Oleh: Pardin Isa
pemaknaan atas kelas sosial telah memberi pengertian yang terlampau beraneka rupa terhadap penulis. Bagi penulis, kelas sosial (berdasarkan alasan teoritik manapun juga), tetaplah merupakan fakta perjenjangan, yang secara umum membagi masyarakat pada dua struktur kelas. Yang pertama adalah kelas atas yang berada pada posisi yang mendominasi, dan yang kedua adalah kelas bawah yang berada pada posisi yang tersubordinasi. Tak perlu mengikuti Nietzsche yang membagi manusia pada dua kelas sebagai ubermensch dan Untermensch, yang bisa diartikan sebagai manusia-manusia atas dan manusia-manusia bawah (manusia-manusia kawanan). Yang berada pada ubermensch hanya terdiri atas beberapa orang (elit) dan untermensch yang terdiri dari khalayak yang hanya hidup dibawah kendali opini-opini buatan ubermensch.
Juga tak perlu mengacu pada system catur warna dalam hindu (yang kini direduksi maknanya menjadi sistem kasta), yang membagi masyarakat kedalam empat klasifikasi, yakni; Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Meskipun dalam beberapa penjelasan ke-empat kasta ini memiliki hubungan timbal balik yang saling memenuhi dan saling menguntungkan (hubungan yang bersifat horisontal), akan tetapi, tetaplah ada system norma yang memberi sekat, yang membatasi hubungan diantara mereka. Yang satu sebagai yang inferior, dan yang satu sebagai yang superior (sehingga menjadi hubungan yang bersifat vertikal), dikarenakan hak-hak sosial mereka yang cenderung berbeda karena diatur dan dibatasi oleh norma yang dilegitimasi entah oleh aspek agama (doktrin Hindu), atau entah oleh kebudayaan mereka yang memang cenderung untuk terus dipertahankan.
Pada sisi yang berbeda, marxisme memiliki perspektif yang juga berbeda. Kelas sosial menurut Marx lahir dari hubungan-hubungan produksi. Hubungan-hubungan produksi yang dimaksud tidak hanya terjadi pada dunia modern, dimana makna kata produksi cenderung direduksi sebagai “in-put, prosess, out-put” dalam industri-industri modern. Akan tetapi lebih dari itu, kata “produksi’ juga telah memperoleh maknanya sebelum era industrialisasi, ketika “Petani” menjadi sekawanan manusia penghasil komoditas pertanian bagi kaum borjuis, bahkan ketika perbudakan masih menggejala, ketika para budak di timur tengah membangun Pyramid untuk Pharao, atau ketika rakyat China membangun The Great Wall untuk melindungi kekuasaan Shih Huang Ti. Ini adalah sejarah panjang eksploitasi manusia atas manusia, ini juga merupakan fakta penindasan manusia atas manusia, dan inilah fakta klasifikasi manusia, peng-kelas-an manusia, antara kelas atas (yang memberi perintah) dan kelas bawah (sebagai yang hidup dibawah perintah).
Revolusi industri (utamanya), telah menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma pembangunan ekonomi dan akumulasi kekayaan, dari yang sebelumnya bersifat tradisional (yang pada umumnya masih mengandalkan tanah sebagai modal akumulasi kekayaan) lewat kaum borjuis pemilk tanah, lalu menjadi lebih modern lewat industri-industri (entah industri apapun itu). Dan dari petani sewaan berupah, menjadi buruh pekerja berupah. Perubahan-perubahan ini tetap tidak merubah satu prinsip yang khas, yakni mekanisme penindasan terhadap kelas pekerja (entah buruh tani atau buruh industri).
Marx sungguh tajam dan analitik, Ia menyimpulkan bahwa sesungguhnya kaum kapitalis telah memanggil roh kelas yang akan menghancurkan dirinya sendiri, yakni kelas proletar. Seolah-olah, kaum (kelas) kapitalis sedang menggali lubang untuk kuburannya sendiri. Proses eksploitasi yang berlangsung akan menciptakan kemiskinan bagi banyak orang, dan pada sisi lain akan menghasilkan kekayaan bagi sedikit orang. Sungguh ironis, bahwa kelas tertindas ini suatu saat akan bangkit dengan kekuatan tiada tara, dengan kuantitas yang tidak sebanding dengan jumlah kaum kapitalis yang terlampau sedikit, dan kian sedikit. Karena akumulasi kekayaan, juga melahirkan monopoli dan kompetisi yang timpang. Akan semakin banyak orang yang terseret masuk ke barisan kelas proletar, karena mereka menjadi jatuh miskin diakibatkan oleh ketidak-mampuan mereka untuk bersaing dan berkompetisi dengan para kapitalis yang memiliki kapital (modal) dengan jumlah yang kian hari kian menumpuk. Seolah-olah, akan muncul barisan-barisan sakit hati yang siap bergabung dengan kaum proletar untuk menghancurkan kapitalisme.
Kata Marx “sejarah perjuangan manusia adalah sejarah perjuangan kelas”, yang menandakan bahwa dalam setiap etape sejarah, kelas pekerja adalah mereka yang tereksploitasi dan tersubordinasi, menjadi pejuang yang berjuang untuk bebas dan merdeka. Hanya saja, perjuangan kelas-kelas yang tersubordinasi ini senantiasa lahir tanpa kesadaran kelas yang kokoh serta tanpa landasan teori, tanpa landasan ideologi yang kokoh. Maka analisis Marx menjadi kunci untuk memberi landasan pada kesadaran kelas, membongkar detail mekanisme eksploitasi untuk melahirkan teori yang mumpuni, dan memberi pijakan ideologis yang revolusioner. Buruh pekerja harus memahami dunianya agar mereka bergerak dengan berkelompok, dengan mata terbuka dan kepala berisi.
Apa tujuan perjuangan kelas tertindas ini? Ya, untuk meciptakan masyarakat yang tanpa kelas. Sebuah masyarakat dimana setiap orang diberi sesuai kebutuhannya dan bekerja sesuai kemampuannya. Apakah ini rasional? Entahlah, tapi inilah yang menjadi fokus perdebatan seputar sisi utopisme dalam konsep-konsep Marx, yang tidak perlu kita perdebatkan dalam kesempatan ini, karena bukan hak kita. Karena kita bukan creator, kita hanyalah sekumpulan manusia follower yang tidak tahu diri. Dan entah utopia itu berasal dari Marx, atau berasal dari Thomas Moore (sebagaimana pendapat Franz Magnis-Suseno), tetap tidak akan merubah kenyataan sejarah, bahwa Marx telah ”melemparkan saputangannya ke wajah dunia”, sapu tangan usang berdaki yang telah memberi warna tersendiri (meskipun sedikit berdaki) terhadap sejarah umat manusia.
Penulis tidak ingin berpanjang lebar lagi, terlalu lelah untuk menulis cuplikan-cuplikan yang tidak berguna semacam ini. Penulis tidak memperoleh duit sesenpun dengan menyebarkan tulisan ini ke forum maya, tapi inilah keinginan penulis. Bagaimanapun juga, apa yang penulis sampaikan bukanlah omong kosong belaka, itulah yang penulis tahu dan penulis pahami. Penulis hanya ingin memberi sedikit cuplikan, tanpa keinginan untuk memberi tahu dan memaksakan apa yang diketahui agar dijadikan referensi bagi yang berniat untuk “mencuri” cuplikan ini. sungguh tidak seorangpun manusia berotak waras yang berani berkata bahwa “saya telah mengajari seseorang dengan banyak hal, karena orang itu tidak mengerti apa-apa”. Sungguh picik jika ada yang berani berujar demikian.***.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar