- Sosialisme
Sosialisme mengajari kita untuk bertenggang rasa, mengajari kita untuk merasa dalam diri orang lain, memaknai hidup kita dalam hidup orang lain. Berbuat demi komunitas, mengabdi demi komunitas, berkarya demi komunitas. Sosialisme (pada sisi tertentu) menganggap bahwa “kita semestinya hidup demi orang lain, dan sebaliknya orang lain harus hidup untuk kita”. Sosialisme begitu sangat mencintai solidaritas dan kekompakan komunitas. Kata Marx, “setiap orang bekerja sesuai kemampuannya, dan setiap orang diberi sesuai kebutuhannya”. Sebuah konsep hidup yang mengindikasi makna keluhuran yang sesungguhnya, sebuah konsep hidup yang mengisyaratkan bahwa sesungguhnya semua manusia harus berbuat adil dan setimpal kepada sesama, sebuah konsep hidup yang menghendaki adanya kesejahteraan kepada semua, jangan ada manusia yang mengeksploitasi manusia yang lain.
Semua manusia harus berada pada strata kelas yang sama, tidak ada yang berada pada kelas atas, dan tidak ada yang berada pada kelas bawah. Semuanya terspesialisasi pada beragam kelompok profesi, tapi tetap menjaga keutuhan komunitas dengan mengarahkan tujuan pada kepentingan bersama. Mungkin inilah yang dimaksud dalam istilah sosiologi sebagai diferensiasi sosial, individu-individu terfragmentasi dalam beberapa kelompok sosial yang didasarkan atas profesi masing-masing (tertentu), tapi pengelompokan ini sungguh nyata, ada tanpa aroma kelas. Artinya, tidak ada ciri hierarki atau perjenjangan, bahwa individu atau kelompok yang satu berada pada posisi yang lebih tinggi dan mendominasi kenyataan hidup individu atau kelompok masyarakat yang lain.
Saya ingin sedikit “bermulut besar” untuk menjelaskan ini, bahwa apa yang di impikan Marx, sesungguhnya telah terimplementasi dalam kultur Hindu dengan Catur Warna-nya. Antara Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra, yang terfragmentasi karena faktor profesi. Yakni; Brahmana (Pendeta, Pemuka Agama) sebagai kelompok manusia yang bertanggung jawab atas kehidupan spiritual komunitas, Ksatria (Raja, Bangsawan, Prajurit) yang bertanggung jawab atas kepemimpinan dan sebagai pemberi rasa aman kepada komunitas, Waisya sebagai kelompok para pedagang, petani, tukang ahli, dll, yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan pada komunitas, serta Sudra yang bertanggungjawab untuk membantu pekerjaan rumah-an ketiga kasta (maaf, penulis tetap tidak bisa menghindari istilah yang umum digunakan) yang disebutkan lebih dahulu sehingga ketiga kasta tersebut dapat melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya tanpa terganggu dengan pekerjaan rumah-an masing-masing. Sesungguhnya dari beberapa literatur yang penulis peroleh, “kasta” berbeda dari “catur warna”. Tapi penulis tidak ingin terganggu dengan penjelasan ini. Yang substansi adalah bahwa penulis juga setuju kalau sesungguhnya catur warna (atau mungkin kasta) tidak menganjurkan hierarki. Yang pasti, catur warna tidak berbeda jauh dari utopia Marx, bahwa masing-masing orang harus bekerja sesuai kemampuan dan profesinya demi kepentingan komunitas, serta memperoleh segalanya sesuai dengan kebutuhannya.
Lebih jauh, sosialisme mengamanahkan pengelolaan dan kontrol produksi kepada negara. Negara menjadi salah satu instrument yang bersifat memaksa untuk mengendalikan seluruh proses produksi sampai pada distribusi ekonomi. Konsep ini pernah digunakan oleh Lenin pasca kemenangan kaum Bolshevyk di Russia tahun 1917 yang berimplikasi pada perlawanan para petani dan peternak yang tetap mengehendaki agar hasil pertanian dan peternakan mereka tetap dikelola oleh masing-masing individu pemilik (meskipun tanah pada saat itu telah di rampas oleh negara dari kaum borjuis bangsawan dan dibagi-bagikan kepada petani), perlawanan ini lalu dijawab dengan lantang oleh Lenin dengan kebijakan “tangan besi”nya. Sosialisme lalu mencita-citakan terhapusnya negara, dan menghendaki kembalinya masyarakat pada pengelompokan yang lebih tepat kita sebut sebagai masyarakat “komunisme primitif”. Tapi perlu di catat bahwa, meskipun revolusi bolshevyk berhasil, akan tetapi menurut Lenin, negara (untuk sementara waktu) masih diperlukan karena beberapa alasan (yang tidak perlu penulis sebutkan, karena jika disebutkan, akan kembali membutuhkan penjelasan tambahan yang lebih panjang lebar lagi).
Akan tetapi, sungguh miris dan pilu. Ternyata sosialisme tidak memberi implikasi yang positif terhadap perkembangan dan kemajuan masyarakat. Sosialisme justru berisi “statisme” bahkan degradasi dan keterbelakangan yang teramat parah. Karena sosialisme tidak suka dengan persaingan, sosialisme hanya mencintai watak Kooperatif dan membenci kompetisi. Ini menafikkan watak alamiah manusia yang sesungguhnya suka perang, persaingan, dan kompetisi. Kehidupan adalah konflik, dan dalam tiap detailnya, manusia mengaktualisasikan dirinya.
- Kapitalisme
Sebaliknya, kapitalisme memiskinkan banyak orang dan memperkaya sedikit orang, para kapitalis adalah makhluk paling durjana yang pernah dilahirkan dimuka Bumi. Tidak ada yang patut kita benci selain sekumpulan orang-orang yang hanya duduk manis di atas kursi sambil melipat kakinya dalam posisi santai, dan dalam tiap harinya mereka menikmati uang dan kekayaan dari hasil keringat orang lain.
Sejak Smith dan Ricardo, mekanisme pasar bebas dan pembagian kerja dimulai. Adam Smith yang memulai dengan “Laissez Nous Faire” (Prancis; “biarkan kami sendiri”) dan “Invisible Hand”-nya (“tangan-tangan tidak kelihatan”), telah menjadi pemantik lahirnya konsep pasar bebas. Negara tidak harus mengintervensi pasar, negara harus membiarkan pasar bergerak dan tumbuh dengan sendirinya, karena pasar bebas membuka ruang kompetisi, persaingan diantara pelaku pasar, maka tidak lain, hukum survival of the fittest-pun menemukan tempatnya yang hakiki. Siapa yang kuat, maka dia akan survive. Sehingga, para pelaku pasar cenderung untuk terus berkreasi dan berinovasi, karena inilah alasan agar tetap survive. maka tidak bisa dinafikkan, kreasi dan inovasi ini pulalah yang telah ikut memberi kontribusi tersendiri pada percepatan laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang telah dimulai sejak meletusnya revolusi indutri, yang lebih pada kepentingan pasar.
Dan invisible hand-nya Smith, merupakan sebuah utopia, bahwa ketika pasar dibiarkan bebas, maka akan terjadi pendistribusian kesejahteraan kepada semua (karena Smith adalah seorang Professor Filsafat Moral yang juga Humanis). Tangan-tangan tidak kelihatan inilah yang akan mengendalikan pasar, agar tidak terjadi monopoli, agar tidak terjadi ketimpangan kesejahteraan. Akan tetapi, Smith terlampau keliru, Ia tidak mempertimbangkan watak eksploitatif manusia, Ia juga lupa bahwa manusia adalah makhluk pencinta diri yang akan cenderung mengupayakan pemenuhan kebutuhan dan kepuasan diri meskipun dngan mengorbankan orang lain. Mengutip Hobbes “homo homini lupus” dan “bellum omnes contra omnia”, bahwa “manusia adalah pemangsa bagi manusia yang lain” dan akan senantiasa terjadi “perang antara semua melawan semua”, karena faktor ketamakan dan orientasi pemenuhan diri yang tanpa nurani.
Sementara analisis Ricardo bertumpu pada perdagangan bebas dan pembagian kerja serta keuntungan komparatif. Kebijakan proteksionisme (lebih khusus pada pembatasan ekspor dan impor) harus dihindari, karena perdagangan (terutama perdagangan antar negara) justru dapat meningkatkan surplus pada masing-masing negara. Satu negara tentu tidak akan mampu memproduksi keseluruhan barang (komoditas) dengan kualitas yang sama bagusnya dan dengan biaya yang sama murahnya. Maka perdagangan bebas dapat mendorong terpenuhinya kebutuhan masing-masing negara secara memadai, juga, sekali lagi, bahwa perdagangan bebas dapat meningkatkan surplus masing-masing negara. Ini merupakan bantahan terhadap konsep merkantilisme yang cenderung melihat kekayaan sebuah negara dari jumlah simpanan yang dimiliki oleh negara tersebut (semisal logam mulia/emas, dll), karena tanah yang subur, gedung-gedung, perusahaan-perusahaan, perut bumi yang kaya tambang, serta SDM yang handal, juga merupakan kekayaan negara, yang pada saat yang sama akan ikut memberi sumbangan berharga bagi kemakmuran sebuah negara.
Selanjutnya, spesialisasi dan pembagian kerja akan melahirkan keuntungan bersama. Setiap orang harus dispesialisasi pada objek-objek pekerjaan tertentu, sehingga masing-masing individu (sebagaimana konsep perdagangan bebas yang memberi penekanan pada spesialisasi produk masing-masing negara) dapat fokus pada profesinya dan menjadi profesional, mumpuni pada bidangnya. Seorang dokter bedah tidak perlu membuang-buang waktunya untuk duduk dibelakang meja sambil menyodorkan buku tamu untuk diisi para pasiennya, sang dokter hanya perlu menyewa seorang perawat pemula untuk membantunya, sehingga keseluruhan waktunya bisa dipakai untuk mengoperasi para pasiennya secara bergantian (jika seorang dokter bedah dapat mengoperasi seorang pasien hanya dalam waktu 3 jam, maka dalam satu hari ia dapat mengoperasi 3 orang pasien. Bayangkan jika ia bekerja sendiri, dan 3 tiga jam dari waktunya harus dipergunakan untuk melayani pengisian buku tamu calon pasiennya. Katakanlah ketika ia mengoperasi 1 pasien, ia di bayar Rp 4 juta, maka jika ia harus menghasbiskan waktunya 3 jam untuk mengisi buku tamu calon pasien, maka ia telah kehilangan 4 juta dalam 1 hari tersebut. Jika ia menyewa seorang perawat Rp 2 juta/hari untuk membantu melayani pengisian buku tamu pasiennya, maka pendapatan sang dokter bedah dalam 1 hari akan bertambah 2 juta, sebaliknya sang suster menerima upah untuk kebutuhan hidupnya Rp 2 juta setiap harinya. Bukankah dari contoh ini Nampak nyata bahwa spesialisasi benar-benar memberi keuntungan bagi setiap orang?). Dari beberapa contoh yang dikemukakan sang Ricardo kaya nan jenius, maka nampak nyata, bahwa pembagian kerja dan spesialisasi, benar-benar memberi nilai manfaat yang besar kepada setiap orang.
Sayangnya, Ricardo lupa dalam satu hal, bahwa perdagangan bebas, justru mengakibatkan dominasi dan hubungan interdependency yang timpang. Karena, negara-negara tidak berada pada posisi kekuatan ekonomi yang berimbang. Sehingga daya tawar negara dengan kemampuan ekonomi yang masih lemah, menjadi tidak berharga jika berhadapan dengan negara yang memiliki kemampuan ekonomi di atas rata-rata. Dan perdagangan bebas, telah berimplikasi pada penguasaan pasar global ditangan negara-negara dengan kekuatan ekonomi yang lebih.
- Kesimpulan
Baik itu sosialisme, maupun kapitalisme, sama-sama memiliki plus dan minus. Menjadi sangat mungkin untuk mendamaikan atau bahkan mengkomparasi keduanya. Merubah wajah ekonomi sosialis ke pola yang lebih kompetitif tanpa merubah prinsip dasarnya yang menghendaki distribusi kue yang sama rata dan sama rasa. Atau merubah wajah kapitalis agar lebih humanis. China, negara komunis yang kini telah memulainya. Deng Xiao Ping telah memulainya sejak separuh abad yang lalu. Tanpa ragu, perkembangan ekonomi China sungguh membuat ngeri negara-negara yang sejak beberapa dekade lalu telah menjadi kekuatan utama ekonomi dunia. Nampaknya, satu dekade kedepan, China akan mengambil alih kepemimpinan dunia, tidak hanya kepemimpinan ekonomi, tapi juga kepemimpinan teknologi, politik, dan militer. Demikian halnya dengan India, nampaknya Negeri Mahatma Gandhi ini tidak ingin membiarkan China menjadi single fighter di Asia, produk industry dan manufaktur India pun sudah mulai merambah ke pasar-pasar di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Seolah alam hendak mengembalikan kepemimpinan Peradaban ke tanah asalnya, yakni Asia.
Bagi penulis, Sosialisme maupun Kapitalisme, telah ikut memberi warna yang sungguh berbeda atas jalannya sejarah. Kita tidak punya pilihan, tapi harus memilih. Alangkah baiknya jika kita bisa melebur keduanya agar saling ada upaya koreksi dalam rangka untuk menemukan konsep yang ideal diantara keduanya. Konsep baru yang lahir dari komparasi diantara keduanya.
***wassalam***
Pustaka
Marx, Karl. 2004. “Manuskrip-manuskrip Tentang Ekonomi dan Filsafat“, hal. 113-288 Dalam Konsep Manusia Menurut Marx, oleh Erich Fromm. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Adhe (Ed.). 2005. Belok Kiri Jalan Terus, Yogyakarta. Alinea.
Agger, Ben. 2009. Teori Sosial Kritis, Diterjemahkan oleh Nurhadi. Yogyakarta. Kreasi Wacana.
Gandhi, Mahatma. 2009. Semua Manusia Bersaudara, Diterjemahkan oleh Kustiniyati Mochtar. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Giddens, Anthony. 2009. Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan: Masa Depan Politik Radikal, Diterjemahkan oleh Dariyatno. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Ritzer,George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern, Diterjemahkan oleh Alimandan. Jakarta. Kencana.
Skousen, Mark. 2009. Sang Maestro “Teori-teori Ekonomi Modern”: Sejarah Pemikiran Ekonomi, Diterjemahkan oleh tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta. Prenada Media Group.
Suseno, Franz Magnis. Dalam Bayang-bayang Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama
Trotsky, Leon. 2009. Revolusi Permanen, Diterjemahkan oleh Ted Sprague. Yogyakarta. Resist Book.
Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Diterjemahkan oleh TW Utomo dan Yusup Priya Sudiarja. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Yap, Leman. 2009. The Best Of Chinese Heroic Leaders, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Oleh: Pardin Isa
pemaknaan atas kelas sosial telah memberi pengertian yang terlampau beraneka rupa terhadap penulis. Bagi penulis, kelas sosial (berdasarkan alasan teoritik manapun juga), tetaplah merupakan fakta perjenjangan, yang secara umum membagi masyarakat pada dua struktur kelas. Yang pertama adalah kelas atas yang berada pada posisi yang mendominasi, dan yang kedua adalah kelas bawah yang berada pada posisi yang tersubordinasi. Tak perlu mengikuti Nietzsche yang membagi manusia pada dua kelas sebagai ubermensch dan Untermensch, yang bisa diartikan sebagai manusia-manusia atas dan manusia-manusia bawah (manusia-manusia kawanan). Yang berada pada ubermensch hanya terdiri atas beberapa orang (elit) dan untermensch yang terdiri dari khalayak yang hanya hidup dibawah kendali opini-opini buatan ubermensch.
Juga tak perlu mengacu pada system catur warna dalam hindu (yang kini direduksi maknanya menjadi sistem kasta), yang membagi masyarakat kedalam empat klasifikasi, yakni; Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Meskipun dalam beberapa penjelasan ke-empat kasta ini memiliki hubungan timbal balik yang saling memenuhi dan saling menguntungkan (hubungan yang bersifat horisontal), akan tetapi, tetaplah ada system norma yang memberi sekat, yang membatasi hubungan diantara mereka. Yang satu sebagai yang inferior, dan yang satu sebagai yang superior (sehingga menjadi hubungan yang bersifat vertikal), dikarenakan hak-hak sosial mereka yang cenderung berbeda karena diatur dan dibatasi oleh norma yang dilegitimasi entah oleh aspek agama (doktrin Hindu), atau entah oleh kebudayaan mereka yang memang cenderung untuk terus dipertahankan.
Pada sisi yang berbeda, marxisme memiliki perspektif yang juga berbeda. Kelas sosial menurut Marx lahir dari hubungan-hubungan produksi. Hubungan-hubungan produksi yang dimaksud tidak hanya terjadi pada dunia modern, dimana makna kata produksi cenderung direduksi sebagai “in-put, prosess, out-put” dalam industri-industri modern. Akan tetapi lebih dari itu, kata “produksi’ juga telah memperoleh maknanya sebelum era industrialisasi, ketika “Petani” menjadi sekawanan manusia penghasil komoditas pertanian bagi kaum borjuis, bahkan ketika perbudakan masih menggejala, ketika para budak di timur tengah membangun Pyramid untuk Pharao, atau ketika rakyat China membangun The Great Wall untuk melindungi kekuasaan Shih Huang Ti. Ini adalah sejarah panjang eksploitasi manusia atas manusia, ini juga merupakan fakta penindasan manusia atas manusia, dan inilah fakta klasifikasi manusia, peng-kelas-an manusia, antara kelas atas (yang memberi perintah) dan kelas bawah (sebagai yang hidup dibawah perintah).
Revolusi industri (utamanya), telah menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma pembangunan ekonomi dan akumulasi kekayaan, dari yang sebelumnya bersifat tradisional (yang pada umumnya masih mengandalkan tanah sebagai modal akumulasi kekayaan) lewat kaum borjuis pemilk tanah, lalu menjadi lebih modern lewat industri-industri (entah industri apapun itu). Dan dari petani sewaan berupah, menjadi buruh pekerja berupah. Perubahan-perubahan ini tetap tidak merubah satu prinsip yang khas, yakni mekanisme penindasan terhadap kelas pekerja (entah buruh tani atau buruh industri).
Marx sungguh tajam dan analitik, Ia menyimpulkan bahwa sesungguhnya kaum kapitalis telah memanggil roh kelas yang akan menghancurkan dirinya sendiri, yakni kelas proletar. Seolah-olah, kaum (kelas) kapitalis sedang menggali lubang untuk kuburannya sendiri. Proses eksploitasi yang berlangsung akan menciptakan kemiskinan bagi banyak orang, dan pada sisi lain akan menghasilkan kekayaan bagi sedikit orang. Sungguh ironis, bahwa kelas tertindas ini suatu saat akan bangkit dengan kekuatan tiada tara, dengan kuantitas yang tidak sebanding dengan jumlah kaum kapitalis yang terlampau sedikit, dan kian sedikit. Karena akumulasi kekayaan, juga melahirkan monopoli dan kompetisi yang timpang. Akan semakin banyak orang yang terseret masuk ke barisan kelas proletar, karena mereka menjadi jatuh miskin diakibatkan oleh ketidak-mampuan mereka untuk bersaing dan berkompetisi dengan para kapitalis yang memiliki kapital (modal) dengan jumlah yang kian hari kian menumpuk. Seolah-olah, akan muncul barisan-barisan sakit hati yang siap bergabung dengan kaum proletar untuk menghancurkan kapitalisme.
Kata Marx “sejarah perjuangan manusia adalah sejarah perjuangan kelas”, yang menandakan bahwa dalam setiap etape sejarah, kelas pekerja adalah mereka yang tereksploitasi dan tersubordinasi, menjadi pejuang yang berjuang untuk bebas dan merdeka. Hanya saja, perjuangan kelas-kelas yang tersubordinasi ini senantiasa lahir tanpa kesadaran kelas yang kokoh serta tanpa landasan teori, tanpa landasan ideologi yang kokoh. Maka analisis Marx menjadi kunci untuk memberi landasan pada kesadaran kelas, membongkar detail mekanisme eksploitasi untuk melahirkan teori yang mumpuni, dan memberi pijakan ideologis yang revolusioner. Buruh pekerja harus memahami dunianya agar mereka bergerak dengan berkelompok, dengan mata terbuka dan kepala berisi.
Apa tujuan perjuangan kelas tertindas ini? Ya, untuk meciptakan masyarakat yang tanpa kelas. Sebuah masyarakat dimana setiap orang diberi sesuai kebutuhannya dan bekerja sesuai kemampuannya. Apakah ini rasional? Entahlah, tapi inilah yang menjadi fokus perdebatan seputar sisi utopisme dalam konsep-konsep Marx, yang tidak perlu kita perdebatkan dalam kesempatan ini, karena bukan hak kita. Karena kita bukan creator, kita hanyalah sekumpulan manusia follower yang tidak tahu diri. Dan entah utopia itu berasal dari Marx, atau berasal dari Thomas Moore (sebagaimana pendapat Franz Magnis-Suseno), tetap tidak akan merubah kenyataan sejarah, bahwa Marx telah ”melemparkan saputangannya ke wajah dunia”, sapu tangan usang berdaki yang telah memberi warna tersendiri (meskipun sedikit berdaki) terhadap sejarah umat manusia.
Penulis tidak ingin berpanjang lebar lagi, terlalu lelah untuk menulis cuplikan-cuplikan yang tidak berguna semacam ini. Penulis tidak memperoleh duit sesenpun dengan menyebarkan tulisan ini ke forum maya, tapi inilah keinginan penulis. Bagaimanapun juga, apa yang penulis sampaikan bukanlah omong kosong belaka, itulah yang penulis tahu dan penulis pahami. Penulis hanya ingin memberi sedikit cuplikan, tanpa keinginan untuk memberi tahu dan memaksakan apa yang diketahui agar dijadikan referensi bagi yang berniat untuk “mencuri” cuplikan ini. sungguh tidak seorangpun manusia berotak waras yang berani berkata bahwa “saya telah mengajari seseorang dengan banyak hal, karena orang itu tidak mengerti apa-apa”. Sungguh picik jika ada yang berani berujar demikian.***.
Oleh: Pardin Isa
Detik, menit, jam, merangkak ke hari, ke minggu, dan seterusnya. Detak jantung belum terhenti, masih terasa, pertanda bahwa waktu masih terselami, meski dangkal. Waktu adalah sebuah misteri, tak terjamah, tapi terselami. Waktu bukan sebuah abstraksi yang hanya bersemayam dalam rasio, waktu juga bukan sebuah materi yang menempati ruang tertentu. Yakin dan percaya, tidak akan pernah ada satu manusiapun yang mumpuni dalam mendefinisikan waktu. Setiap orang hanya mampu memaknai waktu lewat persepsi dirinya, lewat kesadaran diri, ketika diri menyatu dalam substansi, ketika jiwa dan raga tak terpisah oleh tirai keseharian yang banal, yang terkadang memisahkan esensi jiwa dan raga.
Waktu tak berusia, karena waktu adalah detail usia itu sendiri. Waktu adalah sebuah keabadian, tak terbatas pada ruang, tak terbatas hanya pada persepsi, baik persepsi rasio ataupun persepsi pengalaman. Waktu menjamah setiap zat, masing-masing zat memiliki waktunya sendiri, Tanpa kecuali manusiapun memiliki waktunya sendiri. Waktu juga adalah media, sebuah media tempat bergerak dan berubahnya sejarah. Waktu telah memberi banyak peluang atas berbagai peristiwa.
Lalu, apa sesungguhnya waktu?
kekita kita hidup, kita memiliki satu kehendak, yakni kehendak yang bebas dari intervensi keinginan dan kepentingan diri, kehendak itu adalah keharusan normatif, yakni “untuk menjalani waktu”. Tidak bisa dihindari, setiap substansi, setiap benda, setiap makhluk, tumbuhan, hewan dan manusia, tidak bisa mengelak dari sentuhan waktu. Ia akan senantiasa bersama dengan waktu.
Sekali lagi, apa sesungguhnya waktu?
Kita adalah makhluk manusia yang diberi kelebihan untuk berpersepsi dan berpikir, serta memberi interpretasi dan makna atas segala sesuatu. Kelebihan inilah yang akan coba kita gunakan untuk meng-interpretative understanding esensi waktu.
Kita tidak mungkin berbeda pendapat untuk hal yang satu ini, bahwa waktu merupakan fakta yang terpisah dari kepentingan diri. Waktu memiliki “roh”nya sendiri, yang bebas intervensi, bahkan sebaliknya, segenap tindakan kita terkadang bahkan berada dibawah penguasaan waktu. Termasuk usia kita juga adalah bagian dari “bagaimana waktu berhenti melayani kehendak animalik kita”.
Tapi kita akan berbeda dalam beberapa hal, termasuk tentang bagaimana setiap dari kita memaknai “waktu” kita sendiri. Bagi penulis, waktu adalah takdir, juga waktu adalah lokus kebebasan sekaligus sebagai lokus yang memenjarakan kehendak diri. Waktu tidak hanya sekedar hitungan dari detik ke menit, ke jam, dan seterusnya. Tapi lebih dari itu, waktu adalah sebuah totalitas jagad raya. Waktu tidak mungkin dibatasi oleh ruang, oleh jarak, oleh lokus demografi. Waktu juga tidak bisa dipecah dalam piranti-piranti hitungan berbentuk apapun. Bagi penulis, waktu adalah “pemaknaan”. Yakni, sejauh mana diri memberi makna yang sesungguhnya atas esensi waktu. Antara melakukan pekerjaan yang merupakan hobby (main catur, menyanyi), dan berdiri disuatu tempat sambil menunggu teman kencan yang tidak menetapi janji, adalah dua kegiatan yang dapat memberi kesan yang cukup kontras, terkait bagaimana waktu mengaktualisasikan diri. Meskipun piranti penghitung waktu (semisal jam tangan) menunjukan hitungan yang sama selama dua kegiatan itu dilakukan, akan tetapi, ada perbedaan yang cukup kontras, bahwa waktu yang dilewati dengan bermain catur terasa lebih singkat jika dibandingkan dengan waktu yang dilewati untuk menunggu seseorang yang diharapkan datang tepat sesuai janji.
ketika seseorang melewati malam dengan tidur pulas sambil bermimpi indah, lalu seseorang yang lain harus melewati malam untuk menunaikan kewajibannya sebagai Hansip yang mesti ronda malam, tetap terasa berbeda.
Kenapa bisa?
Karena waktu adalah kesadaran diri. Esensi Waktu dapat dipahami ketika seseorang terjun kedalam diri untuk kembali memaknai dirinya sebagai makhluk yang dikekang dan dipenjarakan oleh waktu, juga sebagai makhluk yang memiliki kesadaran untuk menjalani waktu. Sehingga sekali lagi, waktu hanya dapat dipahami ketika seseorang sedang sadar diri. Keseharian yang banal dapat mengantarkan manusia menjadi makhluk yang hanya hidup tanpa kesadaran diri, karena “waktu” tersubordinasi dibawah kepentingan, “waktu” tersubordinasi dibawah pengejaran atas kebutuhan diri, dengan kata lain, waktu hanya merupakan moment untuk pemenuhan kebutuhan diri.
Di zaman ini, tak ada lagi tempat untuk berkontemplasi, bahkan setiap orang sungguh sangat tidak lagi memahami makna kontemplasi. Sesungguhnya kontemplasi adalah kegiatan untuk kembali mencerna makna diri, kegiatan untuk kembali mencerna “waktu” sambil melekatkan hati kedinding “waktu” yang esensi.
Waktu adalah persepsi jiwa,
Waktu adalah kesadaran, dan
Waktu adalah keabadian.
Dari Saya: Pardin Isa
Kepada para pemantik, kepada bara revolusi yang mengendap.
Ia tak pernah pergi,
dia ada, mengendap di dada ku, di dada mu, di dada mereka, di dada kalian.
temukan mereka satu persatu, bincangkan kehendak massa rakyat, jangan ada bias, jangan ada kelalaian analisa, sinambungkan teori dalam kerangka strategi revolusi.
lalu, bergegaslah, segera konsentrasikan energi untuk memulainya, dan jika pada waktunya,
beragitasilah...!
di sudut-sudut jalan, di emper-emper toko, di barisan-barisan massa si tertindas, terhisap,
buat mereka sadar, buat seluruh api yang mengendap di palung jiwa mereka menjadi terbakar...!
gambarkan kenyataan dunia kepada mereka, hadirkan kesadaran di akal dan pikiran mereka, lalu konstruksi mimpi mereka dalam suatu muara yang sama, buat roh mereka menyatu...!
dan setelah itu,
sematkanlah gelar kepada mereka, bahwa mereka adalah Sang Agung, bahwa mereka adalah Sang Terpilih, bahwa mereka adalah Martir, bahwa mereka adalah Para Syuhada, bahwa mereka adalah Sang Penyelamat...!
lalu ajak mereka berjalan dalam satu barisan, menyeruak di jalanan, di antara hiruk-pikuk sang jelata yang belum tersadar, buatlah seluruh massa pinggiran yang terkejut itu menjadi berani untuk brkumpul dan menyatu kedalam barisan massa yang sama,
dan setelah seluruh barisan massa ini menyatu, maka bulatkan tekad mereka, satukan mereka dalam suatu tujuan yang sama, bahwa kita akan brgerak kedinding benteng musuh untuk menjemput mati, atau untuk mrenggut nyawa mereka yang ditakdirkan untuk binasa.
maka lautan massa ini akan menjadi sepasukan makhluk tak kenal mati yg siap mengganyang, membinasakan. mereka akan mengerang, terus mengerang hingga taringnya menjulur pertanda buas.
dia ada, mengendap di dada ku, di dada mu, di dada mereka, di dada kalian.
temukan mereka satu persatu, bincangkan kehendak massa rakyat, jangan ada bias, jangan ada kelalaian analisa, sinambungkan teori dalam kerangka strategi revolusi.
lalu, bergegaslah, segera konsentrasikan energi untuk memulainya, dan jika pada waktunya,
beragitasilah...!
di sudut-sudut jalan, di emper-emper toko, di barisan-barisan massa si tertindas, terhisap,
buat mereka sadar, buat seluruh api yang mengendap di palung jiwa mereka menjadi terbakar...!
gambarkan kenyataan dunia kepada mereka, hadirkan kesadaran di akal dan pikiran mereka, lalu konstruksi mimpi mereka dalam suatu muara yang sama, buat roh mereka menyatu...!
dan setelah itu,
sematkanlah gelar kepada mereka, bahwa mereka adalah Sang Agung, bahwa mereka adalah Sang Terpilih, bahwa mereka adalah Martir, bahwa mereka adalah Para Syuhada, bahwa mereka adalah Sang Penyelamat...!
lalu ajak mereka berjalan dalam satu barisan, menyeruak di jalanan, di antara hiruk-pikuk sang jelata yang belum tersadar, buatlah seluruh massa pinggiran yang terkejut itu menjadi berani untuk brkumpul dan menyatu kedalam barisan massa yang sama,
dan setelah seluruh barisan massa ini menyatu, maka bulatkan tekad mereka, satukan mereka dalam suatu tujuan yang sama, bahwa kita akan brgerak kedinding benteng musuh untuk menjemput mati, atau untuk mrenggut nyawa mereka yang ditakdirkan untuk binasa.
maka lautan massa ini akan menjadi sepasukan makhluk tak kenal mati yg siap mengganyang, membinasakan. mereka akan mengerang, terus mengerang hingga taringnya menjulur pertanda buas.
sekali lagi...
kepemimpinan massa harus disematkan pada satu tokoh bersuara lantang membahana, yang senantiasa menginspirasi massa dengan teriakan-teriakan agitasinya, dia akan menempatkan komando kepemimpinan massa di telunjuk dan dilidahnya,
kepemimpinan massa harus disematkan pada satu tokoh bersuara lantang membahana, yang senantiasa menginspirasi massa dengan teriakan-teriakan agitasinya, dia akan menempatkan komando kepemimpinan massa di telunjuk dan dilidahnya,
dan engkau sang agitator,
ajak seluruh massa itu terus maju, terus bergerak melintasi jalanan, ciptakan ketakutan tiada tara di benak musuh abadimu yang hanya mengintip dari balik jendelanya yang terbuat dari besi baja, ciptakan ketakutan hingga rapuh jiwa manusianya,
teruslah bergerak,
ajak seluruh massa itu terus maju, terus bergerak melintasi jalanan, ciptakan ketakutan tiada tara di benak musuh abadimu yang hanya mengintip dari balik jendelanya yang terbuat dari besi baja, ciptakan ketakutan hingga rapuh jiwa manusianya,
teruslah bergerak,
boikot seluruh aktifitas-aktifitas massa rakyat yang lain, terus dan terus ajak mereka untuk memilih hanya pada satu pilihan, yaitu bergabung dan menjadi kuantitas-kuantitas massa yang heroik,
pimpinlah mereka dengan satu tujuan, pimpinlah mereka untuk menuju kebahagiaan atau kematian, tiada yang mulia selain hidup bebas tak tertindas atau mati...!
pimpinlah mereka dengan satu tujuan, pimpinlah mereka untuk menuju kebahagiaan atau kematian, tiada yang mulia selain hidup bebas tak tertindas atau mati...!
lalu...
ambil alih seluruh fasilitas-fasilitas penting, gedung-gedung akbar, pusat-pusat komando negara, pusat-pusat informasi dan telekomunikasi,
kelumpuhan total pada mesin birokrasi negara, kelumpuhan total pada mesin-mesin ekonomi swasta, dibarengi dengan optimalisasi penggalangan dukungan dari dalam dan luar negeri demi kepentingan revolusi, demi simpati dan apresiasi atas revolusi,
kejadian ini akan berlangsung berhari-hari, kejadian ini akan terus menciptakan gelora dan gairah revolusi di darah dan sum-sum massa yang terpimpin, di darah dan sum-sum massa rakyat yang berharap, kejadian ini akan membuka mata dunia, kejadian ini akan semakin meyakinkan massa, bahwa titik noktah revolusi segera tiba,
kejadian ini akan terus menggejala keseluruh penjuru negeri...
ambil alih seluruh fasilitas-fasilitas penting, gedung-gedung akbar, pusat-pusat komando negara, pusat-pusat informasi dan telekomunikasi,
kelumpuhan total pada mesin birokrasi negara, kelumpuhan total pada mesin-mesin ekonomi swasta, dibarengi dengan optimalisasi penggalangan dukungan dari dalam dan luar negeri demi kepentingan revolusi, demi simpati dan apresiasi atas revolusi,
kejadian ini akan berlangsung berhari-hari, kejadian ini akan terus menciptakan gelora dan gairah revolusi di darah dan sum-sum massa yang terpimpin, di darah dan sum-sum massa rakyat yang berharap, kejadian ini akan membuka mata dunia, kejadian ini akan semakin meyakinkan massa, bahwa titik noktah revolusi segera tiba,
kejadian ini akan terus menggejala keseluruh penjuru negeri...
dan jika tiba saatnya, dan jika seluruh penguasaan kondisi telah terpusat dalam massa, telah terpusat dalam satu komando, maka manifestokan kepada dunia,
bahwa revolusi telah hadir di tempat ini.
bahwa revolusi telah menjadi maklumat seluruh rakyat negeri.
bahwa kepemimpinan revolusioner telah sah, menjadi penguasa sementara, yang memiliki legitimasi untuk mmbinasakan kelompok-kelompok pro status quo yang masih tersisa. kebijakan tangan besi diundangkan, seluruh aktifitas swasta, seluruh aktifitas makhluk yang mendiami negara berada dibawah kontrol yang ketat, pers dan mesin-mesin penopang opini diberdayakan demi revolusi.
hingga penguasaan kondisi terpenuhi, hingga ada stabilitasi ekonomi dan politik.
bahwa revolusi telah hadir di tempat ini.
bahwa revolusi telah menjadi maklumat seluruh rakyat negeri.
bahwa kepemimpinan revolusioner telah sah, menjadi penguasa sementara, yang memiliki legitimasi untuk mmbinasakan kelompok-kelompok pro status quo yang masih tersisa. kebijakan tangan besi diundangkan, seluruh aktifitas swasta, seluruh aktifitas makhluk yang mendiami negara berada dibawah kontrol yang ketat, pers dan mesin-mesin penopang opini diberdayakan demi revolusi.
hingga penguasaan kondisi terpenuhi, hingga ada stabilitasi ekonomi dan politik.
jangan ada campur tangan asing, revolusi harus tanpa intervensi asing. karena kita tidak menghendaki bargaining, ataupun hegemoni kepentingan asing pasca revolusi terhadap sumber-sumber kekayaan negara,
jangan ada bangsa yang menolak revolusi, jika tidak, maklumatkan perang kepada bangsa manapun yang menolak revolusi, yang menolak kepemimpinan revolusioner.
jangan ada bangsa yang menolak revolusi, jika tidak, maklumatkan perang kepada bangsa manapun yang menolak revolusi, yang menolak kepemimpinan revolusioner.
Next….
Oleh; Pardin Isa
1. Konsep Marxisme
Sejarah marxisme adalah sejarah panjang atas sebuah kerangka pemikiran, doktrin, ideologi yang kontradiktif. Di puja oleh sebagian orang sebagai doktrin pembebasan kaum tertindas, dan pada saat yang sama, di benci oleh sebagian orang sebagai doktrin, sebagai ideologi penebar paham kediktatoran negara atas rakyat yang memiskinkan aspek kebebasan individual, paham penebar semangat komunisme yang anti agama, paham yang menentang kemapanan ekonomi individual. Marxisme adalah sebuah kontradiksi yang tidak hanya melahirkan beragam interpretasi dari yang membencinya, tapi juga melahirkan beragam interpretasi dari yang memuja, meyakini, dan melaksanakannya. Tidak hanya itu, kondisi yang sama juga menimpa penciptanya, Karl Marx.s “Sejak dari buaian sampai liang lahat, hidup marx sendiri penuh kontradiksi” (Skousen, 2009: 167).
Sungguh tidak tepat jika harus menjelaskan autobiografi Marx dalam kesempatan ini, tidak tersedia cukup ruang untuk memberi penjelasan secara panjang lebar, karena fokus kita bukanlah untuk menjelaskan latar belakang Marx dengan segala dimensi petualangan yang di laluinya. Fokus kita hanya cukup pada mengenal siapa Marx, dan apa pengertian Marxisme, sebagai eksponen teoritik, juga sebagai seperangkat ajaran yang berlatar belakang pada nama penciptanya.
Karl Heinrich Marx, dedengkot komunisme, sang nabi komunisme, lahir pada 5 Mei 1818 di Kota Trier (Jerman) yang pada ketika itu masih menjadi bagian dari kekaisaran Prusia. Lahir dari keturunan yahudi, yang berpindah menjadi penganut Protestan, sebagai agama yang umum di anut oleh masyarakat Jerman pada ketika itu. Beristrikan Jenny Von Westphalen dan di karuniai beberapa anak pada perkawinannya. Bersahabatkan seorang anak saudagar Inggris yang kaya raya, Friedrich Engels, kawan sekaligus partner teoritisnya, yang juga banyak memberi kontribusi material pada kehidupan marx yang penuh gejolak dan hampir miskin papa, (sebuah keanehan bagi seorang pengkritik dahsyat kapitalisme, justru hidup dari biaya akumulasi keuntungan kapitalisme).
“Istilah marxisme terkadang cenderung direduksi pemaknaannya kedalam Marxisme-Leninisme, sebagai himpunan pemikiran Marx yang lebih memberi penekanan pada aspek teoritis revolusi proletariat, dan pemikiran Lenin yang lebih memberi penekanan pada aspek praxis dari upaya revolusioner tersebut” (Haramain, dkk, 2003: 23) Akan tetapi tentunya, marxisme tidaklah sesederhana itu, marxisme adalah kumpulan doktrin, marxisme adalah sekumpulan kitab-kitab agitatif, marxisme adalah sekumpulan telaah dan analisis dari seorang manusia genius yang banyak menghabiskan usianya di dalam kamar pribadi sambil menikmati beberapa potong cerutu, dalam ketenangan, dan ketajaman berpikir. “Marxisme adalah ilmu pengetahuan yang padu -dialektis dan historis-, tentang evolusi masyarakat sebagai sebuah totalitas” (Lukacs, 2010: 67).
“Marxisme adalah sebuah doktrin revolusi persis karena ia memahami esensi proses… dan karena ia dapat memahami garis perkembangan masa depan. Dan pada saat yang sama, hal ini membuat marxisme menjadi ekspresi ideologis kelas proletariat dalam upayanya membebaskan diri” (Lukacs, 2010: 332). menurut Gramschi (dalam Magnis Suseno, 2005: 178), “Marxisme bukanlah sebuah deskripsi ilmiah realitas masyarakat yang darinya lalu dapat disimpulkan aturan-aturan praktis untuk tindakan politik nyata, melainkan ungkapan kesadaran kelas proletariat…sebuah unsur atau sudut dalam perjuangan praktis proletariat itu. Sedangkan menurut Korsch” (dalam, Magnis Suseno, 2005: 151) “marxisme merupakan teori revolusioner bukan dalam arti bahwa ia mengajarkan sesuatu tentang revolusi, melainkan bahwa teori itu merupakan bagian hakiki dalam pelaksanaan praktis revolusi. Dan Trotsky menyimpulkan marxisme sebagai sebuah metode analisa, bukan analisa atas teks-teks, tapi sebuah analisa atas relasi-relasi sosial” (Trotsky, 2009: 51).
Maka dari sekian banyak penjelasan (yang sesungguhnya sudah terlampau panjang lebar) di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa, “Istilah Marxisme pada prinsipnya mengacu pada himpunan, pembakuan paham Karl Marx dan Friedrich Engels” (Magnis Suseno, 2000: 5), yang mencakup semua segi karya Marx, termasuk karya kolaborasi Marx dan Engels, juga tanpa menafikan kontribusi para pemikir besar pasca Marx yang telah berkontribusi dalam memberi kritik atau bahkan penafsiran baru atas pandangan-pandangan Marx, untuk melengkapi, atau mungkin memberi warna baru pada khazanah pemikiran Marxisme secara lebih umum (teori hegemoni Gramschi, konsep Revolusi permanen Trotsky, adalah dua contoh perspektif teoritik yang tidak pernah dipikirkan oleh Marx, tapi justru menjadi bagian dari Marxisme).
2. Relasi Produksi
Relasi produksi, atau sebagai hubungan-hubungan produksi, yang merupakan akumulasi dari proses atas keberadaan pemilik modal, bahan baku, alat-alat produksi, buruh dan komoditas hasil produksi, merupakan mekanisme dasar terciptanya struktur kelas sosial melalui proses kerja. Mekanisme relasi produksi, tanpa ragu juga akan melahirkan alienasi, nilai lebih, eksploitasi dan penindasan. Jadi keseluruhan prinsip-prinsip dasar penciptaan kelas sosial terakumulasi dalam relasi produksi atau hubungan-hubungan produksi.
“Relasi produksi mempunyai dua kekhususan, pertama, buruh bekerja dibawah pengawasan kapitalis yang menjaga ketat bahwa tidak terjadi sedikitpun pemborosan dan bahwa tidak dipakai lebih daripada jumlah kerja yang secara sosial diharuskan untuk setiap potong kerja individual. kedua, produk itu adalah milik kapitalis” (Engels, 2002: 33).
Marx menjelaskan, “pekerja terbenam sampai menjadi komoditas, bahkan menjadi komoditas yang paling sengsara, Relasi produksi dapat di gambarkan sebagai proses yang berlangsung selama buruh bekerja guna menghasilkan sebuah barang atau komoditas baru” (Marx, dalam Fromm, 2004: 126). Pada sisi lain, relasi produksi sesungguhnya merupakan media tempat berubah fungsinya tenaga kerja buruh menjadi sebuah komoditas baru. “buruh tidak hanya menciptakan barang, tetapi juga sungguh dengan takaran yang sama menciptakan dirinya sendiri sebagai komoditas” (Marx, dalam Fromm, 2004: 126). Dengan kata lain, seorang buruh yang tidak memiliki apa-apa selain tenaganya, lalu menjualnya kepada pemilik modal agar dapat dieksploitasi sesuai fungsi dan tujuannya, agar si buruh dapat bertahan hidup dengan bayaran yang dijanjikan dalam kontrak jual-beli antara diri (tenaga kerja) dengan sejumlah bayaran atas kesepakatan bersama. Seperti juga di jelaskan Lukacs, “pekerja bebas yang secara bebas dapat membawa tenaga-kerjanya ke pasar dan menawarkannya untuk dijual sebagai komoditas yang ia miliki, sebagai sesuatu yang ia punyai dan kuasai” (Lukacs, 2010: 171).
Hubungan-hubungan dalam produksi juga mencerminkan terlaksananya proses akumulasi modal. Karena hubungan-hubungan produksi tidak bisa dilepas-pisahkan diantara bahan baku, alat-alat produksi, buruh, dan hasil produksi, maka hubungan-hubungan produksi menjadi mekanisme dalam mengakumulasi keuntungan menjadi modal-modal baru. “Tujuan akhir produksi yang sebenarnya bukanlah jumlah pekerja yang bisa dipelihara oleh modal awal, tetapi jumlah tabungan yang dihasilkannya, seluruh tabungan setiap tahunnya” (Marx, dalam Fromm, 2004: 147). Karena Hubungan-hubungan produksi, atau proses produksi tidak hanya berorientasi guna memproduk barang ber-“nilai pakai’, tapi sesungguhnya bertujuan untuk memproduksi barang yang dapat berfungsi sebagai barang ber-”nilai tukar” untuk tujuan akumulasi keuntungan atau sebagai upaya akumulasi modal yang diperoleh dari “nilai lebih” barang hasil produksi. Engels menjelaskan “kapitalis tidak menghendaki nilai pakai diproduksi demi untuk nilai pakai itu sendiri, tetapi hanya sebagai tempat penyimpanan nilai tukar dan teristimewa nilai lebih” (Engels, 2002: 78).
Maka secara umum pula, relasi produksi tidak lain merupakan keseluruhan yang tercakup dalam proses produksi untuk menciptakan atau memproduk komoditas. tak peduli, bagaimana proses produksi tersebut dijalankan, dan tak peduli pula, apa yang terjadi pada setiap elemen yang terlibat dalam proses produksi. Yang terpenting, proses tersebut bisa menghasilkan produk atau komoditas baru untuk dipertukarkan dalam rangka untuk mengakumulasi modal. Marcuse menjelaskan, “Setiap produk kerja, sebagai komoditas, bisa dipertukarkan dengan produk kerja lainnya. Ia mempunyai nilai tukar (exchange value) yang sama dengan semua komoditas lainnya” (Marcuse, 2004: 245). Inilah yang menjadi tujuan akhir dari proses produksi.
Jadi relasi produksi dapat dibatasi pada kesimpulan, sebagai proses produksi yang melibatkan bahan baku, alat-alat produksi, buruh (tenaga kerja), untuk menghasilkan komoditas baru yang tidak sekedar diorientasikan sebagai komoditas atau barang ber-nilai pakai, tapi lebih sebagai komoditas atau barang ber-nilai tukar agar bisa dipertukarkan untuk kepentingan akumulasi modal yang cenderung di peroleh pada nilai lebih yang dimiliki oleh setiap komoditas atau barang yang dihasilkan dari kerja buruh.
3. Pemilik Modal
Pemilik modal (dalam makna industrialisasi modern, dimana marxisme mendasarkan analisisnya), tidak terlahir secara spontan dalam proses yang terjadi dengan sendirinya (secara alamiah). Kepemilikan atas modal dalam industrialisasi (sebagaimana fokus kita) dimulai dari kepemilikan atas tanah. dengan adanya perubahan hubungan perbudakaan menjadi orang-orang pekerja sewaan, dan dibarengi dengan berhembusnya badai revolusi industri, perubahan ini semakin menampakkan cirinya yang hampir sempurna. “pemilik tanah itu sendiri di ubah menjadi majikan industri, yaitu pemilik modal” (Marx, dalam fromm, 2004: 150).
Marx menyatakan, “Pemilik tanah mengenal pemilik modal sebagai budaknya kemarin yang tidak lagi tersubordinasi, bebas dan kaya, dan menganggap dirinya sebagai pemilik modal yang mendapat ancaman dari pemilik modal tersebut. Pemilik modal melihat pemilik tanah sebagai majikannya kemarin yang malas, kejam, dan angkuh; dia mengetahui bahwa dia menyakitinya karena kini menjadi seorang pemilik modal, dan bahwa industri merupakan penyebab atas kedudukan sosialnya sekarang ini yang signifikan, atas kekayaan dan kesenangannya” (Marx, dalam Fromm, 2004: 151).
Kepemilikan tanah sebagai dasarnya, yang lalu berkembang dan berubah lewat perkembangan dan perubahan-perubahan konstruksi zaman, maka modalpun dikonversi menjadi uang, yang merupakan alat pertukaran. Tapi dalam penjelasan Marxisme, uang bukan saja sebagai alat pertukaran, tapi lebih khusus uang merupakan “modal” yang akan terus diakumulasi menjadi modal-modal baru yang terus beranak-pinak. Engels menjelaskan, “Secara historikal, modal senantiasa menghadapi pemilikan tanah pada awalnya sebagai kekayaan, modal dari sang saudagar atau lintah darat dan bahkan pada dewasa ini semua modal baru mula-mula muncul di atas panggung dalam bentuk uang yang dalam proses-proses tertentu mesti ditransformasi menjadi modal (kembali)” (Engels, 2002: 68).
“Pemilik modal dan pemilik tanah adalah pihak yang mengeksploitasi pekerja. Jika semua nilai adalah produk dari tenaga kerja, maka semua profit (laba) yang diterima oleh pemilik modal dan pemilik tanah pastilah merupakan “nilai lebih” yang diambil secara tidak adil dari kelas pekerja” (Skousen, 2009: 185). “marxis kelak mencirikan kapitalisme dan bisnis besar sebagai imperialistik, mengeksploitasi buruh asing dan sumber daya asing” (skousen, 2009: 187).
Perkembangannyapun mengglobal, bukan lagi hanya berlangsung pada konteks-konteks kewilayahan tertentu, tetapi mulai bergerak menerobos batas-batas antar negara bangsa. Juga tidak hanya berlangsung pada satu sektor industri, tapi mulai merambah keberbagai sektor. ‘Kapitalis disibukkan oleh upaya menaklukkan pasar baru dan oleh upaya eksploitasi lebih menyeluruh terhadap pasar lama” (Marx, dalam Skousen, 2009: 187)
“Sang kapitalis adalah pejuang demi labanya” (Engels, 2002: 9), “sang kapitalis membeli tenaga kerja di pasar dan membuatnya bekerja untuk dirinya agar pada gilirannya menjual produknya” (Engels, 2002: 15). “Produksi barang dagangan, sirkulasi barang dagangan dan bentuk perkembangan yang disebut terakhir, perdagangan, selalu merupakan karya dasar darimana modal itu timbul” (Engels, 2002: 68).
Maka dapat disimpulkan bahwa, Pemilik modal dalam penjelasan marxisme lebih sebagai aktor yang memiliki peran sebagai agen penindas. Pemilik modal atau Kapitalis mengacu pada orang atau sekumpulan orang yang memiliki hak dan kewenangan dalam mengendalikan relasi-relasi atau proses produksi. Sekaligus sebagai pemilik yang sesungguhnya atas seluruh aspek dalam relasi-relasi produksi (modal, bahan baku, alat-alat, pekerja/buruh, hasil produksi, profit) yang dikendalikannya.
4. Konsep Buruh
Tak banyak berbeda dari beberapa konsep yang telah dikemukakan diatas, tidak ditemukan sebuah definisi yang bersifat runtut untuk menjelaskan tentang apa pengertian buruh dalam term marxisme. penjelasan-penjelasan tentang buruh acapkali berkutat pada makna buruh atas lingkungan sosialnya, atau dengan kata lain, buruh tidak didefinisikan pada satu pemaknaan yang khusus tapi cenderung didefinisikan dalam benturannya dengan realitas sosialnya. tapi beberapa penjelasan Marx maupun para pemikir besar Marxisme pasca Marx, dapat sedikit memberi keterangan yang dirasa cukup untuk memberi pengertian tentang apa itu “buruh”.
Marx menyatakan “Buruh pasti menghasilkan intan permata bagi orang-orang kaya, tetapi hanya menciptakan kemelaratan bagi dirinya. Buruh membangunkan istana, tetapi gubuk bagi dirinya. Buruh menghasilkan kecantikan, tetapi cacat yang diterimanya. Orang-orang kaya menggantikan buruh dengan mesin, tetapi melemparkan sebagian pekerjanya kembali ke pekerjaan barbarian dan menganggap sebagian lainnya seperti mesin. Buruh menghasilkan kecerdasan, namun kebodohan dan hambatan pertumbuhan yang diperolehnya” (Marx, dalam Fromm, 2004: 129).
“Dibandingkan dengan berkembangnya borjuasi, artinya, kapital, maka dalam derajat yang itu juga proletariat, kelas buruh modern, telah berkembang. Suatu kelas kaum pekerja yang hanya hidup selama mereka mendapat pekerjaan, dan hanya mendapat pekerjaan selama kerja mereka (dapat) memperbesar kapital. Kaum pekerja ini yang hanya menjual dirinya sepotong-sepotong adalah suatu barang dagangan seperti semua barang dagangan lainnya, dan karenanya diserahkan mentah-mentah kepada segala perubahan dalam persaingan, kepada segala perguncangan pasar…, massa kaum buruh yang dikumpulkan dalam pabrik diorganisasi seperti serdadu…, mereka tidak hanya menjadi budak borjuis dan budak negara borjuis saja; mereka itu setiap hari dan setiap jam diperbudak oleh mesin-mesin, oleh mandor-mandor, dan terutama sekali oleh tuan pabrik borjuis orang-orang itu sendiri…” (Karl Marx, manifesto of the communist party, rumah kiri).
Herbert Marcuse memberi penjelasan, “Pekerja bekerja untuk kapitalis, yang kepadanya ia tunduk, melalui kontrak upah, hasil dari kerjanya. Semakin banyak pekerja itu memproduksi, semakin besar kekuatan modal, dan semakin kecil kesempatan pekerja itu sendiri untuk menikmati hasil kerjanya. Pekerja dengan demikian menjadi korban kekuatan yang ia ciptakan sendiri” (Marcuse, 2004: 230).
“Dalam “kerja upahan”, pekerja menjual tenaganya. Hasil kerjanya lalu menjadi milik perusahaan sehingga dia teralienasi dari produknya sendiri” (F. Budi Hardiman, 2004: 238).
Secara ringkas, Haramain. dkk, menjelaskan “Buruh adalah objek bagi industri’ (Haramain, dkk, 2003: 13)
bebrapa pernyataan ini memberi kesimpulan bahwa buruh adalah makhluk manusia yang menjual diri (tenaga kerjanya) kepada pembeli (pemilik modal) lewat sebuah transaksi bebas (sebagaimana layaknya pertukaran yang umum berlangsung di pasar-pasar), untuk bekerja dan mengabdikan tenaga serta kemampuannya demi kepentingan kapitalis (pemilik modal), untuk memproduksi komoditas tertentu. Tanpa peduli sejauh mana implikasi kontrak kerja dan pengabdiannya tersebut bagi dirinya sendiri.
5. Alienasi
pemaknaan alienasi dalam term marxisme memiliki dua penjabaran makna, yakni; alienasi yang lahir dari penghayatan dalam esensi keber-agama-an, serta alienasi yang disebabkan oleh hubungan-hubungan produksi. Guna mencegah pembiasan makna, maka alienasi dalam konteks ini cenderung mengartikan makna alienasi dalam pengertian yang kedua. Konsep alienasi menduduki peran yang cukup sentral dalam mengungkap makna yang paling esensi dari hubungan-hubungan produksi. Alienasi dalam konteks ini merupakan bagian dari makna atas eksistensi buruh, sebagai diri yang tercerabut dari akar hakikatnya, kenyataan ini tidak bisa dilepas-pisahkan dari problematika dalam hubungan-hubungan produksi.
beberapa pernyataan selanjutnya, adalah merupakan bagian dari kepentingan untuk mengungkap pengertian alienasi sesuai dengan konteks dan batasan penulis. Marx menyimpulkan bahwa alienasi aktifitas praktis, kerja, berasal dari 2 (dua) aspek: (1). hubungan pekerja dengan produknya sebagai objek asing yang menguasainya, (2). hubungan kerja dengan tindakan produksi dalam kerja (Marx, dalam Fromm, 2004: 132).
“Objek yang dihasilkan oleh kerja, yaitu produknya, Nampak sebagai entitas asing, suatu kekuatan yang menjadi terlepas dari pembuatnya…, Pekerja yang terasingkan dari produknya ini, pada saat yang sama, juga terasingkan dari dirinya sendiri. Kerjanya sendiri tidak lagi menjadi miliknya, dan kenyataan bahwa hasil kerjanya menjadi milik orang lain menunjukkan bahwa keadaan ini meruntuhkan esensi manusia. Kerja dalam bentuk yang sebenarnya adalah medium bagi pemenuhan diri manusia, bagi perkembangan penuh potensinya; pemanfaatan secara sadar terhadap berbagai kekuatan alam seharusnya dilakukan untuk kepuasan dan kesenangan manusia…, bukannya mengembangkan energy fisik dan mentalnya yang bebas, pekerja (justru) memperbudak tubuhnya dan menghancurkan pikirannya” (Marcuse, 2004: 231-233).
“Pekerjaannya dengan demikian tidak dilakukan dengan kemauannya sendiri, tapi dibawah paksaan. Ini adalah kerja yang dipaksakan. Oleh karena itu, kerjanya ini bukanlah pemenuhan dari kebutuhan tapi hanya (sebagai) alat-alat bagi pemuasan keinginan” (Marcuse, 2004: 233)
Keterasingan pada substansinya tidak akan terjadi jika pekerja/ buruh, bekerja dibawah kehendaknya yang bebas dan atas tujuan pemenuhan kepentingan dirinya, bekerja dengan mengandalkan waktu dan kesempatan sesukanya tanpa ada tekanan yang berasal dari luar dirinya yang bersifat mengikat dan memaksa. Dan nilai kerja menjadi sesuatu yang dipaksakan dari luar dirinya oleh sesuatu yang mampu memaksakan kuasa dan kehendak atas pekerja, maka dengan sendirinya, pekerja menjadi terlempar dari hakikat dirinya sebagai manusia yang bebas dan merdeka, ia lalu menjadi manusia yang dibelenggu dan kehilangan kebebasan kemanusiaannya. “sebagai akibatnya, manusia pekerja merasakan dirinya bertindak bebas hanya dalam menjalankan fungsi kebinatangannya (animaliknya) seperti makan, minum, dan melahirkan…, binatang yang menjadi manusia dan manusia yang menjadi binatang” (Marcuse, 2004: 232).
“apa yang dihasilkan buruh adalah dirinya sendiri yang telah diwujudkan dalam bentuk objek yang kemudian berubah menjadi benda fisik; produk ini merupakan objektifikasi buruh. Tindakan kerja, pada saat yang bersamaan, merupakan objektifikasinya” (Marx, dalam Fromm, 2004; 126). Penjelasan ini mengisyaratkan bahwa, benda, produk atau dengan kata lain “hasil produksi’, yang pada satu sisi merupakan hasil kerja buruh, pada substansinya juga merupakan bagian dari realisasi diri pembuatnya sendiri. Karena sekali lagi perlu ditekankan bahwa buruh adalah penjual tenaganya sendiri, sehingga ia tidak lagi memiliki dirinya yang bebas, karena kebebasannya telah direnggut lewat sebuah kontrak kerja, yang pada akhirnya menghilangkan esensi dirinya yang hakiki sebagai manusia. Ia tidak lagi menjadi manusia, tapi berubah menjadi komoditas yang berbentuk tenaga untuk bekerja, Nampak sebagai manusia hanya dari ciri fisik dan bentuknya yang masih wajar serta masih sukanya ia terhadap aroma ayam panggang, tapi diri dan esensi kemanusiaannya, telah menjelma menjadi komoditas dagangan.
objek yang diciptakan tersebut juga bersifat memaksa, bersifat menguasai seluruh mekanisme tindakan buruh. Marx menambahkan, “Alienasi yang dialami pekerja dari kerjanya bukan hanya bahwa kerjanya menjadi objek, yang mengasumsikan sebuah eksistensi eksternal, tetapi juga bahwa objek itu berdiri sendiri, diluar dirinya, dan asing baginya, dan bahwa objek ini berseberangan dengannya sebagai sebuah kekuasaan yang otonom” (Marx dalam Fromm, 2004: 127).
Penjelasan ini sangatlah filosofis, maka perlu disederhanakan sehingga tidaklah mesti menimbulkan kerancuan atau kepincangan akal untuk memahaminya. Yang terpenting, esensinya dapat ditangkap meskipun dalam pemahaman yang hampir samar, karena tumpulnya akal yang berpikir. Sekiranya apa yang dijelaskan Denby, dapat memberi sedikit penyederhanaan makna tanpa menghilangkan esensi makna sebagaimana yang dimaksudkan oleh Marx sendiri. Bahwa “alienasi adalah hilangnya diri: kita bekerja untuk orang lain, dan seringkali kita menghadapi apa-apa yang kita produksi dengan ketidakpedulian dan bahkan muak” (Denby, dalam Skousen, 2009: 199).
6. Konsep Penindasan
Beberapa konsep dalam kajian pustaka ini, tidak bisa dinafikan, merupakan bagian yang tidak bisa dilepas-pisahkan.
Penindasan, eksploitasi, bahkan penghisapan, dalam term marxisme merupakan tiga kata yang cenderung digunakan secara bergantian untuk mendeskripsikan makna dari kesewenang-wenangan pemilik modal terhadap pekerja/ buruh. Sehingga, menjadi mungkin jika penulis juga memberikan pemaknaan yang sama atas ketiga kata di atas.
Konsep penindasan, eksploitasi, penghisapan, dalam term marxisme menempatkan kapitalis atau pemilik modal pada satu kutub sebagai penindas, dan buruh atau pekerja pada kutub yang berbeda sebagai yang ditindas. Kondisi ini memiliki relevansi yang cukup kental dengan konsep alienasi yang telah disebutkan diatas, pekerja yang mesti bekerja dibawah kontrol kapitalis, dengan nilai upah yang ditetapkan dalam kontrak, dengan nilai kerja yang melebihi batas upah, sehingga menciptakan nilai lebih bagi pemilik modal, tentunya nilai lebih yang diperoleh dari nilai kerja yang tidak terbayar, menjadi dasar asumsi atas tertindasnya buruh, tereksploitasinya buruh, terhisapnya buruh. “selama seluruh periode yang panjang ketika perbudakan menjadi bentuk pengorganisasian kerja yang berlaku, kaum budak terpaksa melakukan lebih banyak kerja daripada yang dikembalikan pada mereka dalam bentuk kebutuhan-kebutuhan hidup” (Engels, 2002: 7).
Penindasan (sebagaimana yang dijelaskan diatas) cenderung berlangsung dalam proses selama buruh bekerja guna memproduksi komoditas bagi kapitalis. Ter-subordinasi-nya buruh pada satu sisi dan status kapitalis yang men-dominasi pada sisi yang lain, melahirkan kecenderungan penguasaan atas aktifitas buruh oleh kapitalis selama bekerja dalam memproduksi komoditas, ada nilai kewajiban yang bersifat mengikat dari kontrak kerja buruh-pemilik modal, sebuah nilai yang menjadikan buruh menyerahkan kebebasannya untuk dikuasai, dikendalikan oleh kontrol-kontrol kewajiban untuk bekerja sambil menghamba kepada pemilik modal. “Peran dari tenaga kerja dalam menghasilkan nilai lebih, serta-merta juga mengeksploitasi tenaga kerja itu sendiri” (Haramain, dkk. 2003: 45).
“…Marx begitu gamblang dan ilmiah dalam menggambarkan proses eksploitasi terhadap tenaga kerja (buruh) itu terjadi. Dimana ia melihat bagaimana nilai lebih yang didapat oleh para kapitalis itu didapatkan dari peran tenaga kerja yang begitu besar…, sementara selisih antara nilai lebih yang diterima oleh para kapitalis itu dengan upah yang diterima buruh selama ini menunjukan kesenjangan yang tajam. Namun atas posisinya dalam proses produksi, buruh seringkali tidak mempunyai kewenangan apa-apa untuk mengambil keputusan, pemilik kapitallah yang memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan” (Haramain, dkk. 2003: 46).
Sekali lagi, penindasan ini merupakan bagian dari alienasi, dan penindasan ini juga berakibat pada pemiskinan. Sebagaimana dijelaskan Marcuse, “Ketika berubah menjadi produksi komoditas kapitalis, kerja bersifat memiskinkan. Karena semakin besar beban pekerja, semakin kuat dunia obyek yang asing yang ia ciptakan untuk melawannya, dan ia sendiri menjadi semakin miskin… mekanisme ini terjadi dalam upah. Hukum produksi komoditas, tanpa adanya bantuan luar, mempertahankan upah pada tingkat yang memiskinkan (Marcuse, 2004: 231). Artinya, peningkatan akumulasi profit yang juga berimplikasi pada peningkatan akumulasi modal, dapat terjadi ketika beban kerja buruh bertambah (penambahan waktu kerja, atau intensitas pemanfaatan waktu dalam proses kerja), sedangkan pada sisi yang lain, upah tetap berada pada posisi yang stagnan sesuai kontrak, sehingga nilai kerja maksimal tetap tidak berimplikasi pada peningkatan pendapatan pekerja dan hanya berimplikasi secara pincang, yakni menguntungkan pemilik modal, bukankah ini nyata bermuara pada pemiskinan?.
Maka penindasan ini juga merupakan bagian yang tidak bisa dilepas-pisahkan dari ter-subordinasi-nya buruh pada kelas yang didominasi oleh kekuatan-kekuatan kelas yang men-dominasi, yakni kelas kapitalisme. Sebagaimana dijelaskan Marx, ‘Masyarakat-masyarakat modern yang timbul dari runtuhan masyarakat feodal tidak menghilangkan pertentangan-pertentangan kelas. Ia hanya menciptakan kelas-kelas baru syarat-syarat penindasan baru, bentuk-bentuk perjuangan baru sebagai ganti yang lampau” (Marx, Manifesto Communist, rumah kiri).
7. Nilai Lebih
“Marx berawal dari kenyataan sederhana yang teramat jelas bahwa kaum kapitalis mengubah modal mereka menjadi dana melalui pertukaran; mereka membeli barang-barang dagangan dengan uang mereka dan kemudian menjualnya untuk lebih banyak uang daripada harga pembeliannya. misalnya seorang kapitalis membeli kapas seharga 1000 taler, dan kemudian menjualnya untuk 1.100 taler, dengan demikian memperoleh 100 taler. Kelebihan 100 taler di atas modal asli itu disebut Marx sebagai nilai lebih” (Engels, 2002: 5).
“Menurut asumsi para ahli ekonomi, hanya nilai-nilai setara yang dipertukarkan, dan dibidang teori abstrak, ini benar adanya…, dalam kondisi-kondisi masyarakat sekarang sang kapitalis menemukan di pasar barang-dagangan suatu barang-dagangan yang memiliki suatu sifat khusus, yaitu penggunaannya merupakan suatu sumber nilai baru, merupakan suatu penciptaan nilai baru, barang dagangan ini adalah tenaga kerja…, nilai setiap barang-dagangan di ukur dengan kerja yang diperlukan bagi produksinya” (Engels, 2002: 5-6).
“andaikan bahwa upah mingguan seorang pekerja mewakili tiga hari kerja, maka, apabila sang pekerja bekerja mulai pada hari senin, pada rabu petang ia telah menggantikan bagi sang kapitalis nilai penuh dari upah yang dibayar itu…, sang kapitalis telah membeli kerjanya selama seminggu dan sang pekerja mesti terus bekerja selama tiga hari terakhir dari minggu itu juga. Kerja-lebih pekerja itu, disamping waktu yang diperlukan untuk menggantikan upahnya, adalah sumber nilai-lebih, sumber laba, sumber akumulasi modal yang terus bertumbuh…, kalau sang kapitalis (hanya) menarik (laba) dari sang pekerja itu selama suatu jangka waktu lama hanya sebanyak kerja yang dibayarnya dalam upah (kepada pekerja), maka ia akan menutup pabriknya, karena seluruh labanya adalah sebuah nol besar” (Engels, 2002: 6-7).
“..bahkan laba yang diperoleh pedagang katun dari katunnya didalam contoh diatas, mesti terdiri atas kerja yang tidak terbayar…”, (Engels, 2002: 7).
Jadi nilai lebih, lahir dari proses kerja, keuntungan (profit) dari perdagangan barang hasil-hasil produksi diperoleh dari nilai kerja buruh yang tidak terbayar. Substansinya, saudagar kaya dapat menjual barang hasil produksi, bertransaksi dengan pembeli, dan ia memperoleh keuntungan dari transaksi tersebut, ia memperoleh keuntungan dari barang-barang hasil produksi, maka ia ikut menikmati nilai lebih, nilai kerja buruh yang tidak terbayar. Tapi, mestikah ada royalty yang harus dibayarkan oleh saudagar kepada buruh pekerja atas jasanya dalam memproduksi barang-barang tersebut? Karena saudagar ikut menikmati profit dari barang-barang hasil kerja buruh, tanpa lupa bagaimana cara menghargai jasa buruh pekerja.
8. Kelas Sosial
Dari literatur yang penulis miliki, tidak ada satu tempatpun dalam tulisan-tulisan Marx dimana kita dapatkan definisi tentang kelas. Dia melukiskan dalam istilah-istilah yang konkret tentang perjuangan kelas, penindasan oleh kaum borjuis, konfliknya dengan kaum proletar, dan seterusnya, akan tetapi dia tidak memberikan definisi abstrak tentang kelas-kelas sosial. Tapi beberapa penjelasan dibawah ini tentunya dirasa cukup untuk menemukan substansi kelas sosial sebagaimana pemaknaan kelas sosial seperti makna yang dimaksudkan oleh Marx.
“Pengertian kelas adalah paralel dengan pengertian lapisan tanpa membedakan apakah dasar lapisan itu uang, tanah, kekuasaan, atau dasar lainnya (Soemardjan dan Soemardi, dalam Wulansari”, 2009: 119).
Sebelum Marx, paham tentang kelas didasarkan kurang lebih pada kontras antara yang kaya dan yang miskin, “yang berpunya” dan “yang tidak berpunya”, kelompok-kelompok yang berprivilese dan yang dihisap. Para ahli sosiologi Amerika masa sekarang menganut kembali konsep ini didalam teori-teorinya tentang “strata” sosial yang ditentukan oleh perbedaan-perbedaa didalam standar hidup.
“Konsep marxis tentang kelas, dan konsep-konsep lain tentang kelas tidaklah kontradiktif, dalam hal-hal tertentu mereka saling melengkapi” (Duverger, 2005: 198).
“Apa yang kita sebut sebagai kelas adalah sekelompok besar orang-orang yang dipertandai oleh posisi yang dipegangnya didalam suatu system yang dibatasi secara historis oleh produksi sosial oleh hubungannya dengan alat-alat produksi, oleh peranannya didalam organisasi sosial, dan dari sini alat-alat pengaturan dan porsi kekayaan sosial yang dipunyainya. Kelas adalah sekelompok orang yang bisa mengambil menjadi miliknya kerja yang dilakukan oleh orang lain, sebagai akibat dari perbedaan didalam posisi yang dipunyainya didalam rezim yang ditentukan oleh ekonomi sosial” (Lenin dalam Duverger, 2005: 190).
“Kelas-kelas sosial didefinisikan oleh hubungan dengan jenis hubungan-hubungan sosial yang tertentu, yang itu sendiri dihasilkan oleh suatu keadaan tertentu dari kekuatan-kekuatan produktif” (Marx dalam Duverger, 2005: 190).
“Lahirnya kelas-kelas sosial adalah karena munculnya dan berkembangnya pembagian kerja secara sosial, munculnya milik-milik pribadi atas alat-alat produksi” (Petit Dictionnaire Philosophique Sovietique, dalam Duverger, 2005: 190).
“Dalam Marxisme, pembagian masyarakat dalam kelas-kelas ditentukan oleh posisi dalam proses produksi” (Lukacs, 2010: 95).
“Seseorang atau suatu kelompok termasuk dalam kelas atas atau kelas bawah sangat ditentukan oleh relasi mereka terhadap alat-alat produksi” (Marx, dalam Wulansari, 2009: 103).
Marx menjelaskan, “…perbedaan antara pemilik modal dan tuan tanah, dan antara buruh pertanian dan pekerja industry, pasti akan terlihat dan keseluruhan masyarakat terbagi menjadi dua kelas, yakni pemilik yang kaya dan pekerja yang miskin” (Marx dalam Fromm, 2004: 124).
“Kelas adalah unit sosial dan ekonomi yang nyata bukan unit individu. Ia mendapatkan eksistensinya yang independen dihadapan individu, sehingga individu medapati eksistensinya sudah ditentukan sebelumnya, dan karenanya kehidupannya dalam kehidupan serta perkembangan pribadinya ditentukan oleh kelasnya dan menjadi tunduk dibawahnya” (Marcuse, 2004: 240).
Oleh; Pardin isa
*. Prolog
Jangan sekali-kali melupakan sejarah, justru belajarlah dari sejarah, Karena sejarah adalah mahaguru bagi masa depan. Sejarah selalu mengajarkan banyak hal bagi setiap generasi, ilmu yang tidak ternilai harganya. Tapi bangsa ini terlalu mengabaikan sejarah, terlalu menganggap remeh sejarah, terlalu mempermainkan sejarah. Bagi bangsa ini, sejarah hanyalah sebuah lukisan zaman, sebuah potret tentang masa lalu yang tidak perlu di gali dan di kaji otentisitasnya. Sejarah hanyalah sekedar lintasan roh waktu dalam ruang-ruang kehidupan manusia. Sejarah adalah milik mereka yang menang dan punya kuasa.
Para pahlawan masa lalu yang telah menorehkan tinta kebebasan dan kemerdekaan kepada kita yang hidup di zaman kini, patutlah jasa dan kontribusi mereka senantiasa kita kenang, sebagai bagian dari penghormatan dan rasa terima kasih kita atas segala darma-bakti mereka kepada bangsa dan Negara yang kini menjadi rumah hunian kita. alangkah picik nurani kita, dan alangkah kerdilnya otak kita, ketika kita lalu lupa dengan segala perjuangan tanpa gentar, dengan segala pengorbanan tanpa pamrih yang telah mereka berikan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pahlawannya, bangsa yang agung adalah bangsa yang senantiasa memberikan tempat terhormat dan agung kepada para pahlawannya. Siapa itu pahlawan? Siapa yang kau maksud sebagai pahlawan dalam omong kosongmu yang panjang dan berbelit-belit?...,
Masing-masing dari kita punya konsepsi tersendiri soal apa itu pahlawan, tak perlu banyak berdefinisi karena kebanyakan definisi justru dapat membuat kita menjadi bingung dan ragu untuk berkonsepsi. Dan tak perlu harus membuka kamus, karena justru pikiranmu akan berdasarkan kamus yang pada akhirnya membuat dangkal pikiranmu. Berilmu hanya ketika memiliki kamus, menjadi tolol ketika tidak memiliki kamus, sebuah ironi.
Tapi Ironi yang lebih fatal justru sedang melanda bangsa dan Negara ini, sebuah kebutaan terhadap sejarahnya sendiri. Saudara-saudaraku, Jangan berbakti kepada bangsa yang munafik, jangan mengabdi kepada bangsa yang munafik. karena para pemimpinnya kini merasa hebat, mereka memimpin sebuah bangsa yang telah bebas dan merdeka tanpa tahu bagaimana rasanya memulai sebuah perjuangan untuk menjadi bebas dan merdeka. Mereka telah munafik pada fakta masa lalu, mereka telah lupa pada pahitnya hari-hari bagi mereka yang dulu memulai sebuah perjuangan panjang untuk membuat bangsa ini menjadi bebas dan merdeka. Apa yang telah engkau nikmati dari kebebasan dan kemerdekaan hari ini?, menistakan rakyatmu dengan kemiskinan sambil membela diri bahwa kemiskinan itu datangnya dari Tuhan, atau datang dari kebijakan-kebijakan pasar global yang timpang?, sedangkan engkau menikmati hidup maha-sejahtera di atas bangkai rakyatmu, di atas kuburan para pahlawan bangsa yang telah engkau lupakan jasa-jasanya!.
entah apa yang patut kita persembahkan kepada para pahlawan itu sebagai wujud dan pengormatan kita kepada mereka, dan sesungguhnya tak bisa dimengerti, apa pula yang di inginkan oleh mereka yang telah wafat dan membusuk di dalam kuburannya itu. Dan bahkan sebagian dari mereka tak diketahui nisannya.
*. Tan Malaka, Manusia Agung Yang Dilupakan
Apalah arti penghormatan bagi seorang Sutan Ibrahim alias Datuk Tan Malaka, apalah arti sebuah pujaan bagi pria tak beristri, gembel tak ber-rumah, buruh tambang, Juru tulis di kantor perkebunan, guru rendahan di Cina, Singapura dan Indonesia, narapidana politik, buronan agen intelijen negara-negara imperialis dunia seperti dia. Ya, ini adalah contoh asumsi yang mencerminkan kekerdilan dan kepicikan berpikir. Sesungguhnya tak mungkin lagi Ibu Pertiwi melahirkan manusia agung seperti dia, manusia revolusioner yang telah ikut membentuk wajah sejarah, bukan sekedar sejarah bangsa ini, tapi sejarah dunia, sejarah global. Bangsa ini harusnya malu telah menelantarkan salah seorang putra terbaiknya, aib bagi seluruh pemimpin bangsa ini, aib bagi seluruh umat bangsa ini.
Entah kesalahan apa yang telah diperbuat pria komunis ber-Tuhan ini sehingga bangsa menjadi lupa atas jasa-jasanya. Pria komunis yang di didik dan dibesarkan dari sebuah surau ditanah kelahirannya, masyarakat Minang yang memegah teguh filosofi “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”, yang tetap ia pegang teguh hingga akhir hayatnya. Manusia cerdas revolusioner yang selalu berbuat tanpa pamrih, manusia agung yang tak pernah ingin di puja-puji oleh pengagumnya. Siapa yang tidak gemetar badannya, dan tidak dingin aliran darahnya, ketika mendengar nama Tan Malaka dimasa ketika dia masih hidup, bahkan banyak orang menyamar sebagai Tan Malaka untuk sekedar membuat sensasi dan gagah-gagahan di depan para murba yang buta huruf. Dialah agen komunisme internasional (Komintern) yang punya hak veto atas seluruh kebijakan-kebijakan organisasi komunis yang berada di wilayah asia timur, asia tenggara, Australia, sampai asia selatan. Ho Chi Minh begitu menghormatinya Mao Tse Tung begitu menghargainya, bahkan soekarno begitu kagum dengan manusia ini, lalu kebodohan apa yang membuat bangsa ini sehingga menjadi lupa dengan nama besarnya?.
Terlalu banyak polemik, terlalu banyak perdebatan konyol yang terkesan mengada-ada, menganggap Tan Malaka sebagai eks agen komunisme dunia, eks ketua PKI, yang kesemua ini pada akhirnya menafikan kenyataan lain bahwa Tan Malaka hanyalah seorang anak bangsa yang ingin agar bangsa dan rakyatnya yang tertindas, terhisap, miskin papa, melarat, terjajah itu menjadi merdeka. Dia menghendaki kemerdekaan 100% bagi rakyat dan bangsanya, kemerdekaan yang tanpa diplomasi berunding tapi dengan diplomasi bambu runcing, kemerdekaan yang bukan sekadar hadiah dari “Saudara Tua” seperti yang di idamkan para pemimpin bangsa lain pada ketika itu, dia menginginkan kemerdekaan yang sesungguhnya bagi bangsanya. Dia hanyalah seorang anak bangsa yang ingin bangsanya merdeka dengan cara yang diyakininya, dengan berbagi konsep, ideologi dan diskursus yang diyakininya. Dialah orang pertama yang memberi nama depan “Republik” bagi bangsa ini, lewat teks revolusionernya yang terbit di kanton bertajuk “Naar de Republiek Indonesia’. Puluhan buku revolusioner, ratusan brosur revolusioner terlahir lewat otaknya, kesemuanya di abdikan guna mendidik saudara sebangsanya, untuk bagaimana agar bangsa ini menjadi merdeka, dan bagaimana bangsa ini di bangun setelah memperoleh kemerdekaan. Pahlawan nasional mana yang telah menulis begitu banyak teks-teks revolusioner yang berisi ilmu, agitasi propaganda, strategi, untuk mendidik rakyat bangsa ini agar tahu bagaimana menghancurkan imperialis pada ketika itu?, bahkan Soekarno harus di penjara di Landrat bandung tahun 1931 oleh Belanda hanya karena ia menyimpan buku “Massa Aksi” tulisan Tan Malaka, sebuah buku maha terlarang pada ketika itu, sebuah buku yang ketika dibaca mampu membakar hasrat revolusioner setiap “inlander” idiot penakut sekalipun untuk bangkit dan mengangkat senjata.
Membaca “Patjar Merah Indonesia” (sebuah novel sejarah tentang kisah Tan Malaka bersama beberapa kawan revolusionernya di berbagai Negara), serta “Dari Penjara Ke Penjara (From Jail To Jail) (yang lebih tepatnya merupakan Autobiografi Tan Malaka), serta belasan buku lain yang substansinya lahir dari otak orang ini, melukiskan banyak hal yang kesemua itu tidak dimiliki oleh orang lain yang hari ini kita daulat sebagai “pahlawan nasional”. Lalu kenapa Tan Malaka harus tersisih dalam teks sejarah kita?
Soekarno (Presiden pertama RI) telah mendaulat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional, dan pada masa Orde Baru, nama Tan Malaka justru menjadi asing ditelinga kita dan tak pernah disebut dalam teks sejarah. Ya, ada yang keliru dalam penjelasan sejarah kita, Tan Malaka tidak perlu dikat-kaitkan dengan upaya kudeta PKI tahun 1965, Dia tidak patut jika harus ikut menanggung aib 1965. Karena jasa dan kontribusinya teramat besar bagi bangsa ini, ia rela terbuang, di penjara, menjadi buronan, tidak menikah, menyamar dengan banyak nama, hanya karena ia menghendaki agar badan dan pikirannya tetap bebas agar senantiasa bisa berada di tengah-tengah rakyatnya dan agar dia tetap bisa berbakti dan mengabdi untuk bangsa dan rakyatnya, supaya menjadi bebas dan merdeka. Sebuah kebebasan dan kemerdekaan yang pada hari ini telah kita nikmati.
Bangsa ini harus berintropeksi diri, harus malu kepada dunia, karena dominan sejarah perjuangan dan aktifitas revolusionernya justru di ulas oleh orang yang bukan Indonesia, sebut saja semisal Noriaki Oshikawa, Helen Jarvis, Harry A.Poeze, dan beberapa puluh penulis lain yang telah banyak mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk mengungkap sosoknya yang misterius. Hanya beberapa orang intelektual Indonesia yang masih mau peduli, serta dengan jujur berkata bahwa “Tan Malaka adalah sosok manusia agung yang pernah dilahirkan oleh bangsa ini, mungkin Ibu Pertiwi tidak akan lagi mengandung dan melahirkan anak seperti dia”.
Dia mati di tangan saudara sebangsanya karena intrik, tak tentu jasadnya dan bangsa serta rakyatnya lupa dengan pengabdiannya yang tanpa pamrih (semoga benar apa yang disampaikan oleh Harry A. Poeze pada diskusi beberapa waktu lalu tentang telah ditemukannya kerangka tubuh Tan Malaka, hingga kini masih menunggu konfirmasi hasil tes DNA). Biarlah sejarah yang menjadi hakim, agar kebenaran di ungkap dan di tegakkan, bahwa dialah yang patut kita sebut sebagai “Pahlawan Nasional” yang sesungguhnya. ***
Oleh; Pardin Isa
Setiap bangsa pastilah memiliki latar belakang sejarah, bahasa, world view (pandangan dunia), dan keanekaragaman ciri khas yang membedakannya dari bangsa lain. Ciri-ciri tersebut selanjutnya menjadi perlambang bagi kekhususan identitas suatu bangsa. Di dunia ini, secara hakiki tak ada bangsa yang memiliki ciri dasar kebudayaan lebih istimewa dari bangsa lainnya (tanpa mengabaikan faktor sejarah, tentang usia peradaban sebuah bangsa). Ke-istimewaan dan ketidak-istimewaan suatu bangsa atas bangsa lainnya cenderung ditentukan oleh prestasi budaya masyarakat bangsa dimaksud, sebuah prestasi budaya yang melahirkan peradaban unggul bagi bangsa tersebut, karena peradaban lahir dari hasil kreasi kebudayaan. Beberapa pemikir sosial bersepakat bahwa; jika kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian tentang nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, maka peradaban merupakan manifestasi kemajuan kebudayaan yang dominan bersifat teknologis, yang terefleksi dalam berbagai pranata kehidupan suatu masyarakat.
Jadi, sementara masyarakat pada sebuah bangsa masih belajar mengeja huruf (karena sebelumnya buta huruf), masyarakat pada bangsa yang lain sudah belajar membuat bayi tabung (kloning). Sementara masyarakat pada sebuah bangsa masih belajar bagaimana cara membuka pintu mobil, masyarakat pada bangsa yang lain sudah mulai belajar bagaimana cara menyeberang ke salah-satu Bumi lain yang paling dekat dengan Bumi kita (100 trilyun Bumi di jagad raya), dengan harus menaklukkan jarak 38 Trilyun KM (4 tahun cahaya), karena jika di tempuh dengan pesawat Garuda butuh waktu 5,5 juta tahun. Ya, Sebuah analogi guna menguak adanya perbedaan kualitas peradaban yang signifikan diantara bangsa-bangsa.
Peradaban unggul sebuah bangsa lahir dari masyarakat bangsa berwatak creator (pencipta), sedangkan masyarakat bangsa yang tidak berwatak creator (follower) hanya menjadi masyarakat nomaden modern yang konsumtif, hanya tahu berpindah-pindah dari satu gaya hidup, ke gaya hidup yang lainnya, tak pernah menciptakan apa-apa, tapi merasa diri sebagai orang (masyarakat) yang berperadaban, hanya karena sudah mengkonsumsi produk hasil kreasi bangsa-bangsa yang punya kualitas peradaban lebih tinggi.
Memang benar, paradigma hidup bagi masyarakat manapun cenderung akan bergerak dan berubah pada setiap fase sejarah. Perubahan tersebut mengarah pada upaya adaptasi dan asimilasi atas berbagai detil perubahan yang terjadi pada konteks lingkungan sosial, regional bahkan global. Saat ini, setiap masyarakat pada berbagai bangsa dituntun oleh satu kekuatan besar yang mendunia untuk merubah paradigma dan prinsip budayanya ke satu titik yang sama, agar identik. Jangkauan akses informasi dan komunikasi pada ketika ini, memudahkan setiap masyarakat bangsa untuk saling belajar dan mempelajari. Tanpa sadar proses ini selanjutnya mengarah pada upaya penyeragaman paradigma budaya secara global. Implikasi dari upaya penyeragaman inilah yang menjadi kepentingan bangsa-bangsa yang berkepentingan. Budaya yang pada akhirnya menjadi seragam dari berbagai rupa masyarakat bangsa, sangat mungkin secara implementatif akan berimplikasi pada seragamnya setting interaksi, seragamnya pola pikir, seragamnya pandangan hidup, seragamnya gaya hidup, dan seragamnya kebutuhan atas sarana-sarana sosial. Slow but sure, kesemuanya lalu digiring masuk kedalam perangkap dependensi, ketergantungan masyarakat bangsa-bangsa tertentu untuk harus mengkonsumsi berbagai rupa barang dan jasa yang hanya disediakan oleh bangsa-bangsa tertentu pula, yang dominan bertujuan demi profit dan dominasi atas pasar global.
Pola di atas lebih tepatnya kita sebut sebagai mekanisme “pangsa pasar” yang bersifat negatif, karena lebih cenderung pada upaya menskenario pasar global sehingga apa yang di produk bisa menjadi primadona di dalam interaksi pasar global. Jadi, kita tidak lagi dihadapkan pada mekanisme pasar sederhana sebagaimana yang kita pahami, ketika sebuah barang dan jasa di produk sesuai selera, kebutuhan, dan trend yang tengah menggejala di pasar (pangsa pasar). kesimpulannya, adalah bahwa sebuah budaya baru diciptakan sebagai sarana (alat) untuk mendorong peningkatan konsumsi masyarakat atas barang dan jasa tertentu. jadi budaya diciptakan dan di sosialisasi, selanjutnya terjadi perubahan pada trend, selera dan kebutuhan, akhirnya barang dan jasa hasil skenario-pun di konsumsi.
Ketersediaan sarana informasi dan komunikasi yang tanpa batas ketika ini menjadi salah satu spirit menjadi makin cepatnya perubahan budaya dan orientasi bagi setiap masyarakat bangsa dapat terjadi. Kita hanya patut risau dengan benturan antar- peradaban, dan tak perlu risau dengan benturan antar budaya. karena sesungguhnya Tidak akan terjadi benturan antar budaya jika pertarungan budaya pada pentas global adalah pertarungan antara budaya “Si Pitung” dan budaya “James Bond”. Si Pitung remuk redam asanya, wujudnya ibarat aib bagi dirinya, menjadi malu dan terpinggirkan karena dia hanya seorang pesilat kampung anak petani miskin papa yang hampir buta huruf, punya rumah berdinding anyaman bambu beratap jerami. mustahil melawan Si Agen 007, sang pria jantan perkasa idaman tiap wanita, agen intelijen jagoan yang bisa mengakses dan menggunakan senjata-senjata ampuh berteknologi tinggi, yang dengan cepatnya bisa melumpuhkan musuh.
Sederhananya, bangsa yang lebih unggul peradabannya (kualitas ekonomi, teknologi, politik, militer) akan menghegemoni dan mendominasi budaya bangsa-bangsa yang lebih rendah peradabannya. Bukan saja disebabkan oleh kekuatan paksaan lewat diplomasi tak sehat, invasi militer atau embargo ekonomi, tapi lebih disebabkan karena daya tarik yang dimiliki oleh bangsa adidaya tersebut lewat propaganda tanpa henti dengan menggunakan berbagai saluran, yang mencitrakan mereka sebagai pemimpin peradaban global sekaligus sebagai Creator budaya baru, sebuah budaya masa depan. Modus ini menjadikan hampir setiap masyarakat bangsa menjadi begitu legowo dalam menerima sesuatu yang baru, tentunya hal baru yang harus memiliki citra dan nilai gengsi maha tinggi di tiap relung panca indera manusia pemuja elitisme dan modernisme.
Di sisi lain, Indonesia tidak hanya memiliki beragam budaya karena beragamnya suku, tapi juga memiliki beragamnya bahasa dan ciri-ciri karakter fisik dan psikis animalik yang kadang tak sehat. Jujur saja, identitas nasional kita (baca: simbol nasional) dalam beberapa hal, bukan merupakan sebuah sintesa kebudayaan, bukan juga merupakan sebuah akulturasi kebudayaan dari beragam budaya suku bangsa yang ada di nusantara. Beberapa instrumen simbol yang dilegitimasi sebagai lambang identitas nasional kita saat ini pada prinsipnya tidak mewakili keseluruhan simbol-simbol dari berbagai elemen bangsa yang direkat dari berbagai macam wilayah dan kedaerahan ini, yang juga secara historis memiliki beragam latar belakang budaya beserta perlambang identitas yang sepenuhnya saling berbeda. Hegemoni kultur Jawa warisan Majapahit dan Sumatera warisan Sriwijaya begitu mengemuka, tampil sebagai representasi Indonesia. tapi tentunya tidak perlulah ada kongres nasional antara pemuka-pemuka suku bangsa di Nusantara untuk membangun sebuah konsensus nasional guna menentukan mana yang harus dilegitimasi sebagai simbol identitas nasional. Hal terbaik yang sewajarnya dilakukan adalah hanya dengan mematuhi kenyataan, karena bisa berbuah kenyamanan bagi siapa saja yang bernawaitu untuk mempersoalkannya.
ada beberapa kasus yang patut dijadikan sebagai contoh yang baik. Hingga detik ini bangsa-bangsa Arab masih mampu bertahan dengan kekhasannya, Cina masih mampu mempertahankan apa yang menjadi miliknya, Jepang masih mencintai “bushido” dan pernak-pernik budayanya, India masih menghargai warisan leluhurnya, serta Malaysia masih bertahan dengan idiom-idiom melayunya (meskipun beberapa bulan terakhir sang negeri serumpun membuat kita untuk hampir kehilangan akal sehat). Mereka adalah Bangsa-bangsa yang pada ketika ini membawa mata dunia untuk berpaling kearah mereka, karena saking cepatnya berbenah diri untuk ikut maju memimpin peradaban global tanpa harus kehilangan citra diri dan identitas nasional sebagai sebuah bangsa.
Dan Indonesia hanya mampu mencitrakan diri sebagai bangsa yang terbuka, sambil membiarkan budaya warisan leluhurnya digilas oleh Zaman yang tidak menghargai masa lalu. Watak santun ketimuran berganti karakter bar-bar ala raja hutan, kebaya berganti jas mini yang makin minimalis, sambal terasi berganti ayam goreng kentucky setengah halal, solidaritas sosial yang lazimnya terimplementasi dalam gotong-royong berganti hubungan interdependency yang segala sesuatunya dinilai dengan uang, kejujuran dan sikap legowo berganti ketamakan yang lupa diri, kekerabatan berganti individualisme warisan abad aufklarung, hampir tidak ada yang tersisa. Tapi tak perlu melaknati hegemoni budaya bangsa lain atas bangsa kita, karena juga masih banyak hal yang patut untuk kita pelajari dari mereka, isi kepala orang yahudi yang maha cerdas. Minimal kita mampu memfilterisasi antara mana yang bermanfaat dan mana yang berakibat mudarat.
Yang jelas ekspansi globalisasi yang turut membawa varian budaya bangsa dominan begitu terasa, sekat antar negara-bangsa menjadi luluh, kita sudah hampir merasa seperti hidup didalam negara Bumi, Mungkin ini adalah bagian dari cita-cita sejarah. Melawan kehendak sejarah sama artinya dengan melawan kehendak alam, karena alam adalah merupakan media tempat sejarah dilahirkan, dan alam itu sendiri adalah sebuah sejarah. Natura non nisi parendo vincitur, alam hanya dapat ditaklukan dengan cara mematuhinya. Juga sejarah hanya bisa ditaklukan dengan cara mematuhi sejarah. Selamat tinggal leluhur Terhormat yang “udik”, selamat datang ke-“gilaan” masa depan.***.
Oleh; Pardin Isa
Terlampau sempit jika kita hanya mendefinisikan korupsi sebagai tindakan “menyimpang” yang dilakukan oleh orang-orang tertentu (pejabat/penyelenggara negara), yang memanfaatkan posisi, wewenang dan kesempatannya untuk menguras kekayaan negara demi kepentingan memperkaya diri dan kelompok. Jika terminologi semacam ini yang kita gunakan untuk mendefinisikan “apa itu korupsi?”, maka kita telah sengaja menjebak diri untuk berenang kedalam lautan dangkal logika. Tentunya ada kerangka dasar yang mesti kita pahami, yang melandasi setiap terminologi. Boleh jadi, sejarawan semisal Ong Hok Ham memberi batasan korupsi hanya pada perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pejabat publik, karena Ong Hok Ham mengkaji akar sejarah “korupsi” sebagai perilaku yang muncul ketika masyarakat manusia sudah mulai mengenal sistem pemerintahan. Sehingga dia cenderung menyandarkan definisinya semata-mata hanya pada penyimpangan atas kekayaan negara yang merupakan hak rakyat. Tak banyak berbeda dengan definisi yang termaktub dalam Undang-undang.
Sesungguhnya makna kata ‘korupsi’ memiliki cakupan yang cukup luas, bukan hanya pada tindakan penyelewengan harta negara (rakyat), tapi “korupsi” juga mencakup segala tindak penyelewengan yang substansinya adalah sebuah tindakan amoral untuk menghindari tanggungjawab, pemenuhan berlebih atas kepentingan diri, keluarga dan kelompok diluar batasan hak yang telah ditetapkan sesuai prinsip-prinsip hukum dan moral. Dan, “korupsi” secara praktis (sebagaimana yang dipraktekkan oleh para koruptor) adalah sebuah perilaku anarki, tak tahu malu, simbol inferioritas diri, kepicikan nurani, kedangkalan moral, yang terlampau menghegemoni keseluruhan ide-idenya, serta diimplementasikan pada lingkungan sosialnya yang berakibat pada menguntungkan diri dan kelompok serta merugikan orang lain.
Bagi Indonesia, persoalan korupsi merupakan persoalan sejarah. artinya, sejarah Indonesia cenderung berlangsung pada lokus pertarungan antara hukusm melawan korupsi. Dalam setiap dekade, wacana pemberantasan korupsi tetap menjadi jargon sejarah, seolah tak pernah henti-hentinya bangsa ini menyatakan perang terhadap korupsi. Ini terlampau aneh bagi sebuah bangsa dengan produk hukum yang begitu banyak variannya dalam soal pemberantasan korupsi. memberantas korupsi di negara ini, ibarat memberantas virus maha sadis tak tahu mati, yang ketika satu induk diberantas, pada saat yang jauh sebelumnya, ternyata telur-telurnya sudah menetas dan beranak pinak dalam jumlah yang kian banyak. Dan, satu induk yang diberantas tersebutpun sangatlah anti-mati, ibarat makhuk yang memiliki kelainan genetik, sehingga ketika dibunuh dan mati, maka dia akan kembali kedalam kepompongnya untuk bermutasi genetik ke jenis yang lainnya, kembali terlahir dan kembali dengan teror yang pada akhirnya para pembunuhnya-pun kembali terbunuh oleh senjata dan lewat cara yang sama. Karena kepompongnya memiliki daya tarik maha dahsyat, mampu menyihir seorang anak manusia berakal sehat untuk masuk kedalam lingkaran persekongkolan untuk melakukan tindak kejahatan bersama.
Beberapa kasus yang akhir-akhir ini mengemuka, mengindikasikan begitu panjang dan lebarnya ruang-ruang gelap untuk berkonspirasi, menguras hak-hak orang lain untuk kepentingan diri dan kelompok, memanfaatkan peluang dan kesempatan, bermodalkan jabatan seadanya. pegawai kelas teri semisal Gayus saja, sudah berhasil menggarong harta yang diprediksi mendekati angka 100 M, bermodalkan jabatan yang tidak seberapa, tapi dengan peluang yang terbuka, kesempatan yang tepat dalam kondisi yang tepat pula. Mengail di air jernih, dapat ikan bagus dan gemuk (Bakrie Group, etc.). Pegawai rendahan di instansi “basah”, yang tidak memiliki kuasa yang cukup untuk mengendalikan kebijakan instansi, tapi benar-benar bisa mandi dan basah kuyup. Bagaimana dengan pegawai pada instansi yang sama, yang memiliki eselon tinggi, lalu punya kuasa untuk mengendalikan kebijakan instansi?, atau pada instansi lain yang sama-sama basah, dan didukung oleh eselon yang cukup dan dengan kuasa yang cukup, sebagai pengendali kebijakan atau sebagai pengambil kebijakan, tidakkah ini membuat risau jiwa mereka yang mencintai hak diri, kewajaran, kesederhanaan, kejujuran dan keadilan ditegakkan di bangsa ini?.
Sebegitu rumit dan berbelit-belitnya polemik Gayus, menguras waktu, sumberdaya dan energi bangsa untuk menyelesaikannya. Menyeret banyak pihak, menjerumuskan banyak orang dalam perangkap-perangkap gampangan, murahan. Sebegitu mudahnya aparat penegak hukum diperangkap, sebegitu murahnya harga diri dan kesetiaan orang-orang ini terhadap hukum digadaikan.
Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi lamban, rumit, dan tak kunjung tuntas, mungkin juga karena disebabkan oleh tidak konsistennya aparat penegak hukum untuk benar-benar menyatakan perang terhadap korupsi. Satu tersangka pelaku tindak pidana korupsi, bisa menyeret beberapa aparat penegak hukum untuk ikut ambil bagian, menjadi lakon, sutradara, pemeran pengganti, konspirator, yang dengan paradigma suap menyuap yang membudaya, merekapun ikut mencicipi kue yang maha lezat itu. Pemberantasan korupsi bisa dianggap hanya sebagai jargon retoris belaka. Tak bisa dibedakan, antara mana terpidana kasus korupsi dan mana aparat penegak hukum yang mempidakan tersangka. Karena ternyata, pada akhir kisahnya justru yang membuat vonis bisa sama-sama dipenjara bersama si ter-vonis. Bukankah ini menandakan bahwa aparat penegak hukum kita terlampau bermain-main dan menganggap sepele produk hukum yang hendak di tegakkannya?.
“seorang perempuan sebaiknya jangan dahulu menikah sebelum ia tahu bagaimana cara merawat dan mengasuh bayi”. Kita menjadi kebingungan, mana yang lebih dahulu hendak diberantas, apakah mafia penggarong, rampok (semisal gayus si mafia pajak di institusi perpajakan) yang terdapat dihampir semua institusi di bangsa ini?. ataukah mafia hukum yang marak di institusi-institusi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, KPK)?.
Tapi sesungguhnya jika ditelaah, bukanlah institusi penegak hukum yang terlampau kurus dan lemah (hingga dibentuk KPK, Kompolnas, Satgas Anti Mafia Hukum, dibantu oleh masyarakat umum lewat puluhan LSM-LSM – jadinya malah overlapping), bukan pula mekanisme sistem yang lemah dalam memonitoring, dan mengkoordinasi pengambilan kebijakan untuk memberantas korupsi. Tapi kelemahan ini terletak pada;
pertama, produk hukum. sanksi hukum yang terlampau ringan bagi terpidana tindak pidana korupsi. Sehingga tidak memberi efek jera yang berarti untuk menghindari terjadinya tindak pidana serupa, baik oleh oknum yang sama, maupun oleh oknum lain yang juga memiliki peluang dan kesempatan yang cukup untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Sesungguhnya tidak ada rasa sakit yang melebihi rasa sakit ketika orang kehilangan salah satu anggota tubuhnya, rasa sakit yang bisa membuat rapuh mental “manusia”nya. Tidak ada rasa takut yang melebihi rasa takut manusia terhadap yang namanya “maut” dan “kematian”. Solusi hukum “Potong tangan”, dan hukum “gantung” atau eksekusi “mati” bagi terpidana korupsi, bukankah ini menjadi alternatif yang menarik?. Tangan yang “nakal” pengambil hak orang harus dipotong (solusi, jika nominal penyelewengan dibawah 1 M). selanjutnya, pertimbangan HAM, masih bisa diperdebatkan kembali, maka mengeksekusi mati satu manusia (solusi, jika nominal penyelewengan diatas 1 M), lebih mulia dibandingkan dengan membiarkannya hidup dimuka bumi, dibiarkan menjadi manusia “korup” perampas hak orang lain, yang pada akhirnya memudaratkan berjuta-juta manusia lainnya, membunuh secara perlahan berjuta-juta manusia lainnya. Mana yang lebih tidak manusiawi, membiarkan satu manusia hidup sebagai virus yang menggerogoti dan menebar nestapa bagi banyak manusia lainnya, atau membunuh satu manusia untuk menyelamatkan berjuta-juta manusia lainnya? (Karena efek jera yang menjadi entri poin kita).
Kedua, bangunan paradigma kita. Inilah yang dimaksudkan dengan “makna kata korupsi yang memiliki cakupan yang cukup luas”, yang tidak hanya sekedar makna praktis sebagaimana yang dipertontonkan oleh para “koruptor” kita saat ini. Kita membudayakan praktek-praktek korupsi mulai dari yang paling terkecil, mulai dari lingkungan yang paling sederhana. Indisipliner, mangkir, Seseorang yang menyeleweng dari tanggungjawabnya, seseorang yang mengambil lebih dari sekedar hak yang patut didapatkannya, adalah variabel-variabel budaya korup yang dengan perasaan bangga kita akrabkan dalam praktek keseharian kita, bersama tindakan-tindakan amoral lainnya. Hingga memang akan terasa hambar, ketika satu jari menunjuk dan menuduh, ternyata keempat jari yang lainnya justru menunjuk dan menuduh diri sendiri. Seperti berkaca dan meracau didepan cermin, menunjuk dan berteriak-teriak, memaki-maki orang yang berdiri didalam cermin sebagai manusia “korup”, laknat, tak tahu malu, yang ternyata adalah diri kita sendiri. Sehingga menjadi sulit untuk memberantas korupsi ketika hakikat nilai dari korupsi itu sendiri, tidak lain adalah entitas budaya kita sendiri. Semua mempraktekkan hal yang sama, dan semua generasi tumbuh dalam bangunan paradigma yang sama dengan para “sepuh”nya. Sehingga koruptor tua mati, koruptor muda sudah dewasa dan siap melanjutkan wasiat moyangnya. Bisakah wasiat kuno, aib, murahan, amoral semacam ini kita lenyapkan dari budaya yang telah sebegitu menyatu bersama darah, daging dan sum-sum kita?.
Wahai panglima!, wahai jagoan! Jangan bergumam, jangan meracau konyol dibalik bahu kawanmu!, lihatlah debu di lengan kemeja merahmu, pulanglah!, pulang dan bersihkan lagi kemejamu…!, andaikan sudah bersih, mereka mungkin tetap ragu, pundakmu juga berdaki…!
***
Oleh; Pardin Isa
Anarkisme sipil (pengrusakan rumah dan penjarahan harta benda serta kekerasan fisik) yang terjadi Di Desa Mananga dan Jorjoga Kec.Taliabu Utara Kab.Kep Sula sejak tanggal 16 september lalu adalah bagian dari rangkaian jalinan panjang konflik yang tidak bisa dilepas-pisahkan dari konflik politik, ekses bias Pemilukada kab. Kep. Sula sejak pra momen dan pasca momen pemilihan Bupati dan Wakil bupati yang diselenggarakan tanggal 17 Juli lalu. Tak perlu di tutup-tutupi, bahwa akses informasi dan komunikasi yang sangat terbatas memungkinkan wilayah Taliabu menjadi Daerah yang paling terisolasi di Jazirah propinsi Maluku Utara. Sehingga beragam peristiwa yang membuat miris nurani orang yang masih memiliki nurani sebagai manusia, tidak terpublikasi ke mata dan telinga masyarakat luas.
Peristiwa ini adalah satu dari sekian ratus peristiwa yang sempat terpublikasi. Selebihnya mengendap dan ditelan waktu, hanya mampu terekam dalam pita sejarah milik mereka yang didera derita sebagai orang-orang yang sudah ditakdirkan untuk hidup dalam sebuah babak sejarah penindasan tanpa ampun, buah otonomisasi. ± 500 KK dari beberapa desa dipastikan akan meninggalkan Pulau Taliabu dalam kurun September hingga Desember 2010. hingga saat ini, sudah ± 100 KK yang meninggalkan Pulau Taliabu, dominan ke Kabupaten Wakatobi (tanah leluhur mereka), berniat untuk tinggal dan menetap secara permanen disana (pengakuan pelaku migrasi). Apa sebabnya?,
pertama; diskriminasi pendidikan, peserta didik yang orang tuanya tidak memilih kandidat terlantik (AHM-SP) dibebani biaya SPP 50.000 per-bulan dan mereka yang orang tuanya memilih kandidat terlantik tetap tidak dipungut biaya apapun sebagaimana biasanya, selanjutnya peserta didik yang orang tuanya tidak memilih kandidat terlantik sudah diberi ketegasan oleh oknum kepala sekolah dan oknum-oknum guru untuk tidak perlu naik kelas dan diupayakan tidak perlu lulus ketika mengikuti ujian nasional (UNAS), diperparah dengan perlakuan diskriminasi lain dan tekanan psikis kepada peserta didik pada sekolah masing-masing, yang bisa membuat miris nurani mereka yang ditimpa kemalangan ini, ya, inilah contoh guru teladan kita, pahlawan tanpa tanda jasa yang gila kuasa, pegawai fungsional yang takut dimutasi, penjilat pimpinan agar dana BOS tetap bisa ke kantong untuk menutupi jumlah uang hasil gaji yang terbuang percuma selama pra momentum pilkada 17 juli guna memenangkan kandidat terlantik.
Kedua; retribusi omong kosong tanpa PERDA maupun PERDES, program minta-minta sumbangan (uang) kepada masyarakat yang sudah miskin melarat, dipimpin oleh aparat pemerintah kecamatan dan desa untuk membangun infrastruktur tertentu. Jangan-jangan, infrasruktur yang hendak dibangun sudah di anggarkan dalam APBD tahun-tahun sebelumnya, sudah melewati tahapan pencairan 100% tapi infrastrukturnya tidak dibangun?, lalu kemana duitnya?
Ketiga; teror, penghancuran dan penjarahan harta benda, ancaman pembunuhan, kekerasan fisik, tanpa henti dari kelompok mayoritas yang merupakan pemenang kompetisi pada pemilukada Kep. Sula terhadap kelompok minoritas yang tidak memilih kandidat pemenang pada pemilukada 17 juli lalu.
Apa mungkin demokrasi tidak menghendaki perbedaan? Bukannya demokrasi itu lahir karena adanya perbedaan?, tapi jika kenyataan yang terjadi adalah demikian, lalu siapa yang harus membela orang-orang dari kelompok minoritas terjajah, tertindas, terancam ini agar memperoleh keadilan? Agar memperoleh perlindungan hukum sehingga tidak melukai rasa keadilan dan hasrat hidup mereka untuk bisa hidup dalam suasana aman, tentram, damai, tanpa teror, tanpa ancaman, tanpa intimidasi dan kekerasan di sebuah Negara yang katanya adalah Negara hukum?
Tak perlu terjekut, kaget dan terperanjat. Instrumen kekuasaan pada daerah dimana seluruh rangkaian kisah ini terjadi, “mungkin” justru menjadi benteng baja yang siap memberikan perlindungan kepada siapapun yang mau menteror, mengancam, mengintimidasi, dan melakukan rupa-rupa tindakan kekerasan dan kriminalisme lainnya kepada orang-orang dari kelompok minoritas termaksud diatas. Apa kita sedang menuduh?, ya, karena pola kekerasannya sangat sistematis dan terencana, dipimpin oleh aparat-aparat pemerintah desa, pegawai-pegawai negeri sipil, bahkan sanak family kandidat terlantik. Lalu kenapa main tuduh?, ya, karena kelompok mayoritas semestinya mengayomi dan melindungi kelompok minoritas, juga karena tidak ada upaya rekonsoliasi untuk meredam kondisi ini, upaya rekonsiliasi yang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah agar masyarakatnya tidak saling membunuh. Apa mungkin bisa begitu?, ya, mungkin saja, karena kadang-kadang kekuasaan menggunakan kekerasan sebagai cara terbaik untuk menundukkan dan menaklukkan hati dan semangat perlawanan yang sekalipun keras ibarat baja. Atau mungkin seluruh rangkaian kejadian dan peristiwa ini di luar sepengetahuan pemerintah daerah kita?, ya, “mungkin” saja. Lalu kenapa aparat penegak hukum kita cenderung diam?, ya, mungkin karena takut bertindak menegakkan keadilan atau karena sudah disuap, atau karena mereka mesra dengan pelaku tindak kriminal, atau mungkin karena benar-benar takut dengan nama besarnya pelaku tindak kriminal.
Kenapa sebuah kejahatan harus dilindungi?, kenapa sebuah tindak kriminalisme dan penindasan penguasa atas rakyatnya harus dibiarkan tumbuh subur disebuah negeri yang sebagian rakyatnya menghendaki sebuah perlakuan adil tanpa diskriminasi, sebuah pengayoman, sebuah rasa aman, sebuah harmoni yang permanen?, kenapa tirani kekuasaan atas rakyat dijadikan sebagai hal yang wajar dan biasa? Kenapa penegakan hukum di negeri ini selalu lamban, menunggu sampai rakyat mencela mereka!?.
Mari berharap, semoga seluruh rangkaian peristiwa ini tidak berujung pada konflik berdarah yang lebih hebat lagi antar-massa rakyat. Mari berdoa, semoga dilema dan kepiluan ini tidak berujung pada rasa putus asa dan gelap mata. Tuhan, tolong lindungi mereka, ayomi mereka dengan kesabaran, keteguhan sikap dan ketabahan…***
Oleh; Pardin Isa
“…ceritakanlah kepadaku masa lalu, dan aku akan menceritakan masa depan...” (Kong Hu Cu) *. Pra Wacana Momentum pergantian tahun kali ini akan memberikan kesan yang sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. ada beberapa momentum penting menanti di tahun 2009, setidaknya dua ajang demokrasi akbar di Bangsa ini, yakni pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden & wakil presiden. mungkin sebagian orang ingin cepat tiba di tahun 2009, sebagian lagi belum siap untuk menerima kenyataan bahwa sebentar lagi tahun 2009 tiba. ada sejuta keindahan yang masih harus dinikmati di tahun 2008, di satu sisi barangkali belum ada kesiapan fisik dan psikis dalam menghadapi segala kenyataan yang mungkin akan terjadi di tahun yang baru. setuju atau tidak, yang nyata bahwa waktu akan dengan cepat menghantarkan kita ke masa depan. Lazimnya, menjelang detik-detik pergantian tahun seperti ini, keberadaan peran paranormal mulai menampakkan eksistensinya, dan prediksi-prediksi metafisis atas peristiwa-peristiwa penting yang mungkin terjadi segera memenuhi kolom-kolom media. hal-hal klenik, tidak empirik masih menjadi primadona, alias tetap menjadi sesuatu yang berharga untuk dinikmati, diminati, diyakini, sambil menyisipkan seperangkat harapan-harapan tertentu agar yang menjadi nyata, cukup yang baik-baik saja. ini berarti, dominan segala keputusan hidup masih begantung pada sesuatu yang berada diluar kendali manusia, atau tanpa intervensi, dan tanpa bersinggungan dengan sejarah nyata kehidupan. seyogianya, prediksi atas masa yang akan datang mesti di dudukkan pada porsi yang sebenarnya. masa lalu adalah kenyataan sejarah, tapi dengan masa yang sudah terlewati itu, kita bisa melakukan refleksi-refleksi kritis atas apa yang mungkin terjadi pada masa selanjutnya. Jadi kita tidak sekedar menggantungkan realita masa depan pada hukum alam atau pada garis sejarah yang berjalan terpisah dengan kehendak manusia, tapi realita masa depan yang selanjutnya akan terjadi harus bersesuaian dengan kehendak manusia. sederhananya, manusia harus diajari untuk memahami dan sekaligus menciptakan sejarahnya sendiri, sehingga ada relaksasi antara yang terjadi dan yang seharusnya terjadi.Tahun 2009 mungkin akan menjadi tahun paling keramat pada dekade ini. angka ganjil begitu sangat berarti bagi sebagian besar manusia. kata seorang filosof Yunani, Virgil, “numera deus impare gaudet”,(dewa-dewa sangat suka dengan bilangan ganjil)”. angka Sembilan adalah hasil penjumlahan angka tiga sebanyak tiga kali. angka tiga biasanya akrab dengan manifestasi-manifestasi spiritual manusia, dalam pengabdian dan penghambaannya kepada Yang Maha Kuasa. rasanya, makna pengabdian dan penghambaan manusia kepada Sang Adi Kodrati belumlah lengkap, tanpa simpul-simpul angka tiga dalam ekspresi spritualitas manusia. Kita juga bisa menilik bagaimana permainan angka Pythagoras dalam memahami realita spiritual manusia, dan pandangan kosmologinya atas hakikat alam semesta. pada prinsipnya, beliau juga ikut menempatkan angka ganjil pada konteks pemaknaan yang lebih khusus dan berbeda. Angka ganjil berakhir pada keEsaan dan ketunggalan. jika fenomena Dunia menghadirkan fakta bahwa segala sesuatunya hadir berpasang-pasangan pada asas binnary opposition atau contraria (saling bertentangan), tapi mengarah pada kehendak untuk saling melengkapi (sunt complementa), maka tidak demikian untuk angka ganjil. ia masih menyisakan sesuatu yang tetap satu dan mandiri. itulah substansi ke-Esaan. Dia menjadi ada untuk dirinya sendiri, hadir dan hanya bisa dilengkapi oleh, dari, dan untuk Dirinya sendiri (secara khusus, mungkin inilah yang dimaksud oleh Immanuel Kant tentang das ding an sich-nya). terlepas dari semua bait-bait puisi kegilaan ini, yang jelas awal tahun ganjil sudah menanti. *. Kilas Balik Sejarah Kita bisa sama-sama sepakat bahwa pada tahun kemarin masing-masing dari kita telah membuat banyak catatan sejarah. entah itu berguna bagi kebanyakan orang ataupun tidak, minimal itu bernilai dan meninggalkan sekelumit kesan untuk diri sendiri. persetan, entah kesannya positif atau negatif yang penting kita tidak munafik pada diri sendiri, dan kita bisa mengamininya sebagai sesuatu yang sudah seharusnya terjadi dan menerimanya dengan segala kearifan dan kebijaksanaan. Yang menjadi penting saat ini adalah, bagaimana menciptakan sesuatu yang lebih baru dan lebih relevan dengan segala dimensi kekinian kita. masa lalu tidak mungkin harus diajak untuk kembali, karena mengajak masa lalu untuk kembali dengan menghadirkannya sebagai sebuah kenangan di masa kini, sama seperti mengarahkan diri untuk tidak hadir seutuhnya dan bersama dengan segala dimensi kekinian, ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap eksistensi diri. apa mungkin manusia bisa hidup pada suatu dimensi ruang masa kini, sedangkan dimensi waktu yang dihayati dan dipahaminya saat ini adalah waktu tentang masa lalu. tapi bukan berarti bahwa kita harus menepis semua memori masa lalu. Jika banyak hal buruk yang pernah dilakukan di hari-hari kemarin, maka kita bisa menyeimbangkannya dengan mulai melakukan hal baik hari ini. sehingga hidup tidak dijerumuskan pada penderitaan eksistensi yang berkepanjangan. perbuatan buruk tetaplah sesuatu yang dapat menyisakan luka dan trauma psikologi. hampir belum pernah ada manusia yang menjadi bersyukur dan berbahagia pasca Ia melakukan suatu perbuatan buruk. juga, kenangan akan sebuah perbuatan tetaplah menjadi sesuatu yang berarti bagi setiap manusia. selama memori masih berfungsi, kita bisa memetik buah pelajaran yang berguna dari semua perbuatan itu. Sebaliknya jika pada masa kemarin kita telah banyak melakukan perbuatan baik, bukan berarti bahwa pada masa kini kita harus lebih banyak melakukan perbuatan buruk sebagai salah satu cara untuk menyeimbangkannya. akan tetapi sebaiknya segala realisasi perbuatan baik yang pernah ada tersebut terus di pupuk dan di pertahankan sehingga muncul kepuasan diri dalam bereksistensi guna menjemput klimaks idealnya berkehidupan. Untuk Bangsa ini, banyak hal yang masih harus di benahi. dalam rangka untuk membenahi itu sesungguhnya sudah berlangsung dari tahun ke tahun. satu masalah krusial berhasil diselesaikan, masalah baru kembali muncul dan minta untuk diselesaikan. seolah-olah setiap masalah senantiasa bereinkarnasi ke wujud-wujud yang berbeda ataupun sama, dengan derajat yang sama peliknya. lebih jauh, Bangsa ini sepertinya belum menemukan “pulau surga” sebagai tujuan dari pelayaran panjangnya. bahtera bangsa berlayar tanpa arah. ini bisa dibuktikan dengan tidak adanya konsistensi para pemimpin bangsa dalam meletakkan satu tujuan kehidupan berkebangsaan secara pasti, pemimpin baru lahir, berarti kita akan disuguhkan kembali dengan mimpi-mimpi baru. yang pada akhirnya kita hanya bisa bermimpi, tentang kapan bangsa ini bisa “survive”. Untuk Maluku Utara, juga masih banyak PR yang belum terselesaikan. tidak perlu dijelaskan satu persatu, karena bagi kita semua yang bisa berpikir jernih, sudah sama-sama tahu persoalan apa saja yang dimaksud. yang terpenting, untuk membangun daerah ini butuh kearifan, kejujuran, dan keseriusan. momentum politik di tahun 2009 diharapkan dapat memberi sesuatu yang lebih berarti untuk bangsa maupun Daerah ini. sehingga kita bisa kembali tersenyum dalam mimpi tentang masih adanya harapan-harapan baru yang lebih menjanjikan untuk masa depan. sambil mencoba melupakan semua cerita kelam dan kepahitan di tahun kemarin. kita bisa meletakkan fondasinya mulai hari ini, dan yang akan melakukannya adalah kita semua. Jangan terlalu banyak berharap pada para pemimpin dan pemimpi kita, karena mereka hanya sibuk dengan narsisisme dan egoisme mereka. kadang ada teriakan ajakan agar kita bisa lebih mencintai bangsa ini, negeri ini, sebuah gerakan cinta Indonesia, padahal kita semua tahu bahwa para pemimpin kita hari ini hanya mau mencintai diri sendiri, apa yang bisa diberikan oleh rakyat pada bangsa dan negaranya jika untuk memberi Sesuatu untuk diri sendiripun rakyat sudah tidak sanggup…!, rakyat terlalu lelah bercengkrama dengan kemiskinan mereka, mana mungkin rakyat rela mengabdi untuk bangsa ini jika bangsa dan Negara tidak pernah rela untuk mengabdi pada rakyatnya…!, apa mungkin nilai hidup harmoni di bangsa ini masih bisa di pertahankan jika rasa kemanusiaan sebagian dari kita telah hilang bersama waktu yang tak pernah berhenti untuk kompromi…, |