Sabtu, 01 Januari 2011

DILEMA IDENTITAS NASIONAL

Oleh: Pardin Isa
Mahasiswa Sosiologi UMMU Ternate


            Setiap bangsa pastilah memiliki latar belakang sejarah, bahasa, world view (pandangan dunia), dan keanekaragaman ciri khas yang membedakannya dari bangsa lain. Ciri-ciri tersebut selanjutnya menjadi perlambang bagi kekhususan identitas suatu bangsa. Di dunia ini, secara hakiki tak ada bangsa yang memiliki ciri dasar kebudayaan lebih istimewa dari bangsa lainnya (tanpa mengabaikan faktor sejarah, tentang usia peradaban sebuah bangsa). Ke-istimewaan dan ketidak-istimewaan suatu bangsa atas bangsa lainnya cenderung ditentukan oleh prestasi budaya masyarakat bangsa dimaksud, sebuah prestasi budaya yang melahirkan peradaban unggul bagi bangsa tersebut, karena peradaban lahir dari hasil kreasi kebudayaan. Beberapa pemikir sosial bersepakat bahwa; jika kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian tentang nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, maka peradaban merupakan manifestasi kemajuan kebudayaan yang dominan bersifat teknologis, yang terefleksi dalam berbagai pranata kehidupan suatu masyarakat.
Jadi, sementara masyarakat pada sebuah bangsa masih belajar mengeja huruf (karena sebelumnya buta huruf), masyarakat pada bangsa yang lain sudah belajar membuat bayi tabung (kloning). Sementara masyarakat pada sebuah bangsa masih belajar bagaimana cara membuka pintu mobil, masyarakat pada bangsa yang lain sudah mulai belajar bagaimana cara menyeberang ke salah-satu Bumi lain yang paling dekat dengan Bumi kita (100 trilyun Bumi di jagad raya), dengan harus menaklukkan jarak 38 Trilyun KM (4 tahun cahaya), karena jika di tempuh dengan pesawat Garuda butuh waktu 5,5 juta tahun. Ya, Sebuah analogi guna menguak adanya perbedaan kualitas peradaban yang signifikan diantara bangsa-bangsa.
            Peradaban unggul sebuah bangsa lahir dari masyarakat bangsa berwatak creator (pencipta), sedangkan masyarakat bangsa yang tidak berwatak creator (follower) hanya menjadi masyarakat nomaden modern yang konsumtif, hanya tahu berpindah-pindah dari satu gaya hidup, ke gaya hidup yang lainnya, tak pernah menciptakan apa-apa, tapi merasa diri sebagai orang (masyarakat) yang berperadaban, hanya karena sudah mengkonsumsi produk hasil kreasi bangsa-bangsa yang punya kualitas peradaban lebih tinggi.
Memang benar, paradigma hidup bagi masyarakat manapun cenderung akan bergerak dan berubah pada setiap fase sejarah. Perubahan tersebut mengarah pada upaya adaptasi dan asimilasi atas berbagai detil perubahan yang terjadi pada konteks lingkungan sosial, regional bahkan global. Saat ini, setiap masyarakat pada berbagai bangsa dituntun oleh satu kekuatan besar yang mendunia untuk merubah paradigma dan prinsip budayanya ke satu titik yang sama, agar identik. Jangkauan akses informasi dan komunikasi pada ketika ini, memudahkan setiap masyarakat bangsa untuk saling belajar dan mempelajari. Tanpa sadar proses ini selanjutnya mengarah pada upaya penyeragaman paradigma budaya secara global. Implikasi dari upaya penyeragaman inilah yang menjadi kepentingan bangsa-bangsa yang berkepentingan. Budaya yang pada akhirnya menjadi seragam dari berbagai rupa masyarakat bangsa, sangat mungkin secara implementatif akan berimplikasi pada seragamnya setting interaksi, seragamnya pola pikir, seragamnya pandangan hidup, seragamnya gaya hidup, dan seragamnya kebutuhan atas sarana-sarana sosial. Slow but sure, kesemuanya lalu digiring masuk kedalam perangkap dependensi, ketergantungan masyarakat bangsa-bangsa tertentu untuk harus mengkonsumsi berbagai rupa barang dan jasa yang hanya disediakan oleh bangsa-bangsa tertentu pula, yang dominan bertujuan demi profit dan dominasi atas pasar global.
Pola di atas lebih tepatnya kita sebut sebagai mekanisme “pangsa pasar” yang bersifat negatif, karena lebih cenderung pada upaya menskenario pasar global sehingga apa yang di produk bisa menjadi primadona di dalam interaksi pasar global. Jadi, kita tidak lagi dihadapkan pada mekanisme pasar sederhana sebagaimana yang kita pahami, ketika sebuah barang dan jasa di produk sesuai selera, kebutuhan, dan trend yang tengah menggejala di pasar (pangsa pasar). kesimpulannya, adalah bahwa sebuah budaya baru diciptakan sebagai sarana (alat) untuk mendorong peningkatan konsumsi masyarakat atas barang dan jasa tertentu. jadi budaya diciptakan dan di sosialisasi, selanjutnya terjadi perubahan pada trend, selera dan kebutuhan, akhirnya barang dan jasa hasil skenario-pun di konsumsi.    
Ketersediaan sarana informasi dan komunikasi yang tanpa batas ketika ini menjadi salah satu spirit menjadi makin cepatnya perubahan budaya dan orientasi bagi setiap masyarakat bangsa dapat terjadi. Kita hanya patut risau dengan benturan antar- peradaban, dan tak perlu risau dengan benturan antar budaya. karena sesungguhnya Tidak akan terjadi benturan antar budaya jika pertarungan budaya pada pentas global adalah pertarungan antara budaya “Si Pitung” dan budaya “James Bond”. Si Pitung remuk redam asanya, wujudnya ibarat aib bagi dirinya, menjadi malu dan terpinggirkan karena dia hanya seorang pesilat kampung anak petani miskin papa yang hampir buta huruf, punya rumah berdinding anyaman bambu beratap jerami. mustahil melawan Si Agen 007, sang pria jantan perkasa idaman tiap wanita, agen intelijen jagoan yang bisa mengakses dan menggunakan senjata-senjata ampuh berteknologi tinggi, yang dengan cepatnya bisa melumpuhkan musuh.
Sederhananya, bangsa yang lebih unggul peradabannya (kualitas ekonomi, teknologi, politik, militer) akan menghegemoni dan mendominasi budaya bangsa-bangsa yang lebih rendah peradabannya. Bukan saja disebabkan oleh kekuatan paksaan lewat diplomasi tak sehat, invasi militer atau embargo ekonomi, tapi lebih disebabkan karena daya tarik yang dimiliki oleh bangsa adidaya tersebut lewat propaganda tanpa henti dengan menggunakan berbagai saluran, yang mencitrakan mereka sebagai pemimpin peradaban global sekaligus sebagai Creator budaya baru, sebuah budaya masa depan. Modus ini menjadikan hampir setiap masyarakat bangsa menjadi begitu legowo dalam menerima sesuatu yang baru, tentunya hal baru yang harus memiliki citra dan nilai gengsi maha tinggi di tiap relung panca indera manusia pemuja elitisme dan modernisme.
Di sisi lain, Indonesia tidak hanya memiliki beragam budaya karena beragamnya suku, tapi juga memiliki beragamnya bahasa dan ciri-ciri karakter fisik dan psikis animalik yang kadang tak sehat. Jujur saja, identitas nasional kita (baca: simbol nasional) dalam beberapa hal, bukan merupakan sebuah sintesa kebudayaan, bukan juga merupakan sebuah akulturasi kebudayaan dari beragam budaya suku bangsa yang ada di nusantara. Beberapa instrumen simbol yang dilegitimasi sebagai lambang identitas nasional kita saat ini pada prinsipnya tidak mewakili keseluruhan simbol-simbol dari berbagai elemen bangsa yang direkat dari berbagai macam wilayah dan kedaerahan ini, yang juga secara historis memiliki beragam latar belakang budaya beserta perlambang identitas yang sepenuhnya saling berbeda. Hegemoni kultur Jawa warisan Majapahit dan Sumatera warisan Sriwijaya begitu mengemuka, tampil sebagai representasi Indonesia. tapi tentunya tidak perlulah ada kongres nasional antara pemuka-pemuka suku bangsa di Nusantara untuk membangun sebuah konsensus nasional guna menentukan mana yang harus dilegitimasi sebagai simbol identitas nasional. Hal terbaik yang sewajarnya dilakukan adalah hanya dengan mematuhi kenyataan, karena bisa berbuah kenyamanan bagi siapa saja yang bernawaitu untuk mempersoalkannya.
ada beberapa kasus yang patut dijadikan sebagai contoh yang baik. Hingga detik ini bangsa-bangsa Arab masih mampu bertahan dengan kekhasannya, Cina masih mampu mempertahankan apa yang menjadi miliknya, Jepang masih mencintai “bushido” dan pernak-pernik budayanya, India masih menghargai warisan leluhurnya, serta Malaysia masih bertahan dengan idiom-idiom melayunya (meskipun beberapa bulan terakhir sang negeri serumpun membuat kita untuk hampir kehilangan akal sehat). Mereka adalah Bangsa-bangsa yang pada ketika ini membawa mata dunia untuk berpaling kearah mereka, karena saking cepatnya berbenah diri untuk ikut maju memimpin peradaban global tanpa harus kehilangan citra diri dan identitas nasional sebagai sebuah bangsa.
Dan Indonesia hanya mampu mencitrakan diri sebagai bangsa yang terbuka, sambil membiarkan budaya warisan leluhurnya digilas oleh Zaman yang tidak menghargai masa lalu. Watak santun ketimuran berganti karakter bar-bar ala raja hutan, kebaya berganti jas mini yang makin minimalis, sambal terasi berganti ayam goreng kentucky setengah halal, solidaritas sosial yang lazimnya terimplementasi dalam gotong-royong berganti hubungan interdependency yang segala sesuatunya dinilai dengan uang, kejujuran dan sikap legowo berganti ketamakan yang lupa diri, kekerabatan berganti individualisme warisan abad aufklarung, hampir tidak ada yang tersisa. Tapi tak perlu melaknati hegemoni budaya bangsa lain atas bangsa kita, karena juga masih banyak hal yang patut untuk kita pelajari dari mereka, isi kepala orang yahudi yang maha cerdas. Minimal kita mampu memfilterisasi antara mana yang bermanfaat dan mana yang berakibat mudarat.
Yang jelas ekspansi globalisasi yang turut membawa varian budaya bangsa dominan begitu terasa, sekat antar negara-bangsa menjadi luluh, kita sudah hampir merasa seperti hidup didalam negara Bumi, Mungkin ini adalah bagian dari cita-cita sejarah. Melawan kehendak sejarah sama artinya dengan melawan kehendak alam, karena alam adalah merupakan media tempat sejarah dilahirkan, dan alam itu sendiri adalah sebuah sejarah. Natura non nisi parendo vincitur, alam hanya dapat ditaklukan dengan cara mematuhinya. Juga sejarah hanya bisa ditaklukan dengan cara mematuhi sejarah. Selamat tinggal leluhur Terhormat yang “udik”, selamat datang ke-“gilaan” masa depan.***.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar