Rabu, 29 Desember 2010

Tokoh-Tokoh Yang Merubah Sejarah Dunia































DAYA PIKAT KORUPTOR


Oleh; Pardin Isa


Terlampau sempit jika kita hanya mendefinisikan korupsi sebagai tindakan “menyimpang” yang dilakukan oleh orang-orang tertentu (pejabat/penyelenggara negara), yang memanfaatkan posisi, wewenang dan kesempatannya untuk menguras kekayaan negara demi kepentingan memperkaya diri dan kelompok. Jika terminologi semacam ini yang kita gunakan untuk mendefinisikan “apa itu korupsi?”, maka kita telah sengaja menjebak diri untuk berenang kedalam lautan dangkal logika. Tentunya ada kerangka dasar yang mesti kita pahami, yang melandasi setiap terminologi. Boleh jadi, sejarawan semisal Ong Hok Ham memberi batasan korupsi hanya pada perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pejabat publik, karena Ong Hok Ham mengkaji akar sejarah “korupsi” sebagai perilaku yang muncul ketika masyarakat manusia sudah mulai mengenal sistem pemerintahan. Sehingga dia cenderung menyandarkan definisinya semata-mata hanya pada penyimpangan atas kekayaan negara yang merupakan hak rakyat. Tak banyak berbeda dengan definisi yang termaktub dalam Undang-undang.

            Sesungguhnya makna kata ‘korupsi’ memiliki cakupan yang cukup luas, bukan hanya pada tindakan penyelewengan harta negara (rakyat), tapi “korupsi” juga mencakup segala tindak penyelewengan yang substansinya adalah sebuah tindakan amoral untuk menghindari tanggungjawab, pemenuhan berlebih atas kepentingan diri, keluarga dan kelompok diluar batasan hak yang telah ditetapkan sesuai prinsip-prinsip hukum dan moral. Dan, “korupsi” secara praktis (sebagaimana yang dipahami oleh Gayus Tambunan) adalah sebuah perilaku anarki, tak tahu malu, simbol inferioritas diri, kepicikan nurani, kedangkalan moral, yang dipraktekkan oleh orang-orang kerdil berotak udang yang berguru pada hewan, titisan “Ahriman”.

            Bagi Indonesia, persoalan korupsi merupakan persoalan sejarah. artinya, sejarah Indonesia cenderung berlangsung pada lokus pertarungan antara hukum melawan korupsi. Dalam setiap dekade, wacana pemberantasan korupsi tetap menjadi jargon sejarah, seolah tak pernah henti-hentinya bangsa ini menyatakan perang terhadap korupsi. Ini terlampau aneh bagi sebuah bangsa dengan produk hukum yang begitu banyak variannya dalam soal pemberantasan korupsi. memberantas korupsi di negara ini, ibarat memberantas virus maha sadis tak tahu mati, yang ketika satu induk diberantas, pada saat yang jauh sebelumnya, ternyata telur-telurnya sudah menetas dan beranak pinak dalam jumlah yang kian banyak. Dan, satu induk yang diberantas tersebutpun sangatlah anti-mati, ibarat makhuk yang memiliki kelainan genetik, sehingga ketika dibunuh dan mati, maka dia akan kembali kedalam kepompongnya untuk bermutasi genetik ke jenis yang lainnya, kembali terlahir dan kembali dengan teror yang sama. Karena kepompongnya memiliki daya tarik maha dahsyat, mampu menyihir seorang anak manusia berakal sehat untuk masuk kedalam perangkap ciptaan “Ahriman” penguasa kegelapan.
            Beberapa kasus yang akhir-akhir ini mengemuka, mengindikasikan begitu panjang dan lebarnya ruang-ruang gelap untuk berkonspirasi, menguras hak-hak orang lain untuk kepentingan diri dan kelompok, memanfaatkan peluang dan kesempatan, bermodalkan jabatan seadanya (skandal Century, Sisminbakum dengan indikasi kerugian negara 420 M, mafia perpajakan yang membuat tenar nama Gayus. Etc.etc.). pegawai kelas teri semisal Gayus saja, sudah berhasil menggarong harta yang diprediksi hampir mencapai 100 M, bermodalkan jabatan yang tidak seberapa, tapi dengan peluang yang terbuka, kesempatan yang tepat dalam kondisi yang tepat pula. Mengail di air jernih, dapat ikan bagus dan gemuk (Bakrie Group, etc.). Pegawai rendahan di instansi “basah”, yang tidak memiliki kuasa yang cukup untuk mengendalikan kebijakan instansi, tapi benar-benar bisa mandi dan basah kuyup, lalu Gayus berkelit sambil berargumentasi bahwa tindakan itu tidak menyalahi aturan terkait tugas dan tanggungjawabnya, lalu alangkah besarnya jasa Gayus ketika dia menyelamatkan Bakrie Group, etc, sehingga dihadiahi duit sebegitu banyak, tidakkah ini menjadi dilema?. Bagaimana dengan pegawai pada instansi yang sama, yang memiliki eselon tinggi, lalu punya kuasa untuk mengendalikan kebijakan instansi?, atau pada instansi lain yang sama-sama basah, dan didukung oleh eselon yang cukup dan dengan kuasa yang cukup, sebagai pengendali kebijakan atau sebagai pengambil kebijakan (semisal Yusril Ihza Mahendra), tidakkah ini membuat risau jiwa mereka yang mencintai hak diri, kewajaran, kesederhanaan, kejujuran dan keadilan ditegakkan di bangsa ini ?

            Sebegitu rumit dan berbelit-belitnya polemik hukum di bangsa ini, menguras waktu, sumberdaya dan energi bangsa untuk menyelesaikannya. Menyeret banyak pihak, menjerumuskan banyak pihak dalam perangkap-perangkap gampangan, murahan. Sebegitu mudahnya aparat penegak hukum diperangkap, sebegitu murahnya harga diri dan kesetiaan orang-orang ini terhadap hukum digadaikan. 

            Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi lamban, rumit, dan tak kunjung tuntas, mungkin juga karena disebabkan oleh tidak konsistennya aparat penegak hukum untuk benar-benar menyatakan perang terhadap korupsi. Satu tersangka pelaku tindak pidana korupsi, bisa menyeret beberapa aparat penegak hukum untuk ikut ambil bagian, menjadi lakon, sutradara, pemeran pengganti, konspirator, yang dengan paradigma suap menyuap yang membudaya, merekapun ikut mencicipi kue adonan berbahan dasar tahi ayam yang lezat itu. Pemberantasan korupsi bisa dianggap hanya sebagai jargon retoris belaka. Tak bisa dibedakan, antara mana terpidana kasus korupsi dan mana aparat penegak hukum yang mempidakan tersangka. Karena ternyata, pada akhir kisahnya justru yang membuat vonis bisa sama-sama dipenjara bersama si ter-vonis. Bukankah ini menandakan bahwa aparat penegak hukum kita terlampau bermain-main dan menganggap sepele produk hukum yang hendak di tegakkannya?.

“seorang perempuan sebaiknya jangan dahulu menikah sebelum ia tahu bagaimana cara merawat dan mengasuh bayi”. Kita menjadi kebingungan, mana yang lebih dahulu hendak diberantas, apakah mafia penggarong, rampok (semisal gayus si mafia pajak di institusi perpajakan) yang terdapat dihampir semua institusi di bangsa ini?. ataukah mafia hukum yang marak di institusi-institusi penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, KPK)?. 

Tapi sesungguhnya jika ditelaah, bukanlah institusi penegak hukum yang terlampau kurus dan lemah (hingga dibentuk KPK, Kompolnas, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, dibantu oleh masyarakat umum lewat puluhan LSM-LSM – jadinya malah overlapping), bukan pula mekanisme sistem yang lemah dalam memonitoring, dan mengkoordinasi pengambilan kebijakan untuk memberantas korupsi. Tapi kelemahan ini terletak pada; 
pertama, produk hukum. sanksi hukum yang terlampau ringan bagi terpidana tindak pidana korupsi. Sehingga tidak memberi efek jera yang berarti untuk menghindari terjadinya tindak pidana serupa, baik oleh oknum yang sama, maupun oleh oknum lain yang juga memiliki peluang dan kesempatan yang cukup untuk melakukan tindak pidana korupsi. Tidak ada rasa sakit yang melebihi rasa sakit ketika orang kehilangan salah satu anggota tubuhnya, rasa sakit yang bisa membuat rapuh mental “manusia”nya.  Tidak ada rasa takut yang melebihi rasa takut manusia terhadap yang namanya “maut” dan “kematian”. Hukum “Potong tangan”, dan hukum “gantung” atau eksekusi “mati” bagi terpidana korupsi, bukankah ini menjadi alternatif yang menarik?. Tangan yang “nakal” pengambil hak orang harus dipotong (korupsi dibawah 1 M). dan pertimbangan HAM, masih bisa diperdebatkan kembali, mengeksekusi mati satu manusia (korupsi di atas 1 M), lebih mulia dibandingkan dengan membiarkannya hidup dimuka bumi, dibiarkan menjadi manusia “korup” perampas hak orang lain, yang pada akhirnya memudaratkan berjuta-juta manusia lainnya, membunuh secara perlahan berjuta-juta manusia lainnya. Mana yang lebih tidak manusiawi, membiarkan satu manusia hidup sebagai virus yang menggerogoti dan menebar nestapa bagi banyak manusia lainnya, atau membunuh satu manusia untuk menyelamatkan berjuta-juta manusia lainnya? (Karena efek jera yang menjadi entri poin kita).
Kedua, bangunan paradigma kita. Inilah yang dimaksudkan dengan “makna kata korupsi yang memiliki cakupan yang cukup luas”, yang tidak hanya sekedar makna praktis sebagaimana yang dipertontonkan oleh para “pesinetron” kita saat ini. Kita membudayakan praktek-praktek korupsi mulai dari yang paling terkecil, mulai dari lingkungan yang paling sederhana. Indisipliner, mangkir, Seseorang yang menyeleweng dari tanggungjawabnya, seseorang yang mengambil lebih dari sekedar hak yang patut didapatkannya, adalah variabel-variabel budaya korup yang dengan perasaan bangga kita akrabkan dalam praktek keseharian kita, bersama tindakan-tindakan amoral lainnya. Hingga memang akan terasa hambar, ketika satu jari menunjuk dan menuduh, ternyata keempat jari yang lainnya justru menunjuk dan menuduh diri sendiri. Seperti berkaca dan meracau didepan cermin, menunjuk dan berteriak-teriak, memaki-maki orang yang berdiri didalam cermin sebagai manusia “korup”, laknat, tak tahu malu, yang ternyata adalah diri kita sendiri. Sehingga menjadi sulit untuk memberantas korupsi ketika hakikat nilai dari korupsi itu sendiri, tidak lain adalah entitas budaya kita sendiri. Semua mempraktekkan hal yang sama, dan semua generasi tumbuh dalam bangunan paradigma yang sama dengan para “sepuh”nya. Sehingga koruptor tua mati, koruptor muda sudah dewasa dan siap melanjutkan wasiat moyangnya. Bisakah wasiat kuno, aib, murahan, amoral semacam ini kita lenyapkan dari budaya yang telah sebegitu menyatu bersama darah, daging dan sum-sum kita?.

Wahai panglima!, wahai jagoan! Jangan bergumam, jangan meracau konyol dibalik bahu kawanmu!, lihatlah debu di lengan kemeja merahmu, pulanglah!, pulang dan bersihkan lagi kemejamu…!, andaikan sudah bersih, mereka mungkin tetap ragu, pundakmu juga berdaki…!
***


Selasa, 28 Desember 2010

TALIABU; MEMUPUK BENIH KONFLIK HORISONTAL

Pardin Isa

Anarkisme sipil (pengrusakan rumah dan penjarahan harta benda serta kekerasan fisik) yang terjadi Di Desa Mananga dan Jorjoga Kec.Taliabu Utara Kab.Kep Sula sejak tanggal 16 september lalu adalah bagian dari rangkaian jalinan panjang konflik yang tidak bisa dilepas-pisahkan dari konflik politik, ekses bias Pemilukada kab. Kep. Sula sejak pra momen dan pasca  momen pemilihan Bupati dan Wakil bupati yang diselenggarakan tanggal 17 Juli lalu. Tak perlu di tutup-tutupi, bahwa akses informasi dan komunikasi yang sangat terbatas memungkinkan wilayah Taliabu menjadi Daerah yang paling terisolasi di Jazirah propinsi Maluku Utara. Sehingga beragam peristiwa yang membuat miris nurani orang yang masih memiliki nurani sebagai manusia, tidak terpublikasi ke mata dan telinga masyarakat luas.


Peristiwa ini adalah satu dari sekian ratus peristiwa yang sempat terpublikasi. Selebihnya mengendap dan ditelan waktu, hanya mampu terekam dalam pita sejarah milik mereka yang didera derita sebagai orang-orang yang sudah ditakdirkan untuk hidup dalam sebuah babak sejarah penindasan tanpa ampun, buah otonomisasi. ± 500 KK dari beberapa desa dipastikan akan meninggalkan Pulau Taliabu dalam kurun September hingga Desember 2010. hingga saat ini, sudah ± 100 KK yang meninggalkan Pulau Taliabu, dominan ke Kabupaten Wakatobi (tanah leluhur mereka), berniat untuk tinggal dan menetap secara permanen disana (pengakuan pelaku migrasi). Apa sebabnya?,


pertama; diskriminasi pendidikan, peserta didik yang orang tuanya tidak memilih kandidat terlantik (AHM-SP) dibebani biaya SPP 50.000 per-bulan dan mereka yang orang tuanya memilih kandidat terlantik tetap tidak dipungut biaya apapun sebagaimana biasanya, selanjutnya peserta didik yang orang tuanya tidak memilih kandidat terlantik sudah diberi ketegasan oleh oknum kepala sekolah dan oknum-oknum guru untuk tidak perlu naik kelas dan diupayakan tidak perlu lulus ketika mengikuti ujian nasional (UNAS), diperparah dengan perlakuan diskriminasi lain dan tekanan psikis kepada peserta didik pada sekolah masing-masing,  yang bisa membuat miris nurani mereka yang ditimpa kemalangan ini, ya, inilah contoh guru teladan kita, pahlawan tanpa tanda jasa yang gila kuasa, pegawai fungsional yang takut dimutasi, penjilat pimpinan agar dana BOS tetap bisa ke kantong untuk menutupi jumlah uang hasil gaji yang terbuang percuma selama pra momentum pilkada 17 juli guna memenangkan kandidat terlantik.


Kedua; retribusi omong kosong tanpa PERDA maupun PERDES, program minta-minta sumbangan (uang) kepada masyarakat yang sudah miskin melarat, dipimpin oleh aparat pemerintah kecamatan dan desa untuk membangun infrastruktur tertentu. Jangan-jangan, infrasruktur yang hendak dibangun sudah di anggarkan dalam APBD tahun-tahun sebelumnya, sudah melewati tahapan pencairan 100% tapi infrastrukturnya tidak dibangun?, lalu kemana duitnya?


Ketiga; teror, penghancuran dan penjarahan harta benda, ancaman pembunuhan, kekerasan fisik, tanpa henti dari kelompok mayoritas yang merupakan pemenang kompetisi pada pemilukada Kep. Sula terhadap kelompok minoritas yang tidak memilih kandidat pemenang pada pemilukada 17 juli lalu.
Apa mungkin demokrasi tidak menghendaki perbedaan? Bukannya demokrasi itu lahir karena adanya perbedaan?, tapi jika kenyataan yang terjadi adalah demikian, lalu siapa yang harus membela orang-orang dari kelompok minoritas terjajah, tertindas, terancam ini agar memperoleh keadilan? Agar memperoleh perlindungan hukum sehingga tidak melukai rasa keadilan dan hasrat hidup mereka untuk bisa hidup dalam suasana aman, tentram, damai, tanpa teror, tanpa ancaman, tanpa intimidasi dan kekerasan di sebuah Negara yang katanya adalah Negara hukum?


Tak perlu terjekut, kaget dan terperanjat. Instrumen kekuasaan pada daerah dimana seluruh rangkaian kisah ini terjadi, “mungkin” justru menjadi benteng baja yang siap memberikan perlindungan kepada siapapun yang mau menteror, mengancam, mengintimidasi, dan melakukan rupa-rupa tindakan kekerasan dan kriminalisme lainnya kepada orang-orang dari kelompok minoritas termaksud diatas. Apa kita sedang menuduh?, ya, karena pola kekerasannya sangat sistematis dan terencana, dipimpin oleh aparat-aparat pemerintah desa, pegawai-pegawai negeri sipil, bahkan sanak family kandidat terlantik. Lalu kenapa main tuduh?, ya, karena kelompok mayoritas semestinya mengayomi dan melindungi kelompok minoritas, juga karena tidak ada upaya rekonsoliasi untuk meredam kondisi ini, upaya rekonsiliasi yang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah agar masyarakatnya tidak saling membunuh. Apa mungkin bisa begitu?, ya, mungkin saja,  karena kadang-kadang kekuasaan menggunakan kekerasan sebagai cara terbaik untuk menundukkan dan menaklukkan hati dan semangat perlawanan yang sekalipun keras ibarat baja. Atau mungkin seluruh rangkaian kejadian dan peristiwa ini di luar sepengetahuan pemerintah daerah kita?, ya, “mungkin” saja. Lalu kenapa aparat penegak hukum kita cenderung diam?, ya, mungkin karena takut bertindak menegakkan keadilan atau karena sudah disuap, atau karena mereka mesra dengan pelaku tindak kriminal, atau mungkin karena benar-benar takut dengan nama besarnya pelaku tindak kriminal.


Kenapa sebuah kejahatan harus dilindungi?, kenapa sebuah tindak kriminalisme dan penindasan penguasa atas rakyatnya harus dibiarkan tumbuh subur disebuah negeri yang sebagian rakyatnya menghendaki sebuah perlakuan adil tanpa diskriminasi, sebuah pengayoman, sebuah rasa aman, sebuah harmoni yang permanen?, kenapa tirani kekuasaan atas rakyat dijadikan sebagai hal yang wajar dan biasa? Kenapa penegakan hukum di negeri ini selalu lamban, menunggu sampai rakyat mencela mereka!?.


Mari berharap, semoga seluruh rangkaian peristiwa ini tidak berujung pada konflik berdarah yang lebih hebat lagi antar-massa rakyat. Mari berdoa, semoga dilema dan kepiluan ini tidak berujung pada rasa putus asa dan gelap mata. Tuhan, tolong lindungi mereka, ayomi mereka dengan kesabaran, keteguhan sikap dan ketabahan…***  

MENGENANG KEMBALI TAN MALAKA

Pardin Isa



*. Prolog
            Jangan sekali-kali melupakan sejarah, justru belajarlah dari sejarah, Karena sejarah adalah mahaguru bagi masa depan. Sejarah selalu mengajarkan banyak hal bagi setiap generasi, ilmu yang tidak ternilai harganya. Tapi bangsa ini terlalu mengabaikan sejarah, terlalu menganggap remeh sejarah, terlalu mempermainkan sejarah. Bagi bangsa ini, sejarah hanyalah sebuah lukisan zaman, sebuah potret tentang masa lalu yang tidak perlu di gali dan di kaji otentisitasnya. Sejarah hanyalah sekedar lintasan roh waktu dalam ruang-ruang kehidupan manusia. Sejarah adalah milik mereka yang menang dan punya kuasa.


            Para pahlawan masa lalu yang telah menorehkan tinta kebebasan dan kemerdekaan kepada kita yang hidup di zaman kini, patutlah jasa dan kontribusi mereka senantiasa kita kenang, sebagai bagian dari penghormatan dan rasa terima kasih kita atas segala darma-bakti mereka kepada bangsa dan Negara yang kini menjadi rumah hunian kita. alangkah picik nurani kita, dan alangkah kerdilnya otak kita, ketika kita lalu lupa dengan segala perjuangan tanpa gentar, dengan segala pengorbanan tanpa pamrih yang telah mereka berikan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pahlawannya, bangsa yang agung adalah bangsa yang senantiasa memberikan tempat terhormat dan agung kepada para pahlawannya. Siapa itu pahlawan? Siapa yang kau maksud sebagai pahlawan dalam omong kosongmu yang panjang dan berbelit-belit?...,


            Masing-masing dari kita punya konsepsi tersendiri soal apa itu pahlawan, tak perlu banyak berdefinisi karena kebanyakan definisi justru dapat membuat kita menjadi bingung dan ragu untuk berkonsepsi. Dan tak perlu harus membuka kamus, karena justru pikiranmu akan berdasarkan kamus yang pada akhirnya membuat dangkal pikiranmu. Berilmu hanya ketika memiliki kamus, menjadi tolol ketika tidak memiliki kamus, sebuah ironi.


            Tapi Ironi yang lebih fatal justru sedang melanda bangsa dan Negara ini, sebuah kebutaan terhadap sejarahnya sendiri. Saudara-saudaraku, Jangan berbakti kepada bangsa yang munafik, jangan mengabdi kepada bangsa yang munafik. karena para pemimpinnya kini merasa hebat, mereka memimpin sebuah bangsa yang telah bebas dan merdeka tanpa tahu bagaimana rasanya memulai sebuah perjuangan untuk menjadi bebas dan merdeka. Mereka telah munafik pada fakta masa lalu, mereka telah lupa pada pahitnya hari-hari bagi mereka yang dulu memulai sebuah perjuangan panjang untuk membuat bangsa ini menjadi bebas dan merdeka. Apa yang telah engkau nikmati dari kebebasan dan kemerdekaan hari ini?, menistakan rakyatmu dengan kemiskinan sambil membela diri bahwa kemiskinan itu datangnya dari Tuhan, atau datang dari kebijakan-kebijakan pasar global yang timpang?, sedangkan engkau menikmati hidup maha-sejahtera di atas bangkai rakyatmu, di atas kuburan para pahlawan bangsa yang telah engkau lupakan jasa-jasanya!.


            entah apa yang patut kita persembahkan kepada para pahlawan itu sebagai wujud dan pengormatan kita kepada mereka, dan sesungguhnya tak bisa dimengerti, apa pula yang di inginkan oleh mereka yang telah wafat dan membusuk di dalam kuburannya itu. Dan bahkan sebagian dari mereka tak diketahui nisannya.


*. Tan Malaka, Manusia Agung Yang Dilupakan


            Apalah arti penghormatan bagi seorang Sutan Ibrahim alias Datuk Tan Malaka, apalah arti sebuah pujaan bagi pria tak beristri, gembel tak ber-rumah, buruh tambang, Juru tulis di kantor perkebunan, guru rendahan di Cina, Singapura dan Indonesia, narapidana politik, buronan agen intelijen negara-negara imperialis dunia seperti dia. Ya, ini adalah contoh asumsi yang mencerminkan kekerdilan dan kepicikan berpikir. Sesungguhnya tak mungkin lagi Ibu Pertiwi melahirkan manusia agung seperti dia, manusia revolusioner yang telah ikut membentuk wajah sejarah, bukan sekedar sejarah bangsa ini, tapi sejarah dunia, sejarah global. Bangsa ini harusnya malu telah menelantarkan salah seorang putra terbaiknya, aib bagi seluruh pemimpin bangsa ini, aib bagi seluruh umat bangsa ini.
            Entah kesalahan apa yang telah diperbuat pria komunis ber-Tuhan ini sehingga bangsa menjadi lupa atas jasa-jasanya. Pria komunis yang di didik dan dibesarkan dari sebuah surau ditanah kelahirannya, masyarakat Minang yang memegah teguh filosofi “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”, yang tetap ia pegang teguh hingga akhir hayatnya. Manusia cerdas revolusioner yang selalu berbuat tanpa pamrih, manusia agung yang tak pernah ingin di puja-puji oleh pengagumnya. Siapa yang tidak gemetar badannya, dan tidak dingin aliran darahnya, ketika mendengar nama Tan Malaka dimasa ketika dia masih hidup, bahkan banyak orang menyamar sebagai Tan Malaka untuk sekedar membuat sensasi dan gagah-gagahan di depan para murba yang buta huruf. Dialah agen komunisme internasional (Komintern) yang punya hak veto atas seluruh kebijakan-kebijakan organisasi komunis yang berada di wilayah asia timur, asia tenggara, Australia, sampai asia selatan. Ho Chi Minh begitu menghormatinya Mao Tse Tung begitu menghargainya, bahkan soekarno begitu kagum dengan manusia ini, lalu kebodohan apa yang membuat bangsa ini sehingga menjadi lupa dengan nama besarnya?.


            Terlalu banyak polemik, terlalu banyak perdebatan konyol yang terkesan mengada-ada, menganggap Tan Malaka sebagai eks agen komunisme dunia, eks ketua PKI, yang kesemua ini pada akhirnya menafikan kenyataan lain bahwa Tan Malaka hanyalah seorang anak bangsa yang ingin agar bangsa dan rakyatnya yang tertindas, terhisap, miskin papa, melarat, terjajah itu menjadi merdeka. Dia menghendaki kemerdekaan 100% bagi rakyat dan bangsanya, kemerdekaan yang tanpa diplomasi berunding tapi dengan diplomasi bambu runcing, kemerdekaan yang bukan sekadar hadiah dari “Saudara Tua” seperti yang di idamkan para pemimpin bangsa lain pada ketika itu, dia menginginkan kemerdekaan yang sesungguhnya bagi bangsanya. Dia hanyalah seorang anak bangsa yang ingin bangsanya merdeka dengan cara yang diyakininya, dengan berbagi konsep, ideologi dan diskursus yang diyakininya. Dialah orang pertama yang memberi nama depan “Republik” bagi bangsa ini, lewat teks revolusionernya yang terbit di kanton bertajuk “Naar de Republiek Indonesia’. Puluhan buku revolusioner, ratusan brosur revolusioner terlahir lewat otaknya, kesemuanya di abdikan guna mendidik saudara sebangsanya, untuk bagaimana agar bangsa ini menjadi merdeka, dan bagaimana bangsa ini di bangun setelah memperoleh kemerdekaan. Pahlawan nasional mana yang telah menulis begitu banyak teks-teks revolusioner yang berisi ilmu, agitasi propaganda, strategi, untuk mendidik rakyat bangsa ini agar tahu bagaimana menghancurkan imperialis pada ketika itu?, bahkan Soekarno harus di penjara di Landrat bandung tahun 1931 oleh Belanda hanya karena ia menyimpan buku “Massa Aksi” tulisan Tan Malaka, sebuah buku maha terlarang pada ketika itu, sebuah buku yang ketika dibaca mampu membakar hasrat revolusioner setiap “inlander” idiot penakut sekalipun untuk bangkit dan mengangkat senjata.


            Membaca “Patjar Merah Indonesia” (sebuah novel sejarah tentang kisah Tan Malaka bersama beberapa kawan revolusionernya di berbagai Negara), serta “Dari Penjara Ke Penjara (From Jail To Jail) (yang lebih tepatnya merupakan Autobiografi Tan Malaka), serta belasan buku lain yang substansinya lahir dari otak orang ini, melukiskan banyak hal yang kesemua itu tidak dimiliki oleh orang lain yang hari ini kita daulat sebagai “pahlawan nasional”. Lalu kenapa Tan Malaka harus tersisih dalam teks sejarah kita?


Soekarno (Presiden pertama RI) telah mendaulat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional, dan pada masa Orde Baru, nama Tan Malaka justru menjadi asing ditelinga kita dan tak pernah disebut dalam teks sejarah. Ya, ada yang keliru dalam penjelasan sejarah kita, Tan Malaka tidak perlu dikat-kaitkan dengan upaya kudeta PKI tahun 1965, Dia tidak patut jika harus ikut menanggung aib 1965. Karena jasa dan kontribusinya teramat besar bagi bangsa ini, ia rela terbuang, di penjara, menjadi buronan, tidak menikah, menyamar dengan banyak nama, hanya karena ia menghendaki agar badan dan pikirannya tetap bebas agar senantiasa bisa berada di tengah-tengah rakyatnya dan agar dia tetap bisa berbakti dan mengabdi untuk bangsa dan rakyatnya, supaya menjadi bebas dan merdeka. Sebuah kebebasan dan kemerdekaan yang pada hari ini telah kita nikmati.


            Bangsa ini harus berintropeksi diri, harus malu kepada dunia, karena dominan sejarah perjuangan dan aktifitas revolusionernya justru di ulas oleh orang yang bukan Indonesia, sebut saja semisal Noriaki Oshikawa, Helen Jarvis, Harry A.Poeze, dan beberapa puluh penulis lain yang telah banyak mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk mengungkap sosoknya yang misterius. Hanya beberapa orang intelektual Indonesia yang masih mau peduli, serta dengan jujur berkata bahwa “Tan Malaka adalah sosok manusia agung yang pernah dilahirkan oleh bangsa ini, mungkin Ibu Pertiwi tidak akan lagi mengandung dan melahirkan anak seperti dia”.


            Dia mati di tangan saudara sebangsanya karena intrik, tak tentu jasadnya dan bangsa serta rakyatnya lupa dengan pengabdiannya yang tanpa pamrih (semoga benar apa yang disampaikan oleh Harry A. Poeze pada diskusi beberapa waktu lalu tentang telah ditemukannya kerangka tubuh Tan Malaka, hingga kini masih menunggu konfirmasi hasil tes DNA). Biarlah sejarah yang menjadi hakim, agar kebenaran di ungkap dan di tegakkan, bahwa dialah yang patut kita sebut sebagai “Pahlawan Nasional” yang sesungguhnya. ***