ini kemudian juga ditegaskan dalam buku A.B.Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: 2004).

Yamin sendiri dalam bukunya mengakui Soekarno sebagai penggali Pancasila. Panitia Lima yang diketuai Hatta juga mengakui Soekarno yang pertama berpidato tentang Pancasila.

Ada pula sejarawan seperti Dr Anhar Gonggong yang masih ragu-ragu untuk menyatakan bahwa Soekarno sebagai penggali Pancasila. Menurut Anhar, Sukarno sangat berperan dalam tiga peristiwa yang berhubungan dengan proses lahirnya Pancasila yaitu 1 Juni, 22 Juni dan 18 Agustus 1945. Pada ketiga kejadian itu Sukarno menduduki posisi penting: 1 Juni sebagai penyampai pidato, 22 Juni sebagai ketua tim sembilan yang melahirkan Piagam Jakarta dan 18 Agustus 1945 sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang kemudian dipilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia.

Menurut Anhar, Pancasila sebagai dasar negara memang lahir tanggal 18 Agustus 1945, sedangkan penggunaan istilah dan rumusan Pancasila an sich lahir tanggal 1 Juni 1945, yang kedua-duanya erat kaitannya dengan Soekarno. Prof Notonegoro dari Universitas Gajah Mada mengatakan, Pancasila yang disampaikan oleh Soekarno tanggal 1 Juni 1945 baru merupakan “calon dasar negara”. Sedangkan dasar negara itu baru disahkan tanggal 18 Agustus 1945.

Jangan lupa bahwa diorama pada Monumen Nasional atau Monas yang dirancang sebelum 1965 telah mengalami perubahan ketika pembangunan dilaksanakan awal Orde Baru. Lukisan tentang lahirnya Pancasila 1 Juni telah diganti dengan pengesahan Pancasila sebagai dasar negara tanggal 18 Agustus 1945.
Pada tanggal 13 April 1968 dikeluarkan Keputusan Presiden tentang rumusan resmi Pancasila. Tahun 1970 terbit tulisan Nugroho Notosusanto yang cenderung mereduksi peran Soekarno dan mengalihkannya kepada Yamin. Tahun 1968 didirikan laboratorium Pancasila di Malang. Tahun 1971 diterbitkan seri laboratorium ini bersamaan dengan dokumen yang berisi sikap ABRI tentang Pancasila. 19 Desember 1974 Soeharto berpidato di Universitas Gajah Mada tentang tafsir resmi Pancasila. Sejak 1978 dikeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang penataran Pancasila.

Pada era Orde Baru, Pancasila dijadikan asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi masyarakat tanpa kecuali. Ideologi ini dikampanyekan secara nasional dan melalui pendidikan sekolah. Penataran dilakukan secara berjenjang dan memakai anggaran negara. Namun Pancasila yang diajarkan sudah direduksi menjadi sekian butir-butir sifat yang yang harus dihafal. Pancasila juga digunakan sebagai alat pemukul bagi kelompok yang kritis. Orang yang menolak tanahnya digusur dicap “anti Pancasila”.

Pasca Orde Baru

Setelah Soeharto berhenti jadi presiden, sikap skeptis terhadap Pancasila tidak otomatis hilang. Namun tatkala terjadi perkembangan yang menjurus ke arah disintegrasi misalnya dengan tuntutan pelaksanaan syariat Islam, maka ketika itu terasa pentingnya kembali untuk “membela” Pancasila.

Walaupun diakui Pancasila dapat mempersatukan bangsa, namun disetujui pula bahwa pemaksaan termasuk penataran wajib era Orde Baru bukanlah cara yang elegan. Tahun 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato tentang pentingnya Pancasila dalam menata kembali kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehari sebelumnya sejumlah pakar mendiskusikan Pancasila yang kemudian diterbitkan dengan judul Restorasi Pancasila. Tentu istilah ‘restorasi” itu tidak mengacu kepada “tempat makan di atas kereta api Argo Gede”. Sila-sila Pancasila dibahas termasuk tantangan yang dihadapi menghadapi perubahan zaman termasuk globalisasi dan desentralisasi pemerintahan.

Bilamana wacana Pancasila sudah demikian berkembang, tidak demikian dengan rehabilitasi terhadap Soekarno, sang pencetus ideologi tersebut. TAP MPRS no XXXIII/1967 yang menuduh Bung Karno membantu kudeta yang bertujuan menggulingkan dirinya, tidak pernah dicabut. Tahun 2005 terbit buku Antonie Dake yang menuding Soekarno “secara langsung terlibat dalam pembunuhan 6 Jenderal dan secara tidak langsung dalam pembunuhan massal yang terjadi sesudahnya”. Yayasan Bung Karno yang dipimpin Guruh Soekarnoputra sudah mengajukan gugatan hukum terhadap penulis dan penerbit melalui Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Namun sampai hari ini, kasus pencemaran nama baik –atau “pembunuhan karakter terhadap proklamator”, menurut istilah Megawati—belum ditindak lanjuti. Mungkin polisi masih sibuk dengan urusan lain yang dianggap lebih penting. Tanggal 1 Juni seyogianya diperingati sebagai lahirnya Pancasila di samping mengenang penggagas Pancasila itu sendiri.

Setelah Soeharto berhenti jadi presiden tahun 1998 dan kekuatan Orde Baru menjadi goncang, maka berbagai hal yang ditutup-tutupi selama rezim itu berkuasa, mulai dibongkar. Termasuk di dalamnya sejarah yang direkayasa untuk kepentingan penguasa. Muncul keinginan untuk menjernihkan berbagai persoalan sejarah yang selama 30 tahun belakangan ini ditulis hanya sesuai versi resmi pemerintah. Untuk itu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dipimpin oleh Juwono Sudarsono tahun 1998 menugaskan kepada Masyarakat Sejarawan Indonesia atau MSI untuk membuat semacam suplemen bagi guru-guru sejarah di sekolah mengenai beberapa aspek yang kontroversial dalam sejarah Indonesia, seperti kasus Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar, Serangan Umum 1 Maret 1949, Gerakan 30 September, dan Lahirnya Pancasila. Namun ternyata, naskah yang dibuat oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia tidak digunakan karena ada tim yang sama tetapi berbeda mengerjakan proyek yang serupa dengan anggaran dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam suplemen yang terakhir itu topik lahirnya Pancasila tidak dimasukkan.

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno memang tokoh yang pertama menyampaikan Pancasila sebagai dasar negara. Ada tokoh-tokoh lain yang berbicara tentang dasar negara, tetapi hanya Soekarno yang secara eksplisit menyampaikan gagasan tentang Pancasila termasuk nama Pancasila itu sendiri.

Formulasi Pancasila yang disampaikan Soekarno tanggal 1 Juni 1945--setelah melalui dinamika pembicaraan di antara founding fathers kita--dirumuskan menjadi Pancasila seperti yang kita kenal sekarang, yang tidak sama persis rumusan maupun urutannya dengan yang disampaikan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945.

Peringatan lahirnya Pancasila setiap tanggal 1 Juni sebaiknya tidak lagi mempersoalkan kontroversi yang diciptakan pada era Orde Baru melainkan lebih memusatkan perhatian tentang penerapan ideologi pada semua bidang kehidupan bangsa.

Bagaimana caranya meyakinkan segenap komponen bangsa bahwa Pancasila adalah ideologi yang paling tepat bagi bangsa kita. Pancasila memberi tempat kepada semua agama, golongan dan suku bangsa. Tidak ada yang tersisih. Kalau mau memilih ideologi lain pasti menimbulkan friksi dan ketakutan bagi golongan yang tidak setuju.

Lebih baik bila kita merumuskan dan menjabarkan implementasi Pancasila itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep persatuan seperti era Orde Baru seharusnya dikoreksi dengan Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia tahun 1925 yang mementingkan juga kesetaraan dan kemerdekaan.

Untuk apa kita bersatu kalau tidak setara dan merdeka. Erat kaitannya dengan ini ada baiknya diingat kembali pemikiran Soekarno tentang Trisaksi (bebas dalam politik, mandiri dalam ekonomi dan berkepribadian dan budaya). Apakah ketiga hal ini sudah terwujud di tanah air kita. Apakah kita sudah mandiri dalam bidang ekonomi? Ketika utang masih bertumpuk dan modal asing merasuk ke tempat yang sangat strategis sekalipun. Kita membutuhkan modal tersebut, namun seharusnya kita memiliki kemandirian untuk memutuskan mana yang terbuka dan mana yang tertutup untuk pihak asing.

Ketika krisis ekonomi makin berat dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia yang miskin. Tanpa berdebat soal angka persisnya, kenyataan orang miskin makin bertambah banyak. Adakah persatuan bila masyarakat terbelah antara orang kaya dan miskin yang semakin tajam? Mungkin butuh waktu yang cukup lama untuk menghilangkan atau mengurangi kesenjangan tersebut. Namun yang bisa dilakukan sekarang ini paling sedikit adalah tidak mempertontonkannya di media publik (sejak dari layar televisi sampai jalan raya).

Kemewahan dan keberuntungan suatu kelompok yang digembar-gemborkan, dilihat bagi kelompok yang tidak berpunya sebagai sesuatu yang menyakitkan dan menambahkan beban penderitaan mereka. Barangkali ini bisa disebut sebagai solidaritas sosial. Kepedulian terhadap sesama di tengah suasana sulit itulah yang dibutuhkan sekarang ini.