Kamis, 03 Maret 2011

FILSAFAT WAKTU

Oleh: Pardin Isa

Detik, menit, jam, merangkak ke hari, ke minggu, dan seterusnya. Detak jantung belum terhenti, masih terasa, pertanda bahwa waktu masih terselami, meski dangkal. Waktu adalah sebuah misteri, tak terjamah, tapi terselami. Waktu bukan sebuah abstraksi yang hanya bersemayam dalam rasio, waktu juga bukan sebuah materi yang menempati ruang tertentu. Yakin dan percaya, tidak akan pernah ada satu manusiapun yang mumpuni dalam mendefinisikan waktu. Setiap orang hanya mampu memaknai waktu lewat persepsi dirinya, lewat kesadaran diri, ketika diri menyatu dalam substansi, ketika jiwa dan raga tak terpisah oleh tirai keseharian yang banal, yang terkadang memisahkan esensi jiwa dan raga.

Waktu tak berusia, karena waktu adalah detail usia itu sendiri. Waktu adalah sebuah keabadian, tak terbatas pada ruang, tak terbatas hanya pada persepsi, baik persepsi rasio ataupun persepsi pengalaman. Waktu menjamah setiap zat, masing-masing zat memiliki waktunya sendiri, Tanpa kecuali manusiapun memiliki waktunya sendiri. Waktu juga adalah media, sebuah media tempat bergerak dan berubahnya sejarah. Waktu telah memberi banyak peluang atas berbagai peristiwa.

Lalu, apa sesungguhnya waktu?

kekita kita hidup, kita memiliki satu kehendak, yakni kehendak yang bebas dari intervensi keinginan dan kepentingan diri, kehendak itu adalah keharusan normatif, yakni “untuk menjalani waktu”. Tidak bisa dihindari, setiap substansi, setiap benda, setiap makhluk, tumbuhan, hewan dan manusia, tidak bisa mengelak dari sentuhan waktu. Ia akan senantiasa bersama dengan waktu.

Sekali lagi, apa sesungguhnya waktu?

Kita adalah makhluk manusia yang diberi kelebihan untuk berpersepsi dan berpikir, serta memberi interpretasi dan makna atas segala sesuatu. Kelebihan inilah yang akan coba kita gunakan untuk meng-interpretative understanding esensi waktu.

Kita tidak mungkin berbeda pendapat untuk hal yang satu ini, bahwa waktu merupakan fakta yang terpisah dari kepentingan diri. Waktu memiliki “roh”nya sendiri, yang bebas intervensi, bahkan sebaliknya, segenap tindakan kita terkadang bahkan berada dibawah penguasaan waktu. Termasuk usia kita juga adalah bagian dari “bagaimana waktu berhenti melayani kehendak animalik kita”.

Tapi kita akan berbeda dalam beberapa hal, termasuk tentang bagaimana setiap dari kita memaknai “waktu” kita sendiri. Bagi penulis, waktu adalah takdir, juga waktu adalah lokus kebebasan sekaligus sebagai lokus yang memenjarakan kehendak diri. Waktu tidak hanya sekedar hitungan dari detik ke menit, ke jam, dan seterusnya. Tapi lebih dari itu, waktu adalah sebuah totalitas jagad raya. Waktu tidak mungkin dibatasi oleh ruang, oleh jarak, oleh lokus demografi. Waktu juga tidak bisa dipecah dalam piranti-piranti hitungan berbentuk apapun. Bagi penulis, waktu adalah “pemaknaan”. Yakni, sejauh mana diri memberi makna yang sesungguhnya atas esensi waktu. Antara melakukan pekerjaan yang merupakan hobby (main catur, menyanyi), dan berdiri disuatu tempat sambil menunggu teman kencan yang tidak menetapi janji, adalah dua kegiatan yang dapat memberi kesan yang cukup kontras, terkait bagaimana waktu mengaktualisasikan diri. Meskipun piranti penghitung waktu (semisal jam tangan) menunjukan hitungan yang sama selama dua kegiatan itu dilakukan, akan tetapi, ada perbedaan yang cukup kontras, bahwa waktu yang dilewati dengan bermain catur terasa lebih singkat jika dibandingkan dengan waktu yang dilewati untuk menunggu seseorang yang diharapkan datang tepat sesuai janji.

ketika seseorang melewati malam dengan tidur pulas sambil bermimpi indah, lalu seseorang yang lain harus melewati malam untuk menunaikan kewajibannya sebagai Hansip yang mesti ronda malam, tetap terasa berbeda.

Kenapa bisa?

Karena waktu adalah kesadaran diri. Esensi Waktu dapat dipahami ketika seseorang terjun kedalam diri untuk kembali memaknai dirinya sebagai makhluk yang dikekang dan dipenjarakan oleh waktu, juga sebagai makhluk yang memiliki kesadaran untuk menjalani waktu. Sehingga sekali lagi, waktu hanya dapat dipahami ketika seseorang sedang sadar diri. Keseharian yang banal dapat mengantarkan manusia menjadi makhluk yang hanya hidup tanpa kesadaran diri, karena “waktu” tersubordinasi dibawah kepentingan, “waktu” tersubordinasi dibawah pengejaran atas kebutuhan diri, dengan kata lain, waktu hanya merupakan moment untuk pemenuhan kebutuhan diri.

Di zaman ini, tak ada lagi tempat untuk berkontemplasi, bahkan setiap orang sungguh sangat tidak lagi memahami makna kontemplasi. Sesungguhnya kontemplasi adalah kegiatan untuk kembali mencerna makna diri, kegiatan untuk kembali mencerna “waktu” sambil melekatkan hati kedinding “waktu” yang esensi.

Waktu adalah persepsi jiwa,
Waktu adalah kesadaran, dan
Waktu adalah keabadian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar